Oleh M. Nurachman
(Penasihat
PC. Pemuda Persatuan Islam Sumedang Selatan)
وَٱلۡعَصۡرِ ١
“Demi
masa (waktu)”. Q.S. al-‘Asr (103) : 1.
Kalau kita perhatikan surat-surat atau
ayat-ayat yang ada dalam al-Qur’an, kita akan banyak menemukan Allah bersumpah
dengan apa saja. Huruf Wau dalam ayat diatas termasuk Wau Qosam
(sumpah). Kadang Dia bersumpah dengan Langit, Bumi, Waktu dan lain sebagainya.
Seperti yang terlihat dalam Q.S. al-‘Asr (103) : 1 ini, Allah bersumpah dengan
masa (waktu). Kenapa Allah bersumpah dengan masa (waktu)?. Artinya masa (waktu)
adalah sesuatu yang sangat penting sehingga Allah bersumpah dengannya dan kita
selaku manusia sudah sepantasnyalah untuk memperhatikan masa (waktu).
Imam Syafi’i berkata, “Waktu ibarat
pedang, jika engkau tidak menebasnya, maka dialah yang akan menebasmu. Dan
jiwamu jika tak kau sibukkan di dalam kebenaran, maka ia akan menyibukkanmu
dalam kebatilan”.
Sa’ied
al-Makhtum berkata, “Waktu ibarat pisau bermata dua. Satu sisi memberikan
keuntungan sedangkan sisi yang lain bisa menyebabkan kerugian. Gunakanlah waktu
dengan baik agar selalu memberikan keuntungan”.(Waktu Adalah Surga, hal.
6).
Ibnu
Umar berkata, “Jika mempunyai kesempatan beramal pada waktu petang janganlah
kau tangguhkan sampai esok pagi. Saat kau punya kesempatan di pagi hari,
janganlah kau tangguhkan sampai sore hari”. (Ibnu Daqiiqil ‘Ied, Syarah
Hadits Arbain hal. 170).
Ali
bin Abi Thalib berkata, “Hidarilah menyia-nyiakan umur untuk sesuatu yang
tidak abadi bagi kalian. Sebab sesuatu yang telah berlalu tidak akan kembali”.(Sa’ied
al-Makhtum, Waktu Adalah Surga, hal. 42).
Solikhin
Abu Izzudin berkata, “Barangsiapa yang tidak menyibukkan diri dalam
kebaikan, niscaya ia akan disibukkan dalam keburukan”. (Zero To Hero, hal.
29).
Dalam
bahasa Arab,al-Waqtu diartikan dengan sesuatu yang agak berjangka
seperti semenit, sejam, sehari, seminggu, sebulan, setahun, dan sejenisnya.
Sedangkan al-‘Ashr diartikan dengan sesuatu yang jaraknya sangat singkat
seperti detik atau ukuran waktu yang paling sempit. Artinya melalui surat ini
Allah hendak menyampaikan pesan janganlah manusia menyia-nyiakan waktu walaupun
sesaatpun karena waktu yang telah berlalu tidak bisa ditarik kembali walaupun
satu detik.
Maka
dari itu sebelum melakukan sesuatu hal harus dipikirkan terlebih dahalu
masak-masak jangan sampai terjadi penyesalan dikemudian hari. Kalaupun hal yang
tidak kita inginkan terjadi, kalau sebelumnya sudah dipikirkan terlebih dahulu
dengan matang tidak akan terjadi penyesalan. Lain halnya dengan yang tidak
dipikirkan terlebih dahulu. Jangan memberi peluang kepada syetan dengan ucapan
“seandainya, sekiranya”, ucapan seperti itu timbul karena ketika akan melangkah
tidak difikirkan terlebih dahulu.
..........يَقُولُونَ
لَوۡ كَانَ لَنَا مِنَ ٱلۡأَمۡرِ شَيۡءٞ مَّا قُتِلۡنَا هَٰهُنَاۗ قُل لَّوۡ
كُنتُمۡ فِي بُيُوتِكُمۡ لَبَرَزَ ٱلَّذِينَ كُتِبَ عَلَيۡهِمُ ٱلۡقَتۡلُ إِلَىٰ
مَضَاجِعِهِمۡۖ وَلِيَبۡتَلِيَ ٱللَّهُ مَا فِي صُدُورِكُمۡ وَلِيُمَحِّصَ مَا فِي
قُلُوبِكُمۡۚ وَٱللَّهُ عَلِيمُۢ بِذَاتِ ٱلصُّدُورِ ١٥٤
“.....mereka
berkata: "Sekiranya ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam
urusan ini, niscaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) di sini". Katakanlah:
"Sekiranya kamu berada di rumahmu, niscaya orang-orang yang telah
ditakdirkan akan mati terbunuh itu keluar (juga) ke tempat mereka
terbunuh". Dan Allah (berbuat demikian) untuk menguji apa yang ada dalam
dadamu dan untuk membersihkan apa yang ada dalam hatimu. Allah Maha Mengetahui
isi hati”. Q.S. Ali Imran (3) : 154.
ٱلَّذِينَ قَالُواْ لِإِخۡوَٰنِهِمۡ وَقَعَدُواْ لَوۡ
أَطَاعُونَا مَا قُتِلُواْۗ قُلۡ فَٱدۡرَءُواْ عَنۡ أَنفُسِكُمُ ٱلۡمَوۡتَ إِن
كُنتُمۡ صَٰدِقِينَ ١٦٨
“Orang-orang
yang mengatakan kepada saudara-saudaranya dan mereka tidak turut pergi
berperang: "Sekiranya mereka mengikuti kita, tentulah mereka tidak
terbunuh". Katakanlah: "Tolaklah kematian itu dari dirimu, jika kamu
orang-orang yang benar". Q.S. Ali Imran (3) :
168.
الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى
اللَّهِ مِنْ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا
يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلَا تَعْجَزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلَا
تَقُلْ لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ
وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ
“Seorang
mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada seorang mukmin
yang lemah. Dan dalam segala hal lebih baik. Maka bersemangatlah dalam mencari
yang bermanfaat bagimu dan mintalah pertolongan kepada Allah dan janganlah
memperlemah diri. Apabila sesuatu menimpamu maka jangan katakan, ‘Kalau saya
berbuat ini pasti kejadiannya begini dan begitu’, akan tetapi katakanlah, ‘Ini
adalah taqdir Allah dan Allah berbuat sesuai dengan kehendak-Nya’. Karena
perkataan ‘Seandainya/kalau’ akan membukakan amalan syetan”. H.R.
Muslim.
Dalam
menentukan pilihan harus didasarkan pada pertimbangan, karena salah dalam
mengambil pertimbangan sepersekian detik bisa merubah segalanya. Seperti dalam permainan
catur, salah melangkah bisa skak stair. Dalam peribahasa Sunda ada ungkapan, “Sing
asak-asak ngejo bisi tutung tambagana. Sing asak-asak nenjo bisi kaduhung
engkena”.Ust. Atep Nurodin berkata, “Jangan Menyesal dalam tiga perkara.
Setelah menjual, setelah membeli, dan setelah menikah”.
Ibnu
Qayyim al-Jauziyyah berkata, “Waktu seseorang pada hakikatnya adalah
umurnya. Ia adalah unsur penting kehidupan abadi di surga, atau unsur penting
kehidupannya di azab yang pedih. Waktu itu berlalu laksana awan. Waktu yang
digunakan untuk Allah itulah hidup dan umurnya yang hakiki. Selain itu tidak
termasuk waktu dan hidupnya, meski dia hidup layaknya binatang. Apabila dia
menghabiskan waktunya dalam kelalaian, kealpaan, dan keinginan-keinginan yang
batil dan sebaik-baiknya pengisi waktu baginya adalah tidur dan nganggur, maka
kematian orang seperti ini lebih baik daripada kehidupannya”.(Sa’ied
al-Makhtum, Waktu Adalah Surga hal. 31-32).
Maka
dari itu hargailah orang yang meluangkan waktunya untuk kita sebab pada
hakikatnya dia telah memberikan sebagian nyawanya untuk kita. Beruntunglah bagi
orang yang diberi keluangan waktu oleh orang lain. Jangan sia-siakan
kepercayaannya itu dengan datang terlambat atau membatalkan/tidak menempati
janji.
Ali
bin Abi Thalib berkata, “Rizki yang tidak dapat diperoleh hari ini masih
bisa diharapkan diperoleh hari esok, tetapi waktu yang berlalu hari ini tidak
mungkin dapat diharapkan kembali esok”.(Aam Amiruddin.. Tafsir al-Qur’an
Kontemporer I:147).
Solikhin
Abu Izzudin berkata, “Ada tiga hal yang tak pernah kita dapatkan kembali
yaitu: kata yang telah terucap; waktu yang telah lewat; dan momentum yang
diabaikan”.
Menurut
Hasan al-Bashri bahwa, “Waktu hanya ada tiga: waktu kemarin yang sudah bukan
milik kita lagi; esok hari yang belum tentu kita punyai; dan sekarang yang ada
di tangan kita”.
Sedangkan
Hasan al-Banna berkata, “Kenyataan hari ini adalah mimpi kemarin, dan mimpi
hari ini adalah kenyataan esok hari”. (Zero To Hero, hal. 33, 66, dan 83).
Sekaya,
sepintar, dan sekuat apapun manusia tidak ada seorangpun yang dapat membeli,
memperlambat, dan mempercepat waktu. Banyak orang yang bisa membeli alat
penunjuk waktu tapi tidak ada satu orangpun yang dapat membeli waktu.Maka benar
ungkapan bahasa arab yang mengatakan bahwa waktu lebih berharga daripada emas.
Begitupun tidak ada orang yang bisa “bertamu” ke masa yang akan datang dan
tidak ada seorang pun yang mengetahui perihal hari esok.
إِنَّ ٱللَّهَ عِندَهُۥ عِلۡمُ ٱلسَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ
ٱلۡغَيۡثَ وَيَعۡلَمُ مَا فِي ٱلۡأَرۡحَامِۖ وَمَا تَدۡرِي نَفۡسٞ مَّاذَا
تَكۡسِبُ غَدٗاۖ وَمَا تَدۡرِي نَفۡسُۢ بِأَيِّ أَرۡضٖ تَمُوتُۚ إِنَّ ٱللَّهَ
عَلِيمٌ خَبِيرُۢ ٣٤
“Sesungguhnya
Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dialah
Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada
seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya
besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. Q.S.
Luqman (31) : 34.
Bila
ada orang yang tahu akan nasib seseorang dikemudian hari, dapat dipastikan
bahwa orang tersebut bohong tidak usah dipercaya. Orang tersebut adalah kahin,
arafan, dukun, yang haram bagi seorang muslim untuk mempercayai akan hal
tersebut. Hari esok merupakan salah satu hal yang ghaib, tidak seorangpun yang
mengetahuinya. Rasulullah sendiri tidak tahu akan hari esok.
قُل لَّآ أَمۡلِكُ لِنَفۡسِي نَفۡعٗا وَلَا ضَرًّا
إِلَّا مَا شَآءَ ٱللَّهُۚ وَلَوۡ كُنتُ أَعۡلَمُ ٱلۡغَيۡبَ لَٱسۡتَكۡثَرۡتُ مِنَ
ٱلۡخَيۡرِ وَمَا مَسَّنِيَ ٱلسُّوٓءُۚ إِنۡ أَنَا۠ إِلَّا نَذِيرٞ وَبَشِيرٞ
لِّقَوۡمٖ يُؤۡمِنُونَ ١٨٨
“Katakanlah:
"Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula)
menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku
mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan
aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi
peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman". Q.S.
al-A’raf (7) : 188.
Pergunakan
waktu yang sangat sempit ini untuk beribadah. Karena manusia tidak tahu kapan
dirinya mati. Di Barat ada ungkapan, “Waktu adalah uang” dan dalam bahasa Arab ungkapannya berbunyi, “Seluruh
hidupku untuk ibadah”.Ustad Lili Somantri berkata, “Hidup sekali, ibadah
sekalian”.
Ada
sebait syair dalam salah satu lagu yang dibawakan oleh group musik Bimbo
berbunyi, “Berbuat baik janganlah di tunda-tunda, beramal sholeh janganlah
di tunda-tunda”.Begitu pula dalam ungkapan bahasa Sunda ada istilah, “Tong
di engke-engke bisi kaburu jadi bangke. Tong dilila-lila bisi kaburu jadi
tumila. Tong di entar-entar bisi kaburu kabentar”. Kenapa dalam berbuat
baik kita harus menyegeraknnya? Karena manusia tidak tahu kapan dirinya akan
meninggal.
Ada
hadits yang menerangkan, “Bekerjalah untuk duniamu seolah-olah kamu akan
hidup selamanya dan bekerjalah untuk akhiratmu (ibadah) seolah-olah kamu akan
mati besok”. Menurut Syaikh Muhammad Nashiruddin Albani, “Hadits ini
tidak ada sumbernya yang marfu’ (sampai ke Nabi), sekalipun (hadits ini)
populer di zaman akhir ini”. (A. Zakaria, al-Hidayah III:265).
Menurut
A.Q. Hassan dalam bukunya Ilmu Mushthalah Hadits hal. 239 disebutkan bahwa
hadits di atas sanadnya lemah, tetapi isinya cocok dengan ayat al-Qur’an ini:
وَٱبۡتَغِ فِيمَآ ءَاتَىٰكَ ٱللَّهُ ٱلدَّارَ
ٱلۡأٓخِرَةَۖ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ ٱلدُّنۡيَاۖ وَأَحۡسِن كَمَآ أَحۡسَنَ
ٱللَّهُ إِلَيۡكَۖ وَلَا تَبۡغِ ٱلۡفَسَادَ فِي ٱلۡأَرۡضِۖ إِنَّ ٱللَّهَ لَا
يُحِبُّ ٱلۡمُفۡسِدِينَ ٧٧
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari
(kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah
telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka)
bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”. Q.S.
al-Qashshas (28) : 77.
Menurut
penulis, hadits di atas bukanlah perkataan Rasulullah tapi bahasa mutiara yang
dikarang manusia untuk memotifasi dalam beribadah. Memang secara sanad
haditsnya dhaif tetapi secara makna dapat diterima. Beramallah sebelum datang
kematian karena banyak orang yang sudah mati ingin dihidupkan kembali dan
dikembalikan lagi ke dunia hanya untuk beramal.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَنفِقُواْ مِمَّا
رَزَقۡنَٰكُم مِّن قَبۡلِ أَن يَأۡتِيَ يَوۡمٞ لَّا بَيۡعٞ فِيهِ وَلَا خُلَّةٞ
وَلَا شَفَٰعَةٞۗ وَٱلۡكَٰفِرُونَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ ٢٥٤
“Hai
orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezeki
yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak
ada lagi jual beli dan tidak ada lagi syafa´at. Dan orang-orang kafir itulah
orang-orang yang zalim”. Q.S. al-Baqarah (2) :
254.
وَهُمۡ يَصۡطَرِخُونَ فِيهَا رَبَّنَآ أَخۡرِجۡنَا
نَعۡمَلۡ صَٰلِحًا غَيۡرَ ٱلَّذِي كُنَّا نَعۡمَلُۚ أَوَ لَمۡ نُعَمِّرۡكُم مَّا
يَتَذَكَّرُ فِيهِ مَن تَذَكَّرَ وَجَآءَكُمُ ٱلنَّذِيرُۖ فَذُوقُواْ فَمَا
لِلظَّٰلِمِينَ مِن نَّصِيرٍ ٣٧
“Dan
mereka berteriak di dalam neraka itu: "Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami
niscaya kami akan mengerjakan amal yang saleh berlainan dengan yang telah kami
kerjakan". Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup
untuk berfikir bagi orang yang mau berfikir, dan (apakah tidak) datang kepada
kamu pemberi peringatan? maka rasakanlah (azab Kami) dan tidak ada bagi orang-orang
yang zalim seorang penolongpun”. Q.S. Fatir (35)
: 37.
وَأَنفِقُواْ مِن مَّا رَزَقۡنَٰكُم مِّن قَبۡلِ أَن
يَأۡتِيَ أَحَدَكُمُ ٱلۡمَوۡتُ فَيَقُولَ رَبِّ لَوۡلَآ أَخَّرۡتَنِيٓ إِلَىٰٓ
أَجَلٖ قَرِيبٖ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُن مِّنَ ٱلصَّٰلِحِينَ ١٠
“Dan
belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang
kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: "Ya
Rabb-ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang
dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang
saleh?”. Q.S. al-Munafiqun (63) : 10.
Di
Akhirat kelak manusia tidak akan beranjak sebelum ditanya mengenai 5 perkara.
لَاتَزُولُقَدَمَاعَبْدٍيَوْمَالْقِيَامَةِحَتَّىيُسْأَلَعَنْعُمُرِهِفِيمَاأَفْنَاهُوَعَنْعِلْمِهِفِيمَفَعَلَوَعَنْمَالِهِمِنْأَيْنَاكْتَسَبَهُوَفِيمَأَنْفَقَهُوَعَنْجِسْمِهِفِيمَأَبْلَاهُقَالَهَذَاحَدِيثٌحَسَنٌصَحِيحٌوَسَعِيدُبْنُعَبْدِاللَّهِبْنِجُرَيْجٍهُوَبَصْرِيٌّوَهُوَمَوْلَىأَبِيبَرْزَةَوَأَبُوبَرْزَةَاسْمُهُنَضْلَةُبْنُعُبَيْدٍ
“Tidaklah
bergeser telapak kaki Bani Adam pada hari kiamat dari sisi Robb-nya hingga
ditanya lima perkara; Umurnya untuk apa dia gunakan, Masa mudanya untuk apa dia
habiskan, Hartanya dari mana ia dapatkan dan untuk apa ia belanjakan, dan Apa
yang ia perbuat dengan ilmu-ilmu yang telah ia ketahui”. H.R.
Tirmidzi.
Pandai-pandailah
dalam memanfaatkan waktu yang diberikan oleh Allah kepada kita. Setiap manusia
diberi waktu yang sama oleh Allah subhanahu wa ta’ala, 60 detik dalam satu
menit, 60 menit dalam satu jam, 7 hari dalam satu minggu, 30 hari dalam satu
bulan, dan 360 hari dalam satu tahun. Persoalannya mau diisi dengan apa waktu
tersebut?. Apakah dengan hal yang positif atau dengan hal yang negatif. Waktu
itu seperti gelas tergantung kita mau mengisinya dengan apa?. Maka dari itu
hidup di dunia seperti perlombaan, Fastabiqul Khairat(Berlomba-lomba
dalam berbuat kebaikan) sebagaimana yang tertera dalam Q.S. al-Baqarah (2) :
148.
فَإِذَا فَرَغۡتَ فَٱنصَبۡ
٧ وَإِلَىٰ رَبِّكَ فَٱرۡغَب ٨
“Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan),
kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain dan hanya kepada
Tuhanmulah hendaknya kamu berharap”. Q.S.
al-Insyirah (94) : 7-8.
Ayat
ini memberi petunjuk bahwa seseorang harus selalu memiliki kesibukkan. Bila
telah berakhir suatu pekerjaan, ia harus memulai lagi dengan pekerjaan yang
lain, sehingga dengan ayat ini seorang muslim tidak akan pernah menyia-nyiakan
waktunya. (M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah XV:365).
Ibnu
Qayyim al-Jauziyyah berkata, “Menyia-nyiakan waktu lebih jelek dibanding
kematian. Karena hilangnya waktu memutusmu dari mengingat Allah dan hari
akhirat, sedang kematian hanya memutusmu dari dunia dan penghuninya”.
Ustad
Uci Hidayat berkata, “Mangpang meungpeung samemeh ngangkeuleng, tatan-tatan
samemeh datang kamaotan”.
إِنَّالصِّحَّةَوَالْفَرَاغَنِعْمَتَانِمِنْنِعَمِاللَّهِمَغْبُونٌفِيهِمَاكَثِيرٌمِنْالنَّاسِ
“Sesungguhnya
kesehatan dan waktu luang, dua nikmat diantara nikmat-nikmat Allah yang suka
disepelekan oleh kebanyakan orang”. H.R. Bukhari dan
Ahmad.
“Manfaatkanlah
lima perkara sebelum lima perkara; Waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu,
Waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu, Waktu kayamu sebelum datang waktu
miskinmu, Waktu luangmu sebelum datang waktu sibukmu, dan Waktu hidupmu sebelum
datang waktu matimu”. H.R. Hakim.
“Segeralah
beramal sebelum datang tujuh perkara yaitu kekafiran yang akan melupakanmu
untuk taat kepada Allah, kekayaan yang membutmu banyak melanggar batas dan
membuatmu sibuk, sakit yang akan melemahkan kondisi fisik dan semangat, masa
tua yang membuatmu tidak produktif atau pikun, kematian yang pasti akan kau
alami dan memutuskanmu dari segala amal, Dajjal yang menggodamu dan mengubah
fikiranmu, dan kiamat yang menghancurkanmu dan seluruh alam”.
H.R. Tirmidzi. (Risalah, no. 10 Th. XXXII Januari 2005 hal. 3).
“Barangsiapa
yang dua hari baginya sama, maka ia adalah orang yang tertipu, sedangkan orang
yang keadaanya hari ini lebih buruk maka ia adalah orang yang terlaknat”. Keterangan
di atas diragukan validitas keshohihannya karena hanya mimpi Abdul Azis bin Abi
Rawad, namun secara matan memberikan suatu isyarat bahwa sejatinya bagi orang
yang beriman itu hidupnya mesti menuju kepada sesuatu yang lebih baik lagi dan
lebih baik lagi, dan seterusnya demikian. Sehingga pantas bila Rosulullah
bersabda bahwa jika bertambah hari tetapi tidak bertambah kebaikan atau ilmu,
maka sesungguhnya hari tersebut tiada bermanfaat baginya.
“Apabila
tiba kepadaku suatu hari namun tidak bertambah pada hari itu ilmu bagiku, maka
terbitnya matahari pada hari itu tidak membawa keberkahan bagiku”. H.R.
Thabrani.(Risalah, hal. 53 no. 9 Th. XXXXVIII).
Ibnu
Mas’ud berkata, “Tidak ada penyesalan bagiku yang melebihi penyesalanku atas
suatu hari yang mataharinya telah terbenam, umurku telah berkurang, namun
amalku tidak bertambah”. (Sa’ied al-Makhtum, Waktu Adalah Surga hal. 30).
Imam
al-Ghazali berkata, “Bagi orang yang berakal wajib baginya mempunyai empat
waktu/saat:Pertama, Satu saat ia bermunajat/berdoa kepada Tuhannya,Kedua,
Satu saat ia menghisab dirinya,Ketiga, Satu saat untuk mentafakuri
ciptaannya,Keempat, Satu saat untuk menyiapkan diri untuk mencari
makanan dan minuman”.(A. Zakaria, Etika Hidup Seorang Muslim hal. 169-170).
Imam
Syafi’i membagi waktu malamnya menjadi tiga yakni sepertiga pertama untuk
menulis ilmu, sepertiga kedua untuk shalat malam (tahajud), dan sepertiga
ketiga untuk tidur. (Solikhin Abu Izzudin, Zero To Hero hal 110).
Ibnu
Taimiyyah berkata, “Hendaknya seorang hamba memiliki waktu-waktu khusus
menyendiri untuk berdoa, shalat, merenung, muhasabah, dan memperbaiki hatinya”.
Menurut
istilah manajemen, “Hidup terencana, hidup terukur, dan hidup terevaluasi”.
(Uu Suhendar, Tafsir al-Razi; Kasaluyuan Surat, Ayat, Jeung Mufradat. Hal.
131).
Bila
dihitung waktu antara shalat dengan tidur sungguh sangat jauh perbandingannya.
Kalau satu kali sholat 10 menit artinya dalam sehari semalam kita hanya
menghabiskan waktu hanya 50 menit atau kurang dari 1 jam. Satu bulan 1500 menit
atau 25 jam atau 1 hari lebih 1 jam. Satu tahun 18.000 menit atau 750 jam atau
31 hari 15 menit atau satu bulan lebih 15 menit. Seandainya kita diberi jatah
umur oleh Allah 60 tahun, usia akil baligh 15 tahun artinya masa produktif
untuk sholat sekitar 45 tahun. Selama 45 tahun atau seumur hidup kita shlaat
hanya 1.406,25 jam atau 3,906 tahun atau 3 tahun 3 bulan atau sekitar 4,2% dari
hidup kita, 95,8% sisanya untuk hal-hal yang diluar shalat. Hitungan itu belum
dipotong dengan lupa, jama qashar, shalat sambil melamun, shalat sambil duduk
atau berbaring, dan lainnya. Kalau kaum Hawa belum di potong oleh haid dan
nifas.
Bandingkan
dengan persentase tidur. Dalam sehari semalam kita tidur sekitar 8 jam atau 1/3
hari. Sebulan 240 jam atau 4 hari. Setahun 2.880 jam atau 48 hari atau 1,6
bulan. Seandainya kita diberi jatah umur
oleh Allah 60 tahun maka untuk tidur saja memerlukan waktu sekitar 96 bulan
atau 8 tahun atau 1/3 dari hidup kita. Hitungan tersebut belum ditambah tidur
siang, tidur ketika menaiki kendaraan, tidur di masjid tatkala Jum’atan dan
atau pengajian, dan lainnya. Tentu hitungannya akan lebih besar lagi dari
hitungan di atas.
Satu
hari di akhirat sama dengan 1.000 tahun di dunia berarti 24 jam di akhirat sama
dengan 1.000 tahun di dunia. Maka tiga jam di akhirat sama dengan 125 tahun di
dunia dan satu setengah jam di akhirat sama dengan 62,5 tahun di dunia. Apabila
umur manusia itu rata-rata 60-70 tahun, maka hidup manusia ini jika di lihat
dari langit hanyalah satu setengah jam saja. Pantaslah kita selalu diingatkan
akan pentingnya masalah waktu.
Menurut
Muhammad Abduh, latar belakang turunnya ayat ini karena orang-orang Arab punya
kebiasaan berkumpul dan berbincang-bincang menyangkut berbagai hal. Tidak
jarang dalam pembicaraan itu mereka menyalahkan waktu kalau menghadapi
kegagalan dengan berkata, “Dasar waktu sial!”. Kadangkala memuji kalau
mendapat keberuntungan, “Wah, ini waktu keberuntungan!”. (Aam Amiruddin,
Tafsir al-Qur’an Kontemporer I:144).
Islam
sangat melarang mencaci waktu karena dengan mencaci waktu secara tidak langsung
telah mancaci Allah, karena Allah adalah pengatur waktu.
وَقَالُواْ مَا هِيَ إِلَّا حَيَاتُنَا ٱلدُّنۡيَا
نَمُوتُ وَنَحۡيَا وَمَا يُهۡلِكُنَآ إِلَّا ٱلدَّهۡرُۚ وَمَا لَهُم بِذَٰلِكَ
مِنۡ عِلۡمٍۖ إِنۡ هُمۡ إِلَّا يَظُنُّونَ ٢٤
“Dan
mereka berkata: "Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia
saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain
masa", dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu,
mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja”. Q.S.
al-Jaasiyah (45) : 24.
“Allah
ta’ala berfirman, ‘Manusia telah menyakiti Aku. Dia mencaci maki waktu, padahal
Aku adalah pemilik dan pengatur waktu, Aku-lah yang mengatur malam dan siang
menjadi silih berganti”. H.R. Bukhari dan
Muslim.
Muhammad
bin Sholih al-‘Utsaimin berkata, “Ada tiga macam sikap orang terhadap waktu:
Pertama,
orang yang hanya sekedar menyatakan suatu berita tanpa di iringi celaan, maka
sikap seperti ini hukumnya jaiz (boleh). Misalnya seorang berujar, “Telah
membuat kita lelah panas matahari hari!”. Atau ungkapan yang senada. Karena
amal perbuatan itu, termasuk juga pembicaraan, tergantung niatnya. Dan ungkapan
seperti ini sah-sah saja, sebagaimana firman Allah di dalam Q.S. Huud (11) : 77
“Luth berkata, ‘Ini hari yang sangat sulit”.
Kedua,
orang yang mencela waktu dengan suatu keyakinan
bahwa waktulah yang telah memutar balikkan berbagi urusan kepada hal yang baik
dan hal yang buruk. Sikap seperti ini jelas merupakan syirik akbar
karena secara tidak langsung ia sudah memiliki keyakinan bahwa ada dzat selain
Allah sebagai pencipta. Seolah-olah kita punya i’tikad bahwa pengatur
itu adalah waktu. Ini artinya, menganggap ada sesuatu yang berkuasa selain
Allah. Sikap ini menyebabkan kepada pelakunya menjadi kufur. Sama saja
dengan orang yang meyakini ada illah selain Allah yang patut disembah.
Maka tak pelak lagi, nomor kedua ini dosa besar dan meyebabkan pelakunya
sebagai kafir.
Ketiga,
ada orang yang mencela waktu tetapi tanpa keyakinan
bahwa waktulah sebagai fa’il-nya (sumbernya). Ia tetap mengakui Allahlah
Sang Pengatur hakiki. Akan tetapi, ia mencela dikarenakan posisinya menempati
sesuatu yang ia benci. Umpamanya, menganggap yang menggalkan acaranya itu
adalah hujan namun ia tetap sadar yang menurunkan hujan itu pada hakikatnya
ialah Allah subhanahu wa ta’ala. Sikap terakhir ini pun diharamkan tetapi tidak
sampai kepada syirik. Pangkal dari sikap ini adalah kebodohan akalnya dan
kesesatan dalam pemahaman agamanya. Karena sebenarnya penghinaan itu akan
kembali kepada Allah. Sebab Allahlah yang mengatur perjalanan waktu dan
didalamnya mengandung kebaikan dan keburukan, maka bukan waktu sang pelakunya.
Pencelaan ini tidak menyebabkan orang yang mencelanya menjadi kafir, karena ia
tidak menghina Allah secara langsung”.(Majalah Risalah, Desember 2011 hal.
51-52).
Dimasyarakat
Sunda khususnya, ada beberapa keyakinan seputar bulan Shafar yaitu:
Pertama,
secara umum orang tua dulu melarang keras untuk mengadakan pernikahan karena
Bulan Shofar diyakini sebagai bulan kawin dan berkelahinya anjing sehingga bila
pernikahan dilaksanakan pada bulan Shafar dikhawatirkan ketika berumah tangga
tabiaatnya seperti anjing.
Kedua,jika
ada anak yang dilahirkan pada bulan Shafar maka dari sejak terlepas tali uri
dan selanjutnya setiap tahun diwaktu hari kelahiran sampai anak itu dewasa,
harus disedekahi kue apem dengan ditambah juadah yang lain dengan maksud supaya
penyakit yang menjadi tabiaat itu berkurang karena beranggapan anak yang
melahirkan pada bulan Shafar mempunyai tabiiat “sasapareun” yaitu suka
berkelahi seperti tabiat anjing dan kalau anak yang dilahirkan itu perempuan
kata pepatah “raris anjing” artinya banyak yang menyukai seperti anjing, kurang
pemberiannya.
Ketiga,
nama anak yang lahir di bulan Shafar, kalau tidak mengambil nama binatang air,
maka akan memakai nama yang hampir sama dengan nama bulan itu seperti Saparjan,
Sapria, Saparuh, Saparsih, dll. (R. Akip Prawira Soeganda, Upacara Adat di
Pasundan hal. 138).
Dimasyarakat
pada umumnya setiap hari Rabu terakhir di bulan Shafar suka dilaksanakan
upacara Rebo Wekasan dengan melaksanakan sholat 4 rakaat untuk menolak
bala karena mereka berkeyakinan bahwa pada hari Rabu terakhir bulan Shafar,
Allah menurunkan 320.000 penyakit. Keyakinan tersebut bersumber dari mimpi atau
ilham seorang sufi. (www.idrusramli.com).Shalat tolak bala dilaksanakan 4
rokaat, dalam setiap rokaat membaca al-Fatihah satu kali, surat al-Ikhlas 15
kali, dan Mu’awwidzatayn satu kali, lalu berdoa.
Mimpi
atau ilham seorang yang bukan Nabi tidak bisa dijadikan dalil untuk dijadikan
sandaran hukum. Untuk mengetahui lebih jauh mengenai masalah ilham, mimpi, dan
kasyaf; silahkan baca buku-buku berikut:Ihsan Ilahi Zhahir,Dirasah Fi
Tasawuf. Edisi Indonesia: Darah Hitam Tasawuf; Ihsan Ilahi Zhahir
& Abdurrahman Abdul Khaliq, Pemikiran Sufisme Dibawah Bayang-Bayang
Fatamorgana;Yusuf al-Qaradhawi, Mauqiful Islam: minal Ilham wal-Kasyf
war-Ra’yu. Edisi Indonesia: Alam Gaib; Sikap Islam Terhadap Ilham,
Kasyaf, Mimpi, Jimat, Ramalan, Dan Mantra; dan Hartono Ahmad Jaiz, Tarekat,
Tasawuf, Tahlilan & Maulidan.
Hasyim
al-Asy’ari pendiri sekaligus Rais Aam Akbar NU melarang akan pelaksanaan shalat
rebo wekasan. Beliau berkata bahwa sholat tersebut tidak masyru’ah
atau tidak disyariatkan. (http://www.nahi mungkar.com).
Terkadang
dalam menyambut Rebo Wekasan, masyarakat membuat kupat, sayur mayur, dan
tangtang angin, lalu didoakan oleh sesepuh desa dan/atau “kiai” kemudian
makanan yang sudah di doakan tersebut di bagikan kepada keluarg, saudara,
tetangga dan handai tolan. Ada kalanya antara masyarakat yang satu dengan
masyarakat yang lain saling bertukar makanan khas tersebut. Terkadang orang
yang datang ke sesepuh desa atau “kiai” itu meminta tolong supaya terlepas dari
marabahaya Rebo Wekasan dan oleh “kiai” orang yang datang itu diberi
isim yaitu tulisan ayat al-Qur’an yang ditulis pada secarik kertas lalu oleh
orang itu direndam dalam air dan airnya dipakai mandi dan/atau minum. Dan
kadang-kadang jika orangnya banyak, ada juga isim itu dimasukkan ke dalam sumur
atau kolam supaya dapat dipakai mandi orang banyak. (R. Akip Prawira Soeganda,
Upacara Adat di Pasundan hal. 138).
Tak
sedikit dari mereka menyebut hari Rabu terakhir bulan Shafar dengan istilah
lebaran dikarenakan prosesi penyambutan hari tersebut mirip dengan penyambutan
ketika labaran ‘Ied Fitri. Tangtang angin, cabe merah, bawang putih, dan
rumput-rumputan digantungkan di atas pintu rumah, pintu kamar, kandang ternak,
dan ke leher binatang ternak. Dengan maksud untuk menolak bahaya dan roh jahat.
Tangtang
angin dan sebagainya tersebut diganti setiap satu tahun sekali setiap datangnya
Rabu terakhir bulan Shafar seiring dengan prosesi upacara itu. Dalam buku Parasit
Akidah karya A.D. El. Marzdedeq hal. 24, bahwa perbuatan itu berasal dari
agama Tu dan Yang. Jelas perbuatan tersebut termasuk syirik sebagaimana
dijelaskan oleh hadits,
.....إِنَّالرُّقَىوَالتَّمَائِمَوَالتِّوَلَةَشِرْكٌ.....
“Sesungguhnya
jampi-jampi, jimat dan pelet adalah bentuk kesyirikan”. H.R.
Abu Dawud.
Mahrus
Ali (mantan Kiai NU) berkata, “Perbuatan tersebut (memperingati rebo
wekasan) adalah bid’ah yang perlu diingkari dan dijauhi sejauh-jauhnya”.
(Mantan Kiai NU Meluruskan Ritual-Ritual Kiai Ahli Bid’ah Yang Dianggap Sunnah
hal. 36).
فَإِذَا جَآءَتۡهُمُ ٱلۡحَسَنَةُ قَالُواْ لَنَا
هَٰذِهِۦۖ وَإِن تُصِبۡهُمۡ سَيِّئَةٞ يَطَّيَّرُواْ بِمُوسَىٰ وَمَن مَّعَهُۥٓۗ
أَلَآ إِنَّمَا طَٰٓئِرُهُمۡ عِندَ ٱللَّهِ وَلَٰكِنَّ أَكۡثَرَهُمۡ لَا
يَعۡلَمُونَ ١٣١
“Kemudian
apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkata: "Itu adalah
karena (usaha) kami". Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan
sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang besertanya. Ketahuilah,
sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi
kebanyakan mereka tidak mengetahui”. Q.S. al-A’raf
(7) : 131.
لَاعَدْوَىوَلَاطِيَرَةَوَلَاهَامَةَوَلَاصَفَرَ
“Tidak
ada ‘adwa (penularan penyakit dengan sendirinya), tidak ada thiyaroh (kesialan
karena suara atau arah terbang burung), tidak ada Hamah (kesialan karena burung
hantu, atau tidak ada yang namanya ruh gentayangan yang menjadi burung karena
tidak dibalaskan dendamnya), dan tidak ada Shofar. Larilah dari orang yang
penderita penyakit kusta seperti larimu dari singa”.
H.R. Bukhari dan Muslim. Dalam H.R. Muslim yang lain ada tambahan, “.......dan
tidak ada nau’ (turunnya hujan diakibatkan karena bintang) dan ghul (hantu
genderuwo)”.
لَاعَدْوَىوَلَاطِيَرَةَوَيُعْجِبُنِيالْفَأْلُالصَّالِحُوَالْفَأْلُالصَّالِحُالْكَلِمَةُالْحَسَنَةُ
“Tidak
ada ‘adwa dan thiyaroh, tetapi fa’l menyenangkan diriku’. Para sahabat
bertanya, ‘Apakah fa’l itu?’. Beliau menjawab, ‘Kalimat thoyibah (kata-kata
yang baik)”. H.R. Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud.
....أَنَّأَهْلَالْجَاهِلِيَّةِيَسْتَشْئِمُونَبِصَفَرٍفَقَالَالنَّبِيُّصَلَّىاللَّهُعَلَيْهِوَسَلَّمَلَاصَفَرَ.....
“Sesungguhnya
orang-orang Jahiliyah menisbatkan kesialan kepada bulan Shofar maka Rosulullah
bersabda, ‘Tidak ada kesialan nasib karena bulan Shafar”. H.R.
Bukhori dan Abu Dawud.
Al-Baidhawi
berkata, “Sabda Nabi: ‘Tidak ada Shafar’ adalah penolakan terhadap anggapan
bahwa pada bulan Shafar ada banyak malapetaka” (al-Qastalani, Syarah
Bukhori: VIII/318, hal senada juga ditulis oleh al-Fatani dalam Majma’ Biharil
Anwar: II/251). (www.arriauny.blogspot.com).
Ismail
al-Dahlawi berkata, “Masuk dalam ini adalah apa yang diyakini oleh
orang-orang bodoh di India bahwa hari ke 13 hari pertama bulan Shafar adalah
hari naas, banyak diturunkan bala. Mereka menyebutnya Tiroh Tizi artinya
hari-hari tiga belas yang berat”. (ad-Dahlawi, Risalah Tauhid,
diterjemahkan kedalam bahasa Arab oleh Abul Hasan an-Nahwi, diterbitkan oleh
Dinas Urusan Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, cet. 1434/2004, hal.73-74).
(www.arriauny.blogspot.com).
الطِّيَرَةُشِرْكٌالطِّيَرَةُشِرْكٌثَلَاثًاوَمَامِنَّاإِلَّاوَلَكِنَّاللَّهَيُذْهِبُهُبِالتَّوَكُّلِ
“Thiyarah
(pesimis, merasa akan bernasib sial karena khurafat) itu adalah syirik” Nabi
menyebutkan tiga kali, “Tidaklah setiap kita melainkan (pernah mengalaminya)
akan tetapi Allah menghilangkannya dengan tawakal”.H.R.
Abu Dawud.
أَحْمَدُالْقُرَشِيُّقَالَذُكِرَتْالطِّيَرَةُعِنْدَالنَّبِيِّصَلَّىاللَّهُعَلَيْهِوَسَلَّمَفَقَالَأَحْسَنُهَاالْفَأْلُوَلَاتَرُدُّمُسْلِمًافَإِذَارَأَىأَحَدُكُمْمَايَكْرَهُفَلْيَقُلْاللَّهُمَّلَايَأْتِيبِالْحَسَنَاتِإِلَّاأَنْتَوَلَايَدْفَعُالسَّيِّئَاتِإِلَّاأَنْتَوَلَاحَوْلَوَلَاقُوَّةَإِلَّابِكَ
“Thiyarah
disebut-sebut dihadapan Rasulullah, maka beliaupun bersabda, ‘Yang paling baik
adalah fa’l dan thiyaroh tersebut tidak boleh menggagalkan seorang muslim dari
niatnya. Apabila sesuatu yang tidak diinginkannya maka supaya berdoa, ALLAHUMMA
LAA YA’TII BILHASANAATI ILLA ANTA WA LAA YADFA’USSAYYIAATI ILLA ANTA WA LAA
HAULA WA LAA QUWWATA ILLA BIKA. ‘Ya Allah, tidak ada yang dapat mendatangkan
kebaikan selain Engkau, dan tidak ada daya serta kekutan kecuali dengan
pertolongan Engkau”. H.R. Abu Dawud.
“Setiap
yang membatalkan dari hajatnya oleh thiyarah, maka ia telah berbuat syirik’.
Mereka bertanya, ‘Wahai Rosulullah, kalau begitu apa tebusannya?’. Beliau
bersabda, ALLAHUMMA LAA KHAIRA ILLA KHOIRUKA WA LAA THAIRA ILAA THAIRUKA WA LAA
ILAAHA GHAIRUKA ‘Ya Allah tidak ada kebaikan kecuali kebaikan-Mu. Tidak ada
kesialan nasib (keburukan, musibah) kecuali kesialan nasib (dalam takdir) Mu,
dan tidak ada sesembahan yang benar selain-Mu”. H.R.
Abu Dawud.
“Sesungguhnya thiyarAh itu adalah yang menjadikan
kamu terus melangkah atau mengurungkan niat (dari keperluan)”. H.R.
Ahmad.(Dalil tentang thiyarah dapat dibaca dalam Fathul Majid hal.
571-589).
Abdullah bin Abdul Aziz at-Tuwaijiry berkata, “Dengan
demikian melakukan peramalan tentang kesialan dan bersikap pesimis terhadap
waktu, seseorang, tempat, dan sebagainya termasuk perbuatan syirik seperti di
tegaskan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beberapa hadits di
atas”. (Ritual-Ritual Bid’ah Dalam Setahun hal. 135-136).
Selainrebo
wekasan, dimasyarakat juga berkembang keyakinan mengenai larangan bulan.
Larangan bulan adalah dilarang bepergian kesuatu daerah yang di sana ada kala-nya.
Menurut
Ustad Lili Somanteri keyakinan larangan bulan berasal dari agama Hindu. “Dikisahkan
ada seorang manusia yang bernama Bataraguru yang sakti mandraguna ingin
menikahi seorang wanita cantik yang sedang bertapa atau semedi di gua. Ternyata
wanita itu adalah Dewi dari Kahyangan bukan manusia biasa. Mendengar permintaan
Bataraguru yang ingin menikahi dirinya, maka sang dewi pun terbangun lalu
terbang menghindar. Melihat sang dewi terbang, Bataraguru pun mengejar sang
dewi. Terus di kejar dan terus di
tangkap namun tidak kena, justeru yang kena yaitu pakaian sang dewi maka
tersingkaplah pakaian sang dewi. Terus mengejar dan terus melihat tubuh
telanjang sang dewi yang cantik, maka keluarlah air sperma dari Bataraguru dan
menetes ke tanah. Hasil tetesan sperma tersebut jadilah raksaksa bernama
Batarakala. Lalu dia berkelana ke penjuru dunia tanpa tujuan. Bertemulah
Batarakala dengan Semar, lalu Semar memerintahkan Batarakala untuk bulan
pertama menetap di penjuru timur, bulan kedua menetap di penjuru utara, bulan
ke tiga menetap di penjuru barat, bulan ke empat menetap di penjuru selatan,
begitulah seterusnya”.
Sehingga
timbullah keyakinan bila bulan pertama (misalnya) Batarakala sedang berada di
timur, maka manusia tidak boleh bepergian ke timur karena akan “menyambut” kala
(bahaya), hendaklah dia pergi ke penjuru lain atau mengurungkan niatnya. Bila
memaksakan diri, maka dia akan tertimpa bencana atau marabahaya. Maka
berkembanglah keyakinan larangan bulan.
Dalam
akidah Islam tidak dikenal apa yang disebut dengan Dewa, Dewi, dan larangan
bulan. Bagi umat Islam haram berkeyakinan dan berprilaku seperti itu. Keyakinan
seperti itu termasuk syirik dan perilakunya termasuk kufur.
مَن تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ
فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barang
siapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk dalam kaum tersebut.” H.R. Abu Daud,
Ahmad dan Ibnu Abi Syaibah.
Aam
Amiruddin berkata, “Dalam surat ini, Allah bersumpah dengan ungkapan ‘Demi
waktu!’ tujuannya memberi pelajaran bahwa waktu itu bersifat netral, tidak ada
waktu khusus yang menyebabkan keburukan ataupun keberuntungan. Nilai waktu
ditentukan bagaimana kita mengisinya. Kalau diisi dengan berbagai kebaikan,
waktu akan menjadi kebaikan. Namun, kalau diisi dengan hal-hal yang tidak
bermakna, waktu akan mendatangkan kerugian. Saat keberuntungan kita dapatkan,
kita mesti bersyukur dengan mengucapkan alhamdulillahi robbil ‘alamiin. Pun
ketika mendapatkan kegagalan, tidak perlu mengutuk waktu. Yang mesti dilakukan
adalah melakukan instropeksi, sehingga dapat memperbaiki kesalahan”. (Tafsir
al-Qur’an Kontemporer I:144).
Pendapat
Aam Amiruddin di atas sejalan dengan apa yang Allah informasikan melalui
al-Qur’anul Karim.
مَّآ أَصَابَكَ مِنۡ حَسَنَةٖ فَمِنَ ٱللَّهِۖ وَمَآ
أَصَابَكَ مِن سَيِّئَةٖ فَمِن نَّفۡسِكَۚ وَأَرۡسَلۡنَٰكَ لِلنَّاسِ رَسُولٗاۚ
وَكَفَىٰ بِٱللَّهِ شَهِيدٗا ٧٩
“Apa
saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang
menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul
kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi”. Q.S.
an-Nisaa (4) : 79.
قَالُواْ طَٰٓئِرُكُم مَّعَكُمۡ أَئِن ذُكِّرۡتُمۚ
بَلۡ أَنتُمۡ قَوۡمٞ مُّسۡرِفُونَ ١٩
“Utusan-utusan
itu berkata: "Kemalangan kamu adalah karena kamu sendiri. Apakah jika kamu
diberi peringatan (kamu bernasib malang)? Sebenarnya kamu adalah kaum yang
melampui batas". Q.S. Yaasiin (36) : 19.
M.
Quraish Shihab, MA.mengomentari Q.S. an-Nisaa (4) : 79 tersebut dan berkata, “....ayat
ini menegaskan sisi upaya manusia yang berkaitan dengan sebab dan akibat.
Hukum-hukum alam dan kemasyarakatan cukup banyak dan beraneka ragam. Dampak
baik dan dampak buruk untuk setiap gerak dan tindakan yang telah ditetapkan
Allah melalui hukum-hukum tersebut. Manusia diberi kemampuan memilah dan
memilih, dan masing-masing akan mendapatkan hasil pilihannya. Allah sendiri
melalui perintah dan larangan-Nya menghendaki, bahkan menganjurkan, agar
manusia meraih kebaikan dan nikmat-Nya. Karena itu, ditegaskan-Nya bahwa, ‘Apa
saja nikmat yang engkau peroleh’, wahai Muhammad dan semua manusia, ‘Adalah
dari Allah’, yakni Dia yang mewujudkan anugerah-Nya ‘Dan apa saja bencana yang
menimpamu’, engkau wahai Muhammad dan siapa saja selainmu, ‘Maka’ bencana itu
‘Dari’ kesalahan ‘Dirimu sendiri’ karena ‘Kami mengutusmu’ tidak lain hanya
‘Menjadi Rasul’ untuk menyampaikan tuntunan-tuntunan Allah kepada ‘Segenap
manusia’, kapan dan dimanapun mereka berada. Kami mengutusmu hanya menjadi
rosul, bukan seorang yang dapat menentukan baik dan buruk sesuatu sehingga
bukan karena terjadinya bencana atau keburukkan pada masamu kemudian dijadikan
bukti bahwa engkau bukan rosul. Kalaulah mereka menduga demikian, biarkan saja,
‘Dan cukuplah Allah menjadi saksi’ atas kebenaranmu”. (Tafsir al-Misbah
II:630-631).
Diantara
para mufasir ada juga yang mengartikan al-‘Ashr dalam ayat ini dengan
waktu shalat ‘Ashar. Artinya kita dituntut untuk memperhatikan dan menjaga
shalat ‘Ashar.
حَٰفِظُواْ عَلَى ٱلصَّلَوَٰتِ وَٱلصَّلَوٰةِ
ٱلۡوُسۡطَىٰ وَقُومُواْ لِلَّهِ قَٰنِتِينَ ٢٣٨
“Peliharalah
semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa (shalat ‘Ashar). Berdirilah
untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu”. Q.S.
al-Baqarah (2) : 238.
الَّذِيتَفُوتُهُصَلَاةُالْعَصْرِكَأَنَّمَاوُتِرَأَهْلَهُوَمَالَهُ
“Orang
yang meninggalkan shalat ‘Ashar, seakan-akan ia kehilangan keluarga dan
hartanya”. H.R. Bukhari dan Muslim.
مَنْتَرَكَصَلَاةَالْعَصْرِفَقَدْحَبِطَعَمَلُهُ
“Barangsiapa
yang meninggalkan shalat ‘Ashar, maka amalannya (pada hari itu) akan terhapus”.
H.R. Bukhari.
Untuk
mengetahui lebih banyak amalan-amalan apa saja yang bisa merusak amal silahkan
baca buku Penyebab Rusaknya Amal karya Salim ‘Ied al-Hilali.
إِنَّ ٱلۡإِنسَٰنَ لَفِي خُسۡرٍ ٢إِلَّا ٱلَّذِينَ
ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلۡحَقِّ وَتَوَاصَوۡاْ
بِٱلصَّبۡرِ ٣
“Sesungguhnya
manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan
nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”. Q.S.
al-‘Asr (103) : 2-3.
Ayat
ke dua dan ketiga dalm surat ini menginformasikan bahwa seluruh manusia berada
dalam kerugian kecuali:
1.
Orang
yang beriman.
2.
Orang
yang beramal shaleh.
3.
Orang
yang saling menasehati dalam ketaatan.
4.
Orang
yang saling menasehati dalam kesabaran.
Imam al-Ghozali
berkata, “Semua manusia celaka kecuali mereka yang beriman. Semua yang
beriman celaka kecuali mereka yang berilmu. Semua yang berilmu celaka kecuali
mereka yang beramal. Semua yang beramal celaka kecuali yang ikhlas. Syetan
sendiri menyatakan tidak sanggup menggoda orang-orang yang ikhlas.
قَالَ رَبِّ بِمَآ
أَغۡوَيۡتَنِي لَأُزَيِّنَنَّ لَهُمۡ فِي ٱلۡأَرۡضِ وَلَأُغۡوِيَنَّهُمۡ
أَجۡمَعِينَ ٣٩ إِلَّا عِبَادَكَ مِنۡهُمُ
ٱلۡمُخۡلَصِينَ ٤٠
“Iblis berkata: ‘Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan
bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan
maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali
hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka". Q.S.
al-Hijr (15) : 39-40.(Jeje Zaenuddin, Fiqih Dakwah Jam’iyyah hal. 192-193).
Imam Ali al-Hadi berkata, “Dunia
ini adalah (seperti) pasar, ada seorang yang mendapat untung dan ada pula yang
mendapat rugi”.(www.khazanahalquran.com).
Dikatakan
berada dalam kerugian apabila kita tidak mengisi waktu dengan hal-hal yang
bermanfaat.
قَدۡ أَفۡلَحَ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ ١ٱلَّذِينَ هُمۡ فِي
صَلَاتِهِمۡ خَٰشِعُونَ ٢وَٱلَّذِينَ هُمۡ عَنِ ٱللَّغۡوِ مُعۡرِضُونَ ٣
“Sesungguhnya
beruntunglah orang-orang yang beriman. (yaitu) orang-orang yang khusyu´ dalam
sembahyangnya dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan
perkataan) yang tiada berguna”. Q.S. al-Mu’minuun (23)
: 1-3.
حُسْنِإِسْلَامِالْمَرْءِتَرْكُهُمَالَايَعْنِيهِ
“Diantara
tanda kebaikan Islam seseorang adalah dia meninggalkan apa-apa yang tidak
bermanfaat baginya”. H.R. Tirmidzi.
1. Beriman.
Dalam H.R. Muslim yang
sangat panjang diceritakan Malaikat Jibril bertanya kepada Rosulullah mengenai
Iman, Islam, dan Ihsan.
....يَارَسُولَاللَّهِمَاالْإِيمَانُقَالَأَنْتُؤْمِنَبِاللَّهِوَمَلَائِكَتِهِوَكِتَابِهِوَلِقَائِهِوَرُسُلِهِوَتُؤْمِنَبِالْبَعْثِالْآخِرِ.....
“....Ya Rasulullallah apa arti dari
Iman?.Maka Rasulullah pun menjawab, “Kamu
beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-Nya, beriman kepada kejadian
pertemuan dengan-Nya, beriman kepada para Rasul-Nya, dan kamu beriman kepada
hari kebangkitan yang akhir...”
Ada juga ulama yang
mendefinisikan iman itu dengan, “Meyakini dalam hati, mengucapkan dengan
lisan, dan membuktikannya dengan amal sholeh”.
Ust. Uci Hidayat
berkata, “Iman harus dibuktikan dengan lambe, hate, dan gawe”.
Abu Amru berkata, “.....setiap
mukmin itu pasti muslim, tetapi tidak setiap muslim itu mukmin”.(Ibnu
Daqiiqil ‘Ied, Syarah Matan Hadits al-Arba’ien an-Nawawiyah hal. 42).
Walaupun iman itu
abstrak, namun Allah menyebutkan sejumlah ciri orang-orang yang imannya benar
yaitu:
إِنَّمَا ٱلۡمُؤۡمِنُونَ ٱلَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ
ٱللَّهُ وَجِلَتۡ قُلُوبُهُمۡ وَإِذَا تُلِيَتۡ عَلَيۡهِمۡ ءَايَٰتُهُۥ
زَادَتۡهُمۡ إِيمَٰنٗا وَعَلَىٰ رَبِّهِمۡ يَتَوَكَّلُونَ ٢ٱلَّذِينَ يُقِيمُونَ
ٱلصَّلَوٰةَ وَمِمَّا رَزَقۡنَٰهُمۡ يُنفِقُونَ ٣أُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ
حَقّٗاۚ لَّهُمۡ دَرَجَٰتٌ عِندَ رَبِّهِمۡ وَمَغۡفِرَةٞ وَرِزۡقٞ كَرِيمٞ ٤
“Sesungguhnya
orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah
hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka
(karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal (yaitu) orang-orang
yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami
berikan kepada mereka Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya.
Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan
serta rezeki (nikmat) yang mulia”. Q.S. al-Anfal
(8) : 2-4.
Iman
itu bersifat fluktuatif artinya kadang meningkat dan kadang menurun.“Iman
itu bisa bertambah dan bisa berkurang”.Oleh sebab itu, kita wajib
merawat iman agar tetap prima supaya tidak terjerumus menjadi orang-orang yang
merugi.(Aam Amiruddin, Tafsir al-Qur’an Kontemporer I:149).
Indikator
dari bertambah dan berkurangnya iman yaitu dengan bertambah atau berkurangnya
amal sholeh yang dikerjakan. Ibnu Daqiiqil ‘Ied berkata, “Sebagian ulama
berkata, ‘Pada asalnya tashdiq (pembenaran) itu memang tidak bertambah ataupun berkurang,
akan tetapi iman bila ditinjau secara syar’ie dapat bertambah dan berkurang
sejalan dengan bertambah dan berkurangnya buah dari iman yang berupa amal”. (Syarah
Hadits Arbain hal. 39).
Mafhum
mukholafahnya (makna terbalik) selain ke empat
golongan orang yang dikecualikan oleh ayat ini maka orang kafir termasuk
golongan orang yang merugi meskipun ketika didunia mereka termasuk orang yang
baik hati atau dermawan. Semua amal mereka seperti bedu yang berterbangan.
Disebut rugi karena mereka hanya mendapatkan capenya saja tanpa mendapatkan
pahala.
مَثَلُ مَا يُنفِقُونَ فِي هَٰذِهِ ٱلۡحَيَوٰةِ
ٱلدُّنۡيَا كَمَثَلِ رِيحٖ فِيهَا صِرٌّ أَصَابَتۡ حَرۡثَ قَوۡمٖ ظَلَمُوٓاْ
أَنفُسَهُمۡ فَأَهۡلَكَتۡهُۚ وَمَا ظَلَمَهُمُ ٱللَّهُ وَلَٰكِنۡ أَنفُسَهُمۡ
يَظۡلِمُونَ ١١٧
“Perumpamaan
harta yang mereka (orang kafir) nafkahkan di dalam kehidupan dunia ini, adalah
seperti perumpamaan angin yang mengandung hawa yang sangat dingin, yang menimpa
tanaman kaum yang menganiaya diri sendiri, lalu angin itu merusaknya. Allah
tidak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka
sendiri”. Q.S. Ali Imran (3) : 117.
وَٱلَّذِينَ كَفَرُوٓاْ أَعۡمَٰلُهُمۡ كَسَرَابِۢ
بِقِيعَةٖ يَحۡسَبُهُ ٱلظَّمَۡٔانُ مَآءً حَتَّىٰٓ إِذَا جَآءَهُۥ لَمۡ
يَجِدۡهُ شَيۡٔٗا وَوَجَدَ ٱللَّهَ عِندَهُۥ فَوَفَّىٰهُ حِسَابَهُۥۗ وَٱللَّهُ
سَرِيعُ ٱلۡحِسَابِ ٣٩
“Dan
orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang
datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya
air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. Dan didapatinya (ketetapan)
Allah disisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan
cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya”. Q.S.
an-Nuur (24) : 39.
وَقَدِمۡنَآ إِلَىٰ مَا عَمِلُواْ مِنۡ عَمَلٖ فَجَعَلۡنَٰهُ
هَبَآءٗ مَّنثُورًا ٢٣
“Dan
kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu kami jadikan amal itu
(bagaikan) debu yang berterbangan”. Q.S. al-Furqan
(25) : 23.
أُوْلَٰٓئِكَٱلَّذِينَ
كَفَرُواْ بَِٔايَٰتِ رَبِّهِمۡ وَلِقَآئِهِۦ فَحَبِطَتۡ أَعۡمَٰلُهُمۡ فَلَا
نُقِيمُ لَهُمۡ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ وَزۡنٗا ١٠٥
“Mereka itu orang-orang yang telah kufur terhadap ayat-ayat
Tuhan mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan Dia, maka hapuslah
amalan-amalan mereka, dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan)
mereka pada hari kiamat”. Q.S. al-Kahfi (18) :
105.
M.
Quraish Shihab berkata, “Bagi yang melakukan suatu pekerjaan namun ia tidak
beriman, padahal hakikatnya ia tidak menantikan sesuatu di akhirat kelak.
Karena ia tidak mempercayainya, bahkan ketika itu ia tidak menantikan ganjaran
sama sekali. Sedangkan bagi mereka yang percaya akan adanya tuhan tetapi bukan
Allah, maka kalaupun ia mengharapkan ganjaran di akhirat nanti, namun ganjaran
tersebut tentunya tidak dinantikannya dari Allah, melainkan dari tuhan yang di
sembahnya. Misalnya, dari matahari, bulan, bintang, atau apa saja yang
dipertuhankan olehnya. Jadi, silahkan ia menuntut kepada tuhan-tuhan itu. Di
sisi lain, tidak adil jika seseorang datang menuntut upah kepada orang lain
yang ia sendiri tidak bekerja untuknya. Tidak wajar penyembah binyang,
misalnya, datang kepada Allah untuk diberi ganjaran. Bukankah ia tidak
melakukan pekerjaan ‘baik’-nya itu demi Allah? Lalu, mengapa ia datang menuntut
kepada-Nya”.(Tafsir al-Misbah XV:502-503).
Syarat
diterimanya amal seorang hamba harus memenuhi tiga kriteria:
Pertama,
Iman.
إِنَّٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ
وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ كَانَتۡ لَهُمۡ جَنَّٰتُ ٱلۡفِرۡدَوۡسِ نُزُلًا ١٠٧
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi
mereka adalah surga Firdaus menjadi tempat tinggal”.
Q.S. al-Kahfi (18) : 107.
مَنۡ عَمِلَ صَٰلِحٗا مِّن ذَكَرٍ أَوۡ أُنثَىٰ وَهُوَ
مُؤۡمِنٞ فَلَنُحۡيِيَنَّهُۥ حَيَوٰةٗ طَيِّبَةٗۖ وَلَنَجۡزِيَنَّهُمۡ أَجۡرَهُم
بِأَحۡسَنِ مَا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ ٩٧
“Barangsiapa
yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan
beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan
sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik
dari apa yang telah mereka kerjakan”. Q.S.
an-Nahl (16) : 97.
“Katakanlah,
saya beriman kepada Allah, lalu beristiqomahlah.”
H.R. Muslim.
Kedua,
Ikhlas.
فَٱدۡعُواْٱللَّهَ
مُخۡلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ وَلَوۡ كَرِهَ ٱلۡكَٰفِرُونَ ١٤
“Maka
sembahlah Allah dengan memurnikan ibadat kepada-Nya, meskipun orang-orang kafir
tidak menyukai(nya)”. Q.S. al-Ghafir (40) :
14.
وَمَآ أُمِرُوٓاْ إِلَّا لِيَعۡبُدُواْ ٱللَّهَ
مُخۡلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ حُنَفَآءَ وَيُقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤۡتُواْ
ٱلزَّكَوٰةَۚ وَذَٰلِكَ دِينُ ٱلۡقَيِّمَةِ ٥
“Padahal
mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan
shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus”. Q.S.
al-Bayyinah (98) : 5.
إِنَّاللَّهَلَايَقْبَلُمِنْالْعَمَلِإِلَّامَاكَانَلَهُخَالِصًاوَابْتُغِيَبِهِوَجْهُهُ
“Sesungguhnya
Allah ‘Azza wa Jalla tidak menerima suatu amal kecuali dari orang yang ikhlas
dan hanya mengharap wajah-Nya”. H.R. Nasa’i.
“Siapapun
yang dengan ikhlas bersaksi: tidak ada yang berhak disembah selain Allah, akan
dimasukkan ke surga.” H.R. Bazzar dan
lain-lain.
Ketiga,
Ittiba’ur Rasul (mengikuti tuntunan Rosulullah).
قُلۡ إِن كُنتُمۡ
تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِي يُحۡبِبۡكُمُ ٱللَّهُ وَيَغۡفِرۡ لَكُمۡ
ذُنُوبَكُمۡۚ وَٱللَّهُ غَفُورٞ رَّحِيمٞ ٣١
“Katakanlah:
"Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah
mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu". Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”. Q.S. Ali Imran (3) : 31.
......وَمَآ
ءَاتَىٰكُمُ ٱلرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَىٰكُمۡ عَنۡهُ فَٱنتَهُواْۚ وَٱتَّقُواْٱللَّهَۖ
إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلۡعِقَابِ ٧
“.....Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa
yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya”.Q.S.
al-Hasyr (59) : 7.
مَنْعَمِلَعَمَلًالَيْسَعَلَيْهِأَمْرُنَافَهُوَرَدٌّ
“Barangsiapa
yang mengerjakan suatu amalan yang tidak ada padanya perintahnya dari kami maka
amalan itu tertolak”. H.R. Muslim.(Hartono
Ahmad Jaiz & Abduh Zulfidar Akaha, Bila Kiai Dipertuhankan; membedah sikap
beragama NU hal. 226-227& Muhammad bin Jamil Zainu, Akidah Islamiyyah
Berdasarkan al-Qur’an dan Hadits Shahih hal. 13).
Ustad
Uci Hidayat berkata, “Amalan seorang hamba harus tepat niat, tepat kaifiat,
tepat saat, dan tepat tempat”.
Ibnu
Qoyyim al-Jauziyyah berkata, “Amal yang tidak disertai ikhlas dan
kesungguhan, ibarat musafir yang memenuhi kantongnya dengan pasir. Dia
membawanya dalam keadaan berat, namun tidak memberinya manfaat”.
2. Beramal Shaleh.
Dalam al-Qur’an kalimat
iman dan amal shaleh selalu disandingkan. Kurang lebih 70 ayat yang mengulang
kalimat tersebut. Aam Amiruddin berkata, “Amal sholeh adalah aktivitas yang
dilakukan dengan penuh kesadaran bahwa pekerjaan itu memberi manfaat untuk
dirinya ataupun untuk orang lain. Selain itu, pekerjaan tersebut sesuai dengan
aturan-aturan yang telah ditentukan”.
Muhammad Abduh berkata,
“Amal sholeh sebagai perbuatan yang berguna bagi diri pribadi, keluarga,
kelompok, dan manusia secara keseluruhan”.
Zamakhsyari berkata, “Segala
perbuatan yang sesuai dengan dalil akal, al-Qur’an, dan atau Sunnah Nabi
Muhammad”. (Tafsir al-Qur’an Kontemporer I:149-150& M. Quraish Shihab,
Tafsir al-Misbah VI:718).
Seperti yang disebutkan
tadi di atas bahwa setiap amal sholeh harus disertai dengan iman. Bila di
ilustrasikan bahwa iman adalah pohon sedangkan amal sholeh merupakan buahnya.
Iman tanpa amal sholeh seperti pohon tanpa buah sedangkan amal sholeh tanpa
buah ibarat buah tanpa pohon. Bisa berbuah bagaimana kalau pohonnya tidak ada,
maka sangat wajar bila amal orang-orang yang tidak beriman tidak akan diterima
oleh Allah subhanahu wa ta’ala.
Sekecil
apapun amal yang kita perbuat, Allah
pasti akan mengganjarnya.
يَوۡمَ تَجِدُ كُلُّ نَفۡسٖ مَّا عَمِلَتۡ مِنۡ خَيۡرٖ
مُّحۡضَرٗا وَمَا عَمِلَتۡ مِن سُوٓءٖ تَوَدُّ لَوۡ أَنَّ بَيۡنَهَا وَبَيۡنَهُۥٓ
أَمَدَۢا بَعِيدٗاۗ وَيُحَذِّرُكُمُ ٱللَّهُ نَفۡسَهُۥۗ وَٱللَّهُ رَءُوفُۢ
بِٱلۡعِبَادِ ٣٠
“Pada
hari ketika tiap-tiap diri mendapati segala kebajikan dihadapkan (dimukanya),
begitu (juga) kejahatan yang telah dikerjakannya; ia ingin kalau kiranya antara
ia dengan hari itu ada masa yang jauh; dan Allah memperingatkan kamu terhadap
siksa-Nya. Dan Allah sangat Penyayang kepada hamba-hamba-Nya”. Q.S.
Ali Imran (3) : 30.
فَمَن يَعۡمَلۡ مِثۡقَالَ ذَرَّةٍ خَيۡرٗا يَرَهُۥ
٧وَمَن يَعۡمَلۡ مِثۡقَالَ ذَرَّةٖ شَرّٗا يَرَهُۥ ٨
“Barangsiapa
yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat
(balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun,
niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula”. Q.S.
al-Zalzalah (99) : 7-8.
Banyak
hadits yang menerangkan bahwa masuk surga bukan karena amal, diantaranya:
سَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا فَإِنَّهُ لَا
يُدْخِلُ أَحَدًا الْجَنَّةَ عَمَلُهُ قَالُوا وَلَا أَنْتَ يَا رَسُولَ اللهِ
قَالَ وَلاَ أَنَا إِلاَّ أَنْ يَتَغَمَّدَنِيَ اللهُ بِمَغْفِرَةٍ وَرَحْمَةٍ
“Tepatlah
kalian, mendekatlah, dan bergembiralah, karena sesungguhnya amal tidak akan
memasukkan seseorang ke dalam surga.” Para shahabat bertanya: “Termasuk juga
anda wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Ya, termasuk juga saya, kecuali jika
Allah menganugerahkan ampunan dan rahmat kepadaku”.
H.R. Bukhari, Muslim, Ibnu Majah, dan Ahmad.
لَنْ يُنَجِّيَ أَحَدًا مِنْكُمْ عَمَلُهُ قَالُوا
وَلَا أَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ وَلَا أَنَا إِلَّا أَنْ يَتَغَمَّدَنِي
اللَّهُ بِرَحْمَةٍ سَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَاغْدُوا وَرُوحُوا وَشَيْءٌ مِنْ
الدُّلْجَةِ وَالْقَصْدَ الْقَصْدَ تَبْلُغُوا
“Amal
tidak akan bisa menyelamatkan seseorang di antara kalian.” Mereka bertanya:
“Tidak pula anda wahai Rasulullah saw?” Beliau menjawab: “Ya, saya pun tidak,
kecuali Allah menganugerahkan rahmat kepadaku. Tepatlah kalian, mendekatlah,
beribadahlah di waktu pagi, sore, dan sedikit dari malam, beramallah yang pertengahan,
yang pertengahan, kalian pasti akan sampai”.H.R.
Bukhari.
سَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَاعْلَمُوا أَنْ لَنْ يُدْخِلَ
أَحَدَكُمْ عَمَلُهُ الْجَنَّةَ وَأَنَّ أَحَبَّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ
أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ
”Tepatlah kalian,
mendekatlah, dan ketahuilah bahwasanya amal tidak akan memasukkan seseorang ke
dalam surga. Sesungguhnya amal yang paling dicintai Allah itu adalah yang
paling sering diamalkan walaupun sedikit”.H.R. Bukhari.
Sementara
itu, dalam riwayat Muslim, tidak hanya disebut tidak akan masuk surga saja,
melainkan ditegaskan juga tidak akan selamat dari neraka:
لاَ يُدْخِلُ أَحَدًا مِنْكُمْ عَمَلُهُ الْجَنَّةَ
وَلاَ يُجِيرُهُ مِنَ النَّارِ وَلاَ أَنَا إِلاَّ بِرَحْمَةٍ مِنَ اللهِ
“Amal tidak akan
memasukkan seseorang di antara kalian ke surga dan tidak pula menyelamatkannya
dari neraka. Demikian juga saya, kecuali dengan rahmat Allah
subhanahu wa ta’ala”.H.R.
Muslim.
Muncul diskusi di kalangan para ulama terkait hadits
di atas; benarkah masuk surga itu bukan karena amal? Jika demikian apa gunanya
amal kita? Bagaimana pula kaitannya dengan firman-firman Allah subhanahu
wa ta’alaberikut:
......وَنُودُوٓاْ
أَنتِلۡكُمُ ٱلۡجَنَّةُ أُورِثۡتُمُوهَا بِمَا كُنتُمۡ تَعۡمَلُونَ ٤٣
“.....Dan
diserukan kepada mereka: "ltulah surga yang diwariskan kepadamu,
disebabkan apa yang dahulu kamu kerjakan". Q.S.
al-A’raf (7) : 43.
ٱلَّذِينَ تَتَوَفَّىٰهُمُ ٱلۡمَلَٰٓئِكَةُ طَيِّبِينَ
يَقُولُونَ سَلَٰمٌ عَلَيۡكُمُ ٱدۡخُلُواْ ٱلۡجَنَّةَ بِمَا كُنتُمۡ تَعۡمَلُونَ
٣٢
“(yaitu)
orang-orang yang diwafatkan dalam keadaan baik oleh para malaikat dengan
mengatakan (kepada mereka): "Salaamun´alaikum, masuklah kamu ke dalam
surga itu disebabkan apa yang telah kamu kerjakan". Q.S.
an-Nahl (16) : 32.
فَلَا تَعۡلَمُ نَفۡسٞ مَّآ أُخۡفِيَ لَهُم مِّن
قُرَّةِ أَعۡيُنٖ جَزَآءَۢ بِمَا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ ١٧
“Tak
seorangpun mengetahui berbagai nikmat yang menanti, yang indah dipandang
sebagai balasan bagi mereka, atas apa yang mereka kerjakan”. Q.S.
as-Sajdah (32) : 17.
وَتِلۡكَ ٱلۡجَنَّةُ ٱلَّتِيٓ أُورِثۡتُمُوهَا بِمَا
كُنتُمۡ تَعۡمَلُونَ ٧٢
“Dan
itulah surga yang diwariskan kepada kamu disebabkan amal-amal yang dahulu kamu
kerjakan”. Q.S. az-Zukhruf (43) : 72.
Satu
hal saja yang harus dicatat, semua ulama hadits tidak ada yang menyatakan bahwa
hadits di atas bertentangan dengan ayat-ayat tersebut.Semuanya menempuh metode jam’
(menyatukan, mengompromikan) karena memang hadits di atas jelas
keshahihannya. Sebuah pertanda
juga bahwa hadits yang shahih haram ditolak meskipun tampaknya bertentangan
dengan al-Qur`an. Sedapat mungkin carikan komprominya, karena tidak mungkin
Nabi saw menentang al-Qur`an. Dan itulah yang ditempuh oleh para ulama hadits
sebagaimana akan diuraikan berikut ini.
Imam
Ibnu Bathal, sebagaimana dikutip Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bari,
menjelaskan bahwa surga itu ada beberapa tingkatan. Ayat-ayat yang menjelaskan
masuk surga karena amal, itu maksudnya adalah menempati tingkatan-tingkatannya
itu. Sementara masuk surganya sendiri, itu mutlak hanya
berdasarkan rahmat Allahsubhanahu wa ta’ala. Jadi, dengan rahmat Allah swt, seseorang ditentukan
masuk surga dan tidaknya.Sesudah ada keputusan masuk surga, maka ketentuan
masuk surga tingkatan yang mananya itu ditentukan berdasarkan amal.
Selanjutnya, Ibnu Bathal menjelaskan, bisa juga maksud dari ayat-ayat dan
hadits di atas adalah saling menguatkan.Artinya, masuk surga itu tergantung
rahmat Allah swt juga amal-amal kita.Demikian juga, penentuan tingkatan yang
mananya di dalam surga itu tergantung rahmat Allah swt dan amal-amal kita.
Imam
al-Karmani, Jamaluddin Ibnu as-Syaikh, dan Ibnu al-Qayyim menjelaskan bahwa
huruf ‘ba’ pada ayat-ayat di atas bukan bermakna sebab (sababiyyah),
melainkan bersamaan (ilshaq, mushahabah). Jadi bukan berarti masuk surga
itu dengan sebab amal, melainkan masuk surga itu bersamaan adanya amal, karena
sebab yang paling utamanya adalah rahmat Allah swt. Ini berarti bisa membantah
pendapat Jabariyyah yang menyatakan bahwa masuk surga itu sama sekali tidak ada
kaitannya dengan amal, melainkan mutlak hanya rahmat Allah swt saja. Juga
membantah pendapat Qadariyyah yang menyatakan bahwa masuk surga itu murni
karena amal saja, tidak ada kaitannya dengan rahmat Allah swt.
Ibnu
Hajar al-Asqalani memberikan penjelasan yang sedikit berbeda.Amal seseorang
walau bagaimanapun tidak mungkin menyebabkannya masuk surga jika pada
kenyataannya amal itu tidak diterima oleh Allah swt. Nah, persoalan amal itu
diterima atau tidaknya, ini jelas wewenang Allah swt, dan ini mutlak
berdasarkan rahmat Allah swt (semua pendapat ulama di atas dikutip dari Fath
al-Bari kitab ar-riqaq bab al-qashd wal-mudawamah ‘alal-’amal).
Sementara
itu, jawaban yang cukup panjang dapat ditemukan juga dalam salah satu risalah
(tulisan ringkas) Imam Ibnu Taimiyyah yang dikodifikasikan dan diedit ulang
oleh Muhammad Rasyad Salim dalam Jami’ur-Rasa`il, dalam risalah no. 9
berjudul risalah fi dukhulil-jannah hal yadkhulu ahadun al-jannah bi amalihi
am yanqudluhu qauluhu saw la yadkhulu ahadun al-jannah bi ‘amalihi; risalah
tentang masuk surga, apakah seseorang masuk surga itu disebabkan amalnya,
ataukah terbantahkan dengan sabda Nabi saw seseorang tidak masuk surga dengan
sebab amalnya.
Hal pertama yang ditekankan oleh Ibnu Taimiyyah adalah tidak mungkin hadits Nabi saw yang
shahih bertentangan dengan al-Qur`an. Selanjutnya, Ibnu Taimiyyah juga menyatakan, huruf ‘ba’ yang ada dalam
hadits dan ayat di atas, kedua-duanya memang menyatakan sebab. Hanya tentunya,
menurut beliau, ketika sesuatu dinyatakan sebagai sebab, bukan berarti bahwa
sebab tersebut adalah satu-satunya sebab dengan meniadakan yang lainnya. Contoh
sederhananya adalah air hujan yang dinyatakan sebagai sebab tumbuhnya
tumbuh-tumbuhan di bumi Q.S. Al-Baqarah (2) : 164 dan Q.S. Al-A’raf (7) : 57. Tentu yang dimaksud bukan hanya air hujan saja
yang dapat menyebabkan tumbuh-tumbuhan itu tumbuh, melainkan juga ada sebab
lainnya seperti angin, tanah, sinar matahari, yang kesemuanya itu sangat
tergantung pada rahmat dan anugerah dari Allah swt.
Hadits
yang disampaikan Nabi saw di atas, menurut Ibnu Taimiyyah, mengajarkan kepada
kita untuk tidak memahami hubungan amal dan surga sebagai mu’awadlah; timbal
balik, balas jasa, atau ganti rugi. Hal itu disebabkan:
Pertama,
Allah swt sama sekali tidak butuh terhadap amal
kita, tidak seperti halnya seorang majikan yang butuh kepada para pekerjanya.
Amal manusia untuk manusia sendiri, karena kalaupun semua manusia tidak beramal
Allah swt tidak ‘peduli’, Dia akan tetap sebagai Yang Mahakuasa dan Mahaperkasa
[Lihat QS. Al-Baqarah (2) : 286, Fushshilat (41) : 46, an-Naml (27) : 40].
Kedua,
amal seorang manusia tidak diwujudkan oleh dirinya
sendiri, melainkan berkat anugerah dan rahmat Allah swt juga, mulai dari
menghidupkannya, memberi rizki, memberi tenaga, kesehatan, mengutus
rasul-rasul, menurunkan kitab-kitab, menjadikannya cinta kepada keimanan dan
menjadikannya benci terhadap kekufuran. Semua itu adalah berkat rahmat Allah
swt.
Ketiga,
amal seorang manusia setinggi-tingginya tidak akan
senilai dengan pahala yang diberikan Allah kepadanya, karena dalam pahala itu
Allah swt sudah melipatgandakannya dari mulai 10 kali lipat, 700 kali lipat,
bahkan sampai kelipatan yang tidak dapat terhitung nilainya.
Keempat, nikmat
dan kesenangan yang telah diberikan Allah swt kepada manusia selama di dunia,
walau bagaimanapun tidak akan mampu dibayar oleh manusia. Seandainya manusia
diharuskan membayarnya dengan amal, pasti mereka tidak akan mampu beramal untuk
membayarnya. Padahal jelas, manusia bisa beramal itu berkat nikmat-nikmat Allah
swt tersebut.
Kelima, manusia
selalu diliputi oleh dosa dan kesalahan. Seandainya saja tidak ada ampunan
Allah swt dan kebijaksanaan-Nya untuk hanya mempertimbangkan amal-amal yang
baik saja, dengan mengenyampingkan amal jeleknya, tentu manusia tidak akan
mungkin masuk ke dalam surga [Lihat QS. Az-Zumar (39) : 33-35, al-Ahqaf (46) : 16]. Inilah di antara maksud sabda Nabi saw: “Ya,
termasuk juga saya, kecuali jika Allah menganugerahkan ampunan dan rahmat
kepadaku.”(Nashruddin
Syarief, ar-Risalah II hal.163-168 ).
Umar
Sulaiman al-Asyqari berkata, “Sebenarnya antara ayat-ayat ini dengan
hadits-hadits tersebut tidaklah bertentangan. Ayat-ayat ini hanya menunjukkan
bahwa amal-amal tersebut hanya menjadi sebab untuk masuk surga, bukan merupakan
harga bagi surga. Sedangkan hadits tersebut menolak sekiranya amal-amal itu
menjadi harga bagi surga. Memang, dalam masalah ini ada dua aliran yang
tersesat. Pertama aliran Jabariyyah yang menggunakan hadits tersebut sebagai
dasar bahwa balasan itu tidak tergantung pada amal karena amal seorang hamba
pada hakikatnya bukanlah perbuatannya. Yang kedua, aliran Qodariyyah. Aliran
ini menggunakan ayat-ayat tersebut sebagai dasar bahwa surga adalah harga bagi
amalan. Oleh karena itu seorang hamba memiliki hak untuk dimasukkan surga oleh
Tuhannya dengan amalannya”. (Surga dan Neraka hal. 183-184).
Ibnu
Qayyim al-Jauziyyah berkata, “Dua dalil ini tidak saling bertentangan jika
dilihat dari dua sudut berikut ini. Pertama, Sufyan mengatakan bahwa
keselamatan dari Neraka lantaran maaf dari Allah. Masuk Surga berdasarkan kasih
sayang Allah. Pembagian tempat dan derajat di akhirat berdasakan amal
perbuatan. Hal ini ditunjukkan oleh hadits riwayat Abu Hurairah...”Penghuni
Surga ketika memasuki Surga mereka menempatinya berdasarkan karunia amal
perbuatan mereka”. H.R. Tirmidzi. Kedua, amal sholeh bukan satu-satunya faktor
yang menyebabkan seseorang masuk Surga. Rosulullah telah mengumpulkan dua
pendapat itu dalam satu hadits, “Bersungguh-sungguhlah, mendekatlah,
beritakanlah, dan ketahuilah bahwa tak seorang pun yang selamat berkat amal
perbuatannya’. Mereka bertanya, ‘Tidak pula pada dirimu, ya Rosulullah?’.
Rosulullah bersabda, ‘Tidak pula pada diriku. Hanya saja Allah melimpahkan
rahmat-Nya kepadaku”.(Surga yang Allah Janjikan hal. 101-102)
Dari
uraian panjang ini bisa ditarik kesimpulan bahwa amal tetap sebagai penyebab
adanya balasan surga. Hanya berdasarkan hadits
ini seseorang tidak boleh ta’ajjub (berbangga diri) dengan amalnya
sendiri, karena di sana pasti ada peran rahmat Allah swt. Dengan hadits ini
juga seseorang tidak perlu takalluf (mempersulit diri) dengan amal-amal
yang dikerjakannya. Tetap optimis dengan amal-amal yang sudah, sedang dan harus
dikerjakan, sebagaimana tuntunan Nabi saw: saddidu, wa qaribu, wa absyiru,
wa-ghdu, wa ruhu, wa syai`un minad-duljah, wal-qashda wal-qashda, semuanya
itu pasti akan menyebabkan kita tablughu; sampai pada cita-cita yang
diidamkan (surga).(Nashruddin Syarief, ar-Risalah II.
Hal. 168).
Tidak
semua amal shaleh di ridhai (diterima) oleh Allah. Ini mengindikasikan bahwa ada
amal shaleh yang tidak di ridhai (diterima) oleh Allah. Sebagaimana di sebutkan
di atas, setiap amal sholeh harus memenuhi tiga syarat. Selain itu kita pun di
tuntut untuk berdoa supaya setiap amal sholeh yang kita kerjakan di ridhai atau
diterima oleh Allah subhanahu wa ta’ala.
فَتَبَسَّمَ ضَاحِكٗا مِّن
قَوۡلِهَا وَقَالَ رَبِّ أَوۡزِعۡنِيٓ أَنۡ أَشۡكُرَ نِعۡمَتَكَ ٱلَّتِيٓ
أَنۡعَمۡتَ عَلَيَّ وَعَلَىٰ وَٰلِدَيَّ وَأَنۡ أَعۡمَلَ صَٰلِحٗا تَرۡضَىٰهُ
وَأَدۡخِلۡنِي بِرَحۡمَتِكَ فِي عِبَادِكَ ٱلصَّٰلِحِينَ ١٩
“Maka dia tersenyum dengan tertawa karena (mendengar) perkataan
semut itu. Dan dia berdoa: "Ya Tuhanku berilah aku ilham untuk tetap
mensyukuri nikmat Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua
orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai; dan
masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh”. Q.S.
an-Naml (27) : 19.
3. Saling Wasiat Dalam kebenaran.
Kata
al-Haq di sini berarti kebenaran yang pasti, yaitu ajaran Islam. Maka
syarat agar manusia terhindar dari kerugian adalah mengetahui kebenaran Islam,
mengamalkannya, dan menyampaikan kepada orang lain. Siapa saja yang tidak mau
mengajak manusia lain untuk berpegang pada kebenaran Islam setelah ia
mengetahuinya, ia termasuk dalam golongan yang merugi.(Aam Amiruddin, Tafsir
al-Qur’an Kontemporer, I:150 dan M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah II:210).
Untuk
mengetahui kebenaran tentu dengan jalan mencari ilmu karena tidak ada orang
yang tahu dengan sendirinya sebab tahu itu infial (buah dari hasil
usaha).Mengajak orang lain berada jalan kebenaran bukan sekedar tugas para
kiai, ustadz, ataupun lembaga-lembaga dakwah, juga tidak hanya terbatas di
mimbar, masjid, majlis ta’lim, namun merupakan kewajiban setiap individu muslim
sesuai kadar kemampuan, dimana pun dan kapan pun ketika kita melihat
kemungkaran wajib mengubahnya.
عَنْ أَبِي سَعِيْد
الْخُدْرِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه
وسلم يَقُوْلُ : مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَراً فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ
لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ
أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ
Dari
Abu Sa’id Al Khudri radiallahuanhu berkata : Saya mendengar Rasulullah shollallohu
‘alaihi wa sallam bersabda : “Siapa yang melihat kemunkaran maka rubahlah
dengan tangannya, jika tidak mampu maka rubahlah dengan lisannya, jika tidak
mampu maka (tolaklah) dengan hatinya dan hal tersebut adalah selemah-lemahnya
iman”. H.R. Muslim.
Saling
menasehati untuk berpegang teguh pada kebenaran harus dilakukan dengan ilmu,
penuh kearifan, dan menggunakan kata-kata yang santun, sebagaimana firman
Allah,
ٱدۡعُ إِلَىٰ سَبِيلِ
رَبِّكَ بِٱلۡحِكۡمَةِ وَٱلۡمَوۡعِظَةِ ٱلۡحَسَنَةِۖ وَجَٰدِلۡهُم بِٱلَّتِي هِيَ
أَحۡسَنُۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعۡلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِۦ وَهُوَ
أَعۡلَمُ بِٱلۡمُهۡتَدِينَ ١٢٥
“Serulah
(manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih
mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih
mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”. Q.S.
an-Nahl (16) : 125.
4. Saling Berwasiat Dalam Kesabaran.
Kesabaran
adalah suatu kekuatan jiwa yang membuat orang menjadi tabah menghadapi berbagai
ujian. Sabar begitu penting untuk kita miliki.
وَٱسۡتَعِينُواْ
بِٱلصَّبۡرِ وَٱلصَّلَوٰةِۚ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى ٱلۡخَٰشِعِينَ ٤٥
“Jadikanlah
sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh
berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu”. Q.S.
al-Baqarah (2) : 45.
Allah menyebut
sabar sebanyak 103 kali dalam al-Qur’an dengan berbagai konteks. Jiwa sabar
harus kita miliki karena ujian akan selalu mewarnai kehidupan kita,
وَلَنَبۡلُوَنَّكُم
بِشَيۡءٖ مِّنَ ٱلۡخَوۡفِ وَٱلۡجُوعِ وَنَقۡصٖ مِّنَ ٱلۡأَمۡوَٰلِ وَٱلۡأَنفُسِ
وَٱلثَّمَرَٰتِۗ وَبَشِّرِ ٱلصَّٰبِرِينَ ١٥٥
“Dan
sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan,
kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada
orang-orang yang sabar”. Q.S. al-Baqarah (2) :
155.(Aam Amiruddin, Tafsir al-Qur’an Kontemporer I:152).
Abu
Hatim Al-Bisiy berkata, “Sabar itu ada tiga macam, yaitu sabar dari
(meninggalkan) kemaksiatan (segala macam bentuk kedurhakaan) kepada Allah SWT;
sabar dalam keta'atan kepada Allah SWT; dan sabar atas segala bentuk kejelekan
dan musibah. Dan yang paling utama sabar dari perbuatan maksiat”.
Dalam
Al-Ihya disebutkan bahwa sabar itu ada dua, yang pertama bersifat badani,
dan yang kedua bersifat moral (ash-shabru an-nafsu) dari
syahwat-syahwat naluri dan tuntunan-tuntunan hawa nafsu.
Bentuk kesabaran yang kedua, yaitu ash-shabru an-nafsu
adalah diantaranya
1.
Sabar dari syahwat perut dan kemaluan disebut iffah;
2.
Sabar dalam menerima musibah, yang kebalikannya disebut al-jaza'u,
artinya keluh kesah;
3.
Sabar dalam kondisi serba kecukupan, disebut dengan mengendalikan nafsu,
kebalikannya sombong;
4.
Sabar dalam peperangan dan pertempuran disebut syaja'ah,
kebalikannya adalah al-jubnu (pengecut);
5.
Sabar dalam mengekang kemarahan disebut al-hilmu (lemah lembut)
kebalikannya adalah tadzammur (emosional);
6.
Sabar dalam menyimpan perkatan disebut katum/al-kitman (penyimpan
rahasia);
7.
Sabar dari kelebihan disebut zuhud, kebalikannya adalah al-hirshu
(serakah).
Dalam kitab tersebut, apabila disimpulkan ternyata
bahwa sabar itu terbagi menjadi lima macam
1.
Ash-Shabru 'ala an-ni'matdi
sebut juga ash-shabru ‘ala al-‘afiyat. Arti asalnya sehat. Yang dimaksud
dengan al-‘afiayat adalah segala bentuk kesenangan dunia, karena
kesehatan merupakan sesuatu yang identik dengan sesuatu yang mengenakan hati.
2.
Ash-Shabru 'ala ath-tha'atyaitu sabar dalam
menjalankan ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
3.
Ash-Shabru 'an al-ma'ashiyaitu
sabar dalam menjauhi kemaksiatan.
4.
Ash-Shabru 'an al-adzayaitu
sabar atas segala macam gangguan yang menimpa, jika hal ini tidak bisa
dilakukan maka akan membangkitkan segala macam keburukan, yakni hilangnya
kendali hawa nafsu yang akan dapat membuat kita melakukan pelanggaran terhadap
hukum Allah subhanahu wa ta’ala seperti balas dendam.
5. Ash-Shabru 'an al-mashaibyaitu sabar ketika
menghadapi segala sesuatu yang tidak mengenakan hati.(Buletin Mujahid No. 23-25
Desember 2014).
Abdullah
Gymnastiar berkata, “Sabar dalam
menghadapi karakter manusia”. Hal senada juga dilontarkan oleh Aam
Amiruddin. (Tafsir al-Qur’an Kontemporer I:153). Dua pendapat ini menjadi uraian dari poin
lima yaitu sabar ketika menghadapi segala sesuatu yang tidak mengenakan hati.
Untuk lebih jelas mengenai sabar, silahkan baca buku ‘Uddatush Shaabiriin
karya Ibnu Qayyim al-Jauziyyah.
عَجَبًالِأَمْرِالْمُؤْمِنِإِنَّأَمْرَهُكُلَّهُخَيْرٌوَلَيْسَذَاكَلِأَحَدٍإِلَّالِلْمُؤْمِنِإِنْأَصَابَتْهُسَرَّاءُشَكَرَفَكَانَخَيْرًالَهُوَإِنْأَصَابَتْهُضَرَّاءُصَبَرَفَكَانَخَيْرًالَهُ
“Sungguh
mengagumkan urusan orang yang beriman, segala urusannya itu baik, dan tidak
dialami hal itu kecuali hanya oleh orang yang beriman. Jika ia mendapat
kegembiraan ia bersyukur dan itu baik baginya. Jika merasakan penderitaan ia
bersabar dan itu menjadi baik baginya”. H.R.
Muslim.
Ibnu
Abbas berkata, “Tidak ada seorangpun kecuali ia akan sedih dan gembira, akan
tetapi orang yang beriman akan mengangkal musibah-Nya dengan sabar dan
menyambut anugerah-Nya dengan syukur.”(Tafsir al-Qurthubi, XVII:258 dalam
Dudung Abdul Rohman,Resep Hidup Bangkit Dari Keterpurukan hal. 14).
Imam
al-Ghazaliberkata, “Orang yang bersyukur adalah orang yang bersabar. Begitu
juga orang yang bersabar pada hakikatnya adalah orang yang bersyukur. Dengan
demikian, memang antara sabar dan syukur itu tidak dapat dipisahkan”. (Minhajul
Abidin hal. 358).
Sungguh
agung kandungan makna surat al-‘Ashr ini, sampai Imam Syafi’ipun
berkata, “Seandainya umat Islam memikirkan kandungan surat ini, niscaya
petunjuk-petunjuknya mencukupi mereka”. (Tafsir al-Qur’an Kontemporer,
I:154).Wallahu a’lam bishshawab.
SUMBER
BACAAN
A.
Qadir Hassan. Ilmu Musthalah Hadits. CV. Diponegoro Bandung, 2002. Cet.
VIII.
A.
Zakaria. al-Hidayah. Ibn Azka Press Garut, 2006. Cet. II.
-----.
Etika Hidup Seorang Muslim. Ibnu Azka Press Garut, 2006. Cet. III.
A.D.
EL. Marzdedeq. Parasit Akidah. Syamil Cipta Media Bandung, 2005.
Aam
Amiruddin. Tafsir al-Qur’an Kontemporer. Khazanah Intelektual Bandung,
2007. Cet. V.
Abdullah
bin Abdul Aziz at-Tuwaijiry. al-Bida’ al-Hauliyah. Edisis Indonesia: Ritual
Bid’ah Dalam Setahun. Pen: Munirul Abididn. Darul Falah Bekasi, 2010. Cet.
VIII.
Abu
Abdullah Muhammad bin Ismail Bukhori. Shohih Bukhori. Darul Fikr Bairut,
2003.
Abdurrahman
Hasan Alu Syaikh. Fathul Majid. Pen: Ibtida’in Hamzah dkk. Pustaka Azzam
Jakarta, 2011. Cet. XX.
Abu
Husain Muslim bin Hijaj. Shohih Muslim.Darul Fikr Bairut, 2007.
Departemen
Agama RI. Terjemah dan Tafsir al-Qur’an. J-ART, 2005.
Dudung
Abdul Rohman. Resep Hidup Bangkit Dari Keterpurukan. Yapesdum Press
Sumedang, 2005.
Hartono
Ahmad Jaiz & Abduh Zulfidar Akaha. Bila Kiai Dipertuhankan; membedah
sikap beragama NU. Pustaka al-Kautsar Jakarta, 2005. Cet. V.
Hartono
Ahmad Jaiz. Tarekat, Tasawuf, Tahlilan & Maulidan. Wacana Ilmiah
Press, 2007. Cet. II.
Ibnu
Daqiiqil ‘Ied. Syarah Matan Hadits al-Arba’ien an-Nawawiyah. Edisi
Indonesia: Syarah Hadits Arba’in. Pen: Abu Umar Abdullah asy-Syarif,
Pustaka at-Tibyan Solo (tt).
Ibnu
Qoyyim al-Jauziyyah. ‘Uddatush Shoobiriin. Edisi indonesia: ‘Uddatush
Shoobiriin Bekal Untuk Orang-Orang Yang Sabar. Pen: Iman Firdaus, Qisthi
Press Jakarta, 2010. Cet. I.
-----.
Hadil Arwah ila Biladil Afroh. Edisi Indonesia: Surga yang Allah
Janjikan. Pen: Zainul Maarif. Qisthi Press Jakarta, 2012. Cet. II.
Ihsan
Ilahi Zhahir&Abdurrahman Abdul Kholiq. Pemikiran Sufisme Dibawah
Bayang-Bayang Fatamorgana. Penyunting: Ikhwan Fauzi Rizal, S.E. Amzah (tt).
-----
Dirosah Fi Tasawuf. Edisi Indonesia: Darah Hitam Tasawuf. Pen:
Fadhli Bahri, Lc. Darul Falah Jakarta, 2001. Cet. II.
Imam
al-Ghazali. Minhajul Abidin. Edisi Indonesia: Minhajul Abidin
Petunjuk Ahli Ibadah. Pen: Abul Hiyadh. Mutiara Ilmu Surabaya, 1995. Cet.
I.
Jeje
Zaenudin. Fiqih Dakwah Jam’iyyah. Pembela Islam Jakarta, 2012. Cet. I.
M.
Quraish Shihab. Tafsir al-Misbah.
Lentera Hati Tangerang, 2009. Cet. I.
Mahrus
Ali. Mantan Kiai NU Meluruskan Ritual-Ritual Kiai Ahli Bid’ah Yang Dianggap
Sunnah. Laa Tasyuk Press Surabaya, 2008. Cet. X.
Muhammad
bin Jamil Zainu. Islamic Creed Based on Qur’an & Sunnah. Edisi
Indonesia: Akidah Islamiyyah Berdasarkan al-Qur’an dan Hadits Shahih.
Pen: Abu Dihya & Abu Haiqa.
Nashruddin
Syarief. ar-Risalah. Persis Press Bandung, 2012. Cet. III.
R.
Akip Prawira Soeganda. Upacara Adat di Pasundan. CV. Wahana Iptek Bandung,
2007. Cet. I
Sa’ied
al-Makhtum. Waktu Adalah Surga. CV. Hilal Media Gruop Bogor, 2013. Cet.
I.
Salim
bin ‘Ied al-Hilaly. Mubthilaatul A’maal fii Dhau-il Qur’aan al-Kariim was
Sunnah ash-Shohiihah al-Muthobbaroh. Edisi Indonesia: Penyebab Rusaknya
Amal. Pen: Badrussalam, Lc. Pustaka Imam Syafi’i, 2009. Cet. V.
Solikhin
Abu Izzudin. Zero To Hero. Pro-U Media Yogyakarta, 2006. Cet. III
Umar
Sulaiman Asyqari. Al-yaum Akhir: al-jannatu Wan Nar. Edisi Indonesia: Surga
dan Neraka, Pen: Masrohan Ahmad. Cipta Media Yogyakarta, 2006. Cet. I.
Uu
Suhendar. Tafsir al-Razi: Kasaluyuan Surat, Ayat, Jeung Mufrodat.
Pustaka al-Razi Tasikmalaya, 2011. Cet. II.
Yusuf
al-Qaradhawi. Mauqiful Islam: minal Ilham wal-Kasyf war-Ro’yu. Edisi Indonesia:
Alam Gaib; Sikap Islam Terhadap Ilham, Kasyaf, Mimpi, Jimat, Ramalan, Dan
Mantra. Pen: H.M. Wahib Aziz, Lc. Senayan Abadi Publishing Jakarta, 2005.
Cet. II.
Buletin
Mujahid no. 23 Th. III, 12 Desember 2014.
-----
no. 24 Th. III, 19 Desember 2014.
-----
no. 25 Th. III, 26 Desember 2014.
Majalah
Risalah, no. 42 Th. XXXXII, Dzulhijjah 1425/Januari 2005.
-----
no. 9 Th. XXXXVIII, Dzulhijjah 1431 / Desember 2010.
http://
www.khazanahalquran.com>tafsir-surat-alashr.
http://www.arriauny.blogspot.com>rebo-wekasan.
http://www.idrusramli.com>hakekat-rebo-wekasan-(rabu
terakhir)-shafar.
http://www.nahimungkar.com>syaikh-hasyim-asya’ari-pendiri-nu-melarang-sholat-rebo-wekasan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar