PERAN WALISONGO DALAM MENYEBARKAN ISLAM DI PULAU JAWA - PEMUDA PERSIS KAB. SUMEDANG

Breaking

Post Top Ad

Kami pemuda pembela agama Pembangkit umat yang utama Bertabligh memikat hati yang suci Berdalilkan Qur’an dan Hadis Di-tanam iman disebar amal Memimpin jiwa dan akhlaqnya Membasmi bid’ah agama Berjihad, berdakwah, beruswah)* Bersatulah bersatulah bersatulah bersatulah Hai muslimin Siapa yang menentang Islam Musnahlah dalil dan hujahnyaWeb PEMUDA PERSIS SUMEDANG

Post Top Ad

Mangga bade Iklan palih dieu

Selasa, 14 Agustus 2018

PERAN WALISONGO DALAM MENYEBARKAN ISLAM DI PULAU JAWA



Oleh M. Nurachman
(Wakil Ketua PD. Pemuda Pesatuan Islam Sumedang)

Siapa yang tidak kenal dengan Walisongo? Mulai anak TK sampai mahasiswa pasti mengenal dan mengatahui siapa Walisongo itu. Bukan tanpa alasan, foto atau lukisan Walisongo/sembilan wali penyebar agama Islam di pulau Jawa di pajang hampir di setiap ruang kelas mulai dari pendidikan tingkat bawah sampai dengan tingkat atas. Tak sedikit juga warga masyarakat yang memajang foto atau lukisan Walisongo di rumah-rumah dengan maksud ngalab berkah atau mencari barokah. Bahkan banyak juga lembaga atau organisasi yang tiap tahunnya mengadakan wisata religi ke makam para Wali tersebut.
Tidak sulit untuk mendapatkan foto atau lukisan Walisongo, di emper jalan banyak kita temui penjual foto atau lukisan walisongo tersebut mulai dari harga murah sampai mahal. Tapi tak sedikit yang tahu peran dan jasa Walisongo dalam menyebarkan Islam di pulau Jawa. Ada pula yang mengatakan bahwa Walisongo termasuk tokoh fiktif dengan “segudang” irasional yang meliputi kisah “kesaktian” para Wali tersebut.
Dewasa ini di Indonesia sedang tumbuh subur universitas atau perguruan tinggi dengan tujuan mencetak kaum intelektual yang mumpuni. Tapi masih ada kalau tidak mau disebut banyak, yang masih mempercayai kejadian-kejadian di luar nalar perihal Walisongo dari kalangan intelektual tersebut. Maka dari itu pemahaman yang benar mengenai Walisongo sangat mendesak untuk di paparkan.
1.      Definisi Walisongo
Ada beberapa pendapat mengenai arti Walisongo. Pertama adalah wali yang sembilan, menandakan jumlah wali yang sembilan orang, atau sanga dalam bahasa Jawa. Wali berasal dari bahasa Arab suatu bentuk singkatan dari waliyullah yang artinya wali Allah; sahabat Allah; orang yang mencintai dan dicintai Allah (Dadan Wildan, 2012:199, Rachmat Abdullah, 2016:64 & Ricklefs, 2008:8). Wali juga bermakna orang shaleh (suci); penyebar agama; kepala pemerintahan dan sebagainya (Depdiknas, 2005:1267).
Kata wali berasal dari bahasa Arab wala atau waliya yang berarti qoroba, yaitu dekat dengan; menguasai, mengurus, memerintah, menolong, dan lain-lain (Sholeh So’an 2002:50). Dalam al-Qur’an istilah tersebut (wali) dipakai dengan pengertian kekasih (baca: Q.S. al-Jumu’ah [62] : 6), pelindung (baca: Q.S. al-Baqarah [2] : 107), penolong (baca: Q.S. at-Taubah [9] : 71), pemimpin (baca: Q.S. al-Maidah [5] : 57), teman setia (baca: Q.S. Fushshilat [41] : 34). (Risalah, No. 11 Februari 2010:28-29).
Bertalian dengan istilah wali, terdapat beberapa pendapat, diantaranya sebagai berikut:
-          Muhammad Jamaluddin al-Qasimi berkata “Kata wali menurut makna asalnya ialah kebalikan dari musuh, dengan demikian maka artinya: orang yang mencintai Allah dengan ketaatan penyembahan serta pengabdian kepada-Nya. Kecuali itu juga mempunyai makna sebagai penderita, artinya: orang-orang dicintai oleh Allah dengan memperoleh kemuliaan dari-Nya”.
-          Syaikh Yusuf bin Ismail al-Nabhani berkata “Maka arti kata wali ialah orang yang secara terus-menerus taat batinnya kepada Allah tanpa diselingi perbuatan dosa”.
-          Ibrahim Athwah Audl berkata “Arti makna wali ialah orang yang terus-menerus menyertai Allah sambil terus-menerus berbuat taat kepada-Nya dengan demikian Allah selamanya melimpahkan kepadanya kemuliaan dan perlindungan. Demikian juga telah dikatakan bahwa wali itu orang yang terus-menerus perbuatannya cocok dengan syara Islam yang mulia. Siapa yang perbuatannya melanggar syara, maka ia bukanlah wali meskipun ia bisa terbang di udara maupun berjalan di atas air. Dalam hubungan ini maka siapa-siapa yang mengaku dirinya telah sampai di tingkatan boleh tidak usah shalat lima waktu atau puasa Ramadhan, dan mengaku dirinya dibolehkan berbuat dosa besar maupun kecil, maka ia adalah orang yang sesat dan menyesatkan. Orang yang demikian termasuk kawan syaitan”.
-          Ragib al-Ashfahani berkata “Dan demikian itu dipinjam penggunaannya untuk arti dekat, baik dari segi tempat, hubungan, pertemanan, pertolongan, keyakinan, dan lain sebagainnya”. (Sholeh So’an 2002:50-51 & Risalah, No. 11 Februari 2010:28).
Pendapat lain menyatakan bahwa songo/sanga berasal dari kata tsana yang dalam bahasa Arab berarti sama dengan mahmud, yang terpuji. Jadi Walisongo berarti “wali-wali yang terpuji” (Helmiati, 2011:55). Adapun kata songo adalah angka hitungan Jawa yang berarti sembilan. Namun begitu, meski perkataan Walisongo sudah lazim disebut orang, tetapi kalau dihitung satu persatu keseluruhan mereka yang digolongkan dalam julukan Walisongo tersebut bukan berjumlah sembilan, tetapi berlebih atau berkurang.
Terhadap sebutan songo atau jumlah wali yang tidak tepat itu memungkinkan terjadinya interpretasi terhadap ucapan songo. Adapun berpendapat bahwa kata songo merupakan perubahan atas kerancuan dalam pengucapan kata sana yang dipungut dari bahasa Arab tsana (mulia) yang searti dengan mahmud (terpuji), sehingga mengucapkan yang betul adalah walisana yang berarti wali-wali terpuji.
Sementara Abu Su’ud berpendapat bahwa kata wali berasal dari bahasa Prakreta (India) sanga, yang berarti dewan (2003:125). Tajono berpendapat bahwa kata sana bukan berasal dari kata Arab tsana, tetapi berasal dari kata Jawa Kuno, sana yang berarti tempat, daerah, atau wilayah. Dengan interpretasi ini berarti wali bagi suatu tempat, penguasa daerah, atau penguasa wilayah (Dadan Wildan, 2012:199, Rachmat Abdullah, 2016:69 & Sholeh So’an, 2002:51-52). Pendapat Tajono ini sejalan dengan salahsatu definisi yang diberikan oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdiknas, 2005:1267). Kata wali sana yang berarti penguasa wilayah, dipertegas oleh Taqiyuddin an-Nabhani dengan mengartikan kata “wali” itu sebagai “Orang yang diangkat oleh Khalifah untuk menjadi pejabat pemerintahan (hakim) di suatu daerah serta menjadi pemimpin di daerah” (Sholeh So’an, 2002:52).
Senada dengan Dadan Wildan dan Abu Su’ud, para sejarahwan seperti Tiar Anwar Bachtiar, Budi Handrianto, Susiyanto, dan M. Isa Nashory berpendapat bahwa Walisongo adalah sebuah majlis atau dewan. Nama sanga tidak selalu menunjukkan jumlah bilangan “sembilan” (Sejarah Nasional Indonesia hal. 96).
Dalam kapasitas tersebut mereka disebut pula dengan sunan, kependekan dari suhun, susuhunan atau sinuhun, dengan disertai atau tidak disertai sebutan kanjeng sebagai kependekan dari kata kang jumeneng, pangeran, atau sebutan lain yang biasa diterapkan bagi para raja atau penguasa pemerintah daerah di jawa. Yang berarti “menghormati”, disini bentuk pasifnya yang berarti “dihormati”. Sebagian lagi berpendapat bahwa songo berasal dari kata sangha dari istilah agama Budha yang berarti perkumpulan atau jamaah para Bhiksu Budha (Dadan Wildan, 2012:199 & Ricklefs, 2008:18).
2.      Deskripsi Walisongo
Para wali itu adalah Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik), Sunan Ampel (Raden Rahmat), Sunan Bonang (Makdum Ibrahim), Sunan Drajat (Raden Qasim), Sunan Kalijaga (Raden Sahid), Sunan Giri (Raden Paku), Sunan Kudus (Ja’far Shadiq), Sunan Muria (Umar Said), Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah). Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Gresik sendiri tidak memasukkan Sunan Gresik sebagai anggota Walisongo. Hal ini dapat dijelaskna bahwa pergantian struktur bisa saja terjadi setiap ada wali yang meninggal. Sebagai contoh pasca wafatnya Sunan Gresik, Raden Patah atau Sunan Kota kemudian masuk menjadi elit Walisongo. (Helmiati, 2011:55, Tiar Anwar Bachtiar, dkk hal. 96-97 dan Sholeh So’an, 2002:57).
Mereka tidak hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah, maka dalam hubungan guru-murid. Maulana Malik Ibrahim yang tertua. Sunan Ampel adalah anak Maulana Malik Ibrahim. Sunan Giri adalah keponakan Maulana Malik Ibrahim yang berarti juga sepupu Sunan Ampel. Sunan Kalijaga merupakan sahabat sekaligus murid Sunan Bonang. Sunan Muria anak Sunan Kalijaga. Sunan Kudus murid Sunan Kalijaga. Sunan Gunung Jati adalah sahabat para Sunan lain, kecuali Maulana Malik Ibrahim yang lebih dahulu meninggal (Helmiati, 2011:55 dan Abu Su’ud, 2003:125).
Dalam buku Sejarah Kebudayaan Islam untuk Diniyah Awaliyah IV yang disusun oleh M. Sumitro, S.PdI, dkk terbitan Departemen Agama RI tahun 2005 halaman 69 disebutkan bahwa selain Walisongo tersebut, dikenal juga wali-wali yang lain seperti Syaikh Subair, Sunan Bayat, Syaikh Siti Jenar, dan Sunan Geseng. (mungkin yang dimaksud M. Sumitro, S.PdI, dkk adalah Syaikh Syubakir, Sunan Tembayat sebagaimana yang disebutkan oleh Abu Su’ud, 2003:125). Bahkan di masyarakat Jawa ada yang sengaja membuatkan rengginang Segitiga ditunjukkan sebagai penghormatan kepada Sunnan Geseng. (Wahyana Giri, 2010:38).
Begitu pula dalam Babad Tanah Jawi, Babad Cerbon-Brandes pupuh ke-15; pangkur, dan Kitab Wali Sepuh; Syaikh Siti Jenar dimasukkan ke dalam “barisan” Walisongo. Walaupun begitu para sejarawan dan ulama belum sepakat akan keberadaan San atau ‘Ali Anshar atau Raden Abdul Jalil bergelar Syaikh Siti Jenar atau Syaikh Lemah Abang. Selain itu ada juga antara lain Syaikh Sabil atau Usman Haji dari Malaka bergelar Sunan Ngudung, (di Ngudung, Jipan Panolan), Raden Santri ‘Ali Bergelar Sunan Gresik (di Gresik), Raden Umar Said bergelar Sunan Muria (di Muria, Jepara), Raden Sayid Muhsin bergelar Sunan Wilis (di Cirebon), Raden Haji Usman bergelar Sunan Manyuran (di Mandika), Raden Fatah bergelar Sunan Bintara (di Bintara, Demak), Raden Jakandar bergelar Sunan Bangkalan (di Madura), Khalif Khusein (Husyan) bergelar Sunan Keroso, Ki Gede Pandan Arang bergelar Sunan Geseng (di Lowanu, Purworejo), Sunan Giri Perapen, dan Sunan Padhusan (Dadan Wildan, 2012:201-204).
Nama Syaikh Siti Jenar dalam buku-buku tersebut dimasukkan kedalam kategori wali, padahal kalau ditelisik lebih jauh ajaran yang dibawa oleh Syaikh Siti Jenar sangat jauh dari ajaran agama Islam. Syaikh Siti Jenar berkeyakinan bahwa setelah roh manusia terlepas atau keluar dari badan/raga, ia akan hidup sendiri dengan langgeng yang adanya bukan sebagai hasil atau lewat bapak ibu atau yang adanya karena kumpulan dari unsur angin, air, tanah, dan api.
Syaikh Siti Jenar pernah berkata, “Syahadat, sholat, puasa, demikian juga dengan zakat dan fitrah, itu semua bohong belaka, tidak boleh dipercaya. Islam tetap merupakan perilaku sesat, membohongi seluruh manusia, agar kelak bisa masuk surga, orang-orang bodoh diperdaya oleh ulama, dan nyatanya sama saja, tidak mengetahui perbedaan Syaikh Siti Jenar”. Lebih jauh Syaikh Siti Jenar menganggap bahwa Hyang Widi (Tuhan) itu serupa dengan dirinya, karena ia merupakan jelmaan dari dzat Tuhan dan juga memiliki dua puluh sifat sebagaimana sifat-sifat yang dimiliki Tuhan (Wihdatul Wujud atau Manunggaling kawula lan Gusti: Tuhan menyatu dengan makhluknya).
Pada perkembangannya perguruan yang didirikan oleh Syaikh Siti Jenar semakin dikenal baik yang di desa-desa maupun di kota. Akhirnya berita tentang kemasyhuran perguruan Syaikh Siti Jenar dengan ajarannya sampai juga ke Bintara. Setelah mengadakan perundingan dengan para pembantu dan para wali, maka diutuslah Syaikh Domba dan Pangeran Bayat ke Krendasawa untuk menemui Syaikh Siti Jenar agar bersedia menghadap para wali, namun Syaikh Siti Jenar menolaknya.
Maka Sunan Bonang diiringi oleh para Sunan dan pangeran yang lain serta para muridnya berangkat menuju ke Krendasawa dengan membawa surat kuasa dari Sultan Bintoro yang berisi mengajak Syaikh Siti Jenar untuk mengadu ilmu (ngaban rahsa). Setelah terjadi tukar pikiran tentang ilmu rahasia, nampaknya Syaikh Siti Jenar sudah tidak dapat merubah sikap dan ajarannya. Akhirnya penguasa pada waktu itu mengambil sikap untuk memberantas termasuk menjatuhkan hukuman mati kepada Syaikh Siti Jenar bersama dengan tujuh murid setianya. setelah terlebih dahulu diadakan musyawarah antara para wali.
Diantara ke tujuh muridnya terdapat Pangeran Penggung yang merupakan anak dari Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga sendiri ikut dalam proses pengadilan atas Syaikh Siti Jenar dan ketujuh muridnya. (Abdul Munir Malkhan hal. 26-57; Risalah Jum’ah No. 682/31 Maret 2017; dan Abu Su’ud, 2003:132-134).
Paling tidak dalam dua sumber babad, yaitu Babad Tanah Jawi dan Babad Walisana eksekusi mati yang dilakukan terhadap Syaikh Siti Jenar sebagaimana yang di kutip oleh Tiar Anwar Bachtiar bahwa ada 5 penyimpangan yang dilakukan oleh Syaikh Siti Jenar yaitu Pertama; Syaikh Siti Jenar telah meninggalkan al-Qur’an, hadits, ijma’, dan qiyas. Kedua; Syaikh Siti Jenar telah terkategori zindiq dan mulhid (panteis dan ateis) karena mengaku bahwa ora ana Pangeran anging Angsun (tidak ada Tuhan kecuali Aku). Ketiga; Syaikh Siti Jenar sering mentakwilkan al-Qur’an tanpa kaidah yang benar sehingga banyak yang takwilnya yang ngawur. Keempat; ajaran-ajaran Syaikh Siti Jenar sangat membahayakan karena sangat pesimistis melihat dunia, juga mendukung tindakan anarki dan chaos. Kelima; perilaku-perilaku muridnya pun sangat meresahkan masyarakat (Risalah Jum’ah No. 682 31 Maret 2017).
2.1. Nama-Nama Walisongo
2.1.1. Sunan Gresik
Sunan Gresik adalah Maulana Malik Ibrahim. Nama lain yang sering dipakai oleh beliau ialah “Maulana Maghribi atau Maulana Ibrahim”. Menurut Au Su’ud disebut demikian karena kemungkinan dia berasal dari negeri Magribi (Maroko), yaitu tempat matahari terbenam. Namun tidak ada bukti lain tentang kebenaran kemungkinan tersebut. Masalah waktu kelahiran Maulana Malik Ibrahim tidak ada kesepakan di kalangan para ahli sejarah. Akan tetapi ia diperkirakan lahir sekitar pertengahan abad ke-14 (1350). Ulama dari negeri Arab bin Sayid Zainul Aliem bin Sayid Zainul Abidin bin Sayidina Husain bin Ali.
Bahkan pada waktu datangnya ke Indonesia, khususnya ke pulau jawa, tidak ada berita secara pasti, namun setelah tiba di pulau Jawa beliau menetap di sebuah desa Leran yang terletak di luar kota Gresik, dan di desa Leran inilah beliau menjalankan dakwah Islam dimana rakyat setempat banyak tertarik dengan agama baru ini, lalu memeluknya menjadi pengikut Islam. Dalam beberapa literatur, kedatangan Maulana Malik Ibrahim ke tanah Jawa dicatat sebagai permulaan masuknya Islam. Karena itu, ia dianggap sebagai orang yang mula-mula memasukkan Islam ke Jawa dan sebagai pendiri pondok pesantren pertama di Indonesia, sehingga disebut bapak pesantren Jawa.
Pada saat itu, Maulana Malik Ibrahim menghadap raja Majapahit dan menceritakan maksudnya mau berdakwah Islam sekalipun mengajak raja Majapahit untuk memeluk Islam. Waktu meninggalkan istana Majapahit, maka oleh raja Majapahit diberi sebidang tanah di Desa Gapura, Gresik, sebagai tempat mengembangkan Islam. Tanah yang dihadiahkan raja Majapahit itu dikenal dengan sebutan “Tanah Perdikan”, [yang mana] di atas tanah tersebut didirikan sebuah masjid untuk tempat beribadah dan tempat mengajarkan Islam. Urut tradisi/babad Jawa, maka Maulana Malik Ibrahim adalah seorang ulama dari tanah Arab, keturunan Zainal Abidin, cicit Nabi Muhammad, demikian tulis Prof. Dr. Husein Djayadiningrat. Menurut Prof. Dr. Hamka, bahwa “nampaknya Maulana Malik Ibrahim datang dari Kasyan, Persia, bangsa Arab dari keturunan Rasulullah, yang datang ke Jawa sebagai penyebar agama Islam”, dan menurut Minhajul Afkar diduga Maulana Malik Ibrahim berasal dari Gujarat. Ia berdasarkan tulisannya pada:
1.      Tulisan Tome’ Pires yaitu: At the time in which pagan were living on the coast of Java, many persians, Arans and gujjarad traders used to come these pleaces.
2.      Tulisan J.P. Moquette yang menyetakan bahwa batu nisan dari makam Maulana Malik Ibrahim berasal dari Cambay, Gujarat, yang mirip sekali dengan batu nisan makan Umar bin Ahmad al-Kazarani yang terdapat di Cambay, Gujarat.
Maulana Malik Ibrahim tidak pernah menentang agama dan keyakinan penduduk asli dengan tajam. Adat istiadat mereka pun tidak ditentang secara terbuka. Thomas Stamford Raffles menyemukakan pandangan Maulana Malik Ibrahim mengenai ketuhanan. Dikemukakan bahwa yang penting tentang Tuhan Allah adalah keberadaannya. Dalam menyebarkan ajaran Islam, Maulana Malik Ibrahim dihadapkan pada keadaan masyarakat Jawa yang pada umunya adalah pemeluk agama Hindu dan Budha dan berada dalam kekuasaan kerajaan Majapahit. Masyarakat pada waktu itu menganut struktur sosial yang berkasta, yaitu kasta Sudra, kasta Waisya, kasta Ksatria, dan Kasta Brahmana. Masyarakat yang demikianlah yang menjadi sasaran dakwah para saudagar muslim dan Maulana Malik Ibrahim, karena menurut mereka bahwa umat manusia adalah sama kedudukan dan derajatnya di hadapan Allah Swt., yang membedakan antara yang satu dengan yang lainnya hanyalah ketakwaan seseorang. Sebagaimana Firman Allah dan Sabda Rasul-Nya yang berbunyi:
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. Q.S. al-Hujurat : 13.
“Tidak ada perbedaan (yang membedakan) antara orang Arab atas orang selainnya kecuali ketakwaannya”.
            Meskipun catatan dalam sejarah belum diketahui kelahiran dan tibanya ke Indonesia, yang jelas Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik) berjasa sekali dalam penyebaran agama Islam di Jawa, khususnya di Gresik. Beliau menyebarkan Islam selama 20 tahun dan wafat di Gresik pada tanggal 12 Rabiul Awal 822 H/8 April 1419 M dan dimakamkan di Perkuburan gapura Wetan, Gresik. (Dadan Wildan, 2012:201, Abu Su’ud, 2003:12 dan Sholeh So’an, 2002:52-54).
2.1.2. Sunan Ampel
Sunan Ampel nama aslinya pada waktu muda adalah “Ahmad Rahmatullah” atau yang biasa disebut juga Raden Rahmat, putera Maulana Malik Ibrahim dari isterinya yang bernama “Dewi Candra-Wulan”, putri kedua Baginda Kiyan. Dalam literatur lain telah dijelaskan pula bahwa isteri beliau bernama “Dewi Candrawulan, puteri pertama Ratu Campa yang telah menganut agama Islam”. Masalah kelahiran beliau samapi kini belum tercatat oleh sejarah. Dadan Wildan menyebutkan bahwa Sunan Ampel putra dari Ibrahim Asmorokandi seorang ulama terkenal dari Arab yang menyebarkan agama Islam di Campa (kebanyakan ahli sejarah menganggap bahwa Champa ada di Indo China dekat Kamboja) yang menikah dengan puteri Campa, Dewi Candrawulan, saudari puteri Darawati, permaisuri angka Wijaya, Raja Majapahit. Raffles beranggapan bahwa Champa ada di Aceh, tepatnya di daerah bernama Jeumpa.
Sunan Ampel adalah penerus cita-cita serta perjuangan ayahnya, Maulana Malik Ibrahim, dan terkenal sebagai perencana pertama kerajaan Islam di Jawa. Ia mendapat didikan agama Islam dari ayahnya, Maulana Malik Ibrahim. Akan tetapi dalam referensi lain dikatakan bahwa ia telah mendapatkan didikan ilmu agama dari ayahnya bernama Ibrahim Asmarakandi atau orang Jawa menyebutnya Ibrahim Asmoro. Kedua nama menurut penulis kurang begitu jelas, apakah itu nama yang sama untuk satu orang yang disebut Sunan Gresik, ataukah nama dua orang yang berbeda akibat dari ketidakjelasan sumber sejarah yang ada sampai saat ini. Tetapi yang jelas, bahwa Sunan Ampel semasa kecilnya mendapat didikan ilmu agama Islam dari ayahnya tercinta.
Menginjak usia dewasa dan “dianggap cukup ilmunya”, ia dikirim ayahnya ke Jawa untuk menyiarkan Islam dan mengunjungi bibinya, yaitu putri Darawati, yaitu isteri Raja Majapahit Angkawijaya. Raden Rahmat waktu tiba di Jawa (Kerajaan Majapahit) baru berumur 20 tahun. Setelah beberapa lama, ia mendengar berita bahwa negeri Champa diserbu oleh Raja Koci sehingga ia berhasrat pulang. Hanya saja Prabu Brawijaya menasehatinya dan meminta agar kemenakan permaisurinya menetap saja di tanah Jawa.
Sunan Ampel menikah dengan Nyai Ageng Manila yang berasal dari Tuban, puteri Ki Gede Manila seorang Adipati yang bergelar Tumenggung Walatikta. Dari pernikahannya Sunan Ampel memperoleh empat orang putra, yaitu Nyai Ageng Maloka, Maulana Makdum Ibrahim (Sunan Bonang), Syarifuddin (Sunan Drajat), dan seorang putri yang kemudian menjadi istri Sunan Kalijaga.
Sunan Ampel memulai aktivitasnya dengan mendirikan pondok pesantren di Ampel Denta, dekat Surabaya, sehingga ia dikenal sebagai pembina pondok pesantren pertama di Jawa Timur. Di pesantren inilah Sunan Ampel mendidik para pemuda Islam untuk menjadi tenaga da’i yang akan disebar ke seluruh Jawa. Kepada santrinya Sunan Ampel memberikan pengajaran sederhana yang menekankan pada penanaman akidah dan ibadah. Dia-lah yang mengenalkan istilah “Mo Limo” (moh main, moh ngombe, moh maling, moh madat, moh madon). Yakni seruan untuk “tidak berjudi, tidak minum minuman keras, tidak mencuri, tidak menggunakan narkotika, dan tidak berzina)
Di antara pemuda yang dididik itu tercatat antara lain Raden Paku, yang kemudian dikenal dengan nama Sunan Giri dan menyebarkan Islam di Giri, Raden Patah yang kemudian menjadi sultan pertama kesultanan Islam di Bintoro, Demak, Raden Makdum Ibrahim (putra Sunan Ampel sendiri) yang kemudian dikenal Sunan Bonang, Syarifuddin yang kemudian dikenal dengan Sunan Drajat, Maulana Ishak yang pernah diutus ke daerah Blambangan untuk mengislamkan rakyat di sana, dan banyak lagi mubaligh yang mempunyai andil besar dalam Islamisasi Pulau Jawa. Disamping itu Raden Rahmat juga mengirim Syaikh Khalifah Husen ke Madura.
Sunan Ampel berselisih paham dengan Sunan Kudus mengenai gagasan Sunan Kalijaga untuk menerima ajaran pra-Islam, seperti selamatan atau sesaji, dengan sentuhan Islam. Sementara Sunan Kudus menerima gagasan Sunan Kalijaga, Sunan Ampel menolaknya, karena khawatir melakukan bid’ah, yang menyesatkan umat.
Raden Rahmat menyebarakan Islam di sepanjang Jawa dengan damai dan akhirnya Islam berkembang di Pulau Jawa atas kerjasama antara penguasa lokal dengan ulama. Kerajasama itu akhirnya melahirkan Kesultanan Demak sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa dengan Raden Patah (putera Prabu Brawijaya V, raja Majapahit) sebagai sultan pertamanya yang tak lain adalah murid dari Raden Rahmat sendiri yang bergelar Senopati Jimbun Ngabdurrahman. Sunan Ampel dimakamkan di Tuban Jawa Timur. (Sholeh So’an, 2002:54-55; Dadan Wildan, 2012:201; Badri Yatim, 2004:211; Abu Su’ud, 2003:126; Helmiati, 2011:57; dan Jaih Mubarok, 2004:226-227).
Sebagian masyarakat Jawa suka membuat Sega Abang (nasi dari beras merah), panggang ikan Badar dan dibumbui dengan garam. Sajen Mumule untuk para leluhur yaitu Sunan Ampel. (Wahyana, 2010:48).
2.1.3.      Sunan Bonang
Maulana Makdum Ibrahim adalah Sunan Bonang pada masa remajanya. Sebutan Makdum mengingatkan pada sejarah Melayu yang para rajanya dikenal dengan gelaran yang sama. Gelaran itu bermakna penolong yang harus dihormati.
Ia adalah anak dari Sunan Ampel dari isterinya puteri Tuban yang bernama Nyai Ageng Manila binti Arya Teja. Dalam literatur lain diterangkan bahwa Sunan Bonang adalah Raden Rahmat dari perkawinannya dengan Dewi Candrawati dan merupakan saudara sepupu Sunan Kalijaga. Dari sepasang seorang laki-laki dan seorang perempuan itulah Sunan Bonang mempunyai dua saudara, yaitu “Nyi Gede Maloka dan Nyi Gedeng Pancuran”, dan juga seorang lagi bernama Syarifuddin Hasyim (Sunan Drajat) dari perkawinannya dengan wanita lain. Sunan Bonang dilahirkan di Ampel Denta, Surabaya, pada tahun 1465 Masehi dan meninggal dunia di Tuban pada tahun 1525 Masehi (1001 H). Sunan Bonan mendapat gelar Nyokrokusumo.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa Sunan Bonang adalah murid dari ayahnya sendiri. Setelah mencari ilmu agama dari sang ayah, ia juga sempt menimba ilmu agama dari Maulana Ishak di Pasai, Aceh, dan akhirnya kembali ke Tuban Jawa Timur.
Sunan Bonang dan para wali lainnya dalam menyebarkan agama Islam selalu menyesuaikan diri dengan corak kebudayaan masyarakat Jawa yang sangat menggemari wayang serta musik gamelan. Menurut penuturan K.H. Abdul Ghafur yang masih mempunyai hubungan keluarga dengan Sunan Drajat, bahwa sebelum kedatangan para wali, Tuban dan sekitarnya adalah pusat kesenian wayang, ketoprak, gending, dan sebagainya yang senantiasa diwarnai dengan pesta mabuk-mabukkan, perjudian, perzinahan, dan seterusnya.
Mengetahui kondisi yang sedemikian rupa, Sunan Bonang yang pusat wilayah dakwahnya dekat sekali dengan saudaranya, Sunan Drajat, berusaha menanamkan rasa keimanan pada jiwa masyarakat dengan menyisipkan kalimat syahadatain pada setiap bait syair lagu gamelan yang dianggap penuh dengan kemusyrikan dan berbau tahayul. Gamelan yang mengiringi syair dikenal dengan istilah sekaten, yang berasal dari bahasa syahadatain. Disamping mengganti syair gamelan, Sunan Bonang juga menciptakan lagu yang dikenal dengan tembang Durma (istilah yang sampai saat ini hampir sudah merakyat di kalangan masyarakat Jawa Timur, khususnya Jawa Timur bagian barat adalah gending), sejenis macapat yang melukiskan suasana tegang, bengis, dan penuh amarah. Sunan Bonag juga berusaha mengganti nama-nama hari naas (sial) menurut kepercayaan Hindu, dan nama-nama dewa Hindu digantikan dengan nama-nama malaikat serta nabi-nabi, dengan maksud untuk lebih memperkenalkan nama-nama Islam di kalangan umat
Sunan Bonang disamping dikenal sebagai seorang ulama yang menciptakan gending, dia juga sangat dikelanal sebagai penerbit primbon, yaitu catatan pendidikan yang telah disampaikan kepada muridnya, Raden Patah, putra raja Majapahit Prabu Brawijaya V. Primbon tersebut dinamakan “Suluk Sunan Bonang atau Primbon Sunan Bonang”.
Sunan Bonang adalah wali sufi yang dikenal sangat produktif dalam dunia penulisan. Diantara suluk-suluknya ialah, Suluk Khalifah, Suluk Kaderesan, Suluk Regol, Suluk Bentur, Suluk Wujil, Suluk Wasiyat, Gita Suluk Latri, dan lain-lain. Dia juga menulis risalah tasawuf dalam bentuk dialog antara seorang guru sufi dan muridnya. Salah satu versi dri risalah tasawufnya itu telah ditransliterasikan dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Drewes dengan judul The Admonitions of She Bari (Pitutur Syaikh Bari). Dari sini terlihat betapa para wali berusaha untuk melakukan pribumisasi terhadap ajaran agama Islam.
Kembali kepada pembahasan Sunan Bonang, beliaulah satu-satunya wali dari sembilan wali yang sampai sekarang diketahui ajaran dan keasliannya dapat dipegang. Bahkan ajarannya yang termaktub dalam Primbon Sunan Bonang masih tersimpan di Universitas Leiden, Negeri Belanda. Ajaran Sunan Bonang ini mengambarkan bagaimana corak ajaran Islam dari Walisongo secara umum yang tersebar di pulau Jawa. Alasan mengapa “ajaran Sunan Bonag mewakili semua ajaran Walisongo”, ialah:
1). Sunan Bonang adalah putera dari Sunan Ampel, yang sekaligus menjadi murid dari Sunan Ampel.
2). Sunan Bonag diberi gelar Prabu Hanyakrawati yang dijuluki “selubung ngelmu lan agama” adalah merupakan “mufti” dalam soal agama Islam.
3). Sunan Bonang seperguruan dengan Sunan Gunung Jati dan Sunan Giri, yaitu sama-sama berguru kepada Maulana Ishak pada saat menetap di negeri Pasai, Aceh untuk memperdalam ilmu agama.
4). Sunan Bonang adalah juga guru dari Sunang Kalijaga pada waktu pertama kali menuntut ilmu agama Islam.
            Selain Sunan Ampel, putranya, Sunan Bonang juga turut menjadi penyokong penyebaran Islam di Kesultanan Demak. Ia terlibat pembangunan masjid Agung Demak, bersama dengan wali-wali lainnya. Menurut cerita tradisional yang terekam dalam sejumlah naskah, masjid Demak menjadi pusat kegiatan keagamaan, pendidikan, sosial kemasyarakatan. Disinilah para wali sering berjumpa dan melakukan musyawarah, termasuk Sunan Bonang. Sunan Bonang meninggal tahun 1525 dan dimakamkan di Tuban. (Sholeh So’an, 2002:54-55; Dadan Wildan, 2012:201; Abu Su’ud, 2003:127-128; dan Helmiati, 2011:57-59).
            Sebagian masyarakat Jawa suka membuat nasi gurih, bubur manggul yang ditaburi katul. Sajen Mumule untuk para leluhur yaitu Sunan Bonang. (Wahyana, 2010:48).
2.1.4.      Sunan Giri
            Sunan Giri dilahirkan di Blambangan pada pertengahan abad ke-15 serta wafat di Bukit Giri, Gresik, pada awal abad ke-16. Sunan Giri nama aslinya adalah Raden Paku, nama pemberian Sunan Ampel karena permintaan ayahnya, Maulana Ishak. Beliau mempunyai beberapa sebutan yang antara lain: “Joko Samudro, nama yang diberikan ibunya, Nyai Gede Pinatih”, “Prabu Satmata atau Sunan Sasmata pemberian Sunan Kalijaga, dan Sultan Abdul Faqih karena beliau sangat yakin dan mendalami ilmu fiqih”.
Maulana Ishak diberi tugas oleh Sunan Ampel untuk menyebarkan ajaran Islam di Blambangan. Beliau memperdalam ilmu agam Islam di Pasai dan tidak kembali lagi ke Jawa, sehingga Raden Paku diangkat sebagai anak oleh seorang wanita bernama Nyai Gede Maloka, yang dalam Babad Tanah Jawa disebut Nyai Ageng atau Nyai Ageng Tandes.
Banyak perdebatan mengenai ibu kandung dan ibu asuh Sunan Giri. Muhammad Syamsu As sebagaimana di kutip oleh Sholeh So’an menyebutkan bahwa ibu kandung Sunan Giri adalah Dewi Sekardadu puteri Prabu Menak Sembayu. Karena telah mengetahui akan kesaktian Maulana Ishak (menantunya sendiri isteri dari Dewi Serdadu), sang Prabu menyuruh orang untuk membunuh Maulana Ishak, dan akhirnya beliau pergi dengan meninggalkan Dewi Serdadu untuk merawat anaknya jika sudah lahir.
Dengan penuh kekhawatiran, maka dihanyutkanlah bayi itu (setelah kelahirannya) ke laut dengan dimasukkan ke dalam peti. Dengan ijin Allah, si bayi tersebut dapat selamat karena ditemukan oleh Nyai Gede Pinatih yang sedang berlabuh. Artinya, bahwa nama ibu kandung Sunan Giri adalah Dewi Serdadu dan Nyai Pinatih adalah ibu asuhnya.
Sedangkan menurut Widji Saksono, menyebutkan bahwa isteri Maulana Ishak adalah Retna Sabodi Rara yang melahirkan Sunan Giri tanpa ditunggui suaminya karena telah diusir sang Prabu yang merasa tersinggung oleh ucapan Maulana Ishaq dalam mengislamkan sang Prabu. Sang ibu meninggal dunia setelah melahirkan Sunan Giri. Pada saat melahirkannya, timbullah malapetaka di kerajaan Blambangan yang dengan demikian sang Prabu beranggapan bahwa malapetaka itu terjadi akibat kelahiran sang bayi, dan akhirnya sang bayi dibuanglah ke laut. Akan tetapi dengan ijin Allah si bayi ditemukan oleh Nyai Gede Pinatih yang sedang berlayar yang akhirnya diasuhnya sampai besar. Artinya, Nyai Gede Pinatih adalah ibu asuh, bukan ibu kandung Sunan Giri. Akan tetapi nama ibu berbeda dengan yang dituturkan Muhammad Syamsu As; sementara dalam Ensiklopedi Islam jilid V dijelaskan bahwa Nyai Pinatih adalah ibu kandung dari Sunan Giri, sedang ibu asuh (angkat)-nya adalah Nyai Gede Maloka. Menurut Abu Su’ud nama lain dari Nyai Maloka adalah Nyai Ageng Tandes.
Ricklefs berpendapat dengan mengutip Sejarah Banten seorang suci berkebangsaan asing yang bernama Molana Usalam datang ke Balambangan di Ujung Timur Jawa, suatu daerah yang belum menganut agama Islam sampai akhir abad XVIII. Penguasa Balambangan mempunyai seorang puteri yang menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan, tetapi puteri itu ternyata sembuh ketika Molana Uslam memberikan buah pinang untuk dikunyah. Puteri itu kemudian dinikahkan dengan Molana Usalam. Namun, ketika Molana Usalam meninta penguasa Balambangan untuk memeluk Islam, penguasa itu pun menolaknya. Oleh karena itu, Molana Usalam pergi meninggalkan Balambangan dan isterinya yang sedang hamil. Ketika puteri itu melahirkan bayi laki-laki, bayi itu dimasukkan ke dalam sebuah peti dan dibuang ke laut, seperti cerita Musa. Peti itu akhirnya terdampar di Gresik, tempat bayi itu kemudian tumbuh menjadi seorang muslim dan belakangan menjadi sunan.
Beliau adalah anak didik Sunan Ampel. Di samping beliau belajar agama dari Sunan Ampel, Sunan Giri juga sempat “belajar di Pasai bersama-sama Sunan Bonang, yang pada saat itu di sana berkembang ilmu ketuhanan, keimanan, dan tasawuf”. Menurut berita yang menjalar, bahwa Sunan Giri dalam menimba ilmu di Pasai sudah sampai pada tingkat ilmu laduni, sehingga gurunya memberi gelar kepadanya ‘Ain al-Yaqin.
Sunan Giri memulai aktivitas dakwahnya di daerah Giri dan sekitarnya dengan mendirikan pesantren. Santrinya banyak berasal dari golongan masyrakat ekonomi lemah yang berasal dari Surabaya, Madura, Kangean, Bawean, Lokbok, Makasar, Ternate, dan Tidore, bahkan sampai ke Haruku di kepulauan Maluku maupun Nusa Tenggara. Lewat merekalah Sunan Giri menyebarkan agama Islam di luar pulau Jawa, asal muridnya datang. Dengan memiliki murid yang tidak hanya berasal dari Jawa, berarti dakwah para wali tidak terbatas pada wilayah Jawa, tempat mereka memusatkan dakwahnya.
            Sunan Giri juga pencipta karya seni yang luar biasa. Permainan anak seperti Jelungan, Jamuran, Lir-ilir, dan Cublak Suweng, Gendi Gerit, Jor, Gula Ganti dan lain-lain disebut sebagai kreasi beliau. Demikian pula Gending Asmarandana dan Pucung Lagi bernuansa Jawa namun syarat dengan ajaran Islam. Permainan-permainan itu dimaksudkan sebagai simbolisasi pemahaman akan nilai-nilai ketuhanan dan keislaman.
Upaya simbolisasi itu juga dituangkan ke dalam tembang-tembang dolanan seperti Padhang-padhang bulan maupun lir-lir.sebetulnya masih terjadi perbedaan paham tentang siapa sebetulnya pencipta karya-karya monumental itu, Sunan Giri ataukah Sunan Kalijaga. Yang beranggapan bahwa Sunan Kalijaga pencipta karya-karya itu, karena Sunan Kalijaga merupakan Sunan yang berasal dari pribumi Jawa. Sedangkan yang beranggapan sebaliknya, karena Sunan Giri dianggap sebagai pendidik yang “ajur-ajer” dengan kebudayaan setempat.
Ketika wafat jenazah Sunan Giri dimakamkan di atas sebuah bukit di Gresik. (Sholeh So’an, 2002:57&78; Dadan Wildan, 2012:201; Ricklefs, 2008:19; Abu Su’ud,  2003:128-129 dan Helmiati, 2011:59-60).
Sebagian masyarakat Jawa suka membuat nasi ketan, daun kapas untuk lembaran dan daun terong Ngor. Sajen Mumule untuk para leluhur yaitu Sunan Giri. (Wahyana, 2010:50).
2.1.5.      Sunan Drajat
Nama kecil Sunan Drajat adalah Raden Qosim Syarifuddin Hasyim. Ia dilahirkan di Ampel Denta, Surabaya sekitar tahun 1470 Masehi dan wafat di Sedayu (sekarang Desa Drajat Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan).
Menurut salahsatu sumber, bahwa Sunan Drajat adalah anak dari Sunan Ampel dari perkawinannya dengan seorang wanita lain, bukan dengan Dyah Siti Manila binti Arya Teja. Artinya Sunan Drajat adalah saudara Sunan Bonang lain ibu, bukan saudara sekandung.
Sunan Drajat termasuk kelompok wali yang mendirikan Kesultanan Demak, dan yang selanjutnya yang menjadi kelompok penasehat Sultan. Sunan Drajat adalah seorang Waliyullah yang bersifat sosial. Di dalam berdakwah ia tidak segan-segan memperhatikan dan membantu rakyat yang sengsara, anak yatim-piatu, membantu orang sakit, dan membantu orang yang fakir miskin. Dengan demikian, Sunan Drajat adalah seorang wali yang senantiasa mementingkan kesejahteraan rakyat umum dalam rangka mencapai tujuan yang diharapkan, yaitu terjalinnya ukhuwah Islamiyyah yang sangat kuat dalam  kebaikan dan mencegah yang mungkar demi tegaknya agama Allah. Selain itu, Sunan Drajat menciptakan gending pangkur. Yang dilakukan itu sebetulnya merupakan pengamalan ajaran agama yang sebenar-benarnya.
Menurut penuturan masyarakat Drajat, bahwa sekarang di desa tersebut telah berdiri beberapa pesantren yang terletak tidak jauh dari makam Sunan Drajat, dipimpin oleh seorang Kyai yang cukup terkenal di wilayahnya. K.H. Abdul Ghafur. Beliau masih mempunyai hubungan keluarga dengan Sunan Drajat yang kini mewarisi keahlian mengobati segala macam penyakit, dapat menyadarkan anak nakal, dan bahkan dapat membantu mengabulkan permintaan seseorang yang layak dibantu. (Sholeh So’an, 2002:58; Abu Su’ud, 2003:129 dan Dadan Wildan, 2012:201).
2.1.6.      Sunan Kalijaga
Nama asli Sunan Kalijaga adalah Raden Mas Syahid atau Joko Said, dan terkadang disebut juga Syaikh Malaya (Melaya). Beliau dilahirkan pada akhir abad ke-14 dan wafat di Kadilangu, Demak, pada pertengahan abad ke-15 Masehi. Sunan Kalijaga adalah satu-satunya wali yang berasal dari orang Jawa.
Menurut sejarahnya, beliau adalah anak Raden Sahur Tumenggung Walatikta Melayakusuma, Adipati Tuban yang berasal dari seberang, keturunan seorang ulama negeri Atas Angin yang setelah ke Jawa diangkat menjadi Adipati Tuban oleh Sri Prabu Brawijaya, sehingga ia berganti nama menjadi Tumenggung Walatikta. Ibunya bernama Dewi Nawang Rum.
Semasa mudanya, Sunan Kalijaga adalah seorang brandal terkenal di daerah Tuban yang sering dijuluki dengan Lokajaya. Setelah kalah berjudi, Said menjadi perampok jalanan di pesisir utara. Pada suatu ketika, ia membegal Sunan Bonang untuk merampas barang bawaannya. Menurut cerita, Sunan Bonang menghadapi keadaan yang demikian itu tidak sedikitpun menampakkan kemarahan, tetapi justru senyum gembira sambil menasehatinya dengan penuh lemah lembut. Meskipun Sunan Bonang sudah menampakkan sikap yang lemah lembut kepada Lokajaya, ia tetap saja tidak peduli dengan tutur kata Sunan Bonang yang akhirnya dengan ijin Allah beliau mengubah buah laren menjadi kemilau-kemilau speperti emas. Peristiwa itu menjadikan Lokajaya sadar dan bertobat, sehingga akhirnya Sunan Bonang mengangkatnya menjadi murid.
Dari perkawinan dengan Dewi Saroh, anak perempuan Maulana Ishak, Sunan Kalijaga memperoleh tiga orang putra, masing-masing adalah Raden said (Sunan Muria), Dewi Rukayah, dan Dewi Sofiah.
Kembali kepada pembahasan Sunan Kalijaga, beliau mempunyai kehalian yang mirip dengan gurunya, yaitu ahli dalam seni suara. Beliau berjasa menciptakan wayang dan gamelan yang dijadikan sebagi saran berdakwah. Tidak heran jika sebelumnya sempat terjadi perdebatan antara Sunan Ampel dengan Sunan Kalijaga dalam menetapkan metode dakwah. Berkat usaha beliau dan gurunya, Jawa Timur bagian Barat (Tuban) dan Jawa Tengah bagian Timur menjadi pusat kesenian yang sampai sekarang masih tetap dikenal masyarakat Jawa. Artinya, kesenian yang ada pada masa Hindu-Budha oleh kedua wali tersebut penuh diwarnai dengan nilai-nilai keislaman sehingga kandungan kesenian menjadi berubah arah.
Dalam menjalankan tugasnya, Sunan Kalijaga sering diikuti oleh para bangsawan dan cendikiawan. Mereka sangat tertarik pada penampilan Sunan Kalijaga yang persuasif dan akomodatif, serta tidak melenyapkan praktek keyakinan penduduk sebelumnya. Adat setempat kebanyakan ditampung dan diberi sentuhan Islam. Disamping itu, Sunan Kalijaga dikenal sebagai tokoh yang sangat toleran, kritis, dan amat memperhatikan masa depan.
Beliau juga dikenal sebagai pujangga. Kualitas pujangganya dapat kita saksikan dalam kreativitas sastra dan bidang seni lainnya. Wayang kulit dan berbagai kreasi pokok cerita wayang telah dihasilkan sepanjang hidupnya, termasuk kedalamnya karya tembang dolanan dan bentuk permainan atau dolanan kanak-kanak, yang telah menjadi kekayaan budaya Jawa. Sunan Kalijaga menciptakan baju takwa, tembang dangdanggula, seni ukir motif dedaunan, bedug, gong sekaten, wayang kulit, dan lagu ilir-ilir.
Dalam sejarah pendirian masjid Demak, yang konon kabarnya didirikan oleh para wali, beliau adalah sunan yang paling akhir menyumbanh tiang penyangga masjid yang dikumpulkan dari batang-batang kayu kecil dan dengan ijin Allah dirubah menjadi sebuah tiang besar, sehingga berdirilah masjid Demak. Tiang yang diperbantukan oleh Sunan Kalijaga dalam pendirian masjid itu dalam istilah Jawa dikenal dengan “Soko Tatal”.
Menurut kepercayaan yang berkembang pada masyarakat peziarah masjid Demak, bahwa tiang yang dibuat oleh Sunan Kalijaga mempunyai kesaktian yang sangat hebat. Tiang masjid itu dapat menyembuhkan orang sakit dan lain sebagainnya dengan cara megupasnya sedikit untuk dimasukkan ke dalam air, lalu diminumnya. Hanya Allah Yang Maha Tahu akan kebenaran semua itu.
Di samping beliau berjasa menyumbangkan tiang untuk pendirian masjid dan diangkat menjadi penasehat Kesultanan Demak Bintoro, beliau adalah wali paling muda dari kesembilan wali yang ada. Ia sangat cerdik dan pandai, bahkan terkenal sangat arif dan bijaksana dalam menghadapi berbagai persoalan, sehingga tidak heran jika dia menjadi pertimbangan akhir para wali dalam memutuskan suatu masalah, seperti menghakimi Syaikh Siti Jenar dan muridnya, Sunan Panggung, yang dimiliki dan menyebarkan ajaran tasawuf atau ajaran penyatuan diri dengan Tuhan.
Sunan Kalijaga memperoleh umur panjang, sehingga mengalami tiga masa pemerintahan yaitu masa Majapahit, Masa Demak, dan Masa Pajang. Setelah wafat jenazahnya dimakamkan di desa Kadilangu, Demak. (Sholeh So’an, 2002: 58-60; Abu Su’ud, 2003:129-130; Dadan Wildan, 2012:201, dan Ricklefs, 2008:18).
Sebagian masyarakat Jawa suka membuat nasi kuning dengan daun katu, katul, senting, ranti, pace sambal plelek dan dilengkapi dengan dendeng baker serta gereh (ikan asin) ikan balur baker. Sajen Mumule untuk para leluhur yaitu Sunan Kalijaga. (Wahyana, 2010:48).
2.1.7.      Sunan Kudus
Nama asli dari Sunan Kudus adalah Ja’far Shadiq bi Raden Usman Haji. Semasa kecilnya ia sering dipanggil dengan Raden Undung. Terkadang juga dipanggil dengan sebutan Raden Amir Haji. Ia dilahirkan pada abad ke-15 dan wafat di Kudus pada tahun 1550.
Menurut silsilahnya, Sunan Kudus masih mempunyai hubungan dengan Nabi Muhammad Saw. Silsilah lengkapnya: Ja’far Shadiq bi Raden Usman Haji (bergelar Sunan Ngudung dari Jipangpanolan, yang terletak di sebelah utara kota Blora)  bin Raja Pendeta bin Ibrahim as-Samarkandi bin Maulana Muhammad Jumadalkubra bin Zaini al-Husaein bin Ali r.a. Sunan Kudus menyiarkan agama Islam di daerah Kudus dan sekitarnya, dan dia memiliki keahlian khusus dalam bidang ilmu agama, terutama dalam ilmu fikih, ushul fikih, hadits, tafsir, serta logika. Karena itulah diantara Walisongo hanya ia yang mendapat julukan sebagai wali al-ilmi (orang yang luas ilmunya), dan karena keluasan ilmunya ia didatangi oleh banyak penuntut ilmu dari berbagai daerah di Nusantara.
Disamping menjadi juru dakwah, Sunan Kudus juga menjadi panglima perang Kesultanan Demak Bintoro yang tangguh, dan dipercaya untuk mengendalikan pemerintahan di daerah Kudus, sehingga ia menjadi pemimpin pemerintahan sekaligus pemimpin agama di daerah tersebut.
Ada cerita yang mengatakan bahwa Sunan Kudus pernah belajar di Baitul Makdis, Palestina, dan pernah berjasa memberantas penyakit yang menelan banyak korban di Palestina. Atas jasanya itu, oleh pemerintah Palestina ia diberi ijazah waliyah (daerah kekuasaan)di Palestina, namun Sunan Kudus mengharapkan hadiah tersebut dipindahkan ke pulau Jawa dan oleh amir (penguasa setempat) permintaan itu dikabulkan. Sekembalinya ke Jawa, ia mendirikan masjid di Loran tahun 1549; masjid itu diberi nama Masjid al-Aqsa atau al-Manar (Masjid Menara Kudus) dan daerah sekitarnya diganti namanya dengan Kudus, diambil dari nama sebuah kota di palestina, al-Quds. Sunan Kudus menciptakan gending Maskumambang dan Mijil. (Sholeh So’an, 2002:60; Abu Su’ud, 2003:130 dan Dadan Wildan, 2012:201).
            Sebagian masyarakat Jawa suka membuat nasi Bayu, pecel ikan sungai, dan dilambari denga daun pace. Sajen Mumule untuk para leluhur yaitu Sunan Kudus. (Wahyana, 2010:48).
2.1.8.      Sunan Muria
Sunan Muria adalah anak Sunan Kalijaga. Semasa kecilnya bernama Raden Prawoto, dan nama aslinya adalah Raden Umar Said bin Raden Syahid atau Raden Said. Beliau dilahirkan pada abad ke-15 dan wafat di Gunung Muria, (18 km di sebelah utara desa Kudus, Jepara Jawa Tengah sekarang) pada abad ke-16. Dalam perkawinannya dengan Dewi Sujinah, puteri Sunan Ngudung, Sunan Muria memperoleh seorang putra yang bernama Pangeran Santri, yang juga dijuluki sebagai Sunan Ngadilangu.
Berbicara tentang Sunan Muria pada dasarnya tidak dapat lepas dari eksistensi aliran tasawuf di Indonesia, karena beliau adalah seorang sufi (ahli tasawuf), yang dalam menyebarkan ajaran Islam memilih desa-desa terpencil sebagai tempat sasaran dakwahnya.
Jika menengok sebentar tentang kehidupan desa terpencil, masyarakat tergolong masyarakat yang sangat seerhana, untuk dikatakan termasuk masyarakat yang sangat miskin. Dengan demikian tempat terpencil, yang mana merupakan tempat sentral kepercayan non-Islami, menunjukkan bahwa beliau adalah orang yang sangat sederhana. Kesederhanaan hidup tercermin hampir pada setiap diri sufi yang seluruh waktunya lebih banyak diluangkan untuk berdzikir kepada Allah dalam rangka mendekatkan diri kepada-Nya.
Sasaran dakwah Sunan Muria pada umumnya kaum pedagang, para nelayan, petani tambak, dan masyarakat biasa. Dalam rangka berdakwah melalui budaya, ia juga menciptakan tembang dakwah Sinom dan Kinanti. Karena beliau adalah seorang sufi yang mempunyai kemiripan perilaku dengan masyarakat setempat yang cenderung berbau mistik, kedatangannya untuk menyebarkan agama Islam sudah tentu tidak banyak menghadapi rintangan yang berarti sehingga tidak heran banyak kalangan masyarakat biasa yang saling berdatangan mengikuti acara-acara yang diadakan olehnya.
Jenazah Sunan Muria dimakamkan di puncak Gunung Muria, di pusat kegiatannya sebagai penyiar agama (Sholeh So’an: 2002:60-61; Abu Su’ud, 2003:130-131 dan Dadan Wildan, 2012:201).
2.1.9.      Sunan Gunung Jati
Berbicara Sunan Gunung Jati pada dasarnya berbicara tentang proses pengislaman di wilayah Jawa Barat, yang titik tolaknya dalah Wilayah Cirebon. Nama aslinya adalah Syarif Hidayatullah, cucu dari raja Padjadjaran, Prabu Siliwangi. Dari perkawinan Prabu Siliwangi dengan Nyai Subang Larang, lahirlah dua putra dan satu putri, masing-masing bernama Raden Walangsungsang, dan Nyai Lara Santang. Ketika ibunya meninggal dunia, Raden Walangsungsang dan Nyai Lara Santang pergi meninggalkan kraton untuk menuntut ilmu kepada Syaikh Datu Sufi (Syaikh Nurul Jati) di Gunung Ngamparan Jati. Setlah tiga tahun belajar, mereka diperintahkan grunya untuk menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Dan disanalah Nyai Lara Santang bertemu dengan seorang bangsawan Arab yang bernama Maulana Sultan Mahmud (Syarif Adbullah). Dari pernikahan sepasang suami-isteri itulah lahir seorang bayi yng dikenal dengan Sunan Gunung Jati di Mekkah pada akhir tahun 1448 Masehi dan meninggal di Gunung Jati, Cirebon pada tahun 1570 dan ada juga yang mengatakan 1568.
Setelah Sunan Gunung Jati mencapai umur dewasa, ia memilih pergi ke Jawa untuk menyebarkan agama Islam, yang saat itu pamannya, Raden Walangsungsang, sudah bergelar Pangeran Cakrabuana. Tidak lama setelah pamannya meninggal, Sunan Ginung Jati menggantikan kedudukannya dan berhasil meningkatkan status Cirebon menjadi sebuah Kesultanan, dan tidak lama kemudian Cirebon resmi menjadi kerajaan Islam yang bebas dari kekuasan Padjadjaran.
Sebutan sunan Gunung Jati ini cukup panjang, yaitu sebagai Muhammad Nurruddin Syaikh Sayyid Kamil Bulqiyyah Syaikh Madzhurullah Syarif Hidayatullah Makhdum Jati. Sedangkan dalam babad-babad nama lengkap Sunan Gunung Jati itu lebih panjang lagi yaitu Syaikh Nuruddin Ibrahim Ibnu Israil, Syarif Hidayatullah, Said Kamil Maulana Syaikh Makhdum Rahmatullah.
Sunan Gunung Jati dalam menyebarkan agama Islam, tidak hanya di wilayah Cirebon saja tetapi juga di Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa, dan Banten. Di wilayah Banten, beliau meletakkan dasar bagi pengembangan Islam dan perdagangan orang-orang Islam di sana pada tahun 1525 M atau 1526 M. Ketika Sunan Gunung Jati kembali ke Cirebon, Banten diserahkan kepada anaknya yang bernama Maulana Hasanuddin, dan darinya melahirkan raja-raja Banten. Sebagai sentral Islamisasi, di Cirebon terjadi proses Islamisasi kebudayaan setempat dan terjadi juga pewarnaan Islam oleh budaya setempat.
Bertalian dengan nama seorang penyiar agama Islam di Sunda, banyak orang yang sering menyamakan dua orang nama pada seseorang, sebut saja antara Sunan Gunung Jati dan Fatahillah atau Falatehan. Menurut Ahmad Mansur Suryanegara yang bersumber dari Edi S. Ekadjati, bahwa Sunan Gunung Jati itu bukan Fatahillah tetapi dua orang yang berbeda. Hal ini dijelaskan lebih lanjut bahwa Fatahillah wafat pada 1570 M, sedang Sunan Gunung Jati wafat pada 1568. Adanya perbedaan waktu meninggal memberikan penjelasan kepada kita bahwa Sunan Gunung Jati itu bukan Fatahillah, begitu juga sebaliknya. Menganggapi pernyataan tersebut, dalam referensi lain lebih lanjut dijelaskan bahwa Fatahillah adalah panglima perang Kerajaan Demak yang membantu Sunan Gunung Jati menyerang Sunda Kelapa pada tahun 1527 M. Ia adalah menantu Sunan Gunung Jati, bukan Sunan Gunung Jati itu sendiri.
Menurut Abu Su’ud Syarif Hidayatullah wafat tahun 1570 M sedangkan menurut Raffles, Sunan Gunung Jati meninggal tahun 1428 M ketika usianya telah lanjut. Jenazahnya dimakamkan di Gunung Jati Cirebon, sehingga beliau dijuluki sebagai Sunan Gunung Jati. Beliau meninggalkan tiga orang putra yang merupakan hasil perkawinannya dengan seorang putri dari Demak. Beliau juga mempunyai seorang putra  dan seorang putri dari hasil perkawinannya dengan seorang selir. Putra tertuanya, Husen, kemudian menggantikannya sebagai sultan di Cirebon dan membawahi propinsi yang terhampar di antara Sungai Citarum dengan Tugu dan juga wilayah yang terbentang di sebelah selatan perbukitan Kendang, yang meliputi seluruh daerah-daerah di Priang’en dan tanah-tanah yang terhampar di sebelah timur Sungai Citarum.
Dari sang raja inilah diturunkan putra-putranya yang kemudian diangkat menjadi sultan-sultan di Cirebon. Hingga saat ini, mengenai putra keduanya yang bernama Bapadin, disebutkan bahwa ia meninggalkan kerajaan Bantam yang terbentang luas ke arah barat, dari Sungai Tang’ran hingga ke arah tenggara dan meliputi semua daerah kepulauan yang terletak di Selat Sunda. Dari putra keduanya tersebut, kemudian diturnkan raja-raja yang sekarang memerintah Bantam. Putra ketiganya yang bernama Chenampui, meninggal ketika masih muda dan dikuburkan di daerah Mandu di Cirebon.
Untuk putra kandungnya, Kali Jantan, Sunan Gunung Jati menyerahkan wilayah yang terbentang anatara Sungai Citarum dan Sungai Tang’ran, yang sebelumnya menjadi bagian dari Cirebon dan Bantam. Sang raja ini dianugerahi gelar raja di Jokarta atau Jakarta, dan setelah itu ia menempatkan ibukotanya di dekat kampung yang namanya sama dengan gelarnya, dimana dia dan para keturunannya kemudian melanjutkan kekuasaanya di daerah tersebut hingga akhirnya mereka dibuang oleh orang-orang Belanda pada tahun 1619 M, di atas reruntuhan ibukota tersebut, orang-orang belanda kemudian mendirikan kota Batavia modern yang menjadi ibukota dari wilayah-wilayah pendudukan Belanda di Hindia Timur (Sholeh So’an, 2002:61-62; Abu Su’ud, 2003:132-133 dan Thomas Stamford Raffles, 2008:491-492).
Keahlian yang dimiliki oleh para wali tersebut dalam rangka mengislamkan Nusantara khususnya jawa sebagai berikut:
1.      Sunan Ampel menyusun aturan-aturan syariat Islam bagi orang-orang Jawa;
2.      Sunan Gresik mengubah pola dan motif batik, lurik, dan perlengkapan kuda;
3.      Sunan Majagung (Sunan Muria) menyempurnakan masakan, makanan, usaha, dan peralatan pertanian serta barang pecah-belah;
4.      Sunan Gunung Jati memperbaiki doa dan mantera (pengobatan batin), firasat, jampi-jampi (pengobatan batin) dan hal-hal yang berkenaan dengan urusan pembukaan hutan, transmigrasi ataupun pembangunan desa baru;
5.      Sunan Giri menyusun peraturan-peraturan tata-kerajaan, tata-istana, aturan protokoler kerajaan Jawa, mengubah perhitungan-perhitungan dari bulan, tahun, windu, masa, dan memulai pembuatan kertas;
6.      Sunan Bonang menciptakan aturan-aturan serta kaidah-kaidah keilmuan dan memperbaiki serba-serbi gemelan, lagu, dan nyanyian;
7.      Sunan Drajat mengubah bentuk rumah, alat angkutan (seperti tandu, joli, dan sebagainya);
8.      Sunan Kalijaga berkreasi pada lagu, langgam, nyanyian besar maupun kecil, serta gending seperti dilakukan (gurunya), Sunan Bonang.
9.      Sunan Kudus mengubah bentuk persenjataan, perawatan, pertukangan besi dan emas, serta menciptakan pedoman pengadilan dan perundang-undangan yang berlaku bagi orang-orang Jawa.
2.2. Lukisan Wajah Walisongo
            Lukisan Walisongo tersebar luas pada masa Orde Baru. Sorban tiga orang wali dari Walisongo berwarna kuning yaitu Sunan Drajat (Sedayu), Sunan Gunung Jati (Cirebon), Sunan Maulana Malik Ibrahim (Gresik). Sorban tiga orang wali dari Walisongo berwarna putih yaitu Sunan Ampel (Surabaya), Sunan Giri (Gresik), Sunan Muria (Gunung Muria). Sorban wali Sunan Bonang berwarna abu-abu (?) dan putih. Sorban wali Sunan Kudus (Kudus) berwarna hijau muda. Sunan Kalijaga (Kadilangu) tanpa sorban dan hanya mengenakan blangkon Jawa. Sorban putih Sunan Ampel, Sunan Giri dan Sunan Muria, sorban abu-abu Sunan Bonang, bagian kanan di atas menutupi bagian kiri. Sorban hijau Sunan Kudus dan kuning tua Sunan Maulana Malik Ibrahim, bagian kiri di atas menutupi bagian kanan. Kedelapan wali mengenakan busana takwa. Blangkon Jawa Sunan Kalijaga bagian kanan dan kiri bertemu di tengah-tengah, mengenakan busana lurik walaupun bukan asli orang Yogya. (Ahmad Mansur Suryanegara, I:117).






2.3. Kekuatan Super Seputar Walisongo
Kisah tentang Walisongo sangat beragam dan kontroversial. Hal ini disebabkan sumber pengambilan cerita yang ada di Indonesia sangat diragukan akurasinya sehingga rapuh pula dari sisi ilmiahnya. Cerita dalam buku-buku Walisongo yang beredar di Indonesia nyaris tidak ada yang bersih dari cerita klenik, majic, khurafat, dan syirik. Sumber cerita yang ada di Indonesia tidak lepas berasal dari cerita dari mulut ke mulut, babad, dan legenda yang kuat aroma dongengnya. Hampir tidak ada (baca: amat sangat terbatas) sediaan dokumen asli sebagai sumber telaah tentang sepak terjang Walisongo dalam dunia dakwah di Nusantara (Mahrus Ali, 2007:14).
Para Wali di gambarkan sebagai sosok yang sakti mandraguna, otot kawat tulang besi, superman masa lalu, dan seabreg gelar super hero lainnya. Diantara gambaran sosok Wali yang mempunyai kesaktian di luar nalar manusia misalkan Sunan Kudus ketika mendirikan bangunan masjid Kudus dan menentukan arah kiblat maka sang Sunan melatakkan salah satu tangannya di masjid Kudus dan meletakkan satu tangannya lagi di Masjid Haram Mekkah. (P.S. Sulendraningrat hal. 51).
Atau misalkan Sunan Bonang yang menghadapi seorang pendeta Hindu yang datang langsung dari India ke Jawa dengan membawa semua kitabnya dan terdampar di pantai setelah perahu yang dinaikinya tenggelam sehingga menyebabkan semua kitab-kitabnya ikut tenggelam. Setelah bertemu dengan Sunan Bonang dan menceritakan maksud kedatangan dan kondisinya maka sang Sunan pun melemparkan bonang yang dibawanya dan seketika itu juga semua kitab-kitab kepunyaan sang pendeta menyembul keluar dari bonang sang Sunan. Dengan serta merta sang pendeta melihat kejadian tersebut mengurungkan niatnya untuk berdebat dengan Sunan Bonang dan langsung merikrarkan dua kalimat syahadat.
Ada pula kisah lainnya yang menceritakan salah seorang Sunan sholat Jum’atan di Mekah pada siang hari dan pada sore harinya sholat Ashar di Jawa. Seorang wali bisa meramalkan nasib, pandai menyembuhkan penyakit, bisa berjalan di atas air, tidak basah kena hujan dan masih banyak lagi cerita-cerita kesaktian Walisongo dalam mendakwahkan Islam di pulau Jawa. Setidaknya ada 24 kisah di luar nalar seputar Wali Songo yang terdapat dalam buku Babad Tanah Sunda Babad Cirebon.
Menanggapi itu semua, A. Hassan berpendapat, “Tetapi sebagian dari kaum Islam maksudnya Wali ialah: seorang yang bisa atau pernah mengerjakan sesuatu perkara luar biasa yang tidak dikerjakan oleh orang-orang biasa, seperti: memadamkan kebakaran dengan hembusan, mendapat uang dengan tidak berusaha, berjalan di atas air, menerangkan sesuatu hal yang tersembunyi, tahu apa yang tergerak di hati kita, menyembuhkan orang-orang yang datang meminta-minta di kuburnya, shalat Dzuhur di sisni dan shalat ‘Ashar di Mekkah, memadamkan kebakaran di lain negeri dengan menyiram dari sini, jam 10 pagi umpamanya kelihatan di Bangil, dan waktu itu juga kelihatan di Jakarta, dan lain-lainnya. Wali dengan makna yang terkenal itu, tidak terdapat di zaman imam-imam yang empat, hanya menurut kabar-kabar yang belum tentu bisa dipercaya, adanya itu jauh dari imam-imam yang empat, bahkan hampir semua cerita-cerita tentang wali-wali itu bikinan orang-orang yang ada maksud”. (1995:34).
jauh sebelumnya Imam Syafi’i berkata, “Apabila kamu melihat ada orang yang bisa berjalan di atas air dan bisa terbang di angkasa, maka janganlah cepat-cepat tertipu, sebelum engkau menghadapkan perkaranya (sesuai atau tidak) dengan Kitabullah” (Syarah Aqidah Thahawiyyah hal. 573 dalam Imron AM, 1990:34).
Ibnu Taimiyyah mengakui adanya kelebihan-kelebihan yang dipunyai oleh para wali sebagai anugerah dari Allah melalui khawariq (hal-hal yang luar biasa) yang tidak hanya diberikan pada diri Nabi tetapi juga pada orang-orang selain mereka. (1995:16-17).
3.      Peran Walisongo dalam Menyebarkan Agama Islam di Pulau Jawa
Ada hal yang menarik dari pembagian tugas menyebarkan Islam di pulau Jawa yang mana tidak merata. Untuk wilayah Jawa Barat dan Banten Islam hanya disebarkan oleh satu Wali, sedangkan untuk wilayah Jawa Tengah Islam disebarkan oleh tiga orang Wali, dan untuk wilayah Jawa Timur Islam disebarkan oleh lima Wali. Hal ini bukan tanpa alasan, menurut hemat penulis faktor tersebut disesuaikan dengan daerah dakwah dan objek dakwah wilayah tersebut. Dalam arti sederhana, Jawa Barat dan Banten masyarakat dan kebudayaannya mirip dengan ajaran Islam sehingga penduduk wilayah ini akan sangat mudah untuk menerima Islam sebagai agama mereka sehingga Wali yang diterjunkan ke daerah ini cukup hanya satu saja.
Pada era Walisongo, dunia dakwah di tanah Jawa telah sampai pada tahapan institusional syariah Islam dalam bentuk negara. Untuk sampai pada fase dakwah ini sudah tentu membutuhkan waktu yang panjang dan tidak secara serta merta dimulai atau final pada masa Walisongo tersebut. Proses Islamisasi Jawa telah melewati kurun masa yang panjang jauh sebelumnya. Boleh dikatakan bahwa Walisongo merupakan salahsatu dari mata rantai estafeta dakwah yang berjalan.
Namun, harus diakui bahwa dunia dakwah memang telah mencapai keberhasilan besar pada masa itu. Hampir dipastikan tidak ada daerah strategis di pulau Jawa yang tidak disentuh Islam. Padahal tantangan dakwah pada masa itu tidak dapat dikatakan mudah. Islam tumbuh dalam wilayah kerajaan Hindu Majapahit yang dianggap berpengaruh di Nusantara.
Tetapi, para da’i muslim berinteraksi dengan masyarakat bawah dan sekaligus membina kalangan elit politik dalam tubuh kerajaan Majapahit melalui dakwah Islam. Sebagai hasilnya, banyak diantara bangsawan muslim yang kemudian memeluk Islam. Pada umumnya, para mualaf tersebut atas alasan toleransi kemudian berpindah tempat mencari komunitas muslim lainnya di sekitar daerah pesisir yang telah dipimpin oleh para bupati muslim pula.
Namun, tidak sedikit pula umat Islam yang tetap mengabdi dalam kerajaan Majapahit. Misalnya, Prof. DR. Abu Bakar Aceh menyebutkan, bahwa dalam rekruitmen pegawai pelabuhan atau syahbandar, misalnya, Majapahit hanya menerima pegawai dari kalangan muslim. Hal ini dilakukan untuk menjawab kebutuhan akan pegawai yang mampu menguasai bahasa asing, terutama bahasa Arab, agar dapat memberikan pelayanan yang maksimal terhadap para saudagar mancanegara yang kebanyakan menganut bahasa Arab. Dari sisi ini terlihat jelas betapa harmonisnya hubungan antara Islam dan Majapahit.
Walaupun demikian posisi Majapahit pada era Prabu Kertabumi Brawijaya V tersebut sedang mengalami kerapuhan secara politik dan diiringi melemahnya wibawa pemerintahan. Salahsatu penyebabnya adalah perang Paregreg yang telah menguras sumber daya dan imbas turunannya masih terasa sehingga mungkin akan memantik konflik pada masa selanjutnya. Akibat paling terasa adalah melemahnya sendi-sendi perekonomian dan wibawa politik yang memudar. Dalam kondisi carut marut perpolitikan Majapahit tersebut, Walisongo memposisikan diri untuk tetap melanjutkan stategi dakwah kepada mayarakat. Namun, pergeseran politik selanjutnya membuat Walisongo harus mengubah arah strategi dakwah.
Rapuhnya pondasi politik dan ekonomi Majapahit telah memancing pihak eksternal keraton untuk melakukan kudeta. Dyah Ranawijaya atau Girindrawardhana, adipati Keling, pada 1478 melakukan penyerangan terhadap Majapahit yang saat itu berada dalam tampuk pemerintahan Brawijaya V. Maka terjadilah peralihan kekuasaan. Giridrawardhana menggantikan posisi raja sebelumnya dengan menggunakan gelar Prabu Giridrawardhana Brawijaya VI. Kekuasaan Brawijaya VI tidak berlangsung lama. Pada giliran selanjutnya Girindrawardhana VI, terbunuh oleh patihnya sendiri yang bernama Patih Udara. Patih Udara lantas menggantikannya sebagai raja Majapahit dengan gelar Prabu Udara Brawijaya VII. Jelasnya, sampai tahun 1518 saat kesultanan Demak telah berdiri, Majapahit masih eksis sebagai sebuah kerajaan di Jawa, meskipun telah mengalami kerapuhan struktural dan surutnya wibawa politik. (Tiar Anwar Bachtiar, dkk hal. 94-96)
4.      Konsep Dakwah Walisongo
Gagasan awal sekaligus perencana kerajaan Islam Demak adalah Raden Rahmat atau Sunan Ampel. Hal inilah yang kemudian dapat digunakan untuk menjelaskan peranan Sunan Ampel dalam perencanaan sistem yang mencakup konsepsi, struktur, dan partisipasi dakwah Walisongo di tanah Jawa. Hal ini sesuai dengan ajaran Rosulullah Saw., bahwa barangsiapa yang memiliki konsep maka dialah yang bertanggung jawab sebagi pelaksana konsep tersebut.
Walisongo adalah sebuah majelis atau dewan. Nama sanga tidak selalu menunjukkan jumlah bilangan “sembilan”. Departemen pendidikan dan kebudayaan Gresik sendiri malah tidak memasukkan Sunan Gresik sebagai anggota Walisongo. Hal ini dapat dijelaskan bahwa pergantian struktur bisa saja terjadi setiap ada wali yang meninggal. Sebagai contoh pasca wafatnya Sunan Gresik, Raden Patah atau Sunan Kota kemudian masuk menjadi elit Walisongo.
Pasca wafatnya Sunan Gresik, Sunan Ampel diangkat sebagai sesepuh Walisongo yang berperan sebagai mufti dan pimpinan agama se-tanah Jawa. Walaupun beliau telah merancang pendirian Kesultanan Demak, namun Sunan Ampel membuat fatwa untuk tidak menyerang Majapahit. Alasannya, di antara sekian putra Majapahit, hanya Raden Patah saja yang akan sesuai untuk menggantikan tahta ayahnya. Selain itu, jika terjadi serangan Demak atas majapahit akan menimbulkan fitnah dan preseden buruk di masa yang akan datang.
Fatwa tersebut sempat memantik konflik ringan dengan munculnya faksi Tuban yang terdiri dari kalangan ulama muda. Mereka berharap Islamisasi Jawa dilakukan secara revolusioner dengan mempercepat runtuhnya Majapahit melalui serangn dadakan. Pertentangan kecil ini dapat diredam, semua pihak akhirnya dapat menerima putusan fatwa dari mufti besar mereka.
Pada masa Sunan Ampel, selain anggota elit Walisongo, di bawahnya juga memiliki struktur berupa tim atau satuan tugas untuk urusan dakwah tertentu. Di antara satuan tugas yang terkenal adalah santri sangalas (artinya: santri sembilan belas) dan santri rolikur (artinya: santri dua puluh dua). Juga terdapat ulama-ulama lain yang tidak masuk dalam struktur elit Walisongo, misalnya Sunan Bayat (Bupati Semarang) dan Sunan Geseng. Ada pun setiap anggota elit majelis dakwah Walisongo memiliki tugas secara khusus sebagai berikut:
1.      Sunan Ampel sebagai pucuk pimpinan Walisongo, mufti besar, dan ketua dewan ahlul halli wal aqdi.
2.      Sunan Kudus sebagai senopati angkatan perang Kesultanan Demak.
3.      Sunan Muria menangani dakwah di daerah terpencil yang jauh dari pusat atau ibu kota Negara. Pada masa sebelumnya dakwah Islam lebih banyak difokuskan ke daerah pesisir pantai dan ibu kota guna menenangkan kalangan menengah ke atas. Sehingga pada akhirnya diputuskan untuk melakukan perluasan cakupan dakwah di daerah pegunungan dan pedesaan sebagai tanggung jawab dan amanah yang dibebankan kepada Sunan Muria.
4.      Sunan Drajad bertugas menangani urusan sosial seperti penyaluran santunan kepada fakir miskin, anak yatim, dan lain sebagainnya.
5.      Sunan Kalijaga memiliki tugas sebagai supervisor yng melakukan pengawasan dan observasi terhadap jalannya dakwah di berbagai wilayah, baik yang dilakukan oleh kalangan elit Walisongo, satuan tugas khusus, ulama-ulama, maupun santri yang tersebar di seluruh pulau Jawa. Tugas beliau yang menuntut seringnya bepergian (safar fi sabilillah) juga dimanfaatkan sekaligus untuk menakwahkan Islam, sehingga Sunan Kalijaga di kenal sebagai mubaligh keliling. Dari sini jelas bahwa nama Kalijaga sebenarnya adalah pengucapan dari Qadli Zaka yang maksudnya terkait peran beliau sebagai pelaksana pembersihan karena tugas beliau yang bersifat “menyapu ulang”
Selain itu terdapat juga Wali yang memiliki tugas dakwah yang bersifat kewilayahan. Artinya, mereka memiliki tanggung jawab untuk menyebarkan agama Islam berdasarkan pembagian area atau wilayah kerja tertentu. Misalnya Sunan Giri ditugaskan berdakwah di daerah Blambangan yang notabene pada masa itu merupakan daerah dengan pengaruh ajaran Syiwa-Budha yang sangat kuat.
Terkait dengan berdirinya Kesultanan Demak, dewan Walisongo memainkan peran dengan bertindak sebagai lembaga ahlul halli wal aqli. Majelis dakwah ini menetapkan Raden Patah sebagai pengemban kekuasaan eksekutif dalam penyelenggaraan negara dan pelaksanaan aturan syariah melalui kepemimpinan. Maka sultan Demak hakikatnya merupakan mandataris majelis Walisongo, dimana secara sadar dan ikhlas berada di bawah kontrol dewan ulama tersebut.
Pasca wafatnya Sunan Ampel, kedudukannya sebagai mufti dan sesepuh para wali digantikan oleh Sunan Giri. Fatwa awal yang dikeluarkan oleh Sunan Giri adalah izin untuk melakukan penyerangan terhadap Majapahit sebagaimana telah diusulkan oleh faksi Tuban terdahulu. Pada masa Sunan Ampel masih hidup, Sunan Giri termasuk pihak yang mendukung fatwa Sunan Ampel untuk tidak menyerang Majapahit. Namun pada masa Sunan Giri menjabat sebagai mufti ini, kondisi konsetelasi kekuasan telah berbeda, Majapahit saat itu sedang berada dalam kekuasaan Ranawijaya atau Girindrawardhana. Kekuasaan Girindrawardhana sebagaimana telah diceritakan sebelumnya diperoleh melalui aksi kudeta yang dilakukan tehadap Prabu Kertabhumi atau Brawijaya V. Oleh karena itu, serangan ke Majapahit yang hendak di lakukan oleh Kesultanan Demak hakikatnya adalah upaya untuk merebut Majapahit agar bisa dikembalikan kepada yang berhak, yaitu Raden Patah, putra Prabu Kertabhumi sendiri. Belum lagi serangan ke Majapahit dilakukan oleh Kesultanan Demak, di Majapahit sendiri ternyata telah terjadi perebutan kekuasaan dimana Patih Udara melakukan kudeta terhadap Giridrawardhana atau Brawijaya VI.
Melihat semakin mapannya pondasi kepemimpinan Kesultanan Demak, Patih Udara menggunakan gelar Prabu Brawijaya VII merasa khawatir dan teramcam kekuasaannya. Patih Udara kemudian meminta bantuan Porugis di Malaka. Melihat gelagat tersebut maka setelah itu tentara Demak di bawah komando Adipati Yunus menyerang Portugis di Malaka dan sekaligus menyerang Majapahit untuk membubarkan persekutuan yang terjadi. Seandainya Majapahit tidak segera diserang pada masa itu, maka dapat dipastikan bahwa Portugis akan menjajah tanah Jawa lebih cepat dari masa agresi Belanda. Terkait struktur Walisongo pada masa kepemimpinan Sunan Giri, tidak ada catatan yang pasti.
5.      Aksi Dakwah Walisongo
Kesuksesan dakwah era Walisongo banyak ditentukan oleh kekompakan gerakan dan kesadaran masing-masing individu untuk mengambil peran serta dalam kerangka dakwah dan jamaah. Perencanaan yang matang, pengorganisasian yang tepat, dan penguasaan medan turut memberi andil bagi keberhasilan terhadap Islamisasi Jawa. Berikut ini beberapa wujud partisipasi dakwah di era Walisongo.
A.    Aspek Kaderisasi
a.       Pendirian Pondok Pesantren
Pondok pesantren merupakan pengembangan lembaga yang mirip dengan mandala milik umat Hindhu. Perancang perencana institusi pendidikan Islam berupa pesantren di Jawa ini adalah Syaikh Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik). Konsep pesantren kemudian diikuti dan dikembangkan oleh para wali lainnya. Dalam pesantren juga dikembangkan ilmu olah kanuragan yang berguna untuk mempetangguh mental dan fisik para santri sehingga siap untuk menghadapi medan dakwah dan sekaligus untuk menyiapkan prajurit negara yang memiliki wawasan keagamaan yang mumpuni. Harapannya, Kesultanan Demak akan memiliki personil militer yang religius.
Namun demikian, konsep dan pengembangan pesantren sendiri terlihat banyak dipengaruhi oleh sistem Madrasah Nizhamiyah di Baghdad yang saat itu sangat dikenal di seluruh dunia, terutama dalam hal pengajaran ilmu-ilmu dasar keagamaan. Hal yang diadaptasi dari mandala oleh pesantren-pesantren zaman Islam hanya dalam hal penambahan pelatihan olah kanuragan. Sisanya, sistem pengajaran pesantren sebagian besar mengadopsi sistem yang dikembangkan di Madrasah Nizhamiyah Baghdad.
b.      Tugas Belajar
Guna memperkaya wawasan keagamaan para santrinya, tidak jarang para wali mengutus santri tersebut untuk memperdalam sebuah ilmu dengan berguru kepada wali yang lain. Bahkan tidak jarang pula mengirim mereka untuk belajar ke mancanegara. Misalnya, Raden Paku (Sunan Giri) dimasukan ke madrasah Sunan Ampel oleh ibu angkatnya Nyi Gede Maloka. Setelah cukup menuntut ilmu, Raden Paku dan seorang rekannya Maulana Makdum Ibrahim (putra Sunan Ampel sendiri) diperintahkan oleh Sunan Ampel untuk berangkat haji dan sekaligus menimba ilmu dri ahli-ahli agama di Mekah. Perlu diketahui bahwa pada masa itu perjalanan ke Mekah dilakukan dengan kapal laut dan membutuhkan waktu sekitar enam bulan. Maka jamaah haji biasanya akan merasa rugi jika hanya berada di Mekah selama kurun waktu pelaksaan ibadah haji saja. Umumnya mereka tinggal di Mekah sekian masa guna memperdalam keilmuan agama.
c.       Pendidikan Dini
Para wali juga telah menyiapkan pendidikan kader sejak anak usia dini dengan membentuk kejiwaan dan keyakinan mereka. Pembinaan yang tepat sejak belia akan mampu mengarahkan kecenderungan pemikiran dan tindakan mereka saat dewasa. Dunia anak-anak adalah dunia bermain yang harusnya diwarnai dengan kegembiraan. Maka diciptakanlah sejumlah permainan edukatif dan lagu-lagu dolanan (permainan) yang tidak saja mendidik namun juga dijiwai dengan semangat dan nilai keluhuran. Salahsatu contoh yang bisa ditampilkan, misalnya, sebuah lagu dolanan gubahan Sunan Giri sebagai berikut: “Padang bulan, ayo gage dolanan, dolanane ana ing latar, ngalap padang ngilar-ngilar, nundung begog hangetikar”. (Terang bulan, ayo lekas bermain, permainan bertempat di halaman, memanfaatkan terangnya sinar bulan, guna mengusir gelap yang lari terbirit-birit). Lagu tersebut memiliki makna simbolis bahwa Islam bukan saja merupakan penerangan hidup, namun juga menjadi cahaya yang akan mengusir kegelapan hati dan kebodohan.

B.     Bidang Budaya
Rakyat Majapahit adalah masyarakat yang menggandrungi kesenian. Kenyataan ini memunculkan peluang bagi para wali untuk menggarapnya.
a.       Seni Suara
Para wali menciptakan sejumlah kerangka tembang, diantaranya adalah 11 tembang yang dikenal dengan sebutan tembang macapat. Tembang macapat sendiri adalah simbol keteraturan yang hanya dapat diperoleh dengan pendisiplinan diri. Setiap orang dapat menciptakan lagu namun harus berpatokan pada guru lagu (dhong dhing), guru wilangan, dan guru gatra. Guru lagu adalah jatuhan suara vokal pada setiapa akhir larik lagu (gatra). Guru wilangan disefinisikan sebagai jumlah suku kata (wanda) pada setiap larik lagu. Sedangkan guru gatra adalah jumlah larik lagu dalam setiap bait (pada atau pupuh). Keteraturan tersebut harus diikiti. Jika salah satu saja aturan tersebut ditinggalkan maka sebuah gubahan lagu tidak bisa disebut sebagai tembang macapat.
Sedangkan tembang macapat menurut tradisi antara lain: Dangdanggula diciptakan oleh Sunan Kalijaga sebagai hasil pengabungan melodi Arab dan Jawa, Pocung dan Asmarandana oleh Sunan Giri, Durma oleh Sunan Bonang, Maskumambang dan Mijil oleh Sunan Kudus, Sinom dan Kinanthi oleh Sunan Muria, dan Pangkur oleh Sunan Drajat.
b.      Penciptaan Wayang
Wayang pada dasarnya adalah gabungan antara seni cerita dan seni suara yang melibatkan unsur kreatifitas pertunjukan lainnya. Bentuk wayang pengembangan dari wayang era Majapahit yang umumnya berupa wayang beber dan di gambar dalam rupa manusia. Wujud wayang ciptaan Walisongo telah distilisasi sehingga tidak lagi berwujud layaknya manusia sewajarnya. Segi cerita pedhalangan pun telah dirombak substansinya. Terjadi demitologisasi dan desakralisasi terhadap sejumlah ajaran yang pernah hidup pada masa sebelum Islam di tanah Jawa. Dewa tidak lagi menjadi sesembahan.
Mereka juga bisa benar dan pada kesempatan yang lain tidak luput dari dosa kesalahan. Kahyangan bisa diobrak-abrik oleh para raksasa dan para dewa bisa kalah perang melawan serbuan ini. Bahkan dalam sejumlah cerita yang berkembang para dewa sampai harus mencari bantuan kepada satria bumi untuk memulihkan kembali harmoni kehidupan dunia kahyangan. Kisah-kisah demikian menunjukkan kejeniusan salah seorang wali yaitu Sunan Kalijaga untuk mengarahkan keyakinan masyarakat bahwa dewa bukanlah apa-apa, hanya Hyang Tunggal, yaitu Allah Rabb yang Maha Kuasa.
Selain itu dalam sejumlah lakon wayang menunjukkan, bahwa Sunan Kalijaga memiliki pandangan futuristik yang akurat. Misalnya, dalam kisah “Ambangun Candi Saptaarga” diceritakan bahwa Pandawa bermaksud membangun makan (candi) untuk menghormati kakek mereka Begawan Abiyasa. Sejumlah pihak nampaknya berusaha menghalangi proses pembangunan yang telah dirancang. Tersebutlah seorang putri yang bernama Mustakaweni yang kemudian memanfaatkan situasi kekosongan kerajaan Amarta yang ditinggalkan oleh para Pandawa karena konsentrasi pada pembangunan di Saptaarga. Mustakaweni ini terprovokasi untuk mencuri Jimat Kalimusada milik Pandawa.
Muncul pula Dewa Srani yang kemudian merusak (angslup) ke dalam tubuh Mustakaweni demi melaksanakan niat jahatnya. Dengan angslupnya, Dewa Srani ini, Mustakaweni kemudian mampu menyamarkan dirinya menjadi salahsatu satriya putra Amarta. Niatan Mustakaweni akhirnya terbongkar. Terjadi pertarungan seru dimana Pandawa hampir saja mengalami kekalahan. Sampai akhirnya muncullah seorang putra Pandawa yang baru saja turun dari pertapaan yang mampu mengatasi keadaan. Atas nasehat Kresna, putra Pandawa itu mampu mengalahkan Mustakaweni dan menghancurkan konspirasinya bersama Dewa Srani dengan menggunakan panah telanjang.
Cerita di atas adalah sebuah simbolisasi bahwa keyakinan Islam yang diwakili oleh pusaka Kalimusada (kalimat syahadat) pada masa yang akan datang akan dimusuhi oleh ajaran Nashrani. Ajaran tersebut akan membonceng (angslup) melalui penjajah asing. Cara mengalahkannya adalah dengan menelanjangi ajaran mereka. Sebab di sanalah kelemahan sebenarnya dari doktrin ajarannya. Awalnya kata “Kalimusada” dalam sejumlah karya kuno era Hindu merupakan kitab milik Pandawa yang bisa berubah menjadi tumbak yang menyala-nyala. Namun, pada masa Islam, Kalimasada diubah pengertiannya menjadi kalimat syahadah.
Cerita demikian memberikan pesan agar kaum muslimin hendaknya senantiasa waspada. Agaknya Sunan Kalijaga mengubah lakon tersebut pasca Demak terlibat konflik dengan sejumlah bangsa asing Barat, seperti Portugis di Malaka. Perlu diketahui Sunan Kalijaga termasuk wali yang panjang umur. Selain itu pada masa selanjutnya, juga muncul cerita-cerita wayang yang menunjukkan adanya pengaruh Islam misalnya lakon “Semar Munggah Kaji” (Semar Naik Haji).
c.       Tata Kota
Kota Praja atau bangunan keraton atau Kadipaten di tanah Jawa selalu tidak pernah meninggalkan empat hal yaitu, istana, alun-alun, beringin kembar, dan Masjid Agung. Alun-alun berasal dari kata al-laun yang berarti warna. Jadi alun-alun adalah tempat berkumpulnya berbagai warna atau ragam yang menunjukkan beratunya antara penguasa dan rakyat jelata. Alun-alun memiliki empat sisi yang dimaksudkan bahwa kemanunggalan tersebut harus melalui syariat, tarikat, hakikat, dan makrifat. Sedangkan beringin kembar (waringin kembar, Jawa) berasal dari kata wara’iin yang artinya kehidupan harus senantiasa diwarnai dengan kehati-hatian.
Jumlah pohon yang dua buah itu dimaksudkan bahwa kehati-hatian yang dimaksud harus didasarkan pada al-Qur’an dan as-Sunnah. Maka kemudian disediakan Masjid Agung sebagai tempat peribadatan guna menggawangi semua keperluan tersebut. Sedangkan istana berada di tempat yang dekat dengan masjid, alun-alun, dan beringin kembar. Hal ini dimaksudkan bahwa pemimpin hendaknya mengawasi pelaksanaan syariat Islam dalam masyarakat. Letak istana biasanya membelakangi gunung dan menghadap ke laut. Maksudnya pemimpin hendaknya menghidari diri dari sifat kesombongan dan sebaliknya harus bersikap pemurah, sabar, serta pemaaf sebagaimana luasnya lautan.
Menurut sejarawan E. Mold, Sunan Kalijaga sendiri adalah ahli arsitektur yang pintar memilih bahan bangunan yang awet. Beliau juga ahli dalam teknis, salahsatu buktinya terdapat pada kontruksi tiang tatal yang ada di masjid Demak. Tiang tatal ciptaan Sunan Kalijaga ini terbuat dari potonga-potongan kayu yang disusun sedemikian rupa dengan menggunakan keahlian teknik tingkat tinggi sehingga masih dapat bertahan sampai sekarang.
6.      Refleksi untuk Generasi Setelah Walisongo
Dakwah Walisongo hendaknya dipandang sebagai sebuah proses. Dalam tahapan dakwah zaman tersebut, mereka tergolong telah menuai kesuksesan besar. Rahasia kesuksesan tersebut terlatak pada kebersamaan, kepatuhan terhadap bimbingan ulama, keteladanan yang bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah, kemampuan, perencanaan yang akurat, pengorganisasian yang matang, dan tidak menafikan keberadaan Allah Swt.
Sebagai sebuah proses, dakwah Walisongo adalah seruan yang belum usai. Menggaung zamannya dan melampaui masanya, namun butuh sentuhan keseimbangan dari generasi berikutnya. Sesungguhnya sentuhan berkeseimbangan yang dimaksud adalah tindakan pada setiap generasi untuk membangun tradisi dakwah. Hakikatnya dakwah adalah proses estafeta dan alih generasi dari masa ke masa. (Tiar Anwar Bachtiar, dkk 94-106)
Pada awal berdakwah, Sunan Ampel menginginkan agar masyarakat menganut kepercayaan yang murni, tanpa disisipi oleh budaya atau adat-istiadat yang ada sebelumnya. Ia tidak setuju dengan adat-istiadat yang selama itu berkembang di Jawa, seperti selamatan, kenduri, sesaji, dan sebagainya masih melekat pada jiwa seseorang yang telah memeluk agama Islam. Namun para wali yang lainnya berpendapat bahwa untuk sementara waktu semua kebiasaan yang sudah ada tetaplah dibiarkan berjalan, karena dengan adanya pertimbangan bahwa tidak mungkin masyarakat dapat meninggalkan secara serentak sehingga begitu ia mentolelir pelaksanaannya.
Kekhawatiran Sunan Ampel yang sangat mendalam terhadap perilaku yang selama ini sudah bersarang pada jiwa masyrakat dan sulit untuk disirnakan akan dianggap sebagai ajaran Islam, dapat diredam oleh kebijakan Sunan Kalijaga, dan dengan didukung oleh Sunan Kudus dalam rangka memberikan perhatian kepada penganut Hindu dan Budha. Sunan Kalijaga mengusulkan kepada para wali, terutama kepada wali tertua, Sunan Ampel, untuk mewarnai perilaku mereka dengan menyusupkan atau mengantinya dengan hal-hal yang bersumber dari Islam. Dengan demikian, yang sangat berperan dalam mengislamkan perilaku-perilaku pada zaman Hindu dan Budha tidak lain adalah Sunan Kalijaga, yang sudah barang tentu dengan dukungan dan bantuan dari para wali lainnya. (Sholeh So’an, 2002:55).
Dalam percakapannya, Sunan Ampel pernah menegur Sunan Kalijaga yang mengadakan tahlilan, “Jangan diteruskan perbuatan semacam itu karena termasuk bid’ah”. Sunan Kalijaga menjawab, “Biarlah nanti generasi setelah kita ketika Islam telah tertanam di hati masyarakat yang akan menghilangkan budaya tahlilan itu”.
Kisah ini disebutkan dalam sebuah buku tentang Islam di Indonesia yang tersimpan di sebuah museum di negeri Belanda. Sumber tentang walisongo yang dipercaya dokumen asli dan valid tersimpan di museum Leiden, Belanda. Tersebut dokumen kuno yang kemudian disebut sebagai “Het Book van Mbonang” (Sunan Mbonang adalah putera dari Sunan Ampel). Dari dokemen ini telah dilakukan beberapa kali kajian oleh peneliti. Diantaranya thesis Dr. Bro Schrieke tahun 1816, Leiden, disebut sebagai “Primbon” dan thesis Dr. Jgh Gunning tahun 1881, Leiden, disebut sebagai “Primbon II”. Yang kemudian menggunakan dua literatur ini adalah Dr. Da Rinkers tahun 1910 dalam thesisnya yang berjudul “De Heidigen van Java”, Leiden, dan tahun 1921 berjudul “Een Javansche Primbon uit de Zeistiende Eeuwe”, Leiden, dan Dr. Pj Zoetmulder Sj, tahun 1935, berjudul “Pantheisme en Monisme in de Javansche Soeloek Literatuur”, Leiden. Dokumen lain yang ditemukan kemudian adalah lembaran daun lontar (rontal) sebanyak 23 lembar, tersimpan di Museum Umum Ariostea/Museum Marquis Cristino Bevilacqua di Ferrara, Italia. Secara umum isi dokumen tersebut menceritakan suasana saresehan para wali yang dilangsungkan di kediaman Sunan Giri di Girikedaton Gresik. Selanjutnya dokumen yang kemudian disebut dengan “Kroprak Ferrara” ini pada tahun 1962 dibuat kopi (tiruan) untuk dikirim ke Leiden Belanda agar bisa dikaji oleh para ahli bahasa Sansekerta dan Jawa Kuno dari negeri Belanda. (Mahrus Ali, 2007:14-15).
Kemandekan dakwah Walisongo yang dilakukan oleh generasi setelahnya dapat terlihat dengan tidak dirubah atau bahkan dilestarikannya acara tahlilan oleh geberasi berikutnya. Bahkan generasi selanjutnya justru mendompleng Sunan Kalijaga untuk melegitimasi acara tahlilan tersebut. Padahal kalau saja generasi berikutnya membaca secara utuh pesan dari Sunan Kalijaga, seharusnya mereka meluruskan acara tahlilan itu.









Daftar Pustaka
Abdullah, Rachmad. 2016. Walisongo: Gelora Dakwah dan Jihad di Tanah Jawa (1404-1482). Sukoharjo: al-Wafi Publishing. Cet. III.
Ali, Mahrus. 2007. Mantan Kiai NU Menggugat Tahlilan, Istighosah, dan Ziarah Para Wali. Surabaya: Laa Tasyuk. Cet. X.
AM, Imron. 1990. Kitab Manakib Syekh AbdulQadir Jaelani Merusak Akidah Islam. Bangil: Yayasan al-Muslimun. Cet. VI.
Bachtiar, Tiar Anwar, dkk. tt. Sejarah Nasional Indonesia I. Jakarta: Andalusia Islamic Education & Management Services. 
Friska Agung Insani.
Giri MC, Wahyana. 2010. Sajen dan Ritual Orang Jawa. Yogyakarta: Narasi. Cet. I.
Hassan, A. 1995. Mengenal Nabi Muhammad SAW. Bandung: CV. Diponegoro. Cet. I.
Helmiatai. 2011. Sejarah Islam Asia Tenggara. Riau: Zanafa Publishing. Cet. I.
Malkhan, Abdul Munir. Tt. Seh Siti Jenar dan Ajaran Wihdatul Wujud. Yogyakarta: PT. Percetakan Persatuan.
Mubarok, Jaih. 2004. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Bani Quraisy. Cet. II.
Nasional, Departemen Pendidikan. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka. Cet. III.
Raffles, Thomas Stamford. 2008. The History of Java. Penerjemah: Eko Prasetyaningrum, Nuryati Agustin, dan Idda Qoryati Mahbubah. Yogyakarta: PT. Buku Kita. Cet. I.
Ricklefs, M.C. 2008. A History of Modern Indonesia Since 1200-2008. Edisi Indonesia: Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Penerjemah: Tim Penerjemah Serambi. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta. Cet. I.
Risalah Jum’ah. No. 682 Tahun XV Rajab 1438 H / 31 Maret 2017 M.
Risalah. No. 11 Tahun. XXXXVII Shafar 1431 / Pebruari 2010.
So’an, Sholeh. 2002. Tahlilan: Penelusuran Historis atas Makna Tahlilan di Indonesia. Bandung: Agung Ilmu. Cet. I.
Su’ud, Abu. 2003. Islamologi: Sejarah, Ajaran, dan Peranannya dalam Peradaban Umat Manusia. Jakarta: Rineka Cipta. Cet. I.
Sulendraningrat, P.S. tt. Babad tanah Sunda: Babad Cirebon.
Suryanegara, Ahmad Mansur. 2013. Api Sejarah. Bandung: Salamadani. Cet. VI.
Taimiyyah, Ibnu. 1999. Al-Mu’jizatu wa Karamatu al-Auliya’. Edisi Indonesia: Mukjizat Nabi & Kemarat Wali. Penj. Ali Yahya, S.Psi. Jakarta: Lentera Basritama. Cet. I.
Wildan, Dadan. 2012. Sunan Gunung Jati. Tangerang: Salima. Cet. I.
Yatim, Badri. 2004. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Cet. XVI.
Zainuddin, dkk. 2005. Sejarah Kebudayaan Islam: untuk kelas IV Diniyyah Awaliyah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad

Responsive Ads Here