DEWI SARTIKA PAHLAWAN WANITA DARI TATAR SUNDA - PEMUDA PERSIS KAB. SUMEDANG

Breaking

Post Top Ad

Kami pemuda pembela agama Pembangkit umat yang utama Bertabligh memikat hati yang suci Berdalilkan Qur’an dan Hadis Di-tanam iman disebar amal Memimpin jiwa dan akhlaqnya Membasmi bid’ah agama Berjihad, berdakwah, beruswah)* Bersatulah bersatulah bersatulah bersatulah Hai muslimin Siapa yang menentang Islam Musnahlah dalil dan hujahnyaWeb PEMUDA PERSIS SUMEDANG

Post Top Ad

Mangga bade Iklan palih dieu

Rabu, 29 Agustus 2018

DEWI SARTIKA PAHLAWAN WANITA DARI TATAR SUNDA


Oleh M. Nurachman             
(Wakil Ketua PD. Pemuda Persis Kabupaten Sumedang)

A.    Silsilah Katurunan Dewi Sartika
Dewi Sartika yang lahir dari keluarga “Menak” di Bandung yang dilingkungan keluarganya lebih akrab dipanggil Uwi adalah putri dari perkawinan Raden Rangga Somanagara dengan Raden Ayu Rajapermas. Dewi Sartika lahir di Bandung pada tanggal 4 Desember 1884, ketika ayahnya menjabat sebagai Patih Afdeling Mangunreja. Tujuh tahun kemudian, ayahnya dilantik menjadi Patih Bandung. Raden Rangga Somanegara adalah salah seorang putra dari perkawinan Raden Demang Suria Dipraja dengan Raden Ayu Komalanegara.
Kakeknya dari garis ayah dikenal sebagai Hoofd Djaksa (Jaksa Kepala) di Bandung. Selain itu, Dewi Sartika masih keturunan Keluarga Dalem Timbanganten yang menjadi cikal bakal pendiri kabupaten Bandung. Ibunya Raden Ayu Rajapermas merupakan salah seorang putri dari Raden Aria Adipati Wiranatakusumah VI yang pernah menjabat sebagai Bupati Bandung (1846-1874) dan lebih dikenal dengan sebutan Dalem Bintang yang dikenal sebagai Bupati yang arif dan dekat dengan rakyat. Nama Dalem Bintang tetap mengakar di masyarakat Bandung hingga kini. (Restiabti hal. 31, Muhsin, 2010:6, dan Zakiah, 2011:52-56).
                                                
B.     Masa Kanak-Kanak-Remaja
Saat di Bandung, Dewi Sartika tinggal bersama orang tua dan saudara-saudaranya disebuah rumah besar yang terletak di Kepatihan Straat. Rumah besar itu terbuat semi permanen berhalaman sangat luas terletak persis dipinggir jalan raya. Diberanda terlihat pot-pot bunga besar berisi berisi tanaman suplir dan kuping gajah yang ditata dengan rapi. Sedangkan di halamannya yang cukup luas, ditumbuhi berbagai tanaman serta bunga yang asri, termasuk diantaranya bunga hanjuang merah yang menjadi ciri khas orang Sunda. Karena ayahnya menjabat sebagai Patih Bandung, Dewi Sartika dan saudara-saudaranya diperbolehkan mengikuti sekolah di Eerste Klasse School, yakni sekolah setingkat sekolah dasar, yang sebetulnya diperuntukkan bagi anak-anak Belanda dan peranakan.
Di situ mereka mendapat kesempatan belajar bahasa Belanda dan bahasa Inggris. Sehari-harinya Dewi Sartika berpembawaan agak berbeda dari anak wanita umumnya. Gerak geriknya lincah, sigap dan berani. Bicaranya pun lugas dengan tutur kata yang tegas dan terkadang bernada keras. Kendati sehari-hari ia mengenakan kebaya dan kain panjang, boleh dikatakan Dewi Sartika berpembawaan agak tomboy.
Kehidupan sehari-hari diurus dan dilayani oleh para abdi dalem yang setia, patuh, dan hormat. Mereka menerima segala perintah tanpa berani menolak. Pendek kata, Dewi Sartika bersama saudara-saudaranya jauh dari kesusahan dan kesengsaraan. Untuk acara tertentu yang cukup penting, Patih Somanagara akan menyertakan anak-anaknya. Misalnya menonton acara pacuan kuda di Tegallega, pergelaran hiburan rakyat dan sebagainya. Dari kegiatan demikian, Dewi Sartika menyerap banyak pengetahuan yang memperkaya wawasan dirinya. Pada masa penjajahan Belanda, nasib wanita pribumi dari golongan “Menak” maupun dari masyarakat kebanyakan sungguh sangat memprihatinkan.
Mereka tidak diberi kesempatan untuk berkembang, hidup terkurung di dalam rumah bertugas melayani kebutuhan suami. Sangat menyedihkan, bahwa jika suaminya meninggal, sang istri tidak dapat berbuat banyak. Kaum wanita pada waktu itu sangat bergantung kepada kaum pria. Semua ini menyadarkan Dewi Sartika, bahwa selayaknya kaum pribumi mampu mandiri dan terampil supaya menjadi tiang keluarga yang kokoh. Untuk itu, perlu adanya pendidikan bagi kaum wanita dan dibina sesuai dengan fitrahnya, sehingga dikemudian hari mereka menjadi Ibu yang baik dan sanggup melindungi keluarganya.
Dewi Sartika percaya bahwa dari Ibu yang baik akan lahir generasi yang baik. Itulah yang menjadi landasan Dewi Sartika mencetuskan gagasan mendirikan sekolah wanita pribumi yang pertama di Indonesia. Seperti yang diungkapnya dalam salah satu karangannya sebagai berikut, “Menurut pendapat saya, barangkali dalam hal ini bagi wanita tidak akan sangat banyak berbeda dengan pria. Di samping pendidikan yang baik, ia harus dibekali pelajaran dengan sekolah yang bermutu. Perluasan pengetahuan akan berpengaruh kepada moral wanita pribumi. Pengetahuan tersebut hanya diperolehnya dari sekolah.”
Di usia 9 tahun ayah Raden Dewi Sartika, yaitu Raden Somanagara dan kakeknya Demang Suriadipraja dituduh makar terhadap pamannya Bupati Bandung R.A.A Martanagara sehingga diasingkan ke Ternate (Maluku). Ketika itu Raden Dewi Sartika sudah kelas III (tiga) ELS. Kejadian ini membawa petaka bagi Raden Dewi Sartika karena diberhentikan dari sekolahnya. Selanjutnya Raden Dewi Sartika dititipkan oleh ayahnya kepada isteri Raden Demang di Cicalengka. Disitulah Dewi Sartika mendapatkan didikan budaya Sunda dari isteri Raden Demang, sedangkan budaya Barat diperoleh dari P. Roo de Faille, Kontrolir Belanda di Cicalengka.
Karena Dewi Sartika memiliki bakat dalam dunia pendidikan, maka sejak di Cicalengka itulah mulai memberikan pelajaran seperti membaca, menulis, dan keterampilan lainnya kepada teman sepermainannya. Kegiatan ini diberikan sambil bemain-main layaknya anak kecil yang lucu dan imut. Raden Dewi Sartika berperan sebagai gurunya dan teman-temannya sebagai muridnya. Media dan alat belajarnya menggunakan arang dan papan bekas yang ada dibelakang rumahnya. Sejak itulah menjadi buah bibir karena kaum wanita dari kalangan bawah (jelata) bisa membaca, menulis dan keterampilan seperti memasak, menjahit dan sebagainya. (Restianti hal. 32 dan Ibrahim, hal. 21).

C.    Kontribusi Dewi Sartika Dalam Dunia Pendidikan
Pada tahun 1902, Dewi Sartika melakukan kegiatan pendidikan dengan memberikan pendidikan kepada sanak keluarganya yang wanita. Kegiatannya, antara lain mendidik mereka merenda, memasak, jahit menjahit, membaca, menulis dan sebagainya. Kegiatan ini dilakukan di sebuah ruangan kecil di belakang rumah ibunya di Bandung. Sebagai imbalan atas pelajarannya yang diberikan Dewi Sartika, mereka yang mengikuti proses belajar membawakan Dewi Sartika dan ibunya makanan, beras, garam buah-buahan, dan sebagainya.
 Kegiatan Dewi Sartika tersebut lambat laun tercium oleh C. Den Hammer yang menjabat sebagai Inspektur Pengajaran Hindia Belanda di Bandung. Pada awalnya, Den Hammer menilai kegiatan Dewi Sartika sebagai suatu kegiatan liar yang membahayakan dan patut dicurigai. Namun, pada akhirnya setelah dilihat dari dekat C. Den Hammer beranggapan, bahwa kegiatan Dewi Sartika tersebut tidak membahayakan dan bahkan dinilai positif.
Den Hammer sangat terkesan dengan pemikiran dan obsesi Dewi Sartika yang sangat berhasrat mendirikan sekolah wanita untuk kaum pribumi. Namun, pendirian sekolah tersebut tidak dilakukannya dengan mudah karena masih ada pihak-pihak yang menentang gagasan tersebut dengan alasan bertentang dengan adat istiadat seperti yang diungkapkan oleh Dewi Sartika dalam salah satu artikelnya. “Sayang masih banyak di antara orang-orang setanah air saya yang rupanya selalu berusaha untuk lebih dahulu menentang segala yang baru”.
Dengan adanya kejadian tersebut, Den Hammer sangat prihatin dan mengusulkan kepada Dewi Sartika untuk meminta bantuan dari Bupati Bandung R.A. Martanegara. Awalnya, Dewi Sartika merasa ragu untuk mengikuti usul C. Den Hammer. Hal itu dikarenakan Dewi Sartika belum bisa melupakan pengalaman pahit yang menimpa keluarganya sembilan tahun silam, yaitu ketika ayahnya—Raden Rangga Somanegara—harus melaksanakan hukuman buang ke Ternate hingga wafat di sana. Ayahnya dihukum buang oleh Pemerintah Hindia Belanda karena menentang pelantikan R.A. Martanegara sebagai Bupati Bandung. Dewi Sartika sudah bisa membayangkan bahwa ia akan kena marah ibunya dan mungkin akan dimusuhi oleh saudara-saudaranya.
Akan tetapi, setelah ditimbang baik dan buruknya, akhirnya Dewi Sartika memberanikan diri menghadap Bupati Bandung. R. A. Martanegara sangat terkejut ketika mengetahui Dewi Sartika putri mantan Patih Bandung bermaksud menghadapnya. Ia menjadi lebih terkejut lagi, manakala mendengar uraian gagasan Dewi Sartika yang sangat ingin mendirikan sekolah bagi kaum wanita pribumi. Namun rasa haru dan kagumnya disembunyikan di dasar lubuk hatinya. R.A. Martanegara tidak langsung menyanggupi akan menolong Dewi Sartika karena ia perlu waktu untuk merundingkan gagasan tersebut dengan sejumlah sahabat serta kerabat dekatnya.
Tidak lama setelah itu Dewi Sartika dipanggil agar menghadap Bupati Bandung di Pendopo Dalem. Dengan hati berdebar dan waswas, Dewi Sartika memenuhi panggilan tersebut. Pada saat inilah R.A. Martanegara mengatakan kepada Dewi Sartika, “Nya atuh Uwi, ari Uwi panting jeung kekeuh hayang mah, mugi-mugi bae dimakbul ku Allah nu ngawasa sekuliah alam, urang nyoba-nyoba nyien sakola sakumaha kahayang Uwi. Pikeun nyegah bisi aya ka teu ngeunah di akhir, sekolah teh hade lamun di pendopo wae heula. Lamun katanyaan henteu aya naon-naon, pek bae pindah ka tempat sejen”. (Terjemahan bebasnya kira-kira begini: Kalau memang tekad Uwi sudah bulat, mudahmudahan dikabulkan oleh Allah Yang Mahakuasa. Kita coba membuat sekolah sesuai dengan keinginan Uwi. Untuk mencegah hal yang tidak diinginkan di kemudian hari, lebih baik sekolah didirikan sementara di dalam pendopo. Kalau sudah berjalan dengan baik, silakan cari tempat yang lain).
Ucapan Bupati Bandung tersebut menandakan dukungan dan perlindungan atas rencananya mendirikan sekolah untuk wanita pribumi. Maka pada tanggal 16 Januari 1904, Sakola Istri berhasil dibentuk. Tenaga pengajarnya 3 orang, yakni Dewi Sartika sendiri dibantu oleh dua orang saudara misannya, Ny. Poerwa dan Nyi Oewid. Untuk sementara waktu, tempat belajar diperoleh dengan meminjam ruangan di Paseban Barat di halaman depan rumah Bupati Bandung.
Murid yang diterima untuk pertama kalinya adalah sebanyak 60 siswi yang sebagian besar berasal dari masyarakat kebanyakan. Pada tahun 1905, karena ruangan tidak mampu lagi menampung jumlah siswi yang terus bertambah, sekolah tersebut dipindah ke jalan Ciguriang-Kebun Cau. Lokasi yang baru ini dibeli Dewi Sartika dengan uang tabungan pribadinya, ditambah sedikit bantuan dana pribadi dari Bupati Bandung. Kegiatan Dewi Sartika sebagai kepala sekolah memang cukup banyak menyita waktu. Ia berangkat pagi-pagi sekali dan pulang tengah hari. Begitu berlangsung setiap harinya, sehingga menimbulkan keibaan bagi ibunya, Rajapermas. Ia tak ingin melihat putrinya bertambah usia dan tidak kunjung juga menentukan suami yang mendampinginya.
Dewi Sartika pada mulanya pernah dilamar oleh keluarga Pangeran Djajadiningrat dari Banten untuk nikah dengan salah satu putra dari keluarga Pangeran Djajadiningrat. Namun, lamarannya ditolak dengan alasan belum pernah mengenalnya. Meskipun demikian, ibunya sangat berkenan dengan pria tersebut. Pada satu hari ketika Dewi Sartika sedang membantu menyediakan hidangan di rumah Bupati, Dewi Sartika bertemu dengan seorang pria gagah yang telah menggugah hatinya. Pria tersebut bernama Raden Kanduruan Agah Suriawinata, salah seoarang guru di Erste Klasse School di daerah Karang Pamulang.
Pertemuan di rumah Bupati tersebut terus berlanjut menjadi hubungan yang lebih akrab. Pada mulanya, R.A. Rajapermas menyatakan keberatannya jika Dewi Sartika menikah dengan Raden Agah. Menurutnya, Raden Agah dianggap tidak setara untuk menjadi suami Dewi Sartika, sedangkan Dewi Sartika adalah putri seorang Patih Bandung yang sangat disegani oleh banyak pihak. Dewi Sartika kecewa dan menganggap, bahwa ibunya berpandangan kolot dan tidak realistis. Dewi Sartika merasa lebih baik menikah dengan Raden Agah yang hanya seorang guru, tetapi justru sangat dicintai dan dikaguminya. Dibandingkan apabila menikah dengan seorang keluarga Pangeran Banten yang tidak dikenal dan tidak dicintainya.
Meskipun ditentang oleh ibunya, Dewi Sartika tetap saja menjalin hubungan dengan Raden Agah. Ia tidak peduli pada penilaian sebagian Menak yang mempersoalkan hubungannya dengan guru Eerste Klasse School di Karang Pamulang itu. Raden Agah merasa prihatin terhadap sikap keluarga Dewi Sartika yang tidak menyukainya hanya karena derajat kebangsawanan yang berbeda. Kemudian, Raden Agah memutuskan untuk melakukan samadi di makam R.A.A. Wiranatakusumah IV, karena almarhum adalah kakek Dewi Sartika dari garis Ibu yang semasa hidupnya pernah menjabat sebagai bupati arif dan bijaksana.
Dalam samadi yang khusuk, Raden Agah memohon kepada Yang Mahakuasa agar hatinya dipertemukan dengan roh almarhum untuk memohon restu jika ia ingin menikahi Dewi Sartika. Ternyata Yang Mahakuasa mengabulkan doanya. Bila semula R.A.Rajapermas tidak merestui dan mengizinkan Raden Agah untuk menikahi Dewi Sartika, kini malah berbalik menyetujui dan mengizinkannya.
Pada tahun 1906, resmilah Raden Kanduruan Agah Suriawinata menjadi suami Dewi Sartika. Pernikahan dilangsungkan secara sederhana, namun banyak yang hadir untuk memberikan restu. Dewi Sartika dan Raden Agah mengalami perkawinan yang sangat bahagia. Namun pada tanggal 25 Juli 1939, Raden Agah yang sangat dicintai Dewi Sartika meninggal dunia. Meskipun demikian, perasaan sedih ditinggal oleh suaminya tidaklah mematahkan semangat Dewi Sartika, karena tugas untuk memajukan sekolah wanita belum selesai.
Pada tahun 1909 sudah dihasilakan lulusan pertama. Hal ini membuktikan kepada bangsa kita bahwa perempuan memiliki kemampuan yang tak ada bedanya dengan laki-laki. Pada tahun 1910, dengan menggunakan hartanya pribadi, sekolahnya diperbaiki sehingga bisa lebih memenuhi syarat kelengkapan sekolah formal. Pada tahun-tahun berikutnya di beberapa wilayah Tatar Sunda bermunculan beberapa Sakola Istri, terutama yang dikelola oleh perempuanperempuan Sunda yang memiliki cita-cita yang sama dengan Dewi Sartika.
Seperti biasa pula, sebelum waktu belajar dimulai Dewi Sartika akan berdiri di depan ruangan sekolahnya membunyikan lonceng kuningan yang nyaring sebagai tanda dimulainya waktu belajar. Pada 5 November 1910, persisnya hari Minggu pukul 19.00 WIB, Perkumpulan Kautamaan Istri dibentuk oleh Residen Periangan W.F.L. Boissevain dikediamannya (sekarang dikenal dengan dengan nama Gedung Pakuan). Hadir dalam peresmian itu, antara lain Inspektur Pengajaran J.C.J. Van Bemmel, Bupati Bandung R.A.A. Martanegara dan dua orang Raden Ayu, Dewi Sartika dan Raden Agah, serta sejumlah pejabat Belanda dan para istrinya.
Pada tahun 1912 sudah berdiri sembilan Sakola Istri di kota-kota kabupaten (setengah dari seluruh kota kabupaten se-Tatar Sunda). Memasuki usia kesepuluh, tahun 1914, nama sekolahnya diganti menjadi Sakola Kautamaan Istri (Sekolah Keutamaan Perempuan). Semangat R. Dewi Sartika ini berpengaruh sampai ke Bukittinggi, sehingga di tempat itu berdiri juga Sakola Kautamaan Istri yang pimpin oleh Encik Rama Saleh. Pada tahun 1920 di seluruh wilayah Pasundan terdapat Sakola Kautamaan Istri di tiap kota kabupatennya dan di beberapa kota kewedanaan. Bulan September 1929, R. Dewi Sartika mengadakan peringatan pendirian sekolahnya yang telah berumur 25 tahun, yang kemudian berganti nama menjadi Sakola Raden Dewi.
Tujuan Perkumpulan Keutaman Istri itu ialah untuk mendukung pengembangan dan pembangunan sekolah wanita pribumi yang dipimpin Dewi Sartika. Tugas perkumpulan tersebut adalah berusaha menghimpun dana dari para dermawan Belanda maupun pribumi, agar dapat membantu usaha pembinaan pendidikan di sekolah wanita pribumi yang dipimpin Dewi Sartika. Perkumpulan Keutamaan Istri yang dipimpin oleh istri Residen Periangan dalam waktu singkat telah membuahkan hasil, sehingga dari dana yang dihimpun mereka dapat mendirikan cabang Sakola Kautamaan Istri di daerah Sumedang, Cianjur, Sukabumi, Tasikmalaya, Garut, Purwakarta, dan berbagai kota lainnya di Jawa Barat.
Untuk meningkatkan kualitas pendidikan, Sakola Kautamaan Istri menyesuaikan kurikulumnya dengan kurikulum Tweede Klasse School. Namun, bidang studi keterampilan wanita masih tetap menjadi acuan utama. Pada peringatan 35 tahun berdirinya Sekolah Raden Dewi itu, persisnya pada tanggal 16 Januari 1939, Dewi Sartika mendapat bintang emas dari Pemerintah Belanda sebagai penghargaan atas jasa-jasanya bagi masyarakat. Sebelumnya, Dewi Sartika juga memperoleh bintang perak dari Pemerintah Belanda sebagai penghargaan atas jasa-jasanya. Dengan demikian, Dewi Sartika tidak hanya dihargai bangsa sendiri, tetapi juga oleh bangsa yang menjajahnya.
Pada Perang Dunia II Jepang datang ke Indonesia, sekolah Kaoetamaan Istri ditutup. Pada saat kejadian Bandung Lautan Api, Dewi Sartika mengungsi ke kampung Bentang Ciamis. Dalam pengungsian Dewi Sartika jatuh sakit dan wafat pada 11 September 1947 setelah dirawat di Cineam, Tasikmalaya. Dimakamkan di pemakaman Cigagadon Desa Rahayu, Kecamatan Cinéam, Tasikmalaya dengan suatu upacara pemakaman sederhana. Selanjutnya 3 tahun kemudian makamnya dipindahkan ke Bandung dan dikuburkan kembali di Komplek Pemakaman Bupati Bandung, Jalan Karang Anyar.
Selanjutnya pada tanggal 1 Desember 1966, Presiden Soekarno berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 252 Tahun 1966 menetapkan Dewi Sartika sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional karena jasa-jasanya sebagaipemimpin Indonesia di masa silam, yang semasa hidupnya karena terdorong oleh rasa cinta tanah air dan bangsa, memimpin suatu kegiatan yang teratur menentang penjajahan di bumi Indonesia. (Restianti hal. 32-42; Ibrahim, hal. 21-22 dan Muhsin, 2010:6-7).

Daftar Pustaka
Restianti, Hetti. tt.  Kaum Wanita dalam Pergerakan Kebangsaan Indonesia. Pdf
Ibrahim, Tatang. tt. Manajemen “Sekolah Kaoetamaan Istri” Raden Dewi Sartika Dalam Meningkatkan Keterampilan Kaum Wanita Sunda. Bandung: UIN Sunan Gunung Djati. Pdf
Zakiah, Lina. 2011. Konsep Pendidikan Perempuan Menurut Raden Dewi Sartika. Skripsi di UIN Syarief Hidayatullah Jakarta. Pdf
Muhsin, Mumuh. 2010. R.A. Kartini Versus R. Dewi Sartika: Menakar Bobot Kepahlawanan. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Jawa Barat Bekerja Sama dengan Program Studi Ilmu Sejarah Fak. Sastra Universitas Padjadjaran di Kampus Fak. Sastra Unpad Jatinangor tanggal 8 Desember 2010. Pdf


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad

Responsive Ads Here