ISLAM AGAMA DAKWAH - PEMUDA PERSIS KAB. SUMEDANG

Breaking

Post Top Ad

Kami pemuda pembela agama Pembangkit umat yang utama Bertabligh memikat hati yang suci Berdalilkan Qur’an dan Hadis Di-tanam iman disebar amal Memimpin jiwa dan akhlaqnya Membasmi bid’ah agama Berjihad, berdakwah, beruswah)* Bersatulah bersatulah bersatulah bersatulah Hai muslimin Siapa yang menentang Islam Musnahlah dalil dan hujahnyaWeb PEMUDA PERSIS SUMEDANG

Post Top Ad

Mangga bade Iklan palih dieu

Sabtu, 01 September 2018

ISLAM AGAMA DAKWAH



Oleh: M. Nurachman
(Ketua PC. Pemuda Persatuan Islam Sumedang Selatan 2014-2017)

A.                Dalil Tentang Kewajiban Berdakwah Dan Konsekuensti Tidak Berdakwah.
Semua Nabi dan Rosul yang di utus oleh Allah subhanahu wa ta’ala mulai dari Nabi Adam ‘alaihi salam sampai Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wa sallam, bertugas berdakwah menyebarkan risalah ilahi. Dakwah adalah “ajaran para Nabi dan Rosul”. Hal tersebut bisa kita baca dalam Qur’an berikut,
كُنتُمۡ خَيۡرَ أُمَّةٍ أُخۡرِجَتۡ لِلنَّاسِ تَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَتَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِ وَتُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِۗ وَلَوۡ ءَامَنَ أَهۡلُ ٱلۡكِتَٰبِ لَكَانَ خَيۡرٗا لَّهُمۚ مِّنۡهُمُ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ وَأَكۡثَرُهُمُ ٱلۡفَٰسِقُونَ ١١٠
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma´ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik”. Q.S. Ali Imron (3) : 110.
Dakwah terambil dari kata Da’aa – Yad’uu – Da’waan / Dua’aan wa Da’watan yang berarti berdo’a, memohon, mengajak, menyeru, memanggil, atau mengundang. (A.W. Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap hal. 406-407 & Dr. Jeje Zainudin, M.Ag, Fiqih Dakwah Jam’iyyah; berjam’iyyah tidak bid’ah hal. 24).
Dengan kata lain, dakwah adalah upaya untuk mengubah keadaan tertentu menjadi keadaan lain yang lebih baik menurut tolok ukur ajaran Islam. Secara gamblang al-Qur’an menegaskan bahwa dakwah adalah menyeru manusia “ila sabili Robbika” (menuju jalan Tuhanmu) [Q.S. an-Nahl : 125]. Dengan pengertian ini maka perubahan tersebut terjadi dengan menumbuhkan kesadaran dan kekuatan pada diri objek dakwah (mad’u) untuk mengetahui. Mengimani, dan mengamalkan Islam. Perubahan dari sikap, tingkah laku, keyakinan dan pola pikir yang tidak Islami menjadi Islami serta upaya pembebasan (tahrir) manusia dari sabil thaghut (cara/jalan thaghut) ke sabilillah (cara/jalan Allah). (Shiddiq Amien, Islam dari Akidah hingga Peradaban hal. 372-373).
Dakwah merupakan kewajiban setiap muslim bukan saja kewajiban Kiai, Ustad, Ajengan, Mama, menurut kadar kemampuan setiap individu. Aktifitas dakwah pun bukan saja hanya dilakukan di masjid-masjid, langgar-langgar, surau-surau, majlis-majlis ta’lim, tapi di setiap tempat mana pun. Pemahaman seperti ini terjadi karena selama ini pengertian dakwah sering diidentikan dengan ceramah. Surat Ali Imron 110 menegaskan bahwa keunggulan umat Islam itu terletak pada dua asfek, yaitu asfek iman dan asfek dakwah. Artinya umat Islam yang tidak terlibat dalam kegiatan dakwah berarti telah menjalani proses pemisahan diri dari bangunan umat (bunyanul Islam) kecara keseluruhan. (Shiddiq Amien, Islam dari Akidah hingga Peradaban hal 374).
Selain ayat Qur’an di atas, masih banyak ayat al-Qur’an dan hadits Nabi yang memerintahkan supaya setiap muslim untuk berdakwah, diantaranya:
وَلۡتَكُن مِّنكُمۡ أُمَّةٞ يَدۡعُونَ إِلَى ٱلۡخَيۡرِ وَيَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَيَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِۚ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ ١٠٤
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma´ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung”. Q.S. Ali Imron (3) : 104.
.......وَتَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡبِرِّ وَٱلتَّقۡوَىٰۖ وَلَا تَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡإِثۡمِ وَٱلۡعُدۡوَٰنِۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلۡعِقَابِ ٢
“.....Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”. Q.S. al-Maidah (5) : 2.
وَمَنۡ أَحۡسَنُ قَوۡلٗا مِّمَّن دَعَآ إِلَى ٱللَّهِ وَعَمِلَ صَٰلِحٗا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ ٱلۡمُسۡلِمِينَ ٣٣
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?”. Q.S. Fushshilat (41) : 33.
إِنَّ ٱلۡإِنسَٰنَ لَفِي خُسۡرٍ ٢  إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلۡحَقِّ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلصَّبۡرِ ٣
“Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”. Q.S. al-Asr (103) : 2-3.
عَنْ أَبِي سَعِيْد الْخُدْرِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ : مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَراً فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ
Dari Abu Sa’id Al Khudri radiallahuanhu berkata : Saya mendengar Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Siapa yang melihat kemunkaran maka rubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka rubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu maka (tolaklah) dengan hatinya dan hal tersebut adalah selemah-lemahnya iman”. H.R. Muslim.
بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً وَحَدِّثُوا عَنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَلَا حَرَجَ وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّار
“Sampaikan dariku sekalipun satu ayat dan ceritakanlah (apa yang kalian dengar) dari Bani Isra'il dan itu tidak apa (dosa). Dan siapa yang berdusta atasku dengan sengaja maka bersiap-siaplah menempati tempat duduknya di neraka”. H.R. Bukhori.
........وَأَمَرَنِي أَنْ أَقُولَ بِالْحَقِّ وَإِنْ كَانَ مُرًّا وَأَمَرَنِي أَنْ لَا أَخَافَ فِي اللَّهِ لَوْمَةَ لَائِمٍ وَأَمَرَنِي أَنْ أُكْثِرَ مِنْ قَوْلِ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ فَإِنَّهُنَّ مِنْ كَنْزٍ تَحْتَ الْعَرْشِ
“......Dan beliau juga menyuruhku untuk berkata benar walau pahit rasanya, tidak takut cacian karena Allah, dan memperbanyak untuk mengucapkan LAA HAULA WALAA QUWWATA ILLA BILLAHI (Tiada daya dan upaya kecuali karena Allah) ', sebab itu adalah simpanan dari simpanan surga”. H.R. Ahmad, Thobroni, Ibnu Hibban, dan Hakim.
......هَذَا لِيُبَلِّغ الشَّاهِدُ الْغَائِبَ فَإِنَّ الشَّاهِدَ عَسَى أَنْ يُبَلِّغَ مَنْ هُوَ أَوْعَى لَهُ مِنْهُ
“.......(Maka) hendaklah yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir, karena orang yang hadir semoga dapat menyampaikan kepada orang yang lebih paham darinya".”. H.R. Bukhori.
يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلَامَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنْ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنْ الضُّحَى
“Setiap tulang sendi kalian wajib bersedekah pada pagi hari, maka setiap tasbih adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, menyuruh berbuat baik adalah sedekah, dan melarang perbuatan munkar adalah sedekah. Namun itu semua dapat dipenuhi dengan dua rakaat sholat Dhuha”. H.R. Muslim.
“Mengutarakan nasihat dan kalimat yang haq kepada penguasa yang zalim merupakan amal mulia bahkan disebut afdholal jihad (jihad paling utama)”. H.R. Abu Dawud dan Tirmidzi.
“Bahkan jika ia mati terbunuh karena beramar ma’ruf dan nahi munkar kepada penguasa yang zalim, maka ia termasuk penghulu para syuhada bersama Hamzah bin Abdul Mutholib”. H.R. Hakim.
            Kita bisa lihat bagaimana dakwah Nabi Ibrohim, Nabi Musa dan Nabi Muhammad kepada penguasa-penguasa dzalim di masanya. Nabi Ibrohim tidak gentar berhadapan dengan penguasa dzalim walaupun harus di bakar hidup-hidup, Nabi Musa tidak gentar dan takut walaupun harus berhadapan dengan ayahnya sendiri dan begitu pula dengan Nabi Muhammad yang berdakwah di hadapan pembesar-pembesar Quraisy dan juga raja-raja dari berbagai macam kerajaan.
Kalau orang bertanya, dalam Q.S. Ali Imron (3) : 104 di atas, ada kalimat مِّنكُمۡ (sebagian diantara kamu), yang mana kalimat مِّنكُمۡ menunjukan sebagian. Kalau begitu berarti, dakwah itu kewajiban sebagian orang Islam, bukan semua orang Islam, atau dakwah itu merupakan fardhu kifayah bukan fardhu ain?.Kata مِّنكُمۡ disini dalam arti penjelasan, sehingga ayat ini merupakan perintah kepada setiap orang muslim untuk melaksanakan tugas dakwah, masing-masing sesuai kemampuannya. (Prof. Dr. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah II:209).
            Dengan demikian kata “min” dalam ayat ini bermakna tajridiyyah (hanya/semata-mata) bukan tab’idhiyyah (sebagian). (Shiddiq Amien, Islam dari Akidah hingga Peradaban hal. 375).
            Setiap aktifitas dakwah bertujuan untuk beramal ma’ruf, nahi munkar, mengajak kepada al-khoir, takwa, hak, dan kesabaran. Dalam Q.S. Ali Imron (3) : 104 di atas. Di sana dijalaskan khoir, ma’ruf, dan munkar.
Menurut Ibnu Katsir yang dimaksud dengan khoir adalah nilai universal yang diajarkan oleh al-Qur’an dan as-Sunnah. Ma’ruf adalah sesuatu yang baik menurut pandangan umum satu masyarakat selama sejalan dengan al-khoir (al-Qur’an dan as-Sunnah). Munkar adalah sesuatu yang di nilai buruk oleh suatu masyarakat serta bertentangan dengan al-khoir (al-Qur’an dan as-Sunnah). (Tafsir al-Misbah II:211).
Sedangkan faisyah adalah perbuatan tercela dan buruk yang dilarang oleh agama dan akal sehat pun menolak akan hal itu serta akan malu bila perbuatan  itu diketahui oleh orang dan pelakunya diancam oleh al-Qur’an dan Hadits akan dimasukkan ke dalam neraka kelak sedang di dunia dihukum had. Perbuatan faisyah diantaranya seperti, zina, homo sexsual, mencuri (tafsir al-Misbah IV:80), seperti terbaca dalam Q.S. al-An’aam (6) : 151, Q.S. al-A’roof (7) : 80, Q.S. Bani Isroil (17) : 32, Q.S. an-Naml (27) : 54, dan Q.S. al-Ankabut (29) : 28.
Karena itu, ayat di atas menekankan perlunya mengajak kepada al-khoir/kebajikan, memerintahkan kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar. Jelas terlihat betapa mengajak kepada al-khoir di dahulukan, kemudian memerintahkan kepada yang ma’ruf dan melarang melakukan yang munkar. (Tafsir al-Misbah II:211).
Kenapa penulis jelaskan mengenai definisi di atas, supaya kita faham maksud dan pengertian tersebut sehingga ketika kita berdakwah bisa mengidentifikasinya. Jangan sampai ketika kita berdakwah, salah dalam mengidentifikasi gara-gara kita tidak memahami definisi dan akibatnya yang benar disalahkan dan yang salah dibenarkan.
Maka setiap muslim wajib mengambil bagian dari unsur dakwah tersebut. Bagi orang-orang yang alim wajib berdakwah dengan ilmunya. Para pejabat berdakwah dengan jabatannya. Para hartawan berdakwah dengan hartanya. Para seniman berdakwah dengan seninya. Para profesional berdakwah dengan profesinya. Dan demikian seterusnya, setiap segi kehidupan manusia yang bermanfaat dapat digunakan sebagai bagian dari pelengkap dakwah. (Jeje Zainudin, Fiqih Dakwah Jam’iyyah hal. 26-27).
Ketika menjelaskan Q.S. Fushshilat (41) : 33, Abu Umar Basyir berkomentar, “Tidak ada orang yang lebih mulia daripada seorang juru dakwah”. (Abu Umar Basyir, Menjadi Kaya Dengan Berdakwah hal. 18).
Dr. Aam Amiruddin, M.Si ketika menafsirkan Q.S. al-‘Asr (103) : 3 berkata, “Siapa saja yang tidak mau mengajak (beramar ma’ruf nahi munkar) manusia lain untuk berpegang pada kebenaran Islam setelah ia mengetahuinya, ia termasuk dalam golongan yang merugi”. (Dr. Aam Amiruddin, M.Si, Tafsir al-Qur’an Kontemporer I:150). Hal senada juga di ungkapkan oleh Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA dalam Tafsir al-Misbah II:210.
Bila masyarakat disuatu daerah tidak berperan aktif dalam berdakwah, beramar ma’ruf dan nahi mungkar, berarti masyarakat di daerah itu telah “mengundang” datangnya adzab Allah subhanahu wa ta’ala.
وَٱتَّقُواْ فِتۡنَةٗ لَّا تُصِيبَنَّ ٱلَّذِينَ ظَلَمُواْ مِنكُمۡ خَآصَّةٗۖ وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلۡعِقَابِ ٢٥
“Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya”. Q.S. al-Anfal (8) : 25.
“Tidak ada satu masyarakat pun yang melakukan kedurhakaan, sedang ada anggotanya yang mampu menegur/menghalangi mereka, tetapi dia tidak melakukannya, kecuali dekat Allah akan segera menjatuhkan bencana yang menyeluruh atas mereka”. H.R. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah
“Jika kemaksiatan telah merajarela di tengah-tengah umatku, Allah akan menimpakan adzab-Nya yang menyeluruh. Kemudian ditanyakan, ‘Walau di tengah masyarakat pada waktu itu ada orang-orang sholeh?’ Nabi menjawab, ‘Ya, akan menimpa mereka apa yang menimpa manusia lainnya, kemudian mereka akan mendapat maghfiroh dan ridho dari Allah”. H.R. Ahmad dan Thobroni.
Dalam H.R. Bukhori, Ahmad, at-Tirmidzi, dan Baihaqi, hadits di atas ilustrasikan apabila ada orang sholeh yang notabene tahu akan kebenaran tapi dia diam saja tidak beramar ma’ruf dan nahi mungkar, itu seperti orang yang menaiki sebuah perahu bertingkat. Orang yang berada di tingkat bawah yang kasar dan jelek ingin minum, tapi dia tidak mau menggangu dan tidak mau mengambil minum yang berada di tingkat atas. Maka orang tersebut pun melubangi perahu tersebut. Bila tidak ada yang mencegah orang yang melubangi perahu tersebut, niscaya semua orang yang berada dalam perahu tersebut akan tenggelam walaupun orang yang melubangi perahu itu hanya satu orang atau dua orang saja, namun bila mereka menghalangi, tentu mereka semua akan selamat.
Begitu pula bila di suatu masjid, majlis ta’lim, dan atau daerah berakhlak kurang baik maka salah satu yang harus di introfeksi adalah intensitas dan pola atau metode dakwah yang disampaikan oleh da’i di lingkungan tersebut. Surat Ali Imron 110 terseabut menegaskn bahwa keberadaan umat Islam sangat tergantung kepada ada tidaknya aktifitas dakwah. Semakin tinggi aktifitas dakwah yang dilakukan, semakin tinggi pula kualitas umat Islam. Sebaliknya, jika kualitas dakwahnya rendah, maka kualitas umat Islam pun rendah. (Shiddiq Amien, Islam dari Akidah hingga Peradaban hal. 373).
Dari dalil-dalil yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa aktifitas dakwah, beramar ma’ruf dan nahi mungkar adalah:
1.      Hukumnya Wajib.
2.      Mencegah Bencana dan Adzab Allah.
3.      Merupakan Sedekah.
4.      Jihad Terbesar.
5.      Bila Mati di Medan Dakwah, Pahalanya di Masukkan ke Surga dan Jadi Penghulu Para Syuhada.
6.      Orang yang Mulia.
7.      Barometer kualitas umat.
K.H. Drs. Shiddiq Amien, MBA berkata: “Upaya dan ikhtiar manusia yang dianjurkan untuk menghindar dari bencana dan petaka antara lain dengan meningkatkan taubat atas segala dosa yang pernah dilakukan, meningkatkan syukur kepada Allah SWT. Atas segala anugrah dan karunia-Nya, menahan diri dari perbuatan-perbuatan dosa, khususnya dosa-dosa besar, lebih khusus lagi dosa-dosa syirik. Serta berperan aktif dalam melaksanakan amar makruf dan nahi munkar”. (Drs.KH. Shiddiq Amien, MBA & Drs. Encang Saefuddin, Makna Sebuah Musibah Menuju Hidup Yang Lebih Islami hal. 11).

B. Pahala Berdakwah.
Aktifitas dakwah merupakan lahan amal yang tidak akan terputus walaupun kita sudah meninggal dunia. Aktifitas ini penilis dinamakan dengan “Multi Level Pahala (MLP)” sebagaimana yang diterangkan oleh hadits dibawah ini,
 وَعَنْ أَبِي مَسْعُودٍ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ, فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ
Dari Ibnu Mas’ud Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa menunjukkan (seseorang) kepada kebaikannya, ia memperoleh pahala seperti pahala orang yang melakukannya.” H.R. Muslim.
Dari Abu Huroiroh, Rosulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Siapa yang mengajak kepada petunjuk (yang benar), maka baginya pahala sebagaimana orang yang mengikutinya-tidak akan dikurangi dari pahala mereka sedikitpun- dan siapa yang mengajak kepada kesesatan, maka baginya dosa sebagaimana dosa orang yang mgikutinya- tidak dikurangi dari dosa mereka sedikitpun-“. H.R. Muslim.
Ada orang yang berkata bahwa dia tidak mau berdakwah, beramar ma’ruf dan nahi mungkar karena takut nantinya apa yang dia suruh atau yang dia cegah justru dia sendiri tidak melaksanakannya atau dia sendiri yang melanggarnya. Sepintas ucapan orang tersebut benar, tetapi bila kita cermati lebih dalam, justru ucapan tersebut salah. Dengan alasan yang dilontarkan tadi, jelas dia sudah berdosa karena tidak melaksanakan kewajiban dakwah, beramar ma’ruf nahi mungkar dan dia secara tidak langsung telah “memberi ruang” bagi dosa untuk ”hinggap” pada dirinya.
Pola pikir ini yang harus kita rubah. Harusnya kita tunaikan kewajiban kita berdakwah, beramar ma’ruf nahi mungkar dan dengan dakwah amar ma’ruf nahi mungkar itu kita berusaha sekuat tenaga untuk menjalankan dan menjauhi apa yang kita dakwahkan. Artinya ketika kita berdakwah, beramar ma’ruf nahi mungkar secara tidak langsung kita telah memagari diri kita, dan aktifitas tersebut sebagai pengerem bagi kita. Bandingkan dengan orang yang beranggapan terbalik tadi, dia pasti tidak mempunyai rem atau kontrol dari hal kemaksiatan dan tidak mempunyai motivasi dari hal kebaikan karena dia tidak berdakwah, beramar ma’ruf dan nahi munkar.
Belajar dulu atau mencari ilmu dulu atau berdakwah dulu? Menurut hemat penulis kalau memperhatikn hadits berikut,
بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً وَحَدِّثُوا عَنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَلَا حَرَجَ وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ

“Sampaikan dariku sekalipun satu ayat dan ceritakanlah (apa yang kalian dengar) dari Bani Isra'il dan itu tidak apa (dosa). Dan siapa yang berdusta atasku dengan sengaja maka bersiap-siaplah menempati tempat duduknya di neraka”. H.R. Bukhori.
Sesungguhnya belajar atau tholabul ilmi dan berdakwah itu berbarengan. Jangan dijadikan alasan tidak berdakwah karena ilmunya belum banyak. Kalau berdakwah menunggu ilmu banyak dulu, kapan akan terlaksananya. Menurut Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA, “Kalau kita mempelajari al-Qur’an, daripada ilmu al-Qur’an habis kita pelajari, justru umur kita yang keburu habis untuk mempelajari al-Qur’an”.
C. Metodelogi Dakwah.
Metodelogi dalam berdakwah menurut ulama ada 3.
1.   Dakwah bil Lisan (Dakwah dengan Lisan).
2.   Dakwah bil Kitabah (Dakwah dengan Tulisan).
3.   Dakwah bil Hal (Dakwah dengan Perilaku).
1.      Dakwah bil Lisan (Dakwah dengan Lisan).
Dakwah dengan lisan bisa dilakukan dimana saja tidak terbatas di mimbar, masjid, masjis ta’lim, pesanteren, loka karya, seminar, diskusi, simposium dan sebagainya; pokoknya ketika kita melihat orang yang butuh nasihat atau melihat kemungkaran bisa langsung bicara. Terkadang ada orang yang ketika membaca tulisan, dia tidak paham akan maksud tulisan tersebut dan setelah diceramahi barulah dia paham maksud dari tulisan tersebut.
2.      Dakwah bil Kitabah (Dakwah dengan Tulisan).
Dakwah dengan tulisan bisa dilakukan di media cetak maupun elektronik seperti koran, tabloit, majalah, buletin, buku, tape, TV, CD, internet, FB, twiter, WA, BBM, dan lain-lain. Dalam sebuah hadits Rosulullah menganjurkan supaya ilmu itu “diikat” dengan tulisan.
“Ikatlah ilmu dengan tulisan”. H.R. Darimi.
“Apabila engkau mendengar sesuatu (ilmu), maka catatlah sekalipun pada dinding”. H.R. Abu Khoitsamah dan ad-Duulabiy.
Syair Arab berbunyi, “Ilmu adalah buruan, sedang tulisan adalah pengikat. Maka, ikatlah buruanmu dengan tali yang kuat. Adalah sebuah kebodohan jika engkau berburu kijang, lalu kau biarkan dia lepas pergi dengan hewan lainnya”.
Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin berkata, “Seorang penuntut ilmu harus semangat dalam mengingat-ingat dan menghafalkan apa yang telah ia pelajari, baik dengan hafalan di dalam dada ataupun dengan menuliskannya. Sesungguhnya manusia adalah tempat lupa, maka jika ia tidak bersemangat untuk mengulang dan mereview pelajaran yang telah didapatkan, maka ilmu yang telah diraih bisa hilang sia-sia atau dia lupakan”. (Kitabul Ilmi hal. 60). www.kunaasyaa.wordpress.com
Mutiara hikmah mengatakan, “Pena lemah, lebih bik daripada ingatan yang kuat”. (Khozin Abu Faqih, Lc, Mempersiapkan Rumah Di Surga hal 158).
Karena dengan menulis, bila mana kita lupa bisa dilihat kembali. Walaupun kita mati, karya-karya kita tidak akan “mati” dan terus bisa di “nikmati” oleh semua kalangan serta dengan menulis bisa “menembus” wilayah dan generasi. Bukan kita yang datang berdakwah ke daerah-daerah, tapi diwakilkan oleh tulisan kita. Kita mengenal ulama-ulama dahulu yang hidup ratusan tahun yang lalu lewat karya-karya peninggalan mereka.
Khozin abu Faqih, Lc berkata, “Menulis dapat menanbah pengetahuan. Sebab, orang yang menulis membutuhkan banyak rujukan, mengolah pikiran, dan meramu gagasan. Bahkan terkadang ada ide dan pengetahuan baru yang muncul di tengah-tengah naskah yang ditulis. Menulis salah satu cara mewariskan manfaat. Karena itu, para ulama mewariskan banyak tulisan yang dapat dipetik manfaatnya sepanjang tahun. Bahkan, hampir tidak ada ulama yang tidak mewariskan karya tulis kepada generasi sesudahnya. Tentu masih banyak yang dapat diraih dari aktivitas menulis. Karena itu, ingatlah firman Allah,
نٓۚ وَٱلۡقَلَمِ وَمَا يَسۡطُرُونَ ١
‘Nun, demi kalam dan apa yang mereka tulis’. Q.S. al-Qolam {68} : 1.”. (Khozin Abu Faqih, Lc, Mempersiapkan Rumah Di Surga hal. 159).
Semakin banyak orang yang membaca dan mengamalkan tulisan kita, semakin banyak pula pahaya yang akan mengalir kepada kita sebagi seorang penulis. Terkadang ada orang yang ketika kita ceramahi paham akan maksud dan tujuan kita, tapi ada juga orang yang ketika kita cermahi tidak paham dan setelah kita kasih tulisan barulah dia paham. Ada juga orang yang diceramahi paham dan dikasih tulisan jadi lebih paham lagi. Disinilah letak kekuatan tulisan untuk mengcaunter hal tersebut. Ada ungkapan yang berbunyi, “Pena lebih tajam daripada lisan”.
Kemampuan seseorang da’i berbeda-beda. Ada yang bisa menulis tapi tidak bisa atau kurang mahir dalam berkhutbah, ada yang bisa berkhutbah tapi tidak bisa atau kurang mahir dalam menulis, ada juga yang bisa berkhutbah dan bisa menulis. Serba bisa atau multi talent, mutlak harus dimilki oleh seorang juru dakwah.
3.      Dakwah bil Hal (Dakwah dengan Perilaku).
Dakwah bil hal adalah dakwah dengan perilaku. Metode dakwah ini yang dirasa sangat ampuh untuk berdakwah.
“Barangsiapa yang memberi keteladanan dalam Islam dengan satu teladan yang baik, maka baginya pahala dan pahala orang-orang yang mengerjakan sesudahnya dengan tidak dikurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa yang memberikan keteladanan dalam Islam dengan satu keteladanan yang buruk, maka baginya dosa dan dosa orang-orang yang mengerjakan sesudahnya tanpa dikurangi dari dosa-dosa mereka sedikitpun”. H.R. Muslim.
Sebagus apa pun retorika dakwahnya, selihai apa pun tulisannya, kalu akhlak seorang da’i jelek, tentu apa yang dia omongkan dan dia tuliskan akan “menguap” tidak akan ada yang mendengar bahkan tidak ada yang melaksanakannya. Banyak contoh kasus dilapangan seorang da’i yang memerintahkan berzakat, tapi zakat orang lain dijadikan “jaket”. Jangan sampai apa yang kita bicarakan dan tuliskan jadi “bumerang” atau senjata makan tuan bagi kita sendiri. Seharusnya kita jadi pioner dengan apa yang kita bicarakan. Jangan seperti calo diterminal yang menyuruh orang lain naik kendaraan, setelah orang tersebut naik, dia malah tidak ikut nait kendaraan itu. Dengan berperilaku baik itu sudah termasuk dakwah, tanpa bicara dan menulispun. Untuk membersihkan lantai yang kotor, tentu dengan sapu yang bersih. Sebelum memegari halaman rumah orang lain, harus dipagari dulu halaman rumah sendiri.
Menurut Buya Hamka “Dikerjakan terlebih dahulu sebelum menyuruh orang lain mengerjakan. Dihentikan lebih dahulu sebelum orang lain di cegahnya”. (Hamka, Pelajaran Agama Islam hal. 225).
Ust. Amin Mukhtar berkata, “Hakikat ilmu bukan sekedar pengetahuan atau kepandaian yang dapat dipakai untuk memperoleh sesuatu, tetapi merupakan cahaya (nur) yang dapat menerangi jiwa untuk berbuat dan bertingkah laku baik”.
Suatu hari seorang ustad berceramah di masjid menjelaskan tentang Q.S. Ali Imron (3) : 92.
لَن تَنَالُواْ ٱلۡبِرَّ حَتَّىٰ تُنفِقُواْ مِمَّا تُحِبُّونَۚ وَمَا تُنفِقُواْ مِن شَيۡءٖ فَإِنَّ ٱللَّهَ بِهِۦ عَلِيمٞ ٩٢
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya”.
Ternyata, anak sang da’i ikut juga dalam acara pengajian tersebut. Selepas pengajian, sang anak langsung pulang dan mengambil ayam jago kecintaan ayahnya, lalu memberikan ayam jago itu kepada orang miskin yang berada di lingkungan sekitar. Sewaktu sang ayah akan mengasih makan ayam jagonya tersebut, betapa kaget dan tercengangnya dia. Dia tidak melihat ayam jagonya di kandang. Tanpa pikir panjang, dia pun langsung memanggil anaknya, lalu ditanyakannya lah perihal ayam jagonya tersebut. Dengan mantap anaknya mengatakan bahwa ayam jago kesayangan ayahnya, telah ia berikan kepada orang miskin dengan alasan mengamalkan Q.S. Ali Imron (3) : 92 yang tadi ayahnya jelaskan kepada mustami pengajian. Betapa terkejutnya sang dai, dengan nada kesal ia pun berkata, “Itu dalil untuk orang lain kepada kita, bukan dalil untuk kita kepada orang lain”
M. Natsir Berkata, “Mau tak mau, gerak-gerik dalam hidup pribadinya bukan saja diperhatikan, tetapi juga langsung dijadikan orang bahan perbandingan dengan apa yang dianjurkannya dan yang dilarangnya, sebagai muballigh. Apa yang dilihat dan didengar orang dari hidup pribadinya itu bisa menambah kekuatan daya panggilnya sebagai pembawa da’wah; tetapi bisa pula melumpuhkan daya panggilnya, yakni, bila lain yang tampak dari yang terdengar”. (M. Natsir, Fiqhud Da’wah hal. 242).
Dalam Q.S. as-Saff (61) : 3, Allah sangat benci kepada orang yang mengatakan tapi tidak mengamalkan.
كَبُرَ مَقۡتًا عِندَ ٱللَّهِ أَن تَقُولُواْ مَا لَا تَفۡعَلُونَ ٣
“Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan”.
“Tidaklah bergeser telapak kaki Bani Adam pada hari kiamat dari sisi Robb-nya hingga ditanya lima perkara; Umurnya untuk apa dia gunakan, Masa mudanya untuk apa dia habiskan, Hartanya dari mana ia dapatkan dan untuk apa ia belanjakan, dan Apa yang ia perbuat dengan ilmu-ilmu yang telah ia ketahui”. H.R. Tirmidzi.
Menurut Ust. Syarief Sukandi, Da’i ada 3 kategori: Da’i teko, da’i berko, dan da’i toko.
Pertama, Dai Teko adalah gambaran seorang da’i yang ketika menyampaikan Islam apa adanya sesuai dengan al-Qur’an dan Hadits. Teko tidak akan mengeluarkan air selain daripada air yang ada dalam teko. Bila isi teko air putih, maka air yang akan dikeluarkan oleh teko adalah air putih bukan air teh.
Kedua, Dai Berko adalah gambaran seorang da’i yang menerangi orang lain tetapi justru dia sendiri dalam kegelapan. Sama halnya dengan lilin atau obor yang menerangi orang lain tapi dia sendiri jistru habis terbakar. Artinya ilmu yang dia miliki tidak memberi manfaat untuk dirinya sendiri.
Ketiga, Da’i Toko adalah gambaran seorang da’i yang ketika menyampaikan dakwahnya tergantung “pesanan” yang punya hajat. Bila yang punya hajat ingin membahas masalah A yang hukumnya bid’ah, bisa jadi sunnah bila di terangkan oleh da’i toko ini. Begitu juga sebaliknya, bila yang empunya hajat ingin membahas masalah A yang hukumnya sunnah, bisa jadi bid’ah bila diterangkan oleh da’i toko ini. Da’i toko seperti ini tidak akan kehabisan “stok” pesanan yang empunya hajat. Lihat saja bagaimana sebuah toko, barang apa saja ada di sana.
يُجَاءُ بِرَجُلٍ فَيُطْرَحُ فِي النَّارِ فَيَطْحَنُ فِيهَا كَطَحْنِ الْحِمَارِ بِرَحَاهُ فَيُطِيفُ بِهِ أَهْلُ النَّارِ فَيَقُولُونَ أَيْ فُلَانُ أَلَسْتَ كُنْتَ تَأْمُرُ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَى عَنْ الْمُنْكَرِ فَيَقُولُ إِنِّي كُنْتُ آمُرُ بِالْمَعْرُوفِ وَلَا أَفْعَلُهُ وَأَنْهَى عَنْ الْمُنْكَرِ وَأَفْعَلُهُ
“Pada hari kiamat seorang lelaki didatangkan lalu dilemparkan ke dalam neraka, lalu ia keliling di sana seperti keledai mengelilingi kandangnya. Kemudian penduduk neraka berkumpul mendatanginya seraya berkata, ‘Wahai fulan, bagaimana keadaanmu? Bukankah kamu tekah memerintahkan melakukan kebaikan dan mencegah kami dari kemungkaran?’. Ia berkata, ‘Aku memang memerintahkan kamu kepada kebaikan, namun aku tidak mengamalkannya dan aku mencegah kamu dari kemungkaran, namun aku justru melakukannya”. H.R. Bukhori dan Muslim.
(Menurut Hudzaifah bin Yaman) “Orang-orang bertanya kepada Rosulullah tentang kebaikan, sedangkan aku bertanya tentang kejahatan; kerena hal itu takut menimpa diriku. Lalu aku bertanya: ‘Wahai Rosulullah! Kami dulu berada dalam jahiliyah dan kejahatan, kemudian Allah mendatangkan atau membawakan kebaikan (agama) kepada kami, maka setelah kebaikan ini, akan terjadi lagi kejahatan?’. Nabi menjawab, ‘Ya!’. Lalu aku bertanya lagi, ‘Apakah setelah kejahatan itu akan datang lagi kebaikan?’. Nabi menjawab, ‘Ya!, tetapi masih ada DUKHONNYA (asapnya)’. Lalu aku bertanya lagi, ‘Apa itu DUKHONNYA?’. Nabi menjawab, ‘Suatu kaum yang memberikan petunjuk bukan dengan petunjukku, engkau kenal mereka tetapi engkau mengingkarinya’. Lalu aku bertanya lagi, ‘Apakah setelah kebaikan itu akan ada lagi kejahatan?’. Nabi menjawab, ‘Ya! Dai-dai (penyeru-penyeru) yang mengajak ke pintu jahanam. Barangsiapa yang memenuhi panggilan mereka, niscaya akan dilemparkan ke Neraka’. Lalu aku bertanya lagi, ‘Wahai Rosulullah, terangkanlah kepada kami sifat-sifat mereka?’. Nabi menjawab, ‘Mereka itu sekulit dengan kulit kita, dan berbicara dengan bahasa kita’. Aku bertanya lagi, ‘Apa yang akan engkau perintahkan kepadaku jika aku mengalami hal itu?’. Nabi menjawab, ‘Tetaplah dalam Jamaah Muslimin dan Imam mereka’. Aku bertanya lagi, ‘Bagaiman jika tidak ada jamaah dan imam’. Nabi menjawab, ‘Jauhilah semua firqoh yang ada, walau engkau harus menggigit akar suatu pohon dan engkau mati dalam keadaan itu”. H.R. Bukhori.
“Kebinasaan bagi umatku (datang) dari ulam su’, mereka menjadikan ilmu sebagai barang dagangan yang mereka jual kepada para penguasa masa mereka untuk mendapatkan keuntungan bagi diri mereka sendiri. Allah tidak akan memberikan keuntungan dalam perniagaan mereka itu”. H.R. Hakim.
“Janganlah kalian duduk di samping seorang ulama (intelektual), kecualai ia mengajak lima hal menuju lima hal: dari ragu menjadi yakin, dari riya menjadi ikhlas, dari cinta dunia menjadi zuhud, dari sombong menjadi tawadhu, dan dari memusuhi menjadi menasehati”. H.R. Abu Nu’aim.
                 Seorang juru dakwah harus bisa menjadi uswah, qudwah, dan akhlakul karimah bagi manusia yang lainnya. Diceritakan bagaimana Rosulullah ketika hendak sholat di depan Ka’bah, diperjalanan setiap hari selalu diludahi oleh seorang nenek Yahudi. Tetapi setiap diludahi, Rosulullah tidak pernah marah. Suatu ketika, Rosulullah tidak menemui nenek tersebut, maka ditanyakanlah perihal nenek tersebut kemana perginya. Ternyata nenek itu sakit sehingga tidak bisa meludahi Rosulullah. Mendengar kabar itu, Rosulullah pun menjenguk nenek Yahudi itu. Tanpa disangka sang nenek melihat akhlak Rosulullah yang mulia, dia memutuskan untuk masuk Islam.
                 Diriwayatkan oleh Imam Bukhori: “Disuatu pasar, ada seorang pengemis Yahudi buta yang selalu mengumpat, menghina, dan menghardik Rosulullah. Marendengar hal itu, Rosulullah tidak marah tapi beliau malah menyuapi makan pengemis buta tersebut setiap hari. Sambil disuapi makan oleh Rosulullah, sang pengemis buta tersebut tidak henti-hentimya menghina, mencaci dan memaki Muhammad. Setelah Rosulullah meninggal dunia, datanglah Abu Bakar untuk meneruskan menyuapi pengemis Yahudi buta tersebut. Dengan nalurinya, pengemis Yahudi buta itu merasakan bahwa orang yang menyuapinya bukan orang yang biasa menyuapinya. Dia pun protes dan menanyakan siapkah yang menyuapinya sekarang?. Dijawablah bahwa yang menyuapinya sekarang adakah Abu Bakar lalu Abu Bakar menceritakan bahwa orang yang biasa menyuapinya telah meninggal dunia. Tak lupa Abu Bakar pun menberitahu bahwa orang yang selama ini menyuapinya adalah Muhammad Rosulullah yang selalu dia hardik dan hina. Mendengar ucapa Abu Bakar, sang pengemis tersebut pun menangis dan memeutuskan untuk memeluk Islam.”
                 Rosulullah tidak pernah marah jika dirinya disakiti namun beliau sangat marah bila hukum Allah dilanggar.
                 “Dari Aisyah rodhiyallahu ‘anha berkata, ‘Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah marah jika disakiti. Tetapi jika hukum Allah dilanggar, maka beliau akan marah karena Allah ta’ala”. H.R. Muslim.
                 Gaya dan gerak seorang da’i juga sangat penting adanya untuk lebih memberi penegasan materinya. Seorang da’i bebas memilih gaya diantaranya:
a.      Oratik: Gaya seorang orator, dengan suara tegang, ritme dan volume suara yang baik sehinnga menarik.
b.      Agitator: Disampaikan dengan tingkat agresivitas dalam rangka membakar semangat.
c.      Conversasi: Langgam dan gaya biasa-biasa. Gaya ini biasanya dipakai dalam pertemuan terbatas.
d.      Didaktis: Gaya dan langgam yang dipakai guru atau dosen di hadapan murid/mahasiswa.
e.      Theatreal: Gaya dengan penuh aksi seperti pelaku dalam film atau sandiwara.
f.       Campuran: Semua gaya di atas diramu sehingga menghasilkan kombinasi yang baik dan menarik. (Shiddiq Amien, Islam dari Akidah hingga Peradaban hal. 380).
                 Seorang pembicara di muka umum harus mempunyai kemampuan-kemampuan diantaranya:
a.      Menyajikan dengan bahasa yang sederhana, tetapi benar sehingga mudah dimengerti khalayak;
b.      Menyajikan bahan secara sistematis;
c.      Menguasai bahan yang disajikan dengan baik;
d.      Memberikan conth-contoh sederhana tetapi penting yang berasal dari kehidupan sehari-hari;
e.      Menyesuaikan diri dengan khalayak secara serta merta dan cepat;
f.       Tidak menimbulkan ketegangan, walaupun harus menyajikan hal-hal yang kadang-kadang bersifat kontroversial;
g.      Membentuk opini yang positif;
h.      Berdiskusi dengan lancar;
i.        Membimbing khalayak ke arah kemampuan untuk mencerahkan masalah-masalah yang dihadapinya secara mandiri;
j.        Mengakui keterbatasan kemampuannya. (Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar hal. 373).
                 Untuk menghindari dhol-mudhil atau sesat-menyesatkan, seorang pendakwah jangan gengsi bila ada pertanyaan yang tidak dia tahu jawabannya atau permasalahan yang kurang dikuasainya. Lebih baik di PR-kan atu ditanyakan kepada orang yang lebih tahu akan hal itu daripada memaksakan menjawabnya karena tidak ingin dilihat sebagai orang bodoh. Sebagaimana yang dijelaskan pada poin J. Jangan gengsi jiga menerima kebenaran walaupun dari orang yang usia atau kedudukannya lebih bawah daripada kita.
                 Ali bin Abi Tholib berkata, “Lihatlah perkataannya, jangan lihat siapa yang mengatakannya”. Walaupun keluar dari dubur ayam, tetapi yang dikeluarkannya itu berupa telur yang banyak nutrisi dan manfaatnya bagi manusia, maka ambil dan makanlah telur itu. Tetapi bila yang keluar dari lubang telinga wanita cantik sekalipun kalaulah itu kotoran yang menjijikan, jangan kita ambil apalagi kita makan.
Ada yang bertanya kepada Ust. Lili Somanteri, “Bagus mana: orang yang baik akhlaknya tapi tidak beribadah, dan orang yang rajin beribadah tapi buruk akhlaknya”. Maka beliau menjawab, “Mending mana: ‘Dodol rasa podol atau podol rasa dodol?’. Tentu jawabannya, ‘Dua-duanya jijik”. Idealnya memang akhlaknya baik dan ibadahnya bagus. Bila hendak membandingkan, tentu yang bagus dengan yang bagus, bukan yang jelek dengan yang jelek.
Dua hal tersebut merupakan dua hal yang berbeda sehingga tidak dapat di samakan atau dibandingkan. Untuk membandingkan sesuatu, harus dengan yang sama. Yang satu mengenai hablu minallah (hubungan antara manusia dengan Allah) dan yang satu lagi mengenai hablu minannas (hubungan antara manusia dengan manusia yang lainnya).
Lebih besar mana dosanya orang yang sudah mengetahui ilmu mengenai kebaikan lalu dia tidak melaksanakan kebaikan itu atau orang yang sudah tahu ilmu tentang keburukan lalu dia melaksanakan keburukan itu; dengan orang yang tidak mengetahui ilmu tentang kebaikan lalu dia melakukan kebaikan itu atau orang yang tidak mengetahui ilmu mengenai keburukan lalu ia melakukan keburukan itu?.
Untuk kasus yang pertama, orang tersebut berdosa karena sudah tahu yang baik tetapi dia tidak melaksanakan kebaikan itu dan sudah tahu yang buruk tapi tetap melaksanakan keburukan itu, maka orang seperti ini di “jerat” dengan dalil yang tadi di paparkan di atas, tapi orang ini terlepas dari dosa perihal kewajiban menuntut ilmu.
Sedangkan untuk kasus yang kedua, orang tersebut tidak mendapat pahala ketika melaksanakan kebaikan karena motifasi orang tersebut ketika beramal sholeh bukan lillahi ta’ala sedangkan salah satu syarat diterimanya amal seorang hamba salah satunya yaitu benar niatnya sebagaimana dijelaskan oleh H.R. Bukhori “Sesungguhnya segala amal-amalan itu tergantung kepada niat......”. Begitu pula ketika dia melakukan kejelekan, tidak berdosa kerena ketidak tahuannya. Hanya saja orang itu berdosa dikarenakan tidak menuntut ilmu yang menyebabkan dia tidak tahu. Sedangkan menuntut ilmu hukumnya fardhu ain.
Seorang da’i di tuntut untuk jujur dalam mengemukakan dalil.
وَلَا تَلۡبِسُواْ ٱلۡحَقَّ بِٱلۡبَٰطِلِ وَتَكۡتُمُواْ ٱلۡحَقَّ وَأَنتُمۡ تَعۡلَمُونَ ٤٢
“Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui”. Q.S. al-Baqoroh (2) 42.
D. Konsekuensi Dalam Berdakwah.
Menurut A. Hassan, “Dakwah itu seperti orang yang memberitahu kebakaran kepada orang yang tidur di rumah yang terbakar”.
Ketika kita memberitahu kepada orang yang sedang tidur, tentu reaksi meraka akan berbeda beda. Ada yang ketika dibangunkan dan diberitahu bahwa rumah yang dia tiduri kebakaran, dia bangun dan berterima kasih. Ada juga yang acuh dan tidur lagi. Ada juga yang marah dan meneruskan tidurnya. M. Natsir yang merupakan murid dari A. Hassan menambahkan, “Yang susah dibangunkan itu, orang yang berpura-pura tidur”. (M. Natsir, fiqhud Da’wah hal. 203).
Dia tahu bahwa yang benar itu adalah ini misalkan, tetapi karena dia merasa paling pintar, paling tinggi pangkatnya, gengsi merubah hujjah, takut ditinggalkan jamaah, kehilangan pengaruh serta penghasilan, maka dia tetap pada pendiriannya walaupun dia tahu bahwa pendiriannya itu salah. kurang pangaruh,leungit  pangarah, oweuh  pangarih.
Heraclius, raja Romawi di Suriah, yang hidup sezaman Nabi Muhammad, seketika sampai kepadanya surat dari Rosulullah menganjurkan dia memeluk Islam, akhirnya mengambil keputusan bahwa dia akan tetap memegang teguh agamanya. Meskipun dia telah menyelidiki siapa nabi itu, kepada musuh nabi sendiri di waktu itu, yaitu Abu Sufyan. Dalam hati kecilnya telah diakuinya keDalam hati kecilnya telah diakuinya kebenaran nabi itu, tetapi kedudukan, kebesarannya ke kerajaanya, yang bertali erat dengan agama yang dipeluknya, tidak memungkinkannya buat meninggalkan agama Nashrani. (Hamka, Pelajaran Agama Islam hal. 274).
Dengarkalah sekuntum sajak dari Abu Tholib, yang melukiskan peperangan jiwa yang berkecambuk dalam hatinya, semasa dia masih hidup: “Memang, aku tahu, sesungguhnya agama Muhammad itu sebaik-baik agama bagi umat manusia. Kalaulah tidak lantaran hendak menghindarkan cela dan makian (orang  banyak), niscaya kau akan dapati aku memeluk agama itu dengan sepenuh hati”. (Tafsir Khozin juz I sebagaimana di kutip oleh M. Natsir dalam Fiqhud Da’wah hal. 128).
Dr. Jeje Zaenudin, M.Ag berkata, “Ada banyak benteng yang menghalangi masuknya ilmu hidayah kepada jiwa manusia. Dua diantaranya yang paling besar adalah takabur dan al-hayaa. Takabur artinya sifat sombong, congkak atau besar kepala. Sedang al-hayaa disini adalah sifat malu dan gengsi menerima kebenaran”. (Dr. Jeje Zaenudin, M.Ag, Menolak Perangkap Aliran Sesat hal. 34).
Pada zaman Rosul pun sikap orang-orang terhadap dakwah yang dibawa oleh Rosul tidak lepas dari menolak, menerima, dan acuh.
Jangan aneh ketika kita berdakwah, kita akan menjumpai orang-orang yang digambarkan oleh A. Hassan tersebut. Ketika kita dakwahi, ada orang yang berterima kasih karena telah tertolong. Dia pun berkata, “Bila tidak didakwahi oleh saudara, mungkin saya tidak tahu dan nanti masuk ke neraka”. Ada juga orang yang ketika kita dakwahi malah mencaci maki, memari kita dan berujar, “Gimana saya saja mau begini, mau begitu juga. Toh kalau saya masuk neraka, saya sendiri yang menaggung panasnya, saya sendiri yang menanggung sakitnya”. Ada juga orang yang ketika kita dakwahi acuh tak acuh. Menerima dakwah kita tidak, menolak juga tidak.
Ada orang yang berkata, “Nafsi-nafsi saja lah, a’maluna a’malukum, masing-masing, jangan saling ganggu.” Sepintas ucapan tersebut benar, padahal kalau kita cermati terlihat jelas bahwa orang tersebut pandir dalam agama. Dalil-dalil di atas dengan gamblang memaparkan kewajiban kita berdakwah, beramar ma’ruf dan nahi mungkar. Ucapan itu berlaku bukan di dunia tapi nanti di akhirat. Sebagaimana dijelaskan oleh dalil dibawah ini.
وَٱتَّقُواْ يَوۡمٗا لَّا تَجۡزِي نَفۡسٌ عَن نَّفۡسٖ شَيۡ‍ٔٗا وَلَا يُقۡبَلُ مِنۡهَا عَدۡلٞ وَلَا تَنفَعُهَا شَفَٰعَةٞ وَلَا هُمۡ يُنصَرُونَ ١٢٣
“Dan takutlah kamu kepada suatu hari di waktu seseorang tidak dapat menggantikan seseorang lain sedikitpun dan tidak akan diterima suatu tebusan daripadanya dan tidak akan memberi manfaat sesuatu syafa´at kepadanya dan tidak (pula) mereka akan ditolong”. Q.S. al-Baqoroh (2) : 123.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱتَّقُواْ رَبَّكُمۡ وَٱخۡشَوۡاْ يَوۡمٗا لَّا يَجۡزِي وَالِدٌ عَن وَلَدِهِۦ وَلَا مَوۡلُودٌ هُوَ جَازٍ عَن وَالِدِهِۦ شَيۡ‍ًٔاۚ إِنَّ وَعۡدَ ٱللَّهِ حَقّٞۖ فَلَا تَغُرَّنَّكُمُ ٱلۡحَيَوٰةُ ٱلدُّنۡيَا وَلَا يَغُرَّنَّكُم بِٱللَّهِ ٱلۡغَرُورُ ٣٣
“Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu dan takutilah suatu hari yang (pada hari itu) seorang bapak tidak dapat menolong anaknya dan seorang anak tidak dapat (pula) menolong bapaknya sedikitpun. Sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia memperdayakan kamu, dan jangan (pula) penipu (syaitan) memperdayakan kamu dalam (mentaati) Allah”. Q.S. Luqman (31) : 33.
وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٞ وِزۡرَ أُخۡرَىٰۚ وَإِن تَدۡعُ مُثۡقَلَةٌ إِلَىٰ حِمۡلِهَا لَا يُحۡمَلۡ مِنۡهُ شَيۡءٞ وَلَوۡ كَانَ ذَا قُرۡبَىٰٓۗ ..........
“Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan jika seseorang yang berat dosanya memanggil (orang lain) untuk memikul dosanya itu tiadalah akan dipikulkan untuknya sedikitpun meskipun (yang dipanggilnya itu) kaum kerabatnya......”. Q.S. Fatir (35) : 18.
Disinilah letak kesabaran dan mental baja seorang da’i diuji. Begitupun bila kita bisa mengajak orang ke jalan yang benar merupakan kenikmatan batin tersendiri yang tidak bisa ditukar dengan materi. Jangan pernah lari dari medan dakwah, kisah Nabi Yunus ‘alihi sallam bisa kita jadikan ibroh.
Bila rintangan yang dihadapi begitu berat, maka hal yang dilakukan jadilah al-ghuroba atau orang yang mengasingkan diri daripada mengikuti arus masyarakat yang telah rusak atau menjadi ashabul kahfi, atau berhijjah ke daerah yang lebih kondusif seperti yang dilakukan oleh Rosulullah dan para sahabatnya. K.H. A. Latief Mukhtar berkata, “Boleh hangut asal jangan larut”. M. Natsir Berkata, “Jadilah garam yang tidak terlihat tapi perannya sangat dirasakan”. K.H. E. Abdurrahman berkata, “ Sangat penting meniadakan diri untuk mewujudkan sesuatu”. (Tiar Anwar Bachtiar dan pepen Irpan Fauzan, Persis dan Politik hal. 169).
E. Sterategi Dalam berdakwah.
Dalam berdakwah ada rambu-rambu yang harus diperhatikan. Al-Qur’an sudah memberikan hal tersebut.
ٱدۡعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِٱلۡحِكۡمَةِ وَٱلۡمَوۡعِظَةِ ٱلۡحَسَنَةِۖ وَجَٰدِلۡهُم بِٱلَّتِي هِيَ أَحۡسَنُۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعۡلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِۦ وَهُوَ أَعۡلَمُ بِٱلۡمُهۡتَدِينَ ١٢٥
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”. Q.S. an-Nahl (16) : 125.
Syaikh M. Abduh menyimpulkan dari ayat al-Qur’an di atas, bahwa dalam garis besarnya, ummat yang dihadapi seseorang pembawa dakwah dapat dibagi atas tiga golongan yang masing-masing harus dihadapi dengan cara yang berbeda-beda pula:
1.      Ada golongan cerdik cendikia yang cinta kebenaran, dan dapat berfikir dengan kritis, cepat dan dapat menangkap arti persoalan. Mereka ini harus dipanggil dengan “Hikmah”, yakni dengan alasan-alasan, dengan dalil dan hujjah yang dapat diterima oleh kekuatan akal mereka. (Biasanya orang yang seperti ini akan terus bertanya bila jawaban yang dia dapat tidak memuaskan).
2.      Ada golongan awam, orang kebanyakan yang belum dapat berfikir secara kritis dan mendalam, belum dapat menangkap pengertian yang tinggi-tinggi. Mereka ini dipanggil dengan “Mauidzotun Hasanah”, dengan anjuran dan didikan, yang baik-baik, dengan ajaran yang mudah difaham.
3.      Ada golongan yang tingkat kecerdasannya diantara kedua golongan tersebut, belum dapat dicapai dengan “Hikmah”, akan tetapi tidak akan sesuai pula, bila dilayani seperti golongan awam; mereka suka membahas sesuatu, tetapi tidak hanya dalam bats yang tertentu, tidak sanggup mendalam benar. Mereka ini dipanggil dengan “Mujadalah billati hiya ahsan”, yakni dengan bertukar pikiran, guna mendorong supaya berfikir secara sehat, dan satu dan lainnya dengan cara yang lebih baik. (Tafsir al-Manar juz III sebagaimana yang dikutip oleh M. Natsir dalam Fiqhuq Da’wah hal. 162).
Perhatikan bagaimana dialog atau perdebatan yang dilakukan oleh Nabi Ibrohim ‘alaihi salam dengan bapaknya dengan menggunakan kata-kata yang lembut  dan isyarat yang baik.
“Ceritakanlah (Hai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam Al Kitab (Al Quran) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan lagi seorang Nabi. Ingatlah ketika ia berkata kepada bapaknya; “Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikitpun. Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebahagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. Wahai bapakku, janganlah kamu menyembah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pemurah. Wahai bapakku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa azab dari Tuhan Yang Maha Pemurah, maka kamu menjadi kawan bagi syaitan”. Berkata bapaknya: “Bencikah kamu kepada tuhan-tuhanku, hai Ibrahim? Jika kamu tidak berhenti, maka niscaya kamu akan kurajam, dan tinggalkanlah aku buat waktu yang lama”. Berkata Ibrahim: “Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan memintakan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadak. Dan aku akan menjauhkan diri darimu dan dari apa yang kamu seru selain Allah, dan aku akan berdoa kepada Tuhanku, mudah-mudahan aku tidak akan kecewa dengan berdoa kepada Tuhanku”. Q.S. Maryam (19) : 41-48. (Selengkapnya, lihat Ibnu Katsir dalam Kisah Para Nabi hal. 159-162).
Renungkan jua bagaimana dialog atau perdebatan yang dilakukan Nabi Ibrohim dengan bapak dan kaumnya dengan menggunakan bahasa yang argumentatif dan logis.
“Dan sesungguhnya telah Kami anugerahkan kepada Ibrahim hidayah kebenaran sebelum (Musa dan Harun), dan adalah Kami mengetahui (keadaan)nya. (Ingatlah), ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: “Patung-patung apakah ini yang kamu tekun beribadat kepadanya?. Mereka menjawab: “Kami mendapati bapak-bapak kami menyembahnya”. Ibrahim berkata: “Sesungguhnya kamu dan bapak-bapakmu berada dalam kesesatan yang nyata”. Mereka menjawab: “Apakah kamu datang kepada kami dengan sungguh-sungguh ataukah kamu termasuk orang-orang yang bermain-main?. Ibrahim berkata: “Sebenarnya Tuhan kamu ialah Tuhan langit dan bumi yang telah menciptakannya: dan aku termasuk orang-orang yang dapat memberikan bukti atas yang demikian itu”. Demi Allah, sesungguhnya aku akan melakukan tipu daya terhadap berhala-berhalamu sesudah kamu pergi meninggalkannya. Maka Ibrahim membuat berhala-berhala itu hancur berpotong-potong, kecuali yang terbesar (induk) dari patung-patung yang lain; agar mereka kembali (untuk bertanya) kepadanya. Mereka berkata: “Siapakah yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami, sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang zalim”. Mereka berkata: “Kami dengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala ini yang bernama Ibrahim”. Mereka berkata: “(Kalau demikian) bawalah dia dengan cara yang dapat dilihat orang banyak, agar mereka menyaksikan”. Mereka bertanya: “Apakah kamu, yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami, hai Ibrahim?. Ibrahim menjawab: “Sebenarnya patung yang besar itulah yang melakukannya, maka tanyakanlah kepada berhala itu, jika mereka dapat berbicara”. Maka mereka telah kembali kepada kesadaran dan lalu berkata: “Sesungguhnya kamu sekalian adalah orang-orang yang menganiaya (diri sendiri)”. Kemudian kepala mereka jadi tertunduk (lalu berkata): “Sesungguhnya kamu (hai Ibrahim) telah mengetahui bahwa berhala-berhala itu tidak dapat berbicara”. Ibrahim berkata: “Maka mengapakah kamu menyembah selain Allah sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat sedikitpun dan tidak (pula) memberi mudharat kepada kamu?. Ah (celakalah) kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah. Maka apakah kamu tidak memahami. Mereka berkata: “Bakarlah dia dan bantulah tuhan-tuhan kamu, jika kamu benar-benar hendak bertindak”. Kami berfirman: “Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim”. Mereka hendak berbuat makar terhadap Ibrahim, maka Kami menjadikan mereka itu orang-orang yang paling merugi”. Q.S. al-Anbiya (21) : 51-70. (Selengkapnya, lihat Ibnu Katsir dalam Kisah Para Nabi hal. 164-173).
Simak pula bagaimana dialog atau perdebatan teramat berani yang dilakukan Nabi Ibrohim dengan Namrud bin Kan’an bin Kausy bin Saam bin Nuh seorang raja dari Babilonia yang terjadi pada hari dimana Nabi Ibrohim selamat keluar dari api.
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya (Allah) karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan). Ketika Ibrahim mengatakan: "Tuhanku ialah Yang menghidupkan dan mematikan," orang itu berkata: "Saya dapat menghidupkan dan mematikan".Ibrahim berkata: "Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah dia dari barat," lalu terdiamlah orang kafir itu; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim”. Q.S. al-Baqoroh (2) 258. (Selengkapnya, lihat Ibnu Katsir dalam Kisah Para Nabi hal. 174-176).
Selain yang disebutkan oleh Syaikh M. Rosyid Ridho di atas, di masyarakat; kita akan menemukan orang yang sepaham dengan kita dan ada juga yang tidak sepaham dengan kita. Untuk menghadapi orang yang sepaham dengan kita, kita hanya mengingatkan saja bukan mengajari, sedangkan untuk orang yang tidak sepaham dengan kita, kita harus mengeluar argumen yang dapat mematahkan pendapat orang tersebut. Karena bila kita tidak bisa mematahkan argumen orang tersebut, dakwah pun akan buntu yang berakibat “debat kusir” atau dalam istilah sundanya “Dalilut (eleh dalil geulut)”.
M. Natsir berpesan, “Yakni, hentikanlah pertukaran fikiran dan anjuran-anjuran, bila sudah ternyata, meneruskannya hanya akan menghabiskan tenaga dan waktu dengan sia-sia. Tapi, kata perpisahan harus “Qulan Balieghon”, kata yang sampai-sampai; yang sampai kelubuk hati mereka. Jangan kata yang meninggalkan rasa pahit atau jengkel, sehingga hubungan putus, berkerat rotan”. (M. Natsir, Fiqhud Da’wah hal. 204).
Aktifitas dakwah itu seperti ketika kita hendak memasang lukisan. Yang harus diperhatika yaitu: paku, palu, sasaran yang akan dipasang paku, cara memukul palu ke paku.
Perhatikan pakunya, apakah itu paku jalosi atau paku beton ukuran 15. Perhatikan juga palunya. Jangan sampai memukul paku jalosi menggunakan palu martil untuk batu. Yang tak kalah penting perhatikan juga objek yang hendak dipaku tersebut apakah coran beton, bambu, kayu, tembok, atau apa. Dan terakhir apabila ketiga hal tadi sudah diperhatikan, perhatikan juga cara memukulnya.
Paku disini dianalogikan sebagai objek yang hendak di dakwahi. Palu adalah dalil yang dipakai untuk berdakwah. Tembok adalah daerah dakwah. Cara memukul adalah metodelogi dakwah.
Bila berhadapan dengan “paku” orang-orang yang disebutkan tadi di atas, maka “palu” atau dalil dan “cara memukul”  atau metode yang digunakan sebagai mana yang tadi disebutkan. Beda orang, beda dalilnya. Beda orang, beda juga cara mendakwahinya, tidak bisa disamakan. Begitu juga dngan “tembok” atau tempat dimana kita akan berdakwah. Dakwah di kota jangan disamakan dengan dakwah di desa. Dalam peribahasa sunda disebutkan, “Caina herang, laukna beunang”.
Dengan demikian materi dakwah pada hakikatnya menyangkut urutan, klasifiksi, dan waktu penyampaian materi dakwah dengan memperhatikan kondisi umat yang dihadapi. Istilah itu diringkas menjadi MECAMU (medan, cuaca, dan musuh). Untuk menentukan bagian mana yang akan diprioritaskan tergantung sepenuhnya kepada tingkat pemahaman dan pengalaman umat terhadap ajaran Islam. Sementara tema dakwah adalah pokok bahasan atau materi dakwah yang akan disampaikan dengan memerhatikan kondisi yang dihadapi. (Shiddiq Amien, Islam dari Akidah hingga Peradaban hal. 379).
Ada cerita menarik yang dituturkan oleh Ust. Komarudin Chalil (asatidz pesantren Daarut Tauhid Bandung),
Seorang mahasiswa diberi penyuluhan di sebuah desa di Garut. Peserta penyuluhan adalah penduduk desa yang pendidikannya masih rendah; sebagian diantaranya tidak tamat sekolah dasar dan belum mampu berbahasa Indonesia. Hampir 30% yang hadir adalah orang tua. Mahasiswa tersebut memberikan penyuluhan pentingnya hidup bersih.
‘Bapak-bapak dan ibu-ibu dalam era globalisasi, era informasi, dan era pasar bebas ini, kualitas lingkungan menjadi persyaratan untuk menentukan apakah kita termasuk masyarakat modern atau tradisional. Konsekuensi dari era globalisasi menuntuk masyarakat Indonesia harus mengakses informasi yang datangnya dari luar negeri............’
Demikian sebagian dari isi pembicaraannya. Sepulang dari penyuluhan itu, ada seorang nenek yang ditanya tentang isi penyuluhan tersebut. Nenek itu kemudian menjawab dengan bahasa sunda, ‘Duka atuh, da si ujang teh loba ka era’ (Tidak tahu, tetapi pembicara banyak malu). (Komarudin Chalil, 15 kiat Sukses menjadi pembicara Yang Mengguggah Dan Mengubah Tinjauan terhadap Retorika Aa Gym hal. 68-69).
Jadi berbicaralah menurut kadar orang yang akan kita ajak bicara. Karena esensi daripada dakwah yaitu terserapnya apa yang hendak kita inginkan bukan menuruti ego. Disebabkan ingin kelihatan pintar, lalu kita pakai bahasa atau istilah yang membingungkan bahkan tidak dimengerti oleh objek dakwah yang berakibat apa yang hendak diinginkan yaitu beramar ma’ruf dan nahi mungkar tidak terserap. Penguasaan bahasa mutlak diperlukan adanya oleh seorang pendakwah.
“Berbicaralah kepada manusia menurut kadar akal (kecerdasan) mereka masing-masing”. H.R.  Muslim.
إِذَا سَلَّمَ سَلَّمَ ثَلَاثًا وَإِذَا تَكَلَّمَ بِكَلِمَةٍ أَعَادَهَا ثَلَاثًا
“Apabila memberi salam, Nabi mengucapkannya tiga kali dan bila berbicara dengan satu kalimat diulangnya tiga kali”. H.R. Bukhori.
              “Kadang, Rosulullah khutbah dengan mata memerah, suara meninggi, kemarahan memuncak, seakan-akan beliau tengah menjadi seorang komandan perang”. H.R. Muslim.
Ali bin Abi Tholib berkata, “Katakanlah kepada manusia dengan apa yang mereka kenali. Apakah kalian suka Allah dan Rosul-Nya di dustakan (karena kecerobohan perkataan kalian)”.
M. Natsir menganalogikan dakwah dengan bercocok tanam. Beliau berkata, “Seorang petani turun ke sawah, dengan pengharapan bahwa tanamannya akan menjadi, dan garapannya akan berhasil sebagaimana yang diidam-idamkannya. Untuk ini ia harus mengetahui cara bercocok tanam; tahu apa jenis dan sifat benih yang akan ditebarkan, bagaimana keadaan tanah, tempat persemaian; keadaan iklim dan pertukaran musim, apa panterangan-panterangan yang harus dihindarkan, apa macam hama yang suka mengganggu tanaman dan bagaimana memberantasnya”. (M. Natsir, Fiqhud Da’wah hal. 148).
Dakwah harus tahu situasi dan kondisi. Tatkala Rosulullah hendak melepas Mu’adz bin Jabal yang akan berangkat ke Yaman untuk menjadi gubernur, terlebih dulu beliau peringatkan, bahwa yang akan dihadapinya di sana, terutama adalah ahli kitab, umat Nasrani. Kemudian beliau berpesan, “Serulah mereka supaya mereka bersaksi, bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah, dan bahwa aku adalah utusan adalah Rosulullah. Bila mereka sudah mentaati itu, beritahulah mereka bahwa sesungguhnya Allah telah mewajibkan atas mereka: sholat lima kali sehari semalam. Dan bila itu telah mereka taati, beritahulah mereka bahwa sesungguhnya Allah telah mewajibkn atas mereka: Shodaqoh (mengeluarkan zakat) dari harta mereka, (yakni) diambil dari yang kaya di antara mereka dan diserahkan kepada yang miskin di antara mereka”. H.R. Bukhori. (M. Natsir, Fiqhud Da’wah hal. 153).
Syaikh dari al-Azhar berkata, “Seandainya Islam ini sebuah produk, maka Islam adalah sebuah produk yang sangat istimewa, hanya saja dipasarkan, diprensentasikan, dikomunikasikan serta dibawakan oleh orang-orang yang buruk sehingga Islam ‘tidak laku, tidak menarik, dan tidak diminati’. Sementara kemaksiatan, kakafiran, dan kemusyrikan; kalau sebuah produk, maka produknya sangat buruk, tetapi dikemas, dipasarkan, dan dikomunikasikan serta diprensentasikan oleh orang-orang hebat, sehingga ‘laku keras”. (Komarudin Chalil, 15 kiat Sukses menjadi pembicara Yang Mengguggah Dan Mengubah Tinjauan terhadap Retorika Aa Gym hal. X).
Syaikh Muhammad Abduh berkata, “Islam itu rusak bukan oleh orang lain, tetapi oleh umat Islam sendiri yang tidak mau mendalami dan mengamalkan ajaran agamanya”.
Seorang ahli komunikasi mengatakan, “Kemampuan menyampaikan ide hampir hampir sama pentingnya dengan ide itu sendiri”. Artinya, sebuah ide yang bagus, menarik, dan penting, akan kurang bermakna jika disampaikan oleh seseorang yang memiliki kemampuan berkomunikasi terbatas. Akan tetapi, sebuah ide yang sederhana, bahkan kurang penting, akan berkesan luar biasa jika disampaikan dengan teknik komunikasi yang baik. Demikian dengan kebenaran nilai-nilai Islam, ia akan mudah dan indah di dengar jika dikomunikasikan dengan teknik yang baik dan menarik. Sayangnya, kesadaran akan pentingnya mengasah kemampuan berkomunikasi masih belum dimiliki oleh sebagian pembawa amanah dakwah. (Komarudin Chalil, 15 kiat Sukses menjadi pembicara Yang Mengguggah Dan Mengubah Tinjauan terhadap Retorika Aa Gym hal. 1).
Kesuksesan Rosulullah hijrah dari Mekah ke Madinah tidak lepas dari kiprah seorang sahabat yang menjadi duta perdana Islam ke Madinah, yaitu sahabat Mush’ab bin Umair. Dia lah yang berperan mengomunikasikan ide serta gagasan Islam kepada masyarat Madinah. (Komarudin Chalil, 15 kiat Sukses menjadi pembicara Yang Mengguggah Dan Mengubah Tinjauan terhadap Retorika Aa Gym hal. 6).
Hitler berkata, “Saya menguasai Jerman, bukan dengan senjata, tapi dengan kata-kata”.
Sebuah pepatah berbunyi, “Speak Changes the World (Kemampuan berbicara mampu mengubah dan mengguncang dunia)”. (Komarudin Chalil, 15 kiat Sukses menjadi pembicara Yang Mengguggah Dan Mengubah Tinjauan terhadap Retorika Aa Gym hal. xii).
Bung Tomo membakar semangat arek-arek Suroboyo hanya dengan pekikan takbir dan orasi ilmiahnya. Sampai-sampai beliau berkata, “Entah apa jadinya bila tidak ada kalimat Takbir, dengan apa saya akan menggelorakan semangat rakyat Surabaya”.
Selain Bung Tomo. Bung Karno, Bung Hatta, M. Natsir, K.H. Agus Salim, dan tokoh-tokoh nasional yang lainnya, mereka adalah orang-orang yang memiliki kemampuan komunikasi yang luar biasa.
Hal biasa yang menjadi penyebab tidak lancarnya komunikasi ialah gugup atau “demam panggung”. Ust. Ucu Najmuddin memberikan beberap tips untuk mensiasati akan hal itu:
1.   Hindari banyak penggunaan kata “eu...eu...eu”.
2.   Tatap wajah mustami minimal seorangnya 5 detik.
3.   Gunakan alat peraga. Baik alat peraga yang sudah dipersiapkan sebelumnya atau peraga yang ada dihadapan kita. Misalnya gelas, botol air mineral, bolpoin, dan lain-lain.
4.   Hindari memainkan benda untuk menghilangkan gugup, seperti memainkan microfon, sapu tangan, celana, kopiah, dan yang lainnya.
Bisa juga dengan berdoa dengan doa yang pernah di ucapkan oleh Nabi Musa ‘alaihi sallam.
قَالَ رَبِّ ٱشۡرَحۡ لِي صَدۡرِي ٢٥  وَيَسِّرۡ لِيٓ أَمۡرِي ٢٦ وَٱحۡلُلۡ عُقۡدَةٗ مِّن لِّسَانِي ٢٧  يَفۡقَهُواْ قَوۡلِي ٢٨
“Berkata Musa: "Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku”. Q.S. Thoohaa (20) : 25-28.
Metode berdakwah harus dengan mengajak bukan mengejek, merangkul bukan memukul, merayu bukan menipu, menyayang bukan menendang, dan membujuk bukan menusuk.
Ust. Lili Somanteri memberikan contoh mengenai hal ini, ketika seorang memerintahkan sholat jangan berkata “Yang tidak sholat adalah kerbau”, tapi ganti kata-katanya, dengan tidak merubah substansi “Kerbau itu tidak sholat”. Masih menurut Ust. Lili Somanteri bahwa, “Hendaklah berdakwah dengan sejelas mungkin sampai orang yang didakwahi mengerti. Terlepas dia menjalankan atau tidak apa yang kita sampaikan”.
Menyadur perkataan Dr. Aam Amiruddin, Menghargai eksistensi orang yang berbeda paham dengan kita dengan tidak mengajak atau memaksakan paham orang lain kepada paham kita adalah sikap toleransi antar sesama pemeluk agama yang sesungguhnya”. (Dr. Aam Amiruddin, M.Si, Tafsir al-Qur’an Kontemporer I:85).
Sikap toleransi akan timbul bila mana kedua belah pihak yang berbeda pemahaman mengetahui argumentasi masing-masing. Gesekan yang terjadi di masyarakat, sekitar perbedaan paham biasanya dilakukan oleh kalangan “akar rumput” karena kedua belah pihak tidak mengetahui argumentasi orang yang berbeda paham dengannya. Dia hanya tahu argumentasinya sendiri.
Untuk dapat membuat orang lain mengerti akan dakwah kita, metode dakwah bisa di bubuhi dengan analogi atau qias, pelesetan, canda, pencatutan syair atau lagu, cerita yang dapat diambil ibrohnya, dengan bahasa yang interaktif, penggunaan makalah, artikel, menggunakan audio fisual, dan lain sebagainya. Diakhir pembicaraan, ulas kembali sedikit perihal power poin materi atau bisa juga disimpulkan, bisa juga di selipkan seuntai doa supaya penceramah dan pendengar mendapat petunjuk dah hidayah dari Allah subhanahu wa ta’ala.
Menurut K.H. Abdullah Gymnastiar atau yang biasa akrab di sapa Aa Gym berkata, bahwa misi dakwah adalah “Menggugah dan mengubah”. Bila orang yang kita dakwahi, jangankan dia bisa berubah dari perilaku yang jelek ke perilaku yang baik, tergugah pun tidak. Ini indikator bahwa dakwah kita belum berhasil. Begitu juga bila disuatu daerah akidah dan akhlak masyarakatnya masih amburadul, maka jangan terlalu menyalahkan perilaku masyarakat di situ. Berarti metode dakwah kita yang “salah”, tidak bisa menggugah dan mengubah. Suatu hal yang wajib dan mendesak untuk diadakannya perbaikkan metodelogi dan retorika dakwah seorang da’i.
Karena sebagiamana di hadits di atas, kalau orang lain sampai tergugah dan merubah maka pahala orang tersebut akan mengalir kepada kita “Multi Level Pahala (MLP)”. Berdakwah itu tidak hanya “cuap-cuap”, menyampaikan materi, dikasih “amplop” dan pulang. Tidak seperti itu. Kalau dakwah hanya sebatas itu, apa visi dan misi kita? Apa pahala yang hendak kita raih?. Jadilah seorang pendakwah yang mempunyai jiwa Visioner.
K.H. Abdullah Gymnastiar berkata, “Jika seseorang memiliki tujuan, maka selambat apa pun berjalan, ia akan sampai di tempat tujuan. Sebaliknya, jika tujuannya tidak jelas, maka secepat apa pun berlari, ia tidak akan pernah sampai pada tujuan. Oleh karena itu, agar pembicaraan efektif, kita harus menentukan fokus tujuan pada awal pembicaraan”. (Komarudin Chalil, 15 kiat Sukses menjadi pembicara Yang Mengguggah Dan Mengubah Tinjauan terhadap Retorika Aa Gym hal. 14).
Dalam kesempatan lain beliau berkata, “Suryakanta memiliki kekuatan untuk membakar, karena mampu memfokuskan sinar mtahari ke satu titik”. (Komarudin Chalil, 15 kiat Sukses menjadi pembicara Yang Mengguggah Dan Mengubah Tinjauan terhadap Retorika Aa Gym hal. 36).
 فَإِذَا فَرَغۡتَ فَٱنصَبۡ ٧
“Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain”. Q.S. al-Insyirooh (94) : 7.
Memang, tugas kita hanya menyampaikan sebagaimana yang tercantum dalam,
.........وَّإِن تَوَلَّوۡاْ فَإِنَّمَا عَلَيۡكَ ٱلۡبَلَٰغُۗ وَٱللَّهُ بَصِيرُۢ بِٱلۡعِبَادِ ٢٠
“......dan jika mereka berpaling, maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan (ayat-ayat Allah). Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya”. Q.S. Ali Imron (3) : 20.
وَإِن مَّا نُرِيَنَّكَ بَعۡضَ ٱلَّذِي نَعِدُهُمۡ أَوۡ نَتَوَفَّيَنَّكَ فَإِنَّمَا عَلَيۡكَ ٱلۡبَلَٰغُ وَعَلَيۡنَا ٱلۡحِسَابُ ٤٠
“Dan jika Kami perlihatkan kepadamu sebahagian (siksa) yang Kami ancamkan kepada mereka atau Kami wafatkan kamu (hal itu tidak penting bagimu) karena sesungguhnya tugasmu hanya menyampaikan saja, sedang Kami-lah yang menghisab amalan mereka”. Q.S. ar-Ra’d (13) : 40.
Tapi, kita harus merangsang atau menstimulan agar orang yang kita dakwahi bisa “tergugah dan terubah”.
Seorang pendakwah tidak bisa memberi hidayah kepada seseorang, hanya Allah saja lah yang dapat memberi hidayah. Nabi Muhammad pun tidak dapat memberi hidayah kepada pamanya Abu Tholib sebagaimana di jelaskan dalam,
إِنَّكَ لَا تَهۡدِي مَنۡ أَحۡبَبۡتَ وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ يَهۡدِي مَن يَشَآءُۚ وَهُوَ أَعۡلَمُ بِٱلۡمُهۡتَدِينَ ٥٦
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk”. Q.S. al-Qoshshos (28) : 56.
Maka dari itu, kita jangan memaksakan pendapat atau pendirian yang kita anggap benar kepada orang lain. Tugas kita hanya menyampaikan dan menstimulan hidayah dengan metode dakwah yang memikat tidak asal sampai saja.
M. Natsir berkata, “Bila seorang mubaligh di ibaratkan dengan seorang petani, maka bidangnya ialah menabur bibit, mengolah tanah, memberi pupuk, air, menjaga supaya bibit itu cukup mendapat udara, dan sinar matahari, melindungi dari hama dan lain-lain. Adapun menumbuhkan bibit menjadi benih yang hidup, adalah suatu penciptaan yang terletak dalam kekuasaan Kholiq semata-mata, di luar kemampuan dan bidang usaha seorang petani. Demikianlah hidayah: Hidayah yang mencentuskan sinar iman, adalah semata-mata karunia langsung dari Allah SWT, letaknya di luar jangkauan seorang pemaksa atas mereka..... Tugasnya ialah mengingatkan “Inzar bil Qur’an’. Mengingatkan dengan al-Qur’an. Dengan apa yang terkandung dalam al-Qur’an dan dengan cara-cara yang ditunjukkan oleh al-Qur’an. Bil Qur’an wa Bithoriqotihi!.”(M. Natsir, Fiqhud Da’wah hal. 132).
Seorang mubaligh berhadapan dengan dua hal:
1.   Ada wajib Dakwah yang Harus di Tunaikan; dan
2.   Ada Kemerdekaan Beri’tiqod yang Harus di Hormati.
Teranglah, bukan pada alat-alat pemaksa dan teknik-teknik mempesona seorang mubaligh harus mencari kekuatannya. Kekuatan terletak pada kekuatan dakwahnya. Dan kekuatan seorang pendakwah tergantung kepada kekuatan hujjahnya, yang diterima oleh akal yang sehat, dan daya panggilnya, yang dapat menjemput jiwa dan rasa. Kedua-duanya tergantung kepada: Persiapan Mentalnya, Persiapan Ilmiahnya, dan Persiapan Kaifiat dan Adab Dakwahnya. (M. Natsir, Fiqhud Da’wah hal. 132).
Metode dakwah yang dilakukan oleh Rosulullah SAW ketika berada di Mekah dengan sembunyi-sembunyi dikarenakan situasi dan kondisi pada waktu itu menuntut agar dakwah dilakukan dengan cara demikian. Dakwah yang beliau lakukan dimulai dengan mendakwahi orang-orang terdekat, mulai dari isteri, ponakan, keluarga, teman, dan sebagainya.
Hal itu berbanding terbalik dengan orang-orang zaman sekarang yang mengadakan “safari dakwah” atau khuruj ke pelosok negeri bahkan sampai ke luar negeri dengan meninggalkan keluarga, sanak keluarga, pekerjaan, dan kampung halaman. Padahal keluarga dan kampung halaman sekitar pun banyak “lahan” dakwah yang tidak “tergarap”.
Tidak sedikit di antara mereka yang hanya “modal nekad”. Mereka berangkat hanya dengan pemahaman agama yang sangat minim, memakai pakaian yang lusuh, tanpa perbekalan materi yang memadai, meninggalkan keluarga sekian lama tanpa diberi nafkah lahir maupun batin. Penulis banyak menyaksikan rumah tangga mereka hancur gara-gara dakwah khuruj ini. Mereka berada pada manhaj tasawuf sufi bukan pada manhaj an-nubuwwah dan salafus sholih.
Begitu juga dengan orang-orang yang getol berdemo menyuarakan tegaknya negara Islam, tapi tidak sanggup untuk membuat satu masjid pun. Mereka hanya mengkaji Islam di maktab-maktab dari sebagian lahan rumah mereka atau ikut “numpang” mengaji di masjid lain. Padahal kalau kita menilik sejarah dakwah Nabi, ketika Nabi dan para sahabat berhijrah dari Mekah ke Madinah; beliau dan para sahabat tidak membangun negara, tapi membangun masjid Quba. (M. Alwi al-Maliki, Rahasia Kenabian hal. 49; Sayed Ali Asgher Razwy, muhammad Rasulullah saw hal. 152; Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, Sirah Nabawiyah hal 198; Ibnu Hisyam, Sirah Nabawiyah I:447 dan Prof. Dr. Ahmad Syalabi, I:99).
Dalam perjalannya, masjid pun difungsikan bukan saja untuk ritual keagamaan tapi cakupannya lebih luas dari itu. Masjid dipakai untuk mengatur siasat perang, mengobati para korban luka perang, menahan para tawanan perang, pusat ekonomi, madrosah pendidikan dan lain sebagainya.
Imam asy-Syafi’i berkata, “Dakwah bisa dilakukan dengan sembunyi-sembunyi dan bisa juga dengan terang-terangan. Bila dakwah dilakukan dengan terang-terangan, maka lakukanlah dengan syarat jangan menghinakan dan memalukan orang yang didakwahi dimuka umum”.
Imam Nawawi (Syafi’iyyah) menambahkan, “Boleh menyebutkan kesalahan orang dengan tidak menyebutkan nama orang tersebut kalaupun ingin menyebut pelaku tersebut diperbolehkan dengan gelar atau inisian misalkan si Fulan atau si A”.
Seorang pendakwah harus memiliki sikap al-Walaa dan al-Baroo. Menurut Ust. Aceng Zakaria, Al-Walaa adalah sikap mencintai Allah, Rosul-Nya, para sahabatnya dan orang mukmin yang bertauhid, juga siap untuk membela mereka. Sedangkan al-Baroo adalah membenci orang yang menentang Allah, Rosul-Nya para sahabat, dan orang mukmin yang bertauhid, yaitu membenci orang-orang kafir, musyrik, dan ahli bid’ah yang suka meminta kesembuhan, rizki, dan petunjuk kepada selain Allah. (A. Zakaria, Materi Dakwah hal. 56).
Tanpa al-walaa dan al-baroo, dakwah amar ma’ruf dan nahi munkar tidak akan terwujud dengan sempurna. Untuk lebih detail mengenai masalah ini, silahkan baca buku Muhammad Said al-Qahthani: al-Wala’ Wal-Bara’: Konsep Loyalitas & Permusuhan Dalam Islam.
Selain penguasaan dalil yang mempuni, seorang pendakwah pun dituntut untuk mengimplementasikan dalilnya tersebut dalam bentuk sosial, baik dilakukan sendiri maupun dengan berjamah atau berjam’iyyah; seperti pembagian daging kurban dan akikah, zakat fitroh, dan bakti sosial lainnya berupa sebar pakain layak pakai, sebar alat sholat, sebar al-Qur’an, sebar buku dan lain sebagainya. Karena masyarakat tidak hanya butuh dalil tentang sholat tapi juga butuh alat sholat. Percuma pendakwah berkoar-koar mengenai dalil tentang wajibnya sholat tanpa di imbangi dengan pemberian alat sholat kepada masyarakat yang kurang mampu.
Wajib berdakwah dengan berjam’iyyah. Banyak ayat al-Qur’an dan hadits yang memerintahkan akan itu, diantaranya:
وَٱلۡمُؤۡمِنُونَ وَٱلۡمُؤۡمِنَٰتُ بَعۡضُهُمۡ أَوۡلِيَآءُ بَعۡضٖۚ يَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَيَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤۡتُونَ ٱلزَّكَوٰةَ وَيُطِيعُونَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥٓۚ أُوْلَٰٓئِكَ سَيَرۡحَمُهُمُ ٱللَّهُۗ إِنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٞ ٧١
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma´ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. Q.S. at-Taubah (9) : 71.
 Kalau ada orang yang berkata, “Saya cukup ber-Qur’an Sunnah saja tidak usah berjam’iyyah”. Sesungguhnya orang yang mengatakan demikian itu sejatinya  belum ber-Qur’an Sunnah karena al-Qur’an dan as-Sunnah sendiri memerintahkan akan pentingnya hal tersebut. Untuk mengetahui lebih jauh akan hal ini, silahkan baca buku Panduan Hidup Berjamaah karya Drs. K.H. Shiddiq Amien, MBA., dkk.
Dalam menerangkan hukum, seorang penceramah dituntut untuk tegas ikhwal hitam dan putihnya hukum. Jangan mengekor atau membebek (taqlid), mudabdabin, bencelang-bencelung tidak jelas pendirian, lolondokan atau ngabunglon. Tirulah dakwah ala nabi yang memiliki sifat shidik, tabligh, amanah, dan fathonah. Tidak boleh menyembunyikan kebenaran kerena hal tersebut sangat dilarang oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Jangan tergiur oleh harta, tahta, dan wanita sehingga menyebabkan fatwa berubah.
وَلَا تَلۡبِسُواْ ٱلۡحَقَّ بِٱلۡبَٰطِلِ وَتَكۡتُمُواْ ٱلۡحَقَّ وَأَنتُمۡ تَعۡلَمُونَ ٤٢
“Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui”. Q.S. al-Baqoroh (2) : 42.
Imam Bukhori dan Ibnu Sa’ad meriwayatkan: Nabi pernah mengharamkan yang halal yaitu madu bagi dirinya untuk menyenangkan hati isteri-isterinya. Maka, Allah menegur beliau dengan turunnya,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِيُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَآ أَحَلَّ ٱللَّهُ لَكَۖ تَبۡتَغِي مَرۡضَاتَ أَزۡوَٰجِكَۚ وَٱللَّهُ غَفُورٞ رَّحِيمٞ ١
“Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah halalkan bagimu; kamu mencari kesenangan hati isteri-isterimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. Q.S. at-Tahriim (65) : 1. (K.H. Q. Shaleh dkk, Asbabun Nuzul Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat al-Qur’an hal. 587-589).
Seorang pendakwah harus berpenampilan menarik karena dia merupakan pablik figur dan pusat perhatian. Alkisah ada seorang pendakwah yang hendak berdakah di suatu daerah yang lumayan jauh. Untuk mencapai daerah itu, sang pendakwah memakai sepada. Sesampainya di tempat pengajian, otomatis sang pendakwah bercucuran keringat, pakaiannya lusuh dan basah yang berakibat badannya mengeluaran bau yang tidak sedap. Sontak ketika ceramah dimulai, mustami terganggu dengan bau badan sang penceramah yang mengakibatkan materi yang disampaikan tidak terserap dengan baik. Penceramah bukan saja di dengar tapi juga diperhatikan.
Tulisan ini lebih cocok bila dikatakan sebagai pengantar ilmu dakmah dikarenakan singkat dan pendeknya materi yang disajiakan. Untuk masalah dakwah, sungguh cakupannya sangatlah luas sehingga di perguruan tinggi ada fakultas dakwah atau Komisi Penyiaran Islam (KPI). Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bishshowab.


SUMBER BACAAN:
1.      Abu Muhammad Abdul Malik bin Hisyam al-Muafiri, as-Siroh an-Nabawiyah li Ibni Hisyam. Edisi Indonesia: Sirah Ibnu Hisyam. Pen: Fadhli Bahri, Lc. Darul Falah Bekasi, 2000. Cet. I.
2.      A.W. Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap. Pustaka Progressif surabaya, 2002. Cet. XXV.
3.      A. Zakaria, al-Hidayah. Ibn Azka Press Garut, 2006. Cet. II.
4.      A. Zakaria, Materi Dakwah Untuk Da’i Dan Mubaligh. Risalah Press Bandung, 2005. Cet. II.
5.      Abu Abdullah Muhammad bin Ismail Bukhori, Shohih Bukhori. Darul Fikr Bairut, 2003.
6.      Abu Husain Muslim bin Hijaj, Shohih Muslim. Darul Fikr Bairut, 2007. Abu Husain Muslim bin Hijjaj, Syaroh Shohih Muslim. Darul Hadits, 2005.
7.      Abu Umar Basyir, Menjadi Kaya Dengan Berdakwah. Wacana Ilmiah Press, 2006. Cet. II.
8.      Departemen Agama RI, Terjemah dan Tafsir al-Qur’an. J-ART, 2005.
9.      Dr. Aam Amiruddin, M.Sc. Tafsir al-Qur’an Kontemporer. Khazanah Intelektual Bandung, 2007. Cet. V.
10.  Dr. Jeje Zaenudi, M.Ag, Fiqih Dakwah Jam’iyyah; berjam’iyyah tidak bid’ah. Pembela Islam Jakarta, 2012. Cet. I.
11.  Dr. Jeje Zaenudin, M.Ag, Menolak Perangkap Aliran Sesat. Hadico Persada Press Jakarta, 2008. Cet. I.
12.  Khozin Abu Faqih, Lc, Mempersiapkan Rumah Di Surga. Syaamil Cipta Media Bandung, 2004.
13.  K.H. Drs. Shiddieq Amien, MBA., Islam dari Akidah hingga Peradaban. Suluk Jakarta, 2010. Cet. I.
14.  K.H. Drs. Shiddieq Amien, MBA., dkk. Panduan Hidup Berjamaah. Tafakur Bandung, 2005. Cet. I.
15.  K.H. Drs. Shiddiq Amien, MBA dan Drs. Encang Saefuddin, Makna Sebuah Musibah Menuju Hidup Lebih Islami. Persis Press Bandung, 2007. Cet. I.
16.  K.H. Qomaruddin Shaleh dkk, Asbabun Nuzul. CV. Diponegoro Bandung, 2011. Cet. X.
17.  Komarudin Chalil, 15 Kiat Sukses Menjadi Pembicara Yang Menggugah Dan Merubah, Tinjauan terhadap Retorika Aa Gym. MQS Publishing Bandung, 2005. Cet. I.
18.  Ibnu Katsir, Qishosh al-Anbiya’. Edisi Indonesia: Kisah Para Nabi. Pen: M. Abdul Ghoffar, Pustaka Azzam Jakarta, 2007. Cet. XIII.
19.  Muhammad Alwi al-Maliki, Tarikh al-Hawarits al-Ahwal an-Nabawiyyah, Edisi Indonesia: Rahasia Kenabian. Pen: Alwi A.M. Gema Risalah Press Bandung, 1988. Cet. I.
20.  Muhammad Nasib Rifa’i, Taisiru al-Aliyyli Qodir li Ikhtishori Tafsir Ibnu Katsir. Edisi Indonesia: Kemudahan Dari Allah Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir. Pen: Drs. Syuhabuddin. Gema Insani Press Depok, 2012. Cet. I.
21.  Muhammad Natsir, Fiqhud Da’wah. Media Dakwah Jakarta, 2000. Cet. X.
22.  Muhammad Said al-Qahthani, al-Wala’ wa al-Baro fi al-Islam. Edisi Indonesia: al-Wala’ Wal-Bara’: Konsep Loyalitas & Permusuhan Dalam Islam. Pen: Muzaidi, Lc. Ummul Qura Jakarta, 2014. Cet. III.
23.  Tiar Anwar Bachtiar dan pepen Irpan Fauzan, Persis dan Politik: Sejarah Pemikiran Dan Aksi Politik Persis 1923-1997. Pembela Islam Jakarta, 2012. Cet. I.
24.   Prof. Dr. Ahmad Syalabi. Sejarah Dan Kebudayaan Islam. Pen. Prof. Dr. H. Mukhtar Yahya. PT. Pustaka al-Husna Baru Jakarta, 2003. Cet. VI.
25.  Prof. Dr. Hamka, Pelajaran Agama Islam. Bulan Bintang Jakarta, 1992. Cet. XI.
26.   Prof. DR. M. Quraish Shihab, MA,  Tarsir al-Misbah. Lentera Hati Tangerang, 2009. Cet. I.
27.  Sayed Ali Asgher Razwy, A Restatement of the History of Islam & Muslims. Edisi Indonesia: Muhammad Rasulullah SAW. Pen: Dede Azwar Nurmansyah. Pustaka Zahra Jakarta, 2004. Cet. I.
28.   Syaikh Shofiyyurrohman al-Mubarokfuri, ar-Rohiqul Makhtum. Edisi Indonesia: Sirah Nabawiyah, Pen: Kathur Suhardi, Pustaka al-Kautsar Jakarta, 2014. Cet. XXXXI.
29.  Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar. Rajawali Press Jakarta, 2015. Cet. XXXXIV.
30.  http://kunaasyaa.wordpress.com>ikatlah>ilmu>dengan>tulisan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad

Responsive Ads Here