DEMI WAKTU - PEMUDA PERSIS KAB. SUMEDANG

Breaking

Post Top Ad

Kami pemuda pembela agama Pembangkit umat yang utama Bertabligh memikat hati yang suci Berdalilkan Qur’an dan Hadis Di-tanam iman disebar amal Memimpin jiwa dan akhlaqnya Membasmi bid’ah agama Berjihad, berdakwah, beruswah)* Bersatulah bersatulah bersatulah bersatulah Hai muslimin Siapa yang menentang Islam Musnahlah dalil dan hujahnyaWeb PEMUDA PERSIS SUMEDANG

Post Top Ad

Mangga bade Iklan palih dieu

Sabtu, 25 Agustus 2018

DEMI WAKTU

Oleh M. Nurachman
(Penasihat PC. Pemuda Persatuan Islam Sumedang Selatan)

وَٱلۡعَصۡرِ ١
“Demi masa (waktu)”. Q.S. al-‘Asr (103) : 1.
   Kalau kita perhatikan surat-surat atau ayat-ayat yang ada dalam al-Qur’an, kita akan banyak menemukan Allah bersumpah dengan apa saja. Huruf Wau dalam ayat diatas termasuk Wau Qosam (sumpah). Kadang Dia bersumpah dengan Langit, Bumi, Waktu dan lain sebagainya. Seperti yang terlihat dalam Q.S. al-‘Asr (103) : 1 ini, Allah bersumpah dengan masa (waktu). Kenapa Allah bersumpah dengan masa (waktu)?. Artinya masa (waktu) adalah sesuatu yang sangat penting sehingga Allah bersumpah dengannya dan kita selaku manusia sudah sepantasnyalah untuk memperhatikan masa (waktu).
   Imam Syafi’i berkata, “Waktu ibarat pedang, jika engkau tidak menebasnya, maka dialah yang akan menebasmu. Dan jiwamu jika tak kau sibukkan di dalam kebenaran, maka ia akan menyibukkanmu dalam kebatilan”.
Sa’ied al-Makhtum berkata, “Waktu ibarat pisau bermata dua. Satu sisi memberikan keuntungan sedangkan sisi yang lain bisa menyebabkan kerugian. Gunakanlah waktu dengan baik agar selalu memberikan keuntungan”.(Waktu Adalah Surga, hal. 6).
Ibnu Umar berkata, “Jika mempunyai kesempatan beramal pada waktu petang janganlah kau tangguhkan sampai esok pagi. Saat kau punya kesempatan di pagi hari, janganlah kau tangguhkan sampai sore hari”. (Ibnu Daqiiqil ‘Ied, Syarah Hadits Arbain hal. 170).
Ali bin Abi Thalib berkata, “Hidarilah menyia-nyiakan umur untuk sesuatu yang tidak abadi bagi kalian. Sebab sesuatu yang telah berlalu tidak akan kembali”.(Sa’ied al-Makhtum, Waktu Adalah Surga, hal. 42).
Solikhin Abu Izzudin berkata, “Barangsiapa yang tidak menyibukkan diri dalam kebaikan, niscaya ia akan disibukkan dalam keburukan”. (Zero To Hero, hal. 29).
Dalam bahasa Arab,al-Waqtu diartikan dengan sesuatu yang agak berjangka seperti semenit, sejam, sehari, seminggu, sebulan, setahun, dan sejenisnya. Sedangkan al-‘Ashr diartikan dengan sesuatu yang jaraknya sangat singkat seperti detik atau ukuran waktu yang paling sempit. Artinya melalui surat ini Allah hendak menyampaikan pesan janganlah manusia menyia-nyiakan waktu walaupun sesaatpun karena waktu yang telah berlalu tidak bisa ditarik kembali walaupun satu detik.
Maka dari itu sebelum melakukan sesuatu hal harus dipikirkan terlebih dahalu masak-masak jangan sampai terjadi penyesalan dikemudian hari. Kalaupun hal yang tidak kita inginkan terjadi, kalau sebelumnya sudah dipikirkan terlebih dahulu dengan matang tidak akan terjadi penyesalan. Lain halnya dengan yang tidak dipikirkan terlebih dahulu. Jangan memberi peluang kepada syetan dengan ucapan “seandainya, sekiranya”, ucapan seperti itu timbul karena ketika akan melangkah tidak difikirkan terlebih dahulu.
..........يَقُولُونَ لَوۡ كَانَ لَنَا مِنَ ٱلۡأَمۡرِ شَيۡءٞ مَّا قُتِلۡنَا هَٰهُنَاۗ قُل لَّوۡ كُنتُمۡ فِي بُيُوتِكُمۡ لَبَرَزَ ٱلَّذِينَ كُتِبَ عَلَيۡهِمُ ٱلۡقَتۡلُ إِلَىٰ مَضَاجِعِهِمۡۖ وَلِيَبۡتَلِيَ ٱللَّهُ مَا فِي صُدُورِكُمۡ وَلِيُمَحِّصَ مَا فِي قُلُوبِكُمۡۚ وَٱللَّهُ عَلِيمُۢ بِذَاتِ ٱلصُّدُورِ ١٥٤
“.....mereka berkata: "Sekiranya ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) di sini". Katakanlah: "Sekiranya kamu berada di rumahmu, niscaya orang-orang yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu keluar (juga) ke tempat mereka terbunuh". Dan Allah (berbuat demikian) untuk menguji apa yang ada dalam dadamu dan untuk membersihkan apa yang ada dalam hatimu. Allah Maha Mengetahui isi hati”. Q.S. Ali Imran (3) : 154.
ٱلَّذِينَ قَالُواْ لِإِخۡوَٰنِهِمۡ وَقَعَدُواْ لَوۡ أَطَاعُونَا مَا قُتِلُواْۗ قُلۡ فَٱدۡرَءُواْ عَنۡ أَنفُسِكُمُ ٱلۡمَوۡتَ إِن كُنتُمۡ صَٰدِقِينَ ١٦٨
“Orang-orang yang mengatakan kepada saudara-saudaranya dan mereka tidak turut pergi berperang: "Sekiranya mereka mengikuti kita, tentulah mereka tidak terbunuh". Katakanlah: "Tolaklah kematian itu dari dirimu, jika kamu orang-orang yang benar". Q.S. Ali Imran (3) : 168.
الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلَا تَعْجَزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلَا تَقُلْ لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ
“Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada seorang mukmin yang lemah. Dan dalam segala hal lebih baik. Maka bersemangatlah dalam mencari yang bermanfaat bagimu dan mintalah pertolongan kepada Allah dan janganlah memperlemah diri. Apabila sesuatu menimpamu maka jangan katakan, ‘Kalau saya berbuat ini pasti kejadiannya begini dan begitu’, akan tetapi katakanlah, ‘Ini adalah taqdir Allah dan Allah berbuat sesuai dengan kehendak-Nya’. Karena perkataan ‘Seandainya/kalau’ akan membukakan amalan syetan”. H.R. Muslim.
Dalam menentukan pilihan harus didasarkan pada pertimbangan, karena salah dalam mengambil pertimbangan sepersekian detik bisa merubah segalanya. Seperti dalam permainan catur, salah melangkah bisa skak stair. Dalam peribahasa Sunda ada ungkapan, “Sing asak-asak ngejo bisi tutung tambagana. Sing asak-asak nenjo bisi kaduhung engkena”.Ust. Atep Nurodin berkata, “Jangan Menyesal dalam tiga perkara. Setelah menjual, setelah membeli, dan setelah menikah”.
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata, “Waktu seseorang pada hakikatnya adalah umurnya. Ia adalah unsur penting kehidupan abadi di surga, atau unsur penting kehidupannya di azab yang pedih. Waktu itu berlalu laksana awan. Waktu yang digunakan untuk Allah itulah hidup dan umurnya yang hakiki. Selain itu tidak termasuk waktu dan hidupnya, meski dia hidup layaknya binatang. Apabila dia menghabiskan waktunya dalam kelalaian, kealpaan, dan keinginan-keinginan yang batil dan sebaik-baiknya pengisi waktu baginya adalah tidur dan nganggur, maka kematian orang seperti ini lebih baik daripada kehidupannya”.(Sa’ied al-Makhtum, Waktu Adalah Surga hal. 31-32).
Maka dari itu hargailah orang yang meluangkan waktunya untuk kita sebab pada hakikatnya dia telah memberikan sebagian nyawanya untuk kita. Beruntunglah bagi orang yang diberi keluangan waktu oleh orang lain. Jangan sia-siakan kepercayaannya itu dengan datang terlambat atau membatalkan/tidak menempati janji.
Ali bin Abi Thalib berkata, “Rizki yang tidak dapat diperoleh hari ini masih bisa diharapkan diperoleh hari esok, tetapi waktu yang berlalu hari ini tidak mungkin dapat diharapkan kembali esok”.(Aam Amiruddin.. Tafsir al-Qur’an Kontemporer I:147).
Solikhin Abu Izzudin berkata, “Ada tiga hal yang tak pernah kita dapatkan kembali yaitu: kata yang telah terucap; waktu yang telah lewat; dan momentum yang diabaikan”.
Menurut Hasan al-Bashri bahwa, “Waktu hanya ada tiga: waktu kemarin yang sudah bukan milik kita lagi; esok hari yang belum tentu kita punyai; dan sekarang yang ada di tangan kita”.
Sedangkan Hasan al-Banna berkata, “Kenyataan hari ini adalah mimpi kemarin, dan mimpi hari ini adalah kenyataan esok hari”. (Zero To Hero, hal. 33, 66, dan 83).
Sekaya, sepintar, dan sekuat apapun manusia tidak ada seorangpun yang dapat membeli, memperlambat, dan mempercepat waktu. Banyak orang yang bisa membeli alat penunjuk waktu tapi tidak ada satu orangpun yang dapat membeli waktu.Maka benar ungkapan bahasa arab yang mengatakan bahwa waktu lebih berharga daripada emas. Begitupun tidak ada orang yang bisa “bertamu” ke masa yang akan datang dan tidak ada seorang pun yang mengetahui perihal hari esok.
إِنَّ ٱللَّهَ عِندَهُۥ عِلۡمُ ٱلسَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ ٱلۡغَيۡثَ وَيَعۡلَمُ مَا فِي ٱلۡأَرۡحَامِۖ وَمَا تَدۡرِي نَفۡسٞ مَّاذَا تَكۡسِبُ غَدٗاۖ وَمَا تَدۡرِي نَفۡسُۢ بِأَيِّ أَرۡضٖ تَمُوتُۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرُۢ ٣٤
“Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dialah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. Q.S. Luqman (31) : 34.
            Bila ada orang yang tahu akan nasib seseorang dikemudian hari, dapat dipastikan bahwa orang tersebut bohong tidak usah dipercaya. Orang tersebut adalah kahin, arafan, dukun, yang haram bagi seorang muslim untuk mempercayai akan hal tersebut. Hari esok merupakan salah satu hal yang ghaib, tidak seorangpun yang mengetahuinya. Rasulullah sendiri tidak tahu akan hari esok.
قُل لَّآ أَمۡلِكُ لِنَفۡسِي نَفۡعٗا وَلَا ضَرًّا إِلَّا مَا شَآءَ ٱللَّهُۚ وَلَوۡ كُنتُ أَعۡلَمُ ٱلۡغَيۡبَ لَٱسۡتَكۡثَرۡتُ مِنَ ٱلۡخَيۡرِ وَمَا مَسَّنِيَ ٱلسُّوٓءُۚ إِنۡ أَنَا۠ إِلَّا نَذِيرٞ وَبَشِيرٞ لِّقَوۡمٖ يُؤۡمِنُونَ ١٨٨
“Katakanlah: "Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman". Q.S. al-A’raf (7) : 188.
Pergunakan waktu yang sangat sempit ini untuk beribadah. Karena manusia tidak tahu kapan dirinya mati. Di Barat ada ungkapan, “Waktu adalah uang” dan dalam  bahasa Arab ungkapannya berbunyi, “Seluruh hidupku untuk ibadah”.Ustad Lili Somantri berkata, “Hidup sekali, ibadah sekalian”.
Ada sebait syair dalam salah satu lagu yang dibawakan oleh group musik Bimbo berbunyi, “Berbuat baik janganlah di tunda-tunda, beramal sholeh janganlah di tunda-tunda”.Begitu pula dalam ungkapan bahasa Sunda ada istilah, “Tong di engke-engke bisi kaburu jadi bangke. Tong dilila-lila bisi kaburu jadi tumila. Tong di entar-entar bisi kaburu kabentar”. Kenapa dalam berbuat baik kita harus menyegeraknnya? Karena manusia tidak tahu kapan dirinya akan meninggal.
Ada hadits yang menerangkan, “Bekerjalah untuk duniamu seolah-olah kamu akan hidup selamanya dan bekerjalah untuk akhiratmu (ibadah) seolah-olah kamu akan mati besok”. Menurut Syaikh Muhammad Nashiruddin Albani, “Hadits ini tidak ada sumbernya yang marfu’ (sampai ke Nabi), sekalipun (hadits ini) populer di zaman akhir ini”. (A. Zakaria, al-Hidayah III:265).
Menurut A.Q. Hassan dalam bukunya Ilmu Mushthalah Hadits hal. 239 disebutkan bahwa hadits di atas sanadnya lemah, tetapi isinya cocok dengan ayat al-Qur’an ini:
وَٱبۡتَغِ فِيمَآ ءَاتَىٰكَ ٱللَّهُ ٱلدَّارَ ٱلۡأٓخِرَةَۖ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ ٱلدُّنۡيَاۖ وَأَحۡسِن كَمَآ أَحۡسَنَ ٱللَّهُ إِلَيۡكَۖ وَلَا تَبۡغِ ٱلۡفَسَادَ فِي ٱلۡأَرۡضِۖ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلۡمُفۡسِدِينَ ٧٧
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”. Q.S. al-Qashshas (28) : 77.
Menurut penulis, hadits di atas bukanlah perkataan Rasulullah tapi bahasa mutiara yang dikarang manusia untuk memotifasi dalam beribadah. Memang secara sanad haditsnya dhaif tetapi secara makna dapat diterima. Beramallah sebelum datang kematian karena banyak orang yang sudah mati ingin dihidupkan kembali dan dikembalikan lagi ke dunia hanya untuk beramal.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَنفِقُواْ مِمَّا رَزَقۡنَٰكُم مِّن قَبۡلِ أَن يَأۡتِيَ يَوۡمٞ لَّا بَيۡعٞ فِيهِ وَلَا خُلَّةٞ وَلَا شَفَٰعَةٞۗ وَٱلۡكَٰفِرُونَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ ٢٥٤
“Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezeki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi syafa´at. Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang zalim”. Q.S. al-Baqarah (2) : 254.
وَهُمۡ يَصۡطَرِخُونَ فِيهَا رَبَّنَآ أَخۡرِجۡنَا نَعۡمَلۡ صَٰلِحًا غَيۡرَ ٱلَّذِي كُنَّا نَعۡمَلُۚ أَوَ لَمۡ نُعَمِّرۡكُم مَّا يَتَذَكَّرُ فِيهِ مَن تَذَكَّرَ وَجَآءَكُمُ ٱلنَّذِيرُۖ فَذُوقُواْ فَمَا لِلظَّٰلِمِينَ مِن نَّصِيرٍ ٣٧
“Dan mereka berteriak di dalam neraka itu: "Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami niscaya kami akan mengerjakan amal yang saleh berlainan dengan yang telah kami kerjakan". Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berfikir bagi orang yang mau berfikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan? maka rasakanlah (azab Kami) dan tidak ada bagi orang-orang yang zalim seorang penolongpun”. Q.S. Fatir (35) : 37.
وَأَنفِقُواْ مِن مَّا رَزَقۡنَٰكُم مِّن قَبۡلِ أَن يَأۡتِيَ أَحَدَكُمُ ٱلۡمَوۡتُ فَيَقُولَ رَبِّ لَوۡلَآ أَخَّرۡتَنِيٓ إِلَىٰٓ أَجَلٖ قَرِيبٖ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُن مِّنَ ٱلصَّٰلِحِينَ ١٠
“Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: "Ya Rabb-ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh?”. Q.S. al-Munafiqun (63) : 10.
Di Akhirat kelak manusia tidak akan beranjak sebelum ditanya mengenai 5 perkara.
لَاتَزُولُقَدَمَاعَبْدٍيَوْمَالْقِيَامَةِحَتَّىيُسْأَلَعَنْعُمُرِهِفِيمَاأَفْنَاهُوَعَنْعِلْمِهِفِيمَفَعَلَوَعَنْمَالِهِمِنْأَيْنَاكْتَسَبَهُوَفِيمَأَنْفَقَهُوَعَنْجِسْمِهِفِيمَأَبْلَاهُقَالَهَذَاحَدِيثٌحَسَنٌصَحِيحٌوَسَعِيدُبْنُعَبْدِاللَّهِبْنِجُرَيْجٍهُوَبَصْرِيٌّوَهُوَمَوْلَىأَبِيبَرْزَةَوَأَبُوبَرْزَةَاسْمُهُنَضْلَةُبْنُعُبَيْدٍ
“Tidaklah bergeser telapak kaki Bani Adam pada hari kiamat dari sisi Robb-nya hingga ditanya lima perkara; Umurnya untuk apa dia gunakan, Masa mudanya untuk apa dia habiskan, Hartanya dari mana ia dapatkan dan untuk apa ia belanjakan, dan Apa yang ia perbuat dengan ilmu-ilmu yang telah ia ketahui”. H.R. Tirmidzi.
Pandai-pandailah dalam memanfaatkan waktu yang diberikan oleh Allah kepada kita. Setiap manusia diberi waktu yang sama oleh Allah subhanahu wa ta’ala, 60 detik dalam satu menit, 60 menit dalam satu jam, 7 hari dalam satu minggu, 30 hari dalam satu bulan, dan 360 hari dalam satu tahun. Persoalannya mau diisi dengan apa waktu tersebut?. Apakah dengan hal yang positif atau dengan hal yang negatif. Waktu itu seperti gelas tergantung kita mau mengisinya dengan apa?. Maka dari itu hidup di dunia seperti perlombaan, Fastabiqul Khairat(Berlomba-lomba dalam berbuat kebaikan) sebagaimana yang tertera dalam Q.S. al-Baqarah (2) : 148.
 فَإِذَا فَرَغۡتَ فَٱنصَبۡ ٧  وَإِلَىٰ رَبِّكَ فَٱرۡغَب ٨
“Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap”. Q.S. al-Insyirah (94) : 7-8.
Ayat ini memberi petunjuk bahwa seseorang harus selalu memiliki kesibukkan. Bila telah berakhir suatu pekerjaan, ia harus memulai lagi dengan pekerjaan yang lain, sehingga dengan ayat ini seorang muslim tidak akan pernah menyia-nyiakan waktunya. (M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah XV:365).
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata, “Menyia-nyiakan waktu lebih jelek dibanding kematian. Karena hilangnya waktu memutusmu dari mengingat Allah dan hari akhirat, sedang kematian hanya memutusmu dari dunia dan penghuninya”.
Ustad Uci Hidayat berkata, “Mangpang meungpeung samemeh ngangkeuleng, tatan-tatan samemeh datang kamaotan”.
إِنَّالصِّحَّةَوَالْفَرَاغَنِعْمَتَانِمِنْنِعَمِاللَّهِمَغْبُونٌفِيهِمَاكَثِيرٌمِنْالنَّاسِ
“Sesungguhnya kesehatan dan waktu luang, dua nikmat diantara nikmat-nikmat Allah yang suka disepelekan oleh kebanyakan orang”. H.R. Bukhari dan Ahmad.
“Manfaatkanlah lima perkara sebelum lima perkara; Waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu, Waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu, Waktu kayamu sebelum datang waktu miskinmu, Waktu luangmu sebelum datang waktu sibukmu, dan Waktu hidupmu sebelum datang waktu matimu”. H.R. Hakim.
“Segeralah beramal sebelum datang tujuh perkara yaitu kekafiran yang akan melupakanmu untuk taat kepada Allah, kekayaan yang membutmu banyak melanggar batas dan membuatmu sibuk, sakit yang akan melemahkan kondisi fisik dan semangat, masa tua yang membuatmu tidak produktif atau pikun, kematian yang pasti akan kau alami dan memutuskanmu dari segala amal, Dajjal yang menggodamu dan mengubah fikiranmu, dan kiamat yang menghancurkanmu dan seluruh alam”. H.R. Tirmidzi. (Risalah, no. 10 Th. XXXII Januari 2005 hal. 3).
“Barangsiapa yang dua hari baginya sama, maka ia adalah orang yang tertipu, sedangkan orang yang keadaanya hari ini lebih buruk maka ia adalah orang yang terlaknat”. Keterangan di atas diragukan validitas keshohihannya karena hanya mimpi Abdul Azis bin Abi Rawad, namun secara matan memberikan suatu isyarat bahwa sejatinya bagi orang yang beriman itu hidupnya mesti menuju kepada sesuatu yang lebih baik lagi dan lebih baik lagi, dan seterusnya demikian. Sehingga pantas bila Rosulullah bersabda bahwa jika bertambah hari tetapi tidak bertambah kebaikan atau ilmu, maka sesungguhnya hari tersebut tiada bermanfaat baginya.
“Apabila tiba kepadaku suatu hari namun tidak bertambah pada hari itu ilmu bagiku, maka terbitnya matahari pada hari itu tidak membawa keberkahan bagiku”. H.R. Thabrani.(Risalah, hal. 53 no. 9 Th. XXXXVIII).
Ibnu Mas’ud berkata, “Tidak ada penyesalan bagiku yang melebihi penyesalanku atas suatu hari yang mataharinya telah terbenam, umurku telah berkurang, namun amalku tidak bertambah”. (Sa’ied al-Makhtum, Waktu Adalah Surga hal. 30).
Imam al-Ghazali berkata, “Bagi orang yang berakal wajib baginya mempunyai empat waktu/saat:Pertama, Satu saat ia bermunajat/berdoa kepada Tuhannya,Kedua, Satu saat ia menghisab dirinya,Ketiga, Satu saat untuk mentafakuri ciptaannya,Keempat, Satu saat untuk menyiapkan diri untuk mencari makanan dan minuman”.(A. Zakaria, Etika Hidup Seorang Muslim hal. 169-170).
Imam Syafi’i membagi waktu malamnya menjadi tiga yakni sepertiga pertama untuk menulis ilmu, sepertiga kedua untuk shalat malam (tahajud), dan sepertiga ketiga untuk tidur. (Solikhin Abu Izzudin, Zero To Hero hal 110).
Ibnu Taimiyyah berkata, “Hendaknya seorang hamba memiliki waktu-waktu khusus menyendiri untuk berdoa, shalat, merenung, muhasabah, dan memperbaiki hatinya”.
Menurut istilah manajemen, “Hidup terencana, hidup terukur, dan hidup terevaluasi”. (Uu Suhendar, Tafsir al-Razi; Kasaluyuan Surat, Ayat, Jeung Mufradat. Hal. 131).
Bila dihitung waktu antara shalat dengan tidur sungguh sangat jauh perbandingannya. Kalau satu kali sholat 10 menit artinya dalam sehari semalam kita hanya menghabiskan waktu hanya 50 menit atau kurang dari 1 jam. Satu bulan 1500 menit atau 25 jam atau 1 hari lebih 1 jam. Satu tahun 18.000 menit atau 750 jam atau 31 hari 15 menit atau satu bulan lebih 15 menit. Seandainya kita diberi jatah umur oleh Allah 60 tahun, usia akil baligh 15 tahun artinya masa produktif untuk sholat sekitar 45 tahun. Selama 45 tahun atau seumur hidup kita shlaat hanya 1.406,25 jam atau 3,906 tahun atau 3 tahun 3 bulan atau sekitar 4,2% dari hidup kita, 95,8% sisanya untuk hal-hal yang diluar shalat. Hitungan itu belum dipotong dengan lupa, jama qashar, shalat sambil melamun, shalat sambil duduk atau berbaring, dan lainnya. Kalau kaum Hawa belum di potong oleh haid dan nifas.
Bandingkan dengan persentase tidur. Dalam sehari semalam kita tidur sekitar 8 jam atau 1/3 hari. Sebulan 240 jam atau 4 hari. Setahun 2.880 jam atau 48 hari atau 1,6 bulan.  Seandainya kita diberi jatah umur oleh Allah 60 tahun maka untuk tidur saja memerlukan waktu sekitar 96 bulan atau 8 tahun atau 1/3 dari hidup kita. Hitungan tersebut belum ditambah tidur siang, tidur ketika menaiki kendaraan, tidur di masjid tatkala Jum’atan dan atau pengajian, dan lainnya. Tentu hitungannya akan lebih besar lagi dari hitungan di atas.
Satu hari di akhirat sama dengan 1.000 tahun di dunia berarti 24 jam di akhirat sama dengan 1.000 tahun di dunia. Maka tiga jam di akhirat sama dengan 125 tahun di dunia dan satu setengah jam di akhirat sama dengan 62,5 tahun di dunia. Apabila umur manusia itu rata-rata 60-70 tahun, maka hidup manusia ini jika di lihat dari langit hanyalah satu setengah jam saja. Pantaslah kita selalu diingatkan akan pentingnya masalah waktu.
Menurut Muhammad Abduh, latar belakang turunnya ayat ini karena orang-orang Arab punya kebiasaan berkumpul dan berbincang-bincang menyangkut berbagai hal. Tidak jarang dalam pembicaraan itu mereka menyalahkan waktu kalau menghadapi kegagalan dengan berkata, “Dasar waktu sial!”. Kadangkala memuji kalau mendapat keberuntungan, “Wah, ini waktu keberuntungan!”. (Aam Amiruddin, Tafsir al-Qur’an Kontemporer I:144).
Islam sangat melarang mencaci waktu karena dengan mencaci waktu secara tidak langsung telah mancaci Allah, karena Allah adalah pengatur waktu.
وَقَالُواْ مَا هِيَ إِلَّا حَيَاتُنَا ٱلدُّنۡيَا نَمُوتُ وَنَحۡيَا وَمَا يُهۡلِكُنَآ إِلَّا ٱلدَّهۡرُۚ وَمَا لَهُم بِذَٰلِكَ مِنۡ عِلۡمٍۖ إِنۡ هُمۡ إِلَّا يَظُنُّونَ ٢٤
“Dan mereka berkata: "Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain masa", dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja”. Q.S. al-Jaasiyah (45) : 24.
“Allah ta’ala berfirman, ‘Manusia telah menyakiti Aku. Dia mencaci maki waktu, padahal Aku adalah pemilik dan pengatur waktu, Aku-lah yang mengatur malam dan siang menjadi silih berganti”. H.R. Bukhari dan Muslim.
Muhammad bin Sholih al-‘Utsaimin berkata, “Ada tiga macam sikap orang terhadap waktu:
Pertama, orang yang hanya sekedar menyatakan suatu berita tanpa di iringi celaan, maka sikap seperti ini hukumnya jaiz (boleh). Misalnya seorang berujar, “Telah membuat kita lelah panas matahari hari!”. Atau ungkapan yang senada. Karena amal perbuatan itu, termasuk juga pembicaraan, tergantung niatnya. Dan ungkapan seperti ini sah-sah saja, sebagaimana firman Allah di dalam Q.S. Huud (11) : 77 “Luth berkata, ‘Ini hari yang sangat sulit”.
Kedua, orang yang mencela waktu dengan suatu keyakinan bahwa waktulah yang telah memutar balikkan berbagi urusan kepada hal yang baik dan hal yang buruk. Sikap seperti ini jelas merupakan syirik akbar karena secara tidak langsung ia sudah memiliki keyakinan bahwa ada dzat selain Allah sebagai pencipta. Seolah-olah kita punya i’tikad bahwa pengatur itu adalah waktu. Ini artinya, menganggap ada sesuatu yang berkuasa selain Allah. Sikap ini menyebabkan kepada pelakunya menjadi kufur. Sama saja dengan orang yang meyakini ada illah selain Allah yang patut disembah. Maka tak pelak lagi, nomor kedua ini dosa besar dan meyebabkan pelakunya sebagai kafir.
Ketiga, ada orang yang mencela waktu tetapi tanpa keyakinan bahwa waktulah sebagai fa’il-nya (sumbernya). Ia tetap mengakui Allahlah Sang Pengatur hakiki. Akan tetapi, ia mencela dikarenakan posisinya menempati sesuatu yang ia benci. Umpamanya, menganggap yang menggalkan acaranya itu adalah hujan namun ia tetap sadar yang menurunkan hujan itu pada hakikatnya ialah Allah subhanahu wa ta’ala. Sikap terakhir ini pun diharamkan tetapi tidak sampai kepada syirik. Pangkal dari sikap ini adalah kebodohan akalnya dan kesesatan dalam pemahaman agamanya. Karena sebenarnya penghinaan itu akan kembali kepada Allah. Sebab Allahlah yang mengatur perjalanan waktu dan didalamnya mengandung kebaikan dan keburukan, maka bukan waktu sang pelakunya. Pencelaan ini tidak menyebabkan orang yang mencelanya menjadi kafir, karena ia tidak menghina Allah secara langsung”.(Majalah Risalah, Desember 2011 hal. 51-52).
Dimasyarakat Sunda khususnya, ada beberapa keyakinan seputar bulan Shafar yaitu:
Pertama, secara umum orang tua dulu melarang keras untuk mengadakan pernikahan karena Bulan Shofar diyakini sebagai bulan kawin dan berkelahinya anjing sehingga bila pernikahan dilaksanakan pada bulan Shafar dikhawatirkan ketika berumah tangga tabiaatnya seperti anjing.
Kedua,jika ada anak yang dilahirkan pada bulan Shafar maka dari sejak terlepas tali uri dan selanjutnya setiap tahun diwaktu hari kelahiran sampai anak itu dewasa, harus disedekahi kue apem dengan ditambah juadah yang lain dengan maksud supaya penyakit yang menjadi tabiaat itu berkurang karena beranggapan anak yang melahirkan pada bulan Shafar mempunyai tabiiat “sasapareun” yaitu suka berkelahi seperti tabiat anjing dan kalau anak yang dilahirkan itu perempuan kata pepatah “raris anjing” artinya banyak yang menyukai seperti anjing, kurang pemberiannya.
Ketiga, nama anak yang lahir di bulan Shafar, kalau tidak mengambil nama binatang air, maka akan memakai nama yang hampir sama dengan nama bulan itu seperti Saparjan, Sapria, Saparuh, Saparsih, dll. (R. Akip Prawira Soeganda, Upacara Adat di Pasundan hal. 138).
Dimasyarakat pada umumnya setiap hari Rabu terakhir di bulan Shafar suka dilaksanakan upacara Rebo Wekasan dengan melaksanakan sholat 4 rakaat untuk menolak bala karena mereka berkeyakinan bahwa pada hari Rabu terakhir bulan Shafar, Allah menurunkan 320.000 penyakit. Keyakinan tersebut bersumber dari mimpi atau ilham seorang sufi. (www.idrusramli.com).Shalat tolak bala dilaksanakan 4 rokaat, dalam setiap rokaat membaca al-Fatihah satu kali, surat al-Ikhlas 15 kali, dan Mu’awwidzatayn satu kali, lalu berdoa.
Mimpi atau ilham seorang yang bukan Nabi tidak bisa dijadikan dalil untuk dijadikan sandaran hukum. Untuk mengetahui lebih jauh mengenai masalah ilham, mimpi, dan kasyaf; silahkan baca buku-buku berikut:Ihsan Ilahi Zhahir,Dirasah Fi Tasawuf. Edisi Indonesia: Darah Hitam Tasawuf; Ihsan Ilahi Zhahir & Abdurrahman Abdul Khaliq, Pemikiran Sufisme Dibawah Bayang-Bayang Fatamorgana;Yusuf al-Qaradhawi, Mauqiful Islam: minal Ilham wal-Kasyf war-Ra’yu. Edisi Indonesia: Alam Gaib; Sikap Islam Terhadap Ilham, Kasyaf, Mimpi, Jimat, Ramalan, Dan Mantra; dan Hartono Ahmad Jaiz, Tarekat, Tasawuf, Tahlilan & Maulidan.
Hasyim al-Asy’ari pendiri sekaligus Rais Aam Akbar NU melarang akan pelaksanaan shalat rebo wekasan. Beliau berkata bahwa sholat tersebut tidak masyru’ah atau tidak disyariatkan. (http://www.nahi mungkar.com).
Terkadang dalam menyambut Rebo Wekasan, masyarakat membuat kupat, sayur mayur, dan tangtang angin, lalu didoakan oleh sesepuh desa dan/atau “kiai” kemudian makanan yang sudah di doakan tersebut di bagikan kepada keluarg, saudara, tetangga dan handai tolan. Ada kalanya antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain saling bertukar makanan khas tersebut. Terkadang orang yang datang ke sesepuh desa atau “kiai” itu meminta tolong supaya terlepas dari marabahaya Rebo Wekasan dan oleh “kiai” orang yang datang itu diberi isim yaitu tulisan ayat al-Qur’an yang ditulis pada secarik kertas lalu oleh orang itu direndam dalam air dan airnya dipakai mandi dan/atau minum. Dan kadang-kadang jika orangnya banyak, ada juga isim itu dimasukkan ke dalam sumur atau kolam supaya dapat dipakai mandi orang banyak. (R. Akip Prawira Soeganda, Upacara Adat di Pasundan hal. 138).
Tak sedikit dari mereka menyebut hari Rabu terakhir bulan Shafar dengan istilah lebaran dikarenakan prosesi penyambutan hari tersebut mirip dengan penyambutan ketika labaran ‘Ied Fitri. Tangtang angin, cabe merah, bawang putih, dan rumput-rumputan digantungkan di atas pintu rumah, pintu kamar, kandang ternak, dan ke leher binatang ternak. Dengan maksud untuk menolak bahaya dan roh jahat.
Tangtang angin dan sebagainya tersebut diganti setiap satu tahun sekali setiap datangnya Rabu terakhir bulan Shafar seiring dengan prosesi upacara itu. Dalam buku Parasit Akidah karya A.D. El. Marzdedeq hal. 24, bahwa perbuatan itu berasal dari agama Tu dan Yang. Jelas perbuatan tersebut termasuk syirik sebagaimana dijelaskan oleh hadits,
.....إِنَّالرُّقَىوَالتَّمَائِمَوَالتِّوَلَةَشِرْكٌ.....
“Sesungguhnya jampi-jampi, jimat dan pelet adalah bentuk kesyirikan”. H.R. Abu Dawud.
Mahrus Ali (mantan Kiai NU) berkata, “Perbuatan tersebut (memperingati rebo wekasan) adalah bid’ah yang perlu diingkari dan dijauhi sejauh-jauhnya”. (Mantan Kiai NU Meluruskan Ritual-Ritual Kiai Ahli Bid’ah Yang Dianggap Sunnah hal. 36).
فَإِذَا جَآءَتۡهُمُ ٱلۡحَسَنَةُ قَالُواْ لَنَا هَٰذِهِۦۖ وَإِن تُصِبۡهُمۡ سَيِّئَةٞ يَطَّيَّرُواْ بِمُوسَىٰ وَمَن مَّعَهُۥٓۗ أَلَآ إِنَّمَا طَٰٓئِرُهُمۡ عِندَ ٱللَّهِ وَلَٰكِنَّ أَكۡثَرَهُمۡ لَا يَعۡلَمُونَ ١٣١
“Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkata: "Itu adalah karena (usaha) kami". Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang besertanya. Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui”. Q.S. al-A’raf (7) : 131.
لَاعَدْوَىوَلَاطِيَرَةَوَلَاهَامَةَوَلَاصَفَرَ
“Tidak ada ‘adwa (penularan penyakit dengan sendirinya), tidak ada thiyaroh (kesialan karena suara atau arah terbang burung), tidak ada Hamah (kesialan karena burung hantu, atau tidak ada yang namanya ruh gentayangan yang menjadi burung karena tidak dibalaskan dendamnya), dan tidak ada Shofar. Larilah dari orang yang penderita penyakit kusta seperti larimu dari singa”. H.R. Bukhari dan Muslim. Dalam H.R. Muslim yang lain ada tambahan, “.......dan tidak ada nau’ (turunnya hujan diakibatkan karena bintang) dan ghul (hantu genderuwo)”.
لَاعَدْوَىوَلَاطِيَرَةَوَيُعْجِبُنِيالْفَأْلُالصَّالِحُوَالْفَأْلُالصَّالِحُالْكَلِمَةُالْحَسَنَةُ
“Tidak ada ‘adwa dan thiyaroh, tetapi fa’l menyenangkan diriku’. Para sahabat bertanya, ‘Apakah fa’l itu?’. Beliau menjawab, ‘Kalimat thoyibah (kata-kata yang baik)”. H.R. Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud.
....أَنَّأَهْلَالْجَاهِلِيَّةِيَسْتَشْئِمُونَبِصَفَرٍفَقَالَالنَّبِيُّصَلَّىاللَّهُعَلَيْهِوَسَلَّمَلَاصَفَرَ.....
“Sesungguhnya orang-orang Jahiliyah menisbatkan kesialan kepada bulan Shofar maka Rosulullah bersabda, ‘Tidak ada kesialan nasib karena bulan Shafar”. H.R. Bukhori dan Abu Dawud.
Al-Baidhawi berkata, “Sabda Nabi: ‘Tidak ada Shafar’ adalah penolakan terhadap anggapan bahwa pada bulan Shafar ada banyak malapetaka” (al-Qastalani, Syarah Bukhori: VIII/318, hal senada juga ditulis oleh al-Fatani dalam Majma’ Biharil Anwar: II/251). (www.arriauny.blogspot.com).
Ismail al-Dahlawi berkata, “Masuk dalam ini adalah apa yang diyakini oleh orang-orang bodoh di India bahwa hari ke 13 hari pertama bulan Shafar adalah hari naas, banyak diturunkan bala. Mereka menyebutnya Tiroh Tizi artinya hari-hari tiga belas yang berat”. (ad-Dahlawi, Risalah Tauhid, diterjemahkan kedalam bahasa Arab oleh Abul Hasan an-Nahwi, diterbitkan oleh Dinas Urusan Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, cet. 1434/2004, hal.73-74). (www.arriauny.blogspot.com).
الطِّيَرَةُشِرْكٌالطِّيَرَةُشِرْكٌثَلَاثًاوَمَامِنَّاإِلَّاوَلَكِنَّاللَّهَيُذْهِبُهُبِالتَّوَكُّلِ
“Thiyarah (pesimis, merasa akan bernasib sial karena khurafat) itu adalah syirik” Nabi menyebutkan tiga kali, “Tidaklah setiap kita melainkan (pernah mengalaminya) akan tetapi Allah menghilangkannya dengan tawakal”.H.R. Abu Dawud.
أَحْمَدُالْقُرَشِيُّقَالَذُكِرَتْالطِّيَرَةُعِنْدَالنَّبِيِّصَلَّىاللَّهُعَلَيْهِوَسَلَّمَفَقَالَأَحْسَنُهَاالْفَأْلُوَلَاتَرُدُّمُسْلِمًافَإِذَارَأَىأَحَدُكُمْمَايَكْرَهُفَلْيَقُلْاللَّهُمَّلَايَأْتِيبِالْحَسَنَاتِإِلَّاأَنْتَوَلَايَدْفَعُالسَّيِّئَاتِإِلَّاأَنْتَوَلَاحَوْلَوَلَاقُوَّةَإِلَّابِكَ
“Thiyarah disebut-sebut dihadapan Rasulullah, maka beliaupun bersabda, ‘Yang paling baik adalah fa’l dan thiyaroh tersebut tidak boleh menggagalkan seorang muslim dari niatnya. Apabila sesuatu yang tidak diinginkannya maka supaya berdoa, ALLAHUMMA LAA YA’TII BILHASANAATI ILLA ANTA WA LAA YADFA’USSAYYIAATI ILLA ANTA WA LAA HAULA WA LAA QUWWATA ILLA BIKA. ‘Ya Allah, tidak ada yang dapat mendatangkan kebaikan selain Engkau, dan tidak ada daya serta kekutan kecuali dengan pertolongan Engkau”. H.R. Abu Dawud.
“Setiap yang membatalkan dari hajatnya oleh thiyarah, maka ia telah berbuat syirik’. Mereka bertanya, ‘Wahai Rosulullah, kalau begitu apa tebusannya?’. Beliau bersabda, ALLAHUMMA LAA KHAIRA ILLA KHOIRUKA WA LAA THAIRA ILAA THAIRUKA WA LAA ILAAHA GHAIRUKA ‘Ya Allah tidak ada kebaikan kecuali kebaikan-Mu. Tidak ada kesialan nasib (keburukan, musibah) kecuali kesialan nasib (dalam takdir) Mu, dan tidak ada sesembahan yang benar selain-Mu”. H.R. Abu Dawud.
“Sesungguhnya thiyarAh itu adalah yang menjadikan kamu terus melangkah atau mengurungkan niat (dari keperluan)”. H.R. Ahmad.(Dalil tentang thiyarah dapat dibaca dalam Fathul Majid hal. 571-589).
Abdullah bin Abdul Aziz at-Tuwaijiry berkata, “Dengan demikian melakukan peramalan tentang kesialan dan bersikap pesimis terhadap waktu, seseorang, tempat, dan sebagainya termasuk perbuatan syirik seperti di tegaskan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beberapa hadits di atas”. (Ritual-Ritual Bid’ah Dalam Setahun hal. 135-136).
Selainrebo wekasan, dimasyarakat juga berkembang keyakinan mengenai larangan bulan. Larangan bulan adalah dilarang bepergian kesuatu daerah yang di sana ada kala-nya.
Menurut Ustad Lili Somanteri keyakinan larangan bulan berasal dari agama Hindu. “Dikisahkan ada seorang manusia yang bernama Bataraguru yang sakti mandraguna ingin menikahi seorang wanita cantik yang sedang bertapa atau semedi di gua. Ternyata wanita itu adalah Dewi dari Kahyangan bukan manusia biasa. Mendengar permintaan Bataraguru yang ingin menikahi dirinya, maka sang dewi pun terbangun lalu terbang menghindar. Melihat sang dewi terbang, Bataraguru pun mengejar sang dewi. Terus di kejar dan terus di  tangkap namun tidak kena, justeru yang kena yaitu pakaian sang dewi maka tersingkaplah pakaian sang dewi. Terus mengejar dan terus melihat tubuh telanjang sang dewi yang cantik, maka keluarlah air sperma dari Bataraguru dan menetes ke tanah. Hasil tetesan sperma tersebut jadilah raksaksa bernama Batarakala. Lalu dia berkelana ke penjuru dunia tanpa tujuan. Bertemulah Batarakala dengan Semar, lalu Semar memerintahkan Batarakala untuk bulan pertama menetap di penjuru timur, bulan kedua menetap di penjuru utara, bulan ke tiga menetap di penjuru barat, bulan ke empat menetap di penjuru selatan, begitulah seterusnya”.
Sehingga timbullah keyakinan bila bulan pertama (misalnya) Batarakala sedang berada di timur, maka manusia tidak boleh bepergian ke timur karena akan “menyambut” kala (bahaya), hendaklah dia pergi ke penjuru lain atau mengurungkan niatnya. Bila memaksakan diri, maka dia akan tertimpa bencana atau marabahaya. Maka berkembanglah keyakinan larangan bulan.
Dalam akidah Islam tidak dikenal apa yang disebut dengan Dewa, Dewi, dan larangan bulan. Bagi umat Islam haram berkeyakinan dan berprilaku seperti itu. Keyakinan seperti itu termasuk syirik dan perilakunya termasuk kufur.
مَن تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barang siapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk dalam kaum tersebut.”  H.R. Abu Daud, Ahmad dan Ibnu Abi Syaibah.
Aam Amiruddin berkata, “Dalam surat ini, Allah bersumpah dengan ungkapan ‘Demi waktu!’ tujuannya memberi pelajaran bahwa waktu itu bersifat netral, tidak ada waktu khusus yang menyebabkan keburukan ataupun keberuntungan. Nilai waktu ditentukan bagaimana kita mengisinya. Kalau diisi dengan berbagai kebaikan, waktu akan menjadi kebaikan. Namun, kalau diisi dengan hal-hal yang tidak bermakna, waktu akan mendatangkan kerugian. Saat keberuntungan kita dapatkan, kita mesti bersyukur dengan mengucapkan alhamdulillahi robbil ‘alamiin. Pun ketika mendapatkan kegagalan, tidak perlu mengutuk waktu. Yang mesti dilakukan adalah melakukan instropeksi, sehingga dapat memperbaiki kesalahan”. (Tafsir al-Qur’an Kontemporer  I:144).
Pendapat Aam Amiruddin di atas sejalan dengan apa yang Allah informasikan melalui al-Qur’anul Karim.
مَّآ أَصَابَكَ مِنۡ حَسَنَةٖ فَمِنَ ٱللَّهِۖ وَمَآ أَصَابَكَ مِن سَيِّئَةٖ فَمِن نَّفۡسِكَۚ وَأَرۡسَلۡنَٰكَ لِلنَّاسِ رَسُولٗاۚ وَكَفَىٰ بِٱللَّهِ شَهِيدٗا ٧٩
“Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi”. Q.S. an-Nisaa (4) : 79.
قَالُواْ طَٰٓئِرُكُم مَّعَكُمۡ أَئِن ذُكِّرۡتُمۚ بَلۡ أَنتُمۡ قَوۡمٞ مُّسۡرِفُونَ ١٩
“Utusan-utusan itu berkata: "Kemalangan kamu adalah karena kamu sendiri. Apakah jika kamu diberi peringatan (kamu bernasib malang)? Sebenarnya kamu adalah kaum yang melampui batas". Q.S. Yaasiin (36) : 19.
M. Quraish Shihab, MA.mengomentari Q.S. an-Nisaa (4) : 79 tersebut dan berkata, “....ayat ini menegaskan sisi upaya manusia yang berkaitan dengan sebab dan akibat. Hukum-hukum alam dan kemasyarakatan cukup banyak dan beraneka ragam. Dampak baik dan dampak buruk untuk setiap gerak dan tindakan yang telah ditetapkan Allah melalui hukum-hukum tersebut. Manusia diberi kemampuan memilah dan memilih, dan masing-masing akan mendapatkan hasil pilihannya. Allah sendiri melalui perintah dan larangan-Nya menghendaki, bahkan menganjurkan, agar manusia meraih kebaikan dan nikmat-Nya. Karena itu, ditegaskan-Nya bahwa, ‘Apa saja nikmat yang engkau peroleh’, wahai Muhammad dan semua manusia, ‘Adalah dari Allah’, yakni Dia yang mewujudkan anugerah-Nya ‘Dan apa saja bencana yang menimpamu’, engkau wahai Muhammad dan siapa saja selainmu, ‘Maka’ bencana itu ‘Dari’ kesalahan ‘Dirimu sendiri’ karena ‘Kami mengutusmu’ tidak lain hanya ‘Menjadi Rasul’ untuk menyampaikan tuntunan-tuntunan Allah kepada ‘Segenap manusia’, kapan dan dimanapun mereka berada. Kami mengutusmu hanya menjadi rosul, bukan seorang yang dapat menentukan baik dan buruk sesuatu sehingga bukan karena terjadinya bencana atau keburukkan pada masamu kemudian dijadikan bukti bahwa engkau bukan rosul. Kalaulah mereka menduga demikian, biarkan saja, ‘Dan cukuplah Allah menjadi saksi’ atas kebenaranmu”. (Tafsir al-Misbah II:630-631).
Diantara para mufasir ada juga yang mengartikan al-‘Ashr dalam ayat ini dengan waktu shalat ‘Ashar. Artinya kita dituntut untuk memperhatikan dan menjaga shalat ‘Ashar.
حَٰفِظُواْ عَلَى ٱلصَّلَوَٰتِ وَٱلصَّلَوٰةِ ٱلۡوُسۡطَىٰ وَقُومُواْ لِلَّهِ قَٰنِتِينَ ٢٣٨
“Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa (shalat ‘Ashar). Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu”. Q.S. al-Baqarah (2) : 238.
الَّذِيتَفُوتُهُصَلَاةُالْعَصْرِكَأَنَّمَاوُتِرَأَهْلَهُوَمَالَهُ
“Orang yang meninggalkan shalat ‘Ashar, seakan-akan ia kehilangan keluarga dan hartanya”. H.R. Bukhari dan Muslim.
مَنْتَرَكَصَلَاةَالْعَصْرِفَقَدْحَبِطَعَمَلُهُ
“Barangsiapa yang meninggalkan shalat ‘Ashar, maka amalannya (pada hari itu) akan terhapus”. H.R. Bukhari.
Untuk mengetahui lebih banyak amalan-amalan apa saja yang bisa merusak amal silahkan baca buku Penyebab Rusaknya Amal karya Salim ‘Ied al-Hilali.
إِنَّ ٱلۡإِنسَٰنَ لَفِي خُسۡرٍ ٢إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلۡحَقِّ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلصَّبۡرِ ٣
“Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”. Q.S. al-‘Asr (103) : 2-3.
Ayat ke dua dan ketiga dalm surat ini menginformasikan bahwa seluruh manusia berada dalam kerugian kecuali:
1.      Orang yang beriman.
2.      Orang yang beramal shaleh.
3.      Orang yang saling menasehati dalam ketaatan.
4.      Orang yang saling menasehati dalam kesabaran.
Imam al-Ghozali berkata, “Semua manusia celaka kecuali mereka yang beriman. Semua yang beriman celaka kecuali mereka yang berilmu. Semua yang berilmu celaka kecuali mereka yang beramal. Semua yang beramal celaka kecuali yang ikhlas. Syetan sendiri menyatakan tidak sanggup menggoda orang-orang yang ikhlas.
قَالَ رَبِّ بِمَآ أَغۡوَيۡتَنِي لَأُزَيِّنَنَّ لَهُمۡ فِي ٱلۡأَرۡضِ وَلَأُغۡوِيَنَّهُمۡ أَجۡمَعِينَ ٣٩  إِلَّا عِبَادَكَ مِنۡهُمُ ٱلۡمُخۡلَصِينَ ٤٠
“Iblis berkata: ‘Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka". Q.S. al-Hijr (15) : 39-40.(Jeje Zaenuddin, Fiqih Dakwah Jam’iyyah hal. 192-193).
Imam Ali al-Hadi berkata, “Dunia ini adalah (seperti) pasar, ada seorang yang mendapat untung dan ada pula yang mendapat rugi”.(www.khazanahalquran.com).
Dikatakan berada dalam kerugian apabila kita tidak mengisi waktu dengan hal-hal yang bermanfaat.
قَدۡ أَفۡلَحَ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ ١ٱلَّذِينَ هُمۡ فِي صَلَاتِهِمۡ خَٰشِعُونَ ٢وَٱلَّذِينَ هُمۡ عَنِ ٱللَّغۡوِ مُعۡرِضُونَ ٣
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman. (yaitu) orang-orang yang khusyu´ dalam sembahyangnya dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna”. Q.S. al-Mu’minuun (23) : 1-3.
حُسْنِإِسْلَامِالْمَرْءِتَرْكُهُمَالَايَعْنِيهِ
“Diantara tanda kebaikan Islam seseorang adalah dia meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat baginya”. H.R. Tirmidzi.
1.      Beriman.
Dalam H.R. Muslim yang sangat panjang diceritakan Malaikat Jibril bertanya kepada Rosulullah mengenai Iman, Islam, dan Ihsan.
....يَارَسُولَاللَّهِمَاالْإِيمَانُقَالَأَنْتُؤْمِنَبِاللَّهِوَمَلَائِكَتِهِوَكِتَابِهِوَلِقَائِهِوَرُسُلِهِوَتُؤْمِنَبِالْبَعْثِالْآخِرِ.....
“....Ya Rasulullallah apa arti dari Iman?.Maka Rasulullah pun menjawab, “Kamu beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-Nya, beriman kepada kejadian pertemuan dengan-Nya, beriman kepada para Rasul-Nya, dan kamu beriman kepada hari kebangkitan yang akhir...”
Ada juga ulama yang mendefinisikan iman itu dengan, “Meyakini dalam hati, mengucapkan dengan lisan, dan membuktikannya dengan amal sholeh”.
Ust. Uci Hidayat berkata, “Iman harus dibuktikan dengan lambe, hate, dan gawe”.
Abu Amru berkata, “.....setiap mukmin itu pasti muslim, tetapi tidak setiap muslim itu mukmin”.(Ibnu Daqiiqil ‘Ied, Syarah Matan Hadits al-Arba’ien an-Nawawiyah hal. 42).
Walaupun iman itu abstrak, namun Allah menyebutkan sejumlah ciri orang-orang yang imannya benar yaitu:
إِنَّمَا ٱلۡمُؤۡمِنُونَ ٱلَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ ٱللَّهُ وَجِلَتۡ قُلُوبُهُمۡ وَإِذَا تُلِيَتۡ عَلَيۡهِمۡ ءَايَٰتُهُۥ زَادَتۡهُمۡ إِيمَٰنٗا وَعَلَىٰ رَبِّهِمۡ يَتَوَكَّلُونَ ٢ٱلَّذِينَ يُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَمِمَّا رَزَقۡنَٰهُمۡ يُنفِقُونَ ٣أُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ حَقّٗاۚ لَّهُمۡ دَرَجَٰتٌ عِندَ رَبِّهِمۡ وَمَغۡفِرَةٞ وَرِزۡقٞ كَرِيمٞ ٤
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezeki (nikmat) yang mulia”. Q.S. al-Anfal (8) : 2-4.
Iman itu bersifat fluktuatif artinya kadang meningkat dan kadang menurun.“Iman itu bisa bertambah dan bisa berkurang”.Oleh sebab itu, kita wajib merawat iman agar tetap prima supaya tidak terjerumus menjadi orang-orang yang merugi.(Aam Amiruddin, Tafsir al-Qur’an Kontemporer I:149).
Indikator dari bertambah dan berkurangnya iman yaitu dengan bertambah atau berkurangnya amal sholeh yang dikerjakan. Ibnu Daqiiqil ‘Ied berkata, “Sebagian ulama berkata, ‘Pada asalnya tashdiq (pembenaran) itu memang tidak bertambah ataupun berkurang, akan tetapi iman bila ditinjau secara syar’ie dapat bertambah dan berkurang sejalan dengan bertambah dan berkurangnya buah dari iman yang berupa amal”. (Syarah Hadits Arbain hal. 39).
Mafhum mukholafahnya (makna terbalik) selain ke empat golongan orang yang dikecualikan oleh ayat ini maka orang kafir termasuk golongan orang yang merugi meskipun ketika didunia mereka termasuk orang yang baik hati atau dermawan. Semua amal mereka seperti bedu yang berterbangan. Disebut rugi karena mereka hanya mendapatkan capenya saja tanpa mendapatkan pahala.
مَثَلُ مَا يُنفِقُونَ فِي هَٰذِهِ ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا كَمَثَلِ رِيحٖ فِيهَا صِرٌّ أَصَابَتۡ حَرۡثَ قَوۡمٖ ظَلَمُوٓاْ أَنفُسَهُمۡ فَأَهۡلَكَتۡهُۚ وَمَا ظَلَمَهُمُ ٱللَّهُ وَلَٰكِنۡ أَنفُسَهُمۡ يَظۡلِمُونَ ١١٧
“Perumpamaan harta yang mereka (orang kafir) nafkahkan di dalam kehidupan dunia ini, adalah seperti perumpamaan angin yang mengandung hawa yang sangat dingin, yang menimpa tanaman kaum yang menganiaya diri sendiri, lalu angin itu merusaknya. Allah tidak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri”. Q.S. Ali Imran (3) : 117.
وَٱلَّذِينَ كَفَرُوٓاْ أَعۡمَٰلُهُمۡ كَسَرَابِۢ بِقِيعَةٖ يَحۡسَبُهُ ٱلظَّمۡ‍َٔانُ مَآءً حَتَّىٰٓ إِذَا جَآءَهُۥ لَمۡ يَجِدۡهُ شَيۡ‍ٔٗا وَوَجَدَ ٱللَّهَ عِندَهُۥ فَوَفَّىٰهُ حِسَابَهُۥۗ وَٱللَّهُ سَرِيعُ ٱلۡحِسَابِ ٣٩
“Dan orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. Dan didapatinya (ketetapan) Allah disisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya”. Q.S. an-Nuur (24) : 39.
وَقَدِمۡنَآ إِلَىٰ مَا عَمِلُواْ مِنۡ عَمَلٖ فَجَعَلۡنَٰهُ هَبَآءٗ مَّنثُورًا ٢٣
“Dan kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan”. Q.S. al-Furqan (25) : 23.
أُوْلَٰٓئِكَٱلَّذِينَ كَفَرُواْ بِ‍َٔايَٰتِ رَبِّهِمۡ وَلِقَآئِهِۦ فَحَبِطَتۡ أَعۡمَٰلُهُمۡ فَلَا نُقِيمُ لَهُمۡ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ وَزۡنٗا ١٠٥
“Mereka itu orang-orang yang telah kufur terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan Dia, maka hapuslah amalan-amalan mereka, dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat”. Q.S. al-Kahfi (18) : 105.
M. Quraish Shihab berkata, “Bagi yang melakukan suatu pekerjaan namun ia tidak beriman, padahal hakikatnya ia tidak menantikan sesuatu di akhirat kelak. Karena ia tidak mempercayainya, bahkan ketika itu ia tidak menantikan ganjaran sama sekali. Sedangkan bagi mereka yang percaya akan adanya tuhan tetapi bukan Allah, maka kalaupun ia mengharapkan ganjaran di akhirat nanti, namun ganjaran tersebut tentunya tidak dinantikannya dari Allah, melainkan dari tuhan yang di sembahnya. Misalnya, dari matahari, bulan, bintang, atau apa saja yang dipertuhankan olehnya. Jadi, silahkan ia menuntut kepada tuhan-tuhan itu. Di sisi lain, tidak adil jika seseorang datang menuntut upah kepada orang lain yang ia sendiri tidak bekerja untuknya. Tidak wajar penyembah binyang, misalnya, datang kepada Allah untuk diberi ganjaran. Bukankah ia tidak melakukan pekerjaan ‘baik’-nya itu demi Allah? Lalu, mengapa ia datang menuntut kepada-Nya”.(Tafsir al-Misbah XV:502-503).
Syarat diterimanya amal seorang hamba harus memenuhi tiga kriteria:
Pertama, Iman.
إِنَّٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ كَانَتۡ لَهُمۡ جَنَّٰتُ ٱلۡفِرۡدَوۡسِ نُزُلًا ١٠٧
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka adalah surga Firdaus menjadi tempat tinggal”. Q.S. al-Kahfi (18) : 107.
مَنۡ عَمِلَ صَٰلِحٗا مِّن ذَكَرٍ أَوۡ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤۡمِنٞ فَلَنُحۡيِيَنَّهُۥ حَيَوٰةٗ طَيِّبَةٗۖ وَلَنَجۡزِيَنَّهُمۡ أَجۡرَهُم بِأَحۡسَنِ مَا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ ٩٧
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”. Q.S. an-Nahl (16) : 97.
“Katakanlah, saya beriman kepada Allah, lalu beristiqomahlah.” H.R. Muslim.
Kedua, Ikhlas.
فَٱدۡعُواْٱللَّهَ مُخۡلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ وَلَوۡ كَرِهَ ٱلۡكَٰفِرُونَ ١٤
“Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ibadat kepada-Nya, meskipun orang-orang kafir tidak menyukai(nya)”. Q.S. al-Ghafir (40) : 14.
وَمَآ أُمِرُوٓاْ إِلَّا لِيَعۡبُدُواْ ٱللَّهَ مُخۡلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ حُنَفَآءَ وَيُقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤۡتُواْ ٱلزَّكَوٰةَۚ وَذَٰلِكَ دِينُ ٱلۡقَيِّمَةِ ٥
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus”. Q.S. al-Bayyinah (98) : 5.
إِنَّاللَّهَلَايَقْبَلُمِنْالْعَمَلِإِلَّامَاكَانَلَهُخَالِصًاوَابْتُغِيَبِهِوَجْهُهُ
“Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla tidak menerima suatu amal kecuali dari orang yang ikhlas dan hanya mengharap wajah-Nya”. H.R. Nasa’i.
“Siapapun yang dengan ikhlas bersaksi: tidak ada yang berhak disembah selain Allah, akan dimasukkan ke surga.” H.R. Bazzar dan lain-lain.
Ketiga, Ittiba’ur Rasul (mengikuti tuntunan Rosulullah).
قُلۡ إِن كُنتُمۡ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِي يُحۡبِبۡكُمُ ٱللَّهُ وَيَغۡفِرۡ لَكُمۡ ذُنُوبَكُمۡۚ وَٱللَّهُ غَفُورٞ رَّحِيمٞ ٣١
“Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu". Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. Q.S. Ali Imran (3) : 31.
......وَمَآ ءَاتَىٰكُمُ ٱلرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَىٰكُمۡ عَنۡهُ فَٱنتَهُواْۚ وَٱتَّقُواْٱللَّهَۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلۡعِقَابِ ٧
“.....Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya”.Q.S. al-Hasyr (59) : 7.
مَنْعَمِلَعَمَلًالَيْسَعَلَيْهِأَمْرُنَافَهُوَرَدٌّ
“Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan yang tidak ada padanya perintahnya dari kami maka amalan itu tertolak”. H.R. Muslim.(Hartono Ahmad Jaiz & Abduh Zulfidar Akaha, Bila Kiai Dipertuhankan; membedah sikap beragama NU hal. 226-227& Muhammad bin Jamil Zainu, Akidah Islamiyyah Berdasarkan al-Qur’an dan Hadits Shahih hal. 13).
Ustad Uci Hidayat berkata, “Amalan seorang hamba harus tepat niat, tepat kaifiat, tepat saat, dan tepat tempat”.
Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah berkata, “Amal yang tidak disertai ikhlas dan kesungguhan, ibarat musafir yang memenuhi kantongnya dengan pasir. Dia membawanya dalam keadaan berat, namun tidak memberinya manfaat”.
2.      Beramal Shaleh.
Dalam al-Qur’an kalimat iman dan amal shaleh selalu disandingkan. Kurang lebih 70 ayat yang mengulang kalimat tersebut. Aam Amiruddin berkata, “Amal sholeh adalah aktivitas yang dilakukan dengan penuh kesadaran bahwa pekerjaan itu memberi manfaat untuk dirinya ataupun untuk orang lain. Selain itu, pekerjaan tersebut sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditentukan”.
Muhammad Abduh berkata, “Amal sholeh sebagai perbuatan yang berguna bagi diri pribadi, keluarga, kelompok, dan manusia secara keseluruhan”.
Zamakhsyari berkata, “Segala perbuatan yang sesuai dengan dalil akal, al-Qur’an, dan atau Sunnah Nabi Muhammad”. (Tafsir al-Qur’an Kontemporer I:149-150& M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah VI:718).
Seperti yang disebutkan tadi di atas bahwa setiap amal sholeh harus disertai dengan iman. Bila di ilustrasikan bahwa iman adalah pohon sedangkan amal sholeh merupakan buahnya. Iman tanpa amal sholeh seperti pohon tanpa buah sedangkan amal sholeh tanpa buah ibarat buah tanpa pohon. Bisa berbuah bagaimana kalau pohonnya tidak ada, maka sangat wajar bila amal orang-orang yang tidak beriman tidak akan diterima oleh Allah subhanahu wa ta’ala.
Sekecil apapun  amal yang kita perbuat, Allah pasti akan mengganjarnya.
يَوۡمَ تَجِدُ كُلُّ نَفۡسٖ مَّا عَمِلَتۡ مِنۡ خَيۡرٖ مُّحۡضَرٗا وَمَا عَمِلَتۡ مِن سُوٓءٖ تَوَدُّ لَوۡ أَنَّ بَيۡنَهَا وَبَيۡنَهُۥٓ أَمَدَۢا بَعِيدٗاۗ وَيُحَذِّرُكُمُ ٱللَّهُ نَفۡسَهُۥۗ وَٱللَّهُ رَءُوفُۢ بِٱلۡعِبَادِ ٣٠
“Pada hari ketika tiap-tiap diri mendapati segala kebajikan dihadapkan (dimukanya), begitu (juga) kejahatan yang telah dikerjakannya; ia ingin kalau kiranya antara ia dengan hari itu ada masa yang jauh; dan Allah memperingatkan kamu terhadap siksa-Nya. Dan Allah sangat Penyayang kepada hamba-hamba-Nya”. Q.S. Ali Imran (3) : 30.
فَمَن يَعۡمَلۡ مِثۡقَالَ ذَرَّةٍ خَيۡرٗا يَرَهُۥ ٧وَمَن يَعۡمَلۡ مِثۡقَالَ ذَرَّةٖ شَرّٗا يَرَهُۥ ٨
“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula”. Q.S. al-Zalzalah (99) : 7-8.
Banyak hadits yang menerangkan bahwa masuk surga bukan karena amal, diantaranya:
سَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا فَإِنَّهُ لَا يُدْخِلُ أَحَدًا الْجَنَّةَ عَمَلُهُ قَالُوا وَلَا أَنْتَ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ وَلاَ أَنَا إِلاَّ أَنْ يَتَغَمَّدَنِيَ اللهُ بِمَغْفِرَةٍ وَرَحْمَةٍ
“Tepatlah kalian, mendekatlah, dan bergembiralah, karena sesungguhnya amal tidak akan memasukkan seseorang ke dalam surga.” Para shahabat bertanya: “Termasuk juga anda wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Ya, termasuk juga saya, kecuali jika Allah menganugerahkan ampunan dan rahmat kepadaku”. H.R. Bukhari, Muslim, Ibnu Majah, dan Ahmad.
لَنْ يُنَجِّيَ أَحَدًا مِنْكُمْ عَمَلُهُ قَالُوا وَلَا أَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ وَلَا أَنَا إِلَّا أَنْ يَتَغَمَّدَنِي اللَّهُ بِرَحْمَةٍ سَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَاغْدُوا وَرُوحُوا وَشَيْءٌ مِنْ الدُّلْجَةِ وَالْقَصْدَ الْقَصْدَ تَبْلُغُوا
“Amal tidak akan bisa menyelamatkan seseorang di antara kalian.” Mereka bertanya: “Tidak pula anda wahai Rasulullah saw?” Beliau menjawab: “Ya, saya pun tidak, kecuali Allah menganugerahkan rahmat kepadaku. Tepatlah kalian, mendekatlah, beribadahlah di waktu pagi, sore, dan sedikit dari malam, beramallah yang pertengahan, yang pertengahan, kalian pasti akan sampai”.H.R. Bukhari.
سَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَاعْلَمُوا أَنْ لَنْ يُدْخِلَ أَحَدَكُمْ عَمَلُهُ الْجَنَّةَ وَأَنَّ أَحَبَّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ
Tepatlah kalian, mendekatlah, dan ketahuilah bahwasanya amal tidak akan memasukkan seseorang ke dalam surga. Sesungguhnya amal yang paling dicintai Allah itu adalah yang paling sering diamalkan walaupun sedikit.H.R. Bukhari.
Sementara itu, dalam riwayat Muslim, tidak hanya disebut tidak akan masuk surga saja, melainkan ditegaskan juga tidak akan selamat dari neraka:
لاَ يُدْخِلُ أَحَدًا مِنْكُمْ عَمَلُهُ الْجَنَّةَ وَلاَ يُجِيرُهُ مِنَ النَّارِ وَلاَ أَنَا إِلاَّ بِرَحْمَةٍ مِنَ اللهِ
Amal tidak akan memasukkan seseorang di antara kalian ke surga dan tidak pula menyelamatkannya dari neraka. Demikian juga saya, kecuali dengan rahmat Allah subhanahu wa ta’ala”.H.R. Muslim.
Muncul diskusi di kalangan para ulama terkait hadits di atas; benarkah masuk surga itu bukan karena amal? Jika demikian apa gunanya amal kita? Bagaimana pula kaitannya dengan firman-firman Allah subhanahu wa ta’alaberikut:
......وَنُودُوٓاْ أَنتِلۡكُمُ ٱلۡجَنَّةُ أُورِثۡتُمُوهَا بِمَا كُنتُمۡ تَعۡمَلُونَ ٤٣
“.....Dan diserukan kepada mereka: "ltulah surga yang diwariskan kepadamu, disebabkan apa yang dahulu kamu kerjakan". Q.S. al-A’raf (7) : 43.
ٱلَّذِينَ تَتَوَفَّىٰهُمُ ٱلۡمَلَٰٓئِكَةُ طَيِّبِينَ يَقُولُونَ سَلَٰمٌ عَلَيۡكُمُ ٱدۡخُلُواْ ٱلۡجَنَّةَ بِمَا كُنتُمۡ تَعۡمَلُونَ ٣٢
“(yaitu) orang-orang yang diwafatkan dalam keadaan baik oleh para malaikat dengan mengatakan (kepada mereka): "Salaamun´alaikum, masuklah kamu ke dalam surga itu disebabkan apa yang telah kamu kerjakan". Q.S. an-Nahl (16) : 32.
فَلَا تَعۡلَمُ نَفۡسٞ مَّآ أُخۡفِيَ لَهُم مِّن قُرَّةِ أَعۡيُنٖ جَزَآءَۢ بِمَا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ ١٧
“Tak seorangpun mengetahui berbagai nikmat yang menanti, yang indah dipandang sebagai balasan bagi mereka, atas apa yang mereka kerjakan”. Q.S. as-Sajdah (32) : 17.
وَتِلۡكَ ٱلۡجَنَّةُ ٱلَّتِيٓ أُورِثۡتُمُوهَا بِمَا كُنتُمۡ تَعۡمَلُونَ ٧٢
“Dan itulah surga yang diwariskan kepada kamu disebabkan amal-amal yang dahulu kamu kerjakan”. Q.S. az-Zukhruf (43) : 72.
Satu hal saja yang harus dicatat, semua ulama hadits tidak ada yang menyatakan bahwa hadits di atas bertentangan dengan ayat-ayat tersebut.Semuanya menempuh metode jam’ (menyatukan, mengompromikan) karena memang hadits di atas jelas keshahihannya. Sebuah pertanda juga bahwa hadits yang shahih haram ditolak meskipun tampaknya bertentangan dengan al-Qur`an. Sedapat mungkin carikan komprominya, karena tidak mungkin Nabi saw menentang al-Qur`an. Dan itulah yang ditempuh oleh para ulama hadits sebagaimana akan diuraikan berikut ini.
Imam Ibnu Bathal, sebagaimana dikutip Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bari, menjelaskan bahwa surga itu ada beberapa tingkatan. Ayat-ayat yang menjelaskan masuk surga karena amal, itu maksudnya adalah menempati tingkatan-tingkatannya itu. Sementara masuk surganya sendiri, itu mutlak hanya berdasarkan rahmat Allahsubhanahu wa ta’ala. Jadi, dengan rahmat Allah swt, seseorang ditentukan masuk surga dan tidaknya.Sesudah ada keputusan masuk surga, maka ketentuan masuk surga tingkatan yang mananya itu ditentukan berdasarkan amal.
Selanjutnya, Ibnu Bathal menjelaskan, bisa juga maksud dari ayat-ayat dan hadits di atas adalah saling menguatkan.Artinya, masuk surga itu tergantung rahmat Allah swt juga amal-amal kita.Demikian juga, penentuan tingkatan yang mananya di dalam surga itu tergantung rahmat Allah swt dan amal-amal kita.
Imam al-Karmani, Jamaluddin Ibnu as-Syaikh, dan Ibnu al-Qayyim menjelaskan bahwa huruf ‘ba’ pada ayat-ayat di atas bukan bermakna sebab (sababiyyah), melainkan bersamaan (ilshaq, mushahabah). Jadi bukan berarti masuk surga itu dengan sebab amal, melainkan masuk surga itu bersamaan adanya amal, karena sebab yang paling utamanya adalah rahmat Allah swt. Ini berarti bisa membantah pendapat Jabariyyah yang menyatakan bahwa masuk surga itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan amal, melainkan mutlak hanya rahmat Allah swt saja. Juga membantah pendapat Qadariyyah yang menyatakan bahwa masuk surga itu murni karena amal saja, tidak ada kaitannya dengan rahmat Allah swt.
Ibnu Hajar al-Asqalani memberikan penjelasan yang sedikit berbeda.Amal seseorang walau bagaimanapun tidak mungkin menyebabkannya masuk surga jika pada kenyataannya amal itu tidak diterima oleh Allah swt. Nah, persoalan amal itu diterima atau tidaknya, ini jelas wewenang Allah swt, dan ini mutlak berdasarkan rahmat Allah swt (semua pendapat ulama di atas dikutip dari Fath al-Bari kitab ar-riqaq bab al-qashd wal-mudawamah ‘alal-’amal).
Sementara itu, jawaban yang cukup panjang dapat ditemukan juga dalam salah satu risalah (tulisan ringkas) Imam Ibnu Taimiyyah yang dikodifikasikan dan diedit ulang oleh Muhammad Rasyad Salim dalam Jami’ur-Rasa`il, dalam risalah no. 9 berjudul risalah fi dukhulil-jannah hal yadkhulu ahadun al-jannah bi amalihi am yanqudluhu qauluhu saw la yadkhulu ahadun al-jannah bi ‘amalihi; risalah tentang masuk surga, apakah seseorang masuk surga itu disebabkan amalnya, ataukah terbantahkan dengan sabda Nabi saw seseorang tidak masuk surga dengan sebab amalnya.
Hal pertama yang ditekankan oleh Ibnu Taimiyyah adalah tidak mungkin hadits Nabi saw yang shahih bertentangan dengan al-Qur`an. Selanjutnya, Ibnu Taimiyyah juga menyatakan, huruf ‘ba’ yang ada dalam hadits dan ayat di atas, kedua-duanya memang menyatakan sebab. Hanya tentunya, menurut beliau, ketika sesuatu dinyatakan sebagai sebab, bukan berarti bahwa sebab tersebut adalah satu-satunya sebab dengan meniadakan yang lainnya. Contoh sederhananya adalah air hujan yang dinyatakan sebagai sebab tumbuhnya tumbuh-tumbuhan di bumi Q.S. Al-Baqarah (2) : 164 dan Q.S. Al-A’raf (7) : 57. Tentu yang dimaksud bukan hanya air hujan saja yang dapat menyebabkan tumbuh-tumbuhan itu tumbuh, melainkan juga ada sebab lainnya seperti angin, tanah, sinar matahari, yang kesemuanya itu sangat tergantung pada rahmat dan anugerah dari Allah swt.
Hadits yang disampaikan Nabi saw di atas, menurut Ibnu Taimiyyah, mengajarkan kepada kita untuk tidak memahami hubungan amal dan surga sebagai mu’awadlah; timbal balik, balas jasa, atau ganti rugi. Hal itu disebabkan:
Pertama, Allah swt sama sekali tidak butuh terhadap amal kita, tidak seperti halnya seorang majikan yang butuh kepada para pekerjanya. Amal manusia untuk manusia sendiri, karena kalaupun semua manusia tidak beramal Allah swt tidak ‘peduli’, Dia akan tetap sebagai Yang Mahakuasa dan Mahaperkasa [Lihat QS. Al-Baqarah (2) : 286, Fushshilat (41) : 46, an-Naml (27) : 40].
Kedua, amal seorang manusia tidak diwujudkan oleh dirinya sendiri, melainkan berkat anugerah dan rahmat Allah swt juga, mulai dari menghidupkannya, memberi rizki, memberi tenaga, kesehatan, mengutus rasul-rasul, menurunkan kitab-kitab, menjadikannya cinta kepada keimanan dan menjadikannya benci terhadap kekufuran. Semua itu adalah berkat rahmat Allah swt.
Ketiga, amal seorang manusia setinggi-tingginya tidak akan senilai dengan pahala yang diberikan Allah kepadanya, karena dalam pahala itu Allah swt sudah melipatgandakannya dari mulai 10 kali lipat, 700 kali lipat, bahkan sampai kelipatan yang tidak dapat terhitung nilainya.
Keempat, nikmat dan kesenangan yang telah diberikan Allah swt kepada manusia selama di dunia, walau bagaimanapun tidak akan mampu dibayar oleh manusia. Seandainya manusia diharuskan membayarnya dengan amal, pasti mereka tidak akan mampu beramal untuk membayarnya. Padahal jelas, manusia bisa beramal itu berkat nikmat-nikmat Allah swt tersebut.
Kelima, manusia selalu diliputi oleh dosa dan kesalahan. Seandainya saja tidak ada ampunan Allah swt dan kebijaksanaan-Nya untuk hanya mempertimbangkan amal-amal yang baik saja, dengan mengenyampingkan amal jeleknya, tentu manusia tidak akan mungkin masuk ke dalam surga [Lihat QS. Az-Zumar (39) : 33-35, al-Ahqaf (46) : 16]. Inilah di antara maksud sabda Nabi saw: “Ya, termasuk juga saya, kecuali jika Allah menganugerahkan ampunan dan rahmat kepadaku.”(Nashruddin Syarief, ar-Risalah II hal.163-168 ).
Umar Sulaiman al-Asyqari berkata, “Sebenarnya antara ayat-ayat ini dengan hadits-hadits tersebut tidaklah bertentangan. Ayat-ayat ini hanya menunjukkan bahwa amal-amal tersebut hanya menjadi sebab untuk masuk surga, bukan merupakan harga bagi surga. Sedangkan hadits tersebut menolak sekiranya amal-amal itu menjadi harga bagi surga. Memang, dalam masalah ini ada dua aliran yang tersesat. Pertama aliran Jabariyyah yang menggunakan hadits tersebut sebagai dasar bahwa balasan itu tidak tergantung pada amal karena amal seorang hamba pada hakikatnya bukanlah perbuatannya. Yang kedua, aliran Qodariyyah. Aliran ini menggunakan ayat-ayat tersebut sebagai dasar bahwa surga adalah harga bagi amalan. Oleh karena itu seorang hamba memiliki hak untuk dimasukkan surga oleh Tuhannya dengan amalannya”. (Surga dan Neraka hal. 183-184).
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata, “Dua dalil ini tidak saling bertentangan jika dilihat dari dua sudut berikut ini. Pertama, Sufyan mengatakan bahwa keselamatan dari Neraka lantaran maaf dari Allah. Masuk Surga berdasarkan kasih sayang Allah. Pembagian tempat dan derajat di akhirat berdasakan amal perbuatan. Hal ini ditunjukkan oleh hadits riwayat Abu Hurairah...”Penghuni Surga ketika memasuki Surga mereka menempatinya berdasarkan karunia amal perbuatan mereka”. H.R. Tirmidzi. Kedua, amal sholeh bukan satu-satunya faktor yang menyebabkan seseorang masuk Surga. Rosulullah telah mengumpulkan dua pendapat itu dalam satu hadits, “Bersungguh-sungguhlah, mendekatlah, beritakanlah, dan ketahuilah bahwa tak seorang pun yang selamat berkat amal perbuatannya’. Mereka bertanya, ‘Tidak pula pada dirimu, ya Rosulullah?’. Rosulullah bersabda, ‘Tidak pula pada diriku. Hanya saja Allah melimpahkan rahmat-Nya kepadaku”.(Surga yang Allah Janjikan hal. 101-102)
Dari uraian panjang ini bisa ditarik kesimpulan bahwa amal tetap sebagai penyebab adanya balasan surga. Hanya berdasarkan hadits ini seseorang tidak boleh ta’ajjub (berbangga diri) dengan amalnya sendiri, karena di sana pasti ada peran rahmat Allah swt. Dengan hadits ini juga seseorang tidak perlu takalluf (mempersulit diri) dengan amal-amal yang dikerjakannya. Tetap optimis dengan amal-amal yang sudah, sedang dan harus dikerjakan, sebagaimana tuntunan Nabi saw: saddidu, wa qaribu, wa absyiru, wa-ghdu, wa ruhu, wa syai`un minad-duljah, wal-qashda wal-qashda, semuanya itu pasti akan menyebabkan kita tablughu; sampai pada cita-cita yang diidamkan (surga).(Nashruddin Syarief, ar-Risalah II. Hal. 168).
Tidak semua amal shaleh di ridhai (diterima) oleh Allah. Ini mengindikasikan bahwa ada amal shaleh yang tidak di ridhai (diterima) oleh Allah. Sebagaimana di sebutkan di atas, setiap amal sholeh harus memenuhi tiga syarat. Selain itu kita pun di tuntut untuk berdoa supaya setiap amal sholeh yang kita kerjakan di ridhai atau diterima oleh Allah subhanahu wa ta’ala.
فَتَبَسَّمَ ضَاحِكٗا مِّن قَوۡلِهَا وَقَالَ رَبِّ أَوۡزِعۡنِيٓ أَنۡ أَشۡكُرَ نِعۡمَتَكَ ٱلَّتِيٓ أَنۡعَمۡتَ عَلَيَّ وَعَلَىٰ وَٰلِدَيَّ وَأَنۡ أَعۡمَلَ صَٰلِحٗا تَرۡضَىٰهُ وَأَدۡخِلۡنِي بِرَحۡمَتِكَ فِي عِبَادِكَ ٱلصَّٰلِحِينَ ١٩
“Maka dia tersenyum dengan tertawa karena (mendengar) perkataan semut itu. Dan dia berdoa: "Ya Tuhanku berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh”. Q.S. an-Naml (27) : 19.
3.      Saling Wasiat Dalam kebenaran.
Kata al-Haq di sini berarti kebenaran yang pasti, yaitu ajaran Islam. Maka syarat agar manusia terhindar dari kerugian adalah mengetahui kebenaran Islam, mengamalkannya, dan menyampaikan kepada orang lain. Siapa saja yang tidak mau mengajak manusia lain untuk berpegang pada kebenaran Islam setelah ia mengetahuinya, ia termasuk dalam golongan yang merugi.(Aam Amiruddin, Tafsir al-Qur’an Kontemporer, I:150 dan M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah II:210).
Untuk mengetahui kebenaran tentu dengan jalan mencari ilmu karena tidak ada orang yang tahu dengan sendirinya sebab tahu itu infial (buah dari hasil usaha).Mengajak orang lain berada jalan kebenaran bukan sekedar tugas para kiai, ustadz, ataupun lembaga-lembaga dakwah, juga tidak hanya terbatas di mimbar, masjid, majlis ta’lim, namun merupakan kewajiban setiap individu muslim sesuai kadar kemampuan, dimana pun dan kapan pun ketika kita melihat kemungkaran wajib mengubahnya.
عَنْ أَبِي سَعِيْد الْخُدْرِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ : مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَراً فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ
Dari Abu Sa’id Al Khudri radiallahuanhu berkata : Saya mendengar Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Siapa yang melihat kemunkaran maka rubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka rubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu maka (tolaklah) dengan hatinya dan hal tersebut adalah selemah-lemahnya iman”. H.R. Muslim.
Saling menasehati untuk berpegang teguh pada kebenaran harus dilakukan dengan ilmu, penuh kearifan, dan menggunakan kata-kata yang santun, sebagaimana firman Allah,
ٱدۡعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِٱلۡحِكۡمَةِ وَٱلۡمَوۡعِظَةِ ٱلۡحَسَنَةِۖ وَجَٰدِلۡهُم بِٱلَّتِي هِيَ أَحۡسَنُۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعۡلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِۦ وَهُوَ أَعۡلَمُ بِٱلۡمُهۡتَدِينَ ١٢٥
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”. Q.S. an-Nahl (16) : 125.
4.      Saling Berwasiat Dalam Kesabaran.
Kesabaran adalah suatu kekuatan jiwa yang membuat orang menjadi tabah menghadapi berbagai ujian. Sabar begitu penting untuk kita miliki.
وَٱسۡتَعِينُواْ بِٱلصَّبۡرِ وَٱلصَّلَوٰةِۚ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى ٱلۡخَٰشِعِينَ ٤٥
“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu”. Q.S. al-Baqarah (2) : 45.
Allah menyebut sabar sebanyak 103 kali dalam al-Qur’an dengan berbagai konteks. Jiwa sabar harus kita miliki karena ujian akan selalu mewarnai kehidupan kita,
وَلَنَبۡلُوَنَّكُم بِشَيۡءٖ مِّنَ ٱلۡخَوۡفِ وَٱلۡجُوعِ وَنَقۡصٖ مِّنَ ٱلۡأَمۡوَٰلِ وَٱلۡأَنفُسِ وَٱلثَّمَرَٰتِۗ وَبَشِّرِ ٱلصَّٰبِرِينَ ١٥٥
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar”. Q.S. al-Baqarah (2) : 155.(Aam Amiruddin, Tafsir al-Qur’an Kontemporer I:152).
Abu Hatim Al-Bisiy berkata, “Sabar itu ada tiga macam, yaitu sabar dari (meninggalkan) kemaksiatan (segala macam bentuk kedurhakaan) kepada Allah SWT; sabar dalam keta'atan kepada Allah SWT; dan sabar atas segala bentuk kejelekan dan musibah. Dan yang paling utama sabar dari perbuatan maksiat”.
Dalam Al-Ihya disebutkan bahwa sabar itu ada dua, yang pertama bersifat badani, dan yang kedua bersifat moral (ash-shabru an-nafsu) dari syahwat-syahwat naluri dan tuntunan-tuntunan hawa nafsu.
Bentuk kesabaran yang kedua, yaitu ash-shabru an-nafsu adalah diantaranya
1.      Sabar dari syahwat perut dan kemaluan disebut iffah;
2.      Sabar dalam menerima musibah, yang kebalikannya disebut al-jaza'u, artinya keluh kesah;
3.      Sabar dalam kondisi serba kecukupan, disebut dengan mengendalikan nafsu, kebalikannya sombong;
4.      Sabar dalam peperangan dan pertempuran disebut syaja'ah, kebalikannya adalah al-jubnu (pengecut);
5.      Sabar dalam mengekang kemarahan disebut al-hilmu (lemah lembut) kebalikannya adalah tadzammur (emosional);
6.      Sabar dalam menyimpan perkatan disebut katum/al-kitman (penyimpan rahasia);
7.      Sabar dari kelebihan disebut zuhud, kebalikannya adalah al-hirshu (serakah).
Dalam kitab tersebut, apabila disimpulkan ternyata bahwa sabar itu terbagi menjadi lima macam
1.      Ash-Shabru 'ala an-ni'matdi sebut juga ash-shabru ‘ala al-‘afiyat. Arti asalnya sehat. Yang dimaksud dengan al-‘afiayat adalah segala bentuk kesenangan dunia, karena kesehatan merupakan sesuatu yang identik dengan sesuatu yang mengenakan hati.
2.      Ash-Shabru 'ala ath-tha'atyaitu sabar dalam menjalankan ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
3.      Ash-Shabru 'an al-ma'ashiyaitu sabar dalam menjauhi kemaksiatan.
4.      Ash-Shabru 'an al-adzayaitu sabar atas segala macam gangguan yang menimpa, jika hal ini tidak bisa dilakukan maka akan membangkitkan segala macam keburukan, yakni hilangnya kendali hawa nafsu yang akan dapat membuat kita melakukan pelanggaran terhadap hukum Allah subhanahu wa ta’ala seperti balas dendam.
5.      Ash-Shabru 'an al-mashaibyaitu sabar ketika menghadapi segala sesuatu yang tidak mengenakan hati.(Buletin Mujahid No. 23-25 Desember 2014).
Abdullah Gymnastiar  berkata, “Sabar dalam menghadapi karakter manusia”. Hal senada juga dilontarkan oleh Aam Amiruddin. (Tafsir al-Qur’an Kontemporer I:153).  Dua pendapat ini menjadi uraian dari poin lima yaitu sabar ketika menghadapi segala sesuatu yang tidak mengenakan hati. Untuk lebih jelas mengenai sabar, silahkan baca buku ‘Uddatush Shaabiriin karya Ibnu Qayyim al-Jauziyyah.
عَجَبًالِأَمْرِالْمُؤْمِنِإِنَّأَمْرَهُكُلَّهُخَيْرٌوَلَيْسَذَاكَلِأَحَدٍإِلَّالِلْمُؤْمِنِإِنْأَصَابَتْهُسَرَّاءُشَكَرَفَكَانَخَيْرًالَهُوَإِنْأَصَابَتْهُضَرَّاءُصَبَرَفَكَانَخَيْرًالَهُ
“Sungguh mengagumkan urusan orang yang beriman, segala urusannya itu baik, dan tidak dialami hal itu kecuali hanya oleh orang yang beriman. Jika ia mendapat kegembiraan ia bersyukur dan itu baik baginya. Jika merasakan penderitaan ia bersabar dan itu menjadi baik baginya”. H.R. Muslim.
Ibnu Abbas berkata, “Tidak ada seorangpun kecuali ia akan sedih dan gembira, akan tetapi orang yang beriman akan mengangkal musibah-Nya dengan sabar dan menyambut anugerah-Nya dengan syukur.”(Tafsir al-Qurthubi, XVII:258 dalam Dudung Abdul Rohman,Resep Hidup Bangkit Dari Keterpurukan hal. 14).
Imam al-Ghazaliberkata, “Orang yang bersyukur adalah orang yang bersabar. Begitu juga orang yang bersabar pada hakikatnya adalah orang yang bersyukur. Dengan demikian, memang antara sabar dan syukur itu tidak dapat dipisahkan”. (Minhajul Abidin hal. 358).
Sungguh agung kandungan makna surat al-‘Ashr ini, sampai Imam Syafi’ipun berkata, “Seandainya umat Islam memikirkan kandungan surat ini, niscaya petunjuk-petunjuknya mencukupi mereka”. (Tafsir al-Qur’an Kontemporer, I:154).Wallahu a’lam bishshawab.

SUMBER BACAAN
A. Qadir Hassan. Ilmu Musthalah Hadits. CV. Diponegoro Bandung, 2002. Cet. VIII.
A. Zakaria. al-Hidayah. Ibn Azka Press Garut, 2006. Cet. II.
-----. Etika Hidup Seorang Muslim. Ibnu Azka Press Garut, 2006. Cet. III.
A.D. EL. Marzdedeq. Parasit Akidah. Syamil Cipta Media Bandung, 2005.
Aam Amiruddin. Tafsir al-Qur’an Kontemporer. Khazanah Intelektual Bandung, 2007. Cet. V.
Abdullah bin Abdul Aziz at-Tuwaijiry. al-Bida’ al-Hauliyah. Edisis Indonesia: Ritual Bid’ah Dalam Setahun. Pen: Munirul Abididn. Darul Falah Bekasi, 2010. Cet. VIII.
Abu Abdullah Muhammad bin Ismail Bukhori. Shohih Bukhori. Darul Fikr Bairut, 2003.
Abdurrahman Hasan Alu Syaikh. Fathul Majid. Pen: Ibtida’in Hamzah dkk. Pustaka Azzam Jakarta, 2011. Cet. XX.
Abu Husain Muslim bin Hijaj. Shohih Muslim.Darul Fikr Bairut, 2007.
Departemen Agama RI. Terjemah dan Tafsir al-Qur’an. J-ART, 2005.
Dudung Abdul Rohman. Resep Hidup Bangkit Dari Keterpurukan. Yapesdum Press Sumedang, 2005.
Hartono Ahmad Jaiz & Abduh Zulfidar Akaha. Bila Kiai Dipertuhankan; membedah sikap beragama NU. Pustaka al-Kautsar Jakarta, 2005. Cet. V.
Hartono Ahmad Jaiz. Tarekat, Tasawuf, Tahlilan & Maulidan. Wacana Ilmiah Press, 2007. Cet. II.
Ibnu Daqiiqil ‘Ied. Syarah Matan Hadits al-Arba’ien an-Nawawiyah. Edisi Indonesia: Syarah Hadits Arba’in. Pen: Abu Umar Abdullah asy-Syarif, Pustaka at-Tibyan Solo (tt).
Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah. ‘Uddatush Shoobiriin. Edisi indonesia: ‘Uddatush Shoobiriin Bekal Untuk Orang-Orang Yang Sabar. Pen: Iman Firdaus, Qisthi Press Jakarta, 2010. Cet. I.
-----. Hadil Arwah ila Biladil Afroh. Edisi Indonesia: Surga yang Allah Janjikan. Pen: Zainul Maarif. Qisthi Press Jakarta, 2012. Cet. II.
Ihsan Ilahi Zhahir&Abdurrahman Abdul Kholiq. Pemikiran Sufisme Dibawah Bayang-Bayang Fatamorgana. Penyunting: Ikhwan Fauzi Rizal, S.E. Amzah (tt).
----- Dirosah Fi Tasawuf. Edisi Indonesia: Darah Hitam Tasawuf. Pen: Fadhli Bahri, Lc. Darul Falah Jakarta, 2001. Cet. II.
Imam al-Ghazali. Minhajul Abidin. Edisi Indonesia: Minhajul Abidin Petunjuk Ahli Ibadah. Pen: Abul Hiyadh. Mutiara Ilmu Surabaya, 1995. Cet. I.
Jeje Zaenudin. Fiqih Dakwah Jam’iyyah. Pembela Islam Jakarta, 2012. Cet. I.
M. Quraish Shihab.  Tafsir al-Misbah. Lentera Hati Tangerang, 2009. Cet. I.
Mahrus Ali. Mantan Kiai NU Meluruskan Ritual-Ritual Kiai Ahli Bid’ah Yang Dianggap Sunnah. Laa Tasyuk Press Surabaya, 2008. Cet. X.
Muhammad bin Jamil Zainu. Islamic Creed Based on Qur’an & Sunnah. Edisi Indonesia: Akidah Islamiyyah Berdasarkan al-Qur’an dan Hadits Shahih. Pen: Abu Dihya & Abu Haiqa.
Nashruddin Syarief. ar-Risalah. Persis Press Bandung, 2012. Cet. III.
R. Akip Prawira Soeganda. Upacara Adat di Pasundan. CV. Wahana Iptek Bandung, 2007. Cet. I
Sa’ied al-Makhtum. Waktu Adalah Surga. CV. Hilal Media Gruop Bogor, 2013. Cet. I.
Salim bin ‘Ied al-Hilaly. Mubthilaatul A’maal fii Dhau-il Qur’aan al-Kariim was Sunnah ash-Shohiihah al-Muthobbaroh. Edisi Indonesia: Penyebab Rusaknya Amal. Pen: Badrussalam, Lc. Pustaka Imam Syafi’i, 2009. Cet. V.
Solikhin Abu Izzudin. Zero To Hero. Pro-U Media Yogyakarta, 2006. Cet. III
Umar Sulaiman Asyqari. Al-yaum Akhir: al-jannatu Wan Nar. Edisi Indonesia: Surga dan Neraka, Pen: Masrohan Ahmad. Cipta Media Yogyakarta, 2006. Cet. I.
Uu Suhendar. Tafsir al-Razi: Kasaluyuan Surat, Ayat, Jeung Mufrodat. Pustaka al-Razi Tasikmalaya, 2011. Cet. II.
Yusuf al-Qaradhawi. Mauqiful Islam: minal Ilham wal-Kasyf war-Ro’yu. Edisi Indonesia: Alam Gaib; Sikap Islam Terhadap Ilham, Kasyaf, Mimpi, Jimat, Ramalan, Dan Mantra. Pen: H.M. Wahib Aziz, Lc. Senayan Abadi Publishing Jakarta, 2005. Cet. II.
Buletin Mujahid no. 23 Th. III, 12 Desember 2014.
----- no. 24 Th. III, 19 Desember 2014.      
----- no. 25 Th. III, 26 Desember 2014.
Majalah Risalah, no. 42 Th. XXXXII, Dzulhijjah 1425/Januari 2005.
----- no. 9 Th. XXXXVIII, Dzulhijjah 1431 / Desember 2010.
http:// www.khazanahalquran.com>tafsir-surat-alashr.
http://www.arriauny.blogspot.com>rebo-wekasan.
http://www.idrusramli.com>hakekat-rebo-wekasan-(rabu terakhir)-shafar.
http://www.nahimungkar.com>syaikh-hasyim-asya’ari-pendiri-nu-melarang-sholat-rebo-wekasan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad

Responsive Ads Here