Oleh
M. Nurachman
(Wakil Ketua PD. Pemuda Persis Kabupaten
Sumedang)
A.
Silsilah Katurunan Dewi Sartika
Dewi Sartika yang lahir dari keluarga “Menak” di Bandung yang
dilingkungan keluarganya lebih akrab dipanggil Uwi adalah putri dari perkawinan
Raden Rangga Somanagara dengan Raden Ayu Rajapermas. Dewi Sartika lahir di
Bandung pada tanggal 4 Desember 1884, ketika ayahnya menjabat sebagai Patih Afdeling
Mangunreja. Tujuh tahun kemudian, ayahnya dilantik menjadi Patih Bandung.
Raden Rangga Somanegara adalah salah seorang putra dari perkawinan Raden Demang
Suria Dipraja dengan Raden Ayu Komalanegara.
Kakeknya dari garis ayah dikenal sebagai Hoofd Djaksa (Jaksa
Kepala) di Bandung. Selain itu, Dewi Sartika masih keturunan Keluarga Dalem
Timbanganten yang menjadi cikal bakal pendiri kabupaten Bandung. Ibunya Raden
Ayu Rajapermas merupakan salah seorang putri dari Raden Aria Adipati
Wiranatakusumah VI yang pernah menjabat sebagai Bupati Bandung (1846-1874) dan lebih
dikenal dengan sebutan Dalem Bintang yang dikenal sebagai Bupati yang arif dan
dekat dengan rakyat. Nama Dalem Bintang tetap mengakar di masyarakat Bandung
hingga kini. (Restiabti hal. 31, Muhsin, 2010:6, dan Zakiah, 2011:52-56).
B.
Masa Kanak-Kanak-Remaja
Saat di Bandung, Dewi Sartika tinggal bersama orang tua dan saudara-saudaranya
disebuah rumah besar yang terletak di Kepatihan Straat. Rumah besar itu terbuat
semi permanen berhalaman sangat luas terletak persis dipinggir jalan raya. Diberanda
terlihat pot-pot bunga besar berisi berisi tanaman suplir dan kuping gajah yang
ditata dengan rapi. Sedangkan di halamannya yang cukup luas, ditumbuhi berbagai
tanaman serta bunga yang asri, termasuk diantaranya bunga hanjuang merah yang
menjadi ciri khas orang Sunda. Karena ayahnya menjabat sebagai Patih Bandung,
Dewi Sartika dan saudara-saudaranya diperbolehkan mengikuti sekolah di Eerste
Klasse School, yakni sekolah setingkat sekolah dasar, yang sebetulnya diperuntukkan
bagi anak-anak Belanda dan peranakan.
Di situ mereka mendapat kesempatan belajar bahasa Belanda dan
bahasa Inggris. Sehari-harinya Dewi Sartika berpembawaan agak berbeda dari anak
wanita umumnya. Gerak geriknya lincah, sigap dan berani. Bicaranya pun lugas
dengan tutur kata yang tegas dan terkadang bernada keras. Kendati sehari-hari
ia mengenakan kebaya dan kain panjang, boleh dikatakan Dewi Sartika
berpembawaan agak tomboy.
Kehidupan sehari-hari diurus dan dilayani oleh para abdi dalem yang
setia, patuh, dan hormat. Mereka menerima segala perintah tanpa berani menolak.
Pendek kata, Dewi Sartika bersama saudara-saudaranya jauh dari kesusahan dan
kesengsaraan. Untuk acara tertentu yang cukup penting, Patih Somanagara akan
menyertakan anak-anaknya. Misalnya menonton acara pacuan kuda di Tegallega,
pergelaran hiburan rakyat dan sebagainya. Dari kegiatan demikian, Dewi Sartika menyerap
banyak pengetahuan yang memperkaya wawasan dirinya. Pada masa penjajahan
Belanda, nasib wanita pribumi dari golongan “Menak” maupun dari masyarakat
kebanyakan sungguh sangat memprihatinkan.
Mereka tidak diberi kesempatan untuk berkembang, hidup terkurung di
dalam rumah bertugas melayani kebutuhan suami. Sangat menyedihkan, bahwa jika
suaminya meninggal, sang istri tidak dapat berbuat banyak. Kaum wanita pada waktu
itu sangat bergantung kepada kaum pria. Semua ini menyadarkan Dewi Sartika,
bahwa selayaknya kaum pribumi mampu mandiri dan terampil supaya menjadi tiang
keluarga yang kokoh. Untuk itu, perlu adanya pendidikan bagi kaum wanita dan
dibina sesuai dengan fitrahnya, sehingga dikemudian hari mereka menjadi Ibu
yang baik dan sanggup melindungi keluarganya.
Dewi Sartika percaya bahwa dari Ibu yang baik akan lahir generasi
yang baik. Itulah yang menjadi landasan Dewi Sartika mencetuskan gagasan mendirikan
sekolah wanita pribumi yang pertama di Indonesia. Seperti yang diungkapnya
dalam salah satu karangannya sebagai berikut, “Menurut pendapat saya,
barangkali dalam hal ini bagi wanita tidak akan sangat banyak berbeda dengan
pria. Di samping pendidikan yang baik, ia harus dibekali pelajaran dengan
sekolah yang bermutu. Perluasan pengetahuan akan berpengaruh kepada moral
wanita pribumi. Pengetahuan tersebut hanya diperolehnya dari sekolah.”
Di usia 9 tahun ayah Raden Dewi Sartika, yaitu Raden Somanagara dan
kakeknya Demang Suriadipraja dituduh makar terhadap pamannya Bupati Bandung
R.A.A Martanagara sehingga diasingkan ke Ternate (Maluku). Ketika itu Raden
Dewi Sartika sudah kelas III (tiga) ELS. Kejadian ini membawa petaka bagi Raden
Dewi Sartika karena diberhentikan dari sekolahnya. Selanjutnya Raden Dewi
Sartika dititipkan oleh ayahnya kepada isteri Raden Demang di Cicalengka.
Disitulah Dewi Sartika mendapatkan didikan budaya Sunda dari isteri Raden
Demang, sedangkan budaya Barat diperoleh dari P. Roo de Faille, Kontrolir
Belanda di Cicalengka.
Karena Dewi Sartika memiliki bakat dalam dunia pendidikan, maka
sejak di Cicalengka itulah mulai memberikan pelajaran seperti membaca, menulis,
dan keterampilan lainnya kepada teman sepermainannya. Kegiatan ini diberikan
sambil bemain-main layaknya anak kecil yang lucu dan imut. Raden Dewi Sartika
berperan sebagai gurunya dan teman-temannya sebagai muridnya. Media dan alat
belajarnya menggunakan arang dan papan bekas yang ada dibelakang rumahnya.
Sejak itulah menjadi buah bibir karena kaum wanita dari kalangan bawah (jelata)
bisa membaca, menulis dan keterampilan seperti memasak, menjahit dan
sebagainya. (Restianti hal. 32 dan Ibrahim, hal. 21).
C.
Kontribusi Dewi Sartika Dalam Dunia Pendidikan
Pada tahun 1902, Dewi Sartika melakukan kegiatan pendidikan dengan
memberikan pendidikan kepada sanak keluarganya yang wanita. Kegiatannya, antara
lain mendidik mereka merenda, memasak, jahit menjahit, membaca, menulis dan
sebagainya. Kegiatan ini dilakukan di sebuah ruangan kecil di belakang rumah
ibunya di Bandung. Sebagai imbalan atas pelajarannya yang diberikan Dewi Sartika,
mereka yang mengikuti proses belajar membawakan Dewi Sartika dan ibunya
makanan, beras, garam buah-buahan, dan sebagainya.
Kegiatan Dewi Sartika
tersebut lambat laun tercium oleh C. Den Hammer yang menjabat sebagai Inspektur
Pengajaran Hindia Belanda di Bandung. Pada awalnya, Den Hammer menilai kegiatan
Dewi Sartika sebagai suatu kegiatan liar yang membahayakan dan patut dicurigai.
Namun, pada akhirnya setelah dilihat dari dekat C. Den Hammer beranggapan,
bahwa kegiatan Dewi Sartika tersebut tidak membahayakan dan bahkan dinilai
positif.
Den Hammer sangat terkesan dengan pemikiran dan obsesi Dewi Sartika
yang sangat berhasrat mendirikan sekolah wanita untuk kaum pribumi. Namun,
pendirian sekolah tersebut tidak dilakukannya dengan mudah karena masih ada
pihak-pihak yang menentang gagasan tersebut dengan alasan bertentang dengan
adat istiadat seperti yang diungkapkan oleh Dewi Sartika dalam salah satu
artikelnya. “Sayang masih banyak di antara orang-orang setanah air saya yang
rupanya selalu berusaha untuk lebih dahulu menentang segala yang baru”.
Dengan adanya kejadian tersebut, Den Hammer sangat prihatin dan
mengusulkan kepada Dewi Sartika untuk meminta bantuan dari Bupati Bandung R.A.
Martanegara. Awalnya, Dewi Sartika merasa ragu untuk mengikuti usul C. Den
Hammer. Hal itu dikarenakan Dewi Sartika belum bisa melupakan pengalaman pahit
yang menimpa keluarganya sembilan tahun silam, yaitu ketika ayahnya—Raden Rangga
Somanegara—harus melaksanakan hukuman buang ke Ternate hingga wafat di sana.
Ayahnya dihukum buang oleh Pemerintah Hindia Belanda karena menentang
pelantikan R.A. Martanegara sebagai Bupati Bandung. Dewi Sartika sudah bisa
membayangkan bahwa ia akan kena marah ibunya dan mungkin akan dimusuhi oleh saudara-saudaranya.
Akan tetapi, setelah ditimbang baik dan buruknya, akhirnya Dewi
Sartika memberanikan diri menghadap Bupati Bandung. R. A. Martanegara sangat terkejut
ketika mengetahui Dewi Sartika putri mantan Patih Bandung bermaksud menghadapnya.
Ia menjadi lebih terkejut lagi, manakala mendengar uraian gagasan Dewi Sartika
yang sangat ingin mendirikan sekolah bagi kaum wanita pribumi. Namun rasa haru
dan kagumnya disembunyikan di dasar lubuk hatinya. R.A. Martanegara tidak
langsung menyanggupi akan menolong Dewi Sartika karena ia perlu waktu untuk
merundingkan gagasan tersebut dengan sejumlah sahabat serta kerabat dekatnya.
Tidak lama setelah itu Dewi Sartika dipanggil agar menghadap Bupati
Bandung di Pendopo Dalem. Dengan hati berdebar dan waswas, Dewi Sartika
memenuhi panggilan tersebut. Pada saat inilah R.A. Martanegara mengatakan
kepada Dewi Sartika, “Nya atuh Uwi, ari Uwi panting jeung kekeuh hayang mah,
mugi-mugi bae dimakbul ku Allah nu ngawasa sekuliah alam, urang nyoba-nyoba nyien
sakola sakumaha kahayang Uwi. Pikeun nyegah bisi aya ka teu ngeunah di akhir,
sekolah teh hade lamun di pendopo wae heula. Lamun katanyaan henteu aya
naon-naon, pek bae pindah ka tempat sejen”. (Terjemahan bebasnya kira-kira
begini: Kalau memang tekad Uwi sudah bulat, mudahmudahan dikabulkan oleh Allah
Yang Mahakuasa. Kita coba membuat sekolah sesuai dengan keinginan Uwi. Untuk
mencegah hal yang tidak diinginkan di kemudian hari, lebih baik sekolah
didirikan sementara di dalam pendopo. Kalau sudah berjalan dengan baik, silakan
cari tempat yang lain).
Ucapan Bupati Bandung tersebut menandakan dukungan dan perlindungan
atas rencananya mendirikan sekolah untuk wanita pribumi. Maka pada tanggal 16
Januari 1904, Sakola Istri berhasil dibentuk. Tenaga pengajarnya 3 orang, yakni
Dewi Sartika sendiri dibantu oleh dua orang saudara misannya, Ny. Poerwa dan
Nyi Oewid. Untuk sementara waktu, tempat belajar diperoleh dengan meminjam
ruangan di Paseban Barat di halaman depan rumah Bupati Bandung.
Murid yang diterima untuk pertama kalinya adalah sebanyak 60 siswi
yang sebagian besar berasal dari masyarakat kebanyakan. Pada tahun 1905, karena
ruangan tidak mampu lagi menampung jumlah siswi yang terus bertambah, sekolah
tersebut dipindah ke jalan Ciguriang-Kebun Cau. Lokasi yang baru ini dibeli Dewi
Sartika dengan uang tabungan pribadinya, ditambah sedikit bantuan dana pribadi
dari Bupati Bandung. Kegiatan Dewi Sartika sebagai kepala sekolah memang cukup banyak
menyita waktu. Ia berangkat pagi-pagi sekali dan pulang tengah hari. Begitu
berlangsung setiap harinya, sehingga menimbulkan keibaan bagi ibunya,
Rajapermas. Ia tak ingin melihat putrinya bertambah usia dan tidak kunjung juga
menentukan suami yang mendampinginya.
Dewi Sartika pada mulanya pernah dilamar oleh keluarga Pangeran
Djajadiningrat dari Banten untuk nikah dengan salah satu putra dari keluarga
Pangeran Djajadiningrat. Namun, lamarannya ditolak dengan alasan belum pernah mengenalnya.
Meskipun demikian, ibunya sangat berkenan dengan pria tersebut. Pada satu hari
ketika Dewi Sartika sedang membantu menyediakan hidangan di rumah Bupati, Dewi
Sartika bertemu dengan seorang pria gagah yang telah menggugah hatinya. Pria tersebut
bernama Raden Kanduruan Agah Suriawinata, salah seoarang guru di Erste
Klasse School di daerah Karang Pamulang.
Pertemuan di rumah Bupati tersebut terus berlanjut menjadi hubungan
yang lebih akrab. Pada mulanya, R.A. Rajapermas menyatakan keberatannya jika
Dewi Sartika menikah dengan Raden Agah. Menurutnya, Raden Agah dianggap tidak
setara untuk menjadi suami Dewi Sartika, sedangkan Dewi Sartika adalah putri
seorang Patih Bandung yang sangat disegani oleh banyak pihak. Dewi Sartika kecewa
dan menganggap, bahwa ibunya berpandangan kolot dan tidak realistis. Dewi
Sartika merasa lebih baik menikah dengan Raden Agah yang hanya seorang guru,
tetapi justru sangat dicintai dan dikaguminya. Dibandingkan apabila menikah
dengan seorang keluarga Pangeran Banten yang tidak dikenal dan tidak
dicintainya.
Meskipun ditentang oleh ibunya, Dewi Sartika tetap saja menjalin hubungan
dengan Raden Agah. Ia tidak peduli pada penilaian sebagian Menak yang
mempersoalkan hubungannya dengan guru Eerste Klasse School di Karang
Pamulang itu. Raden Agah merasa prihatin terhadap sikap keluarga Dewi Sartika
yang tidak menyukainya hanya karena derajat kebangsawanan yang berbeda.
Kemudian, Raden Agah memutuskan untuk melakukan samadi di makam R.A.A.
Wiranatakusumah IV, karena almarhum adalah kakek Dewi Sartika dari garis Ibu
yang semasa hidupnya pernah menjabat sebagai bupati arif dan bijaksana.
Dalam samadi yang khusuk, Raden Agah memohon kepada Yang Mahakuasa
agar hatinya dipertemukan dengan roh almarhum untuk memohon restu jika ia ingin
menikahi Dewi Sartika. Ternyata Yang Mahakuasa mengabulkan doanya. Bila semula R.A.Rajapermas
tidak merestui dan mengizinkan Raden Agah untuk menikahi Dewi Sartika, kini
malah berbalik menyetujui dan mengizinkannya.
Pada tahun 1906, resmilah Raden Kanduruan Agah Suriawinata menjadi
suami Dewi Sartika. Pernikahan dilangsungkan secara sederhana, namun banyak
yang hadir untuk memberikan restu. Dewi Sartika dan Raden Agah mengalami
perkawinan yang sangat bahagia. Namun pada tanggal 25 Juli 1939, Raden Agah
yang sangat dicintai Dewi Sartika meninggal dunia. Meskipun demikian, perasaan
sedih ditinggal oleh suaminya tidaklah mematahkan semangat Dewi Sartika, karena
tugas untuk memajukan sekolah wanita belum selesai.
Pada tahun 1909 sudah dihasilakan lulusan pertama. Hal ini
membuktikan kepada bangsa kita bahwa perempuan memiliki kemampuan yang tak ada
bedanya dengan laki-laki. Pada tahun 1910, dengan menggunakan hartanya pribadi,
sekolahnya diperbaiki sehingga bisa lebih memenuhi syarat kelengkapan sekolah formal.
Pada tahun-tahun berikutnya di beberapa wilayah Tatar Sunda bermunculan beberapa
Sakola Istri, terutama yang dikelola oleh perempuanperempuan Sunda yang
memiliki cita-cita yang sama dengan Dewi Sartika.
Seperti biasa pula, sebelum waktu belajar dimulai Dewi Sartika akan
berdiri di depan ruangan sekolahnya membunyikan lonceng kuningan yang nyaring
sebagai tanda dimulainya waktu belajar. Pada 5 November 1910, persisnya hari
Minggu pukul 19.00 WIB, Perkumpulan Kautamaan Istri dibentuk oleh Residen
Periangan W.F.L. Boissevain dikediamannya (sekarang dikenal dengan dengan nama Gedung
Pakuan). Hadir dalam peresmian itu, antara lain Inspektur Pengajaran J.C.J. Van
Bemmel, Bupati Bandung R.A.A. Martanegara dan dua orang Raden Ayu, Dewi Sartika
dan Raden Agah, serta sejumlah pejabat Belanda dan para istrinya.
Pada tahun 1912 sudah berdiri sembilan Sakola Istri di
kota-kota kabupaten (setengah dari seluruh kota kabupaten se-Tatar Sunda).
Memasuki usia kesepuluh, tahun 1914, nama sekolahnya diganti menjadi Sakola
Kautamaan Istri (Sekolah Keutamaan Perempuan). Semangat R. Dewi Sartika ini
berpengaruh sampai ke Bukittinggi, sehingga di tempat itu berdiri juga Sakola
Kautamaan Istri yang pimpin oleh Encik Rama Saleh. Pada tahun 1920 di
seluruh wilayah Pasundan terdapat Sakola Kautamaan Istri di tiap kota
kabupatennya dan di beberapa kota kewedanaan. Bulan September 1929, R. Dewi
Sartika mengadakan peringatan pendirian sekolahnya yang telah berumur 25 tahun,
yang kemudian berganti nama menjadi Sakola Raden Dewi.
Tujuan Perkumpulan Keutaman Istri itu ialah untuk mendukung
pengembangan dan pembangunan sekolah wanita pribumi yang dipimpin Dewi Sartika.
Tugas perkumpulan tersebut adalah berusaha menghimpun dana dari para dermawan
Belanda maupun pribumi, agar dapat membantu usaha pembinaan pendidikan di
sekolah wanita pribumi yang dipimpin Dewi Sartika. Perkumpulan Keutamaan Istri
yang dipimpin oleh istri Residen Periangan dalam waktu singkat telah membuahkan
hasil, sehingga dari dana yang dihimpun mereka dapat mendirikan cabang Sakola Kautamaan
Istri di daerah Sumedang, Cianjur, Sukabumi, Tasikmalaya, Garut, Purwakarta,
dan berbagai kota lainnya di Jawa Barat.
Untuk meningkatkan kualitas pendidikan, Sakola Kautamaan Istri
menyesuaikan kurikulumnya dengan kurikulum Tweede Klasse School.
Namun, bidang studi keterampilan wanita masih tetap menjadi acuan utama. Pada
peringatan 35 tahun berdirinya Sekolah Raden Dewi itu, persisnya pada tanggal
16 Januari 1939, Dewi Sartika mendapat bintang emas dari Pemerintah Belanda
sebagai penghargaan atas jasa-jasanya bagi masyarakat. Sebelumnya, Dewi Sartika
juga memperoleh bintang perak dari Pemerintah Belanda sebagai penghargaan atas
jasa-jasanya. Dengan demikian, Dewi Sartika tidak hanya dihargai bangsa
sendiri, tetapi juga oleh bangsa yang menjajahnya.
Pada Perang Dunia II Jepang datang ke Indonesia, sekolah Kaoetamaan
Istri ditutup. Pada saat kejadian Bandung Lautan Api, Dewi Sartika
mengungsi ke kampung Bentang Ciamis. Dalam pengungsian Dewi Sartika jatuh sakit
dan wafat pada 11 September 1947 setelah dirawat di Cineam, Tasikmalaya.
Dimakamkan di pemakaman Cigagadon Desa Rahayu, Kecamatan Cinéam, Tasikmalaya dengan
suatu upacara pemakaman sederhana. Selanjutnya 3 tahun kemudian makamnya
dipindahkan ke Bandung dan dikuburkan kembali di Komplek Pemakaman Bupati
Bandung, Jalan Karang Anyar.
Selanjutnya pada tanggal 1 Desember 1966, Presiden Soekarno berdasarkan
Surat Keputusan Presiden RI No. 252 Tahun 1966 menetapkan Dewi Sartika sebagai Pahlawan
Pergerakan Nasional karena jasa-jasanya sebagaipemimpin Indonesia di masa
silam, yang semasa hidupnya karena terdorong oleh rasa cinta tanah air dan
bangsa, memimpin suatu kegiatan yang teratur menentang penjajahan di bumi
Indonesia. (Restianti hal. 32-42; Ibrahim, hal. 21-22 dan Muhsin, 2010:6-7).
Daftar Pustaka
Restianti,
Hetti. tt. Kaum Wanita dalam
Pergerakan Kebangsaan Indonesia. Pdf
Ibrahim, Tatang. tt. Manajemen “Sekolah Kaoetamaan Istri” Raden
Dewi Sartika Dalam Meningkatkan Keterampilan Kaum Wanita Sunda. Bandung:
UIN Sunan Gunung Djati. Pdf
Zakiah, Lina. 2011. Konsep Pendidikan Perempuan Menurut Raden
Dewi Sartika. Skripsi di UIN Syarief Hidayatullah Jakarta. Pdf
Muhsin, Mumuh. 2010. R.A. Kartini Versus R. Dewi Sartika: Menakar
Bobot Kepahlawanan. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional yang diselenggarakan
oleh Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Jawa Barat Bekerja Sama dengan Program
Studi Ilmu Sejarah Fak. Sastra Universitas Padjadjaran di Kampus Fak. Sastra
Unpad Jatinangor tanggal 8 Desember 2010. Pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar