Oleh M. Nurachman
(Wakil
Ketua PD. Pemuda Persatuan Islam Sumedang).
A.
Pendahuluan
Hadits menurut bahasa artinya yang baru, khobaran. Sedangkan
menurut istilah Ahli Hadits adalah khobaran yang berisi ucapan,
perbuatan, kelakuan, sifat atau kebenaran, yang orang katakan dari Nabi
Muhammad SAW, maupun khobaran itu sah dari Nabi atau tidak. Sedangkan
Atsar adalah ucapan atau perbuatan sahabat.
B.
Klasifikasi Hadits
Hadits
terbagai menjadi tiga bagian yaitu:
1. Hadits
Shohih, adalah satu hadits yang sanadnya yang bersambung dari permulaan sampai
akhir, diceritakan oleh orang-orang adil, dlobith(hafal) yang
sempurna, serta tidak ada syudzudz(keganjilan-keganjilan), tidak ada illah
yang tercela, selamat maknanya dari perselisihan dengan ayat al-Qur'an, khobar
mutawatir dan ijma.
2. Hadits
Hasan, adalah satu hadits yang sanadnya bersambung dari permulaan sampai akhir,
diceritakan oleh orang-orang adil tetapi ada yang kurang dlobith, serta
tidak ada syudzudz dan illah.
3. Hadits
Dhoif, adalah satu hadits yang terputus sanadnya, atau diantara rowi-rowi
nya ada yang bercacat. Hadits Maudhu (Palsu) termasuk ke dalam kategori
hadits dhoif.
Untuk mengetahui lebih dalam mengenai istilah dan ketiga kategori hadits
tersebut beserta penjabarannya, silahkan baca buku karya A. Zakaria: Pokok-Pokok
Ilmu Musthalah Hadits, A. Qadir Hassan: Ilmu Musthalah Hadits, Prof.
DR. M. Hasbi Ash-Shiddieqy: Sejarah Dan Pengantar Ilmu Hadits dan Wawan
Shofwan Sholehuddin: Hadis Maudu Dalam Istilah & Sejarah.
Para Ulama Secara Umum Membagi Hadits Dhoif Pada Dua Derajat:
Pertama,
hadits dhoif disebabkan rowi yang meriwayatkan diragukan kredibikitasnya atau
ada mata rantai sanad yang terputus, dan kedua, hadits dhoif disebabkan rowi
yang meriwayatkan dipastikan berdusta dan mungkarnya.
Kedua, biasa disebut
hadits maudhu dan mungkar – para ulama sepakat atas keharaman
mengamalkannya. (Buletin at-Taubah Hal. 1 No. 14, Th. IV, 1 Januari 2016.)
Sedang untuk kategori kedua, para ulama berbeda pendapat tentang kebolehan
beramal dengan hadits Dhoif. Mereka terbagi dalam tiga kelompok, yaitu;
Kelompok Pertama,
Berpendapat Bahwa Hadits Dhoif Tidak Dapat Diamalkan, Termasuk Untuk At-Targhib
(Dorongan Untuk Berbuat Baik) Dan Fadailul Amal(Keutamaan Amal).
Ini adalah pendapat Ibnu Sayyidinas dari Yahya bin Ma'in, dan
kemudian menjadi pegangan Abu Bakar Ibnul Arobi, Abu Syamah (Syafiiyyah), Ibu
Hajar Al-Asqolani (Syafiiyyah), Imam Syaukani, Shiddiq Hasan Khon, Syaikh Ahmad
Syakir, Syaikh Muhammad Nashirudin Albani. Imam Bukhori dan Muslim adalah dua
Mukhorrij besar, keduanya sangat berpegang pada pendapat ini.
Demikian pula Ibnu Hazm. Imam Muslim dalam Muqodimah Shohihnya
telah menetapkan bab tidak boleh meriwayatkan Hadits Dhoif. Adapun Imam Ibnu
Hazm mengatakan “Sesuatu (Kobar) ditukil oleh penduduk timur dan barat, oleh
banyak rowi dari banyak rowi, dan oleh yang siqot (kuat) dari yang siqot,
kemudian sampai kepada Nabi Muhammad SAW. Tetapi terbukti pada sanannya ada
rowi yang tercela, apakah tercela karena dusta, lalai, atau sebagian Muslimin
dinyatakan, “Menurut kami tidak halal berpendapat dengan berdasarkan hadits
seperti itu, demikian pula mengakuinya pun tidak halal”.
Tegasnya, tidak boleh berpendapat apa pun dengan mendasarkan
hadits-hadits yang Dhoif. Ibnu Rojab berkata,“Zhohir yang disebutkan oleh
Imam Muslim dalam muqodimah kitab shohih beliau menunjukan bahwa hadits
At-Targhib wa Tarhib tidak boleh diriwayatkan, kecuali dari para perowi yang
bisa diriwayatkan haditsnya tentang masalah hukum dari mereka”.
Imam Syaukani berkata, “Sesungguhnya hukum-hukum Syar'iitu satu
derajat, maka tidak boleh menyebarkan satupun darinya kecuali yang bisa dipakai
sebagai Hujjah. Kalau tidak begitu maka akan terjerumus kepada perbuatan
berbicara yang mengada-ada atas nama Allah”.
Syaikh Ahmad Syakir berkata, “Tidak ada bedanya antara masalah
hukum dengan fadhilah amal, serta lainnya, tentang tidak bolehnya berdasar
dengan sebuah riwayat yang lemah Bahkan tidak boleh bagi seorangpun untuk
berhujjah kecuali dengan hadits yang Shohih dari Rosulullah”.
Syaikh Muhammad Nashirudin Albani berkata, “Inilah yang saya
yakini dan saya ajarkan kepada manusia, bahwa hadits lemah itu tidak bisa
diamalkan secara mutlak. Baik dalam masalah fadhilah amal, sebuah perbuatan
sunnah, ataupun lainnya. Hal ini dikarenakan hadits lemah hanya memberikan
faedah sebuah dhon marjuh (prasangka yang lemah) tanpa ada satupun khilaf
diantara para ulama, sepengatahuan saya. Dan kalau memang seperti itu maka
bagaimana bisa dikatakan boleh beramal dengan hadits lemah? Padahal Allah
ta'ala telah mencela dhon semacam ini dalam banyak ayat, diantaranya adalah
firman-Nya:
.....وَإِنَّ
ٱلظَّنَّ لَا يُغۡنِي مِنَ ٱلۡحَقِّ شَيۡٔٗا ٢٨
“…..Sesungguhnya persangkaan
itu tidak berfaedah sedikitpun pada kebenaran”. Q.S.An-Najm (53) :28. Dan
Rosulullah bersabda,
إِيَّاكُمْوَالظَّنَّفَإِنَّالظَّنَّأَكْذَبُالْحَدِيثِ
“Jauhilah berprasangka karena prasangka adalah ucapan yang paling
dusta”. H.R.Bukhori dan
Muslim.
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah berkata, “Dalam syariat Islam tidak diperbolehkan bersandar kepada
hadits-hadits lemah, yang tidak shohih juga tidak Hasan”.
Kelompok Kedua,
Berpendapat Hadits Dhoif Diamalkan Secara Mutlak (Tidak Terbatas).
Pendapat
ini disandarkan kepada Abu Dawud, Abu Hanifah dan Ahmad bin Hanbal,
kedua-duanya beranggapan bahwa hadits dhoif lebih utama dari pada qiyas
dan pendapat seseorang.
Abu
Dawud mengatakan, “Hadits-hadits atau riwayat-riwayat yang kedhoifannya
cukup parah pasti aku akan menerangkannya. Para ulama telah mengatakan
boleh-boleh saja meriwayatkan hadits dhoif selama disertai keterangan
kedhoifannya”.
Adapun mengenai perkataan Imam Ahmad, “Apabila kami meriwayatkan
dari Rosulullah tentang halal dan haram atau sunnah-sunnah dan hukum maka kami
sangat keras di dalam urusan sanad-sanad, sedangkan apabila kami meriwayatkan
hadits dari Nabi Muhammad SAW tentang fadailul amal dan apa saja yang tidak
menimbulkan atau menghilangkan hukum, maka kami tidak keras dalam urusan
sanad-sanad”.
pendapat ini memerlukan
penjelasan terutama mengenai perkataan Imam Ahmad bin Hanbal yang berujar, “Hadits
dhoif lebih utama dari pada qiyas dan pendapat seseorang”.
Ungkapan ini tidak menunjukan, bahwa beliau mengamalkan atau menyetujui
hadits dhoif untuk diamalkan tanpa batas, melainkan menunjukan ketidak
cenderungan atau kehati-hatian beliau dari mengamalkan qiyas dan pendapat
seseorang. Karena itu, jika diamati secara cermat, sebenarnya pernyataan beliau
ini tidak bertentangan dengan pendapat pertama yang mengatakan, “Hadits
dhoif tidak dapat diamalkan”, mengingat yang dimaksud oleh beliau hadits
dhoif di sini ialah hadits dhoif yang kelemahannya sangat ringan atau kurang
sedikit dalam memenuhi syarat-syarat shohihnya sebuah hadits, sehingga jadilah
derajatnya hasan lizatihi dan termasuk hadits dhoif yang kelemahannya
dalam kategori masih dapat tertolong, apabil ditemukan mutabi atau
periwayatan lain yang dapat di jadikan syahid. Maka jadilah derajatnya hasan
lighoirihi. Kenyataannya beliau tidak menerima hadits-hadits dhoif yang
kelemahannya berat, seperti : sanad yang di dalamnya ada rowi yang batil,
munkar, ghoplah (ceroboh), tertuduh dusta, dan lain-lain.
Dalam kitab Imam Ahmad hanya ada dua Istilah yaitu shohih dan
dhoif. Jadi yang dimakud dhoif oleh Imam Ahmad adalah hasan karena
istilah hadits shohih, hasan, dan dhoifbelum mapan pada Zaman
Imam Ahmad karena istilah ini pertama kali dimunculkan oleh Imam Tirmidzi dalam
kitab Sunnan beliau.
Pendapat inilah yang ditegaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
bahwa beliau berkata, “Barangsiapa yang menukil dari Imam Ahmad bahwa beliau
berhujjah dengan hadits yang lemah, tidak shohih, juga tidak hasan, maka dia
telah salah sangka. Karena yang dikenal pada Zaman Imam Ahmad dan sebelumnya
bahwa hadits itu terbagi menjadi dua, yaitu shohih dan dhoif, lalu hadits dhoif
menurut mereka terbagi menjadi dua : yaitu dhoif matruk (lemah yang
ditinggalkan) yang tidak boleh dijadikan sebagai hujjah, dan dhoif hasan (lemah
yang bagus). Sebagaimana penyakit manusia pun terbagi menjadi dua: sakit
mengkhawatirkan yang membuat orang takut kemudian bersegera mengobatinya dengan
seluruh hartanya, dan penyakit yang ringan dan biasa saja”.
Orang yang pertama kali membagi hadits menjadi tiga bagian, yaitu :
shohih, hasan, dan dhoif adalah Imam Abu Isa at-Tirmidzi
dalam kitab sunnan beliau. Maka kesimpulan tentang pernyataan Imam Ahmad
seperti ini lebih selamat daripada kesimpulan, “Hadits dhoifdapat diamalkan
secara mutlak”, karena Imam Ahmad bin Hanbal dan Abu Dawud di samping
terkenal sebagai mukhorij (mengeluarkan hadits), kedua-duanya terkenal
juga sebagai ahli jarah wa ta'dil (bagus tidaknya hadits). Maka tentu
saja yang beliau maksudkan sangat keras di dalam hadits-hadits hukum adalah
harus benar-benar memenuhi syarat shohih.
Imam asy-Syathibi berkata, “Jawaban dari pernytaan ‘Hadits dhoif
lebih baik daripada qiyas’. Sesungguhnya pernyataan tersebut adalah pendapat
seorang mujtahid dan ijtihadnya pasti bisa salah atau benar, sebab ia tidak
mempunyai dalil yang dapat membantah hal tersebut. jika diterima pendapatnya,
maka mungkin dapat dipahami dari arti yang menyelisihi perkataannya yang
tersurat, sebab adanya kesepakatan mereka untuk membuang sanad hadits dhoif.
Jadi, sudah menjadi keharusan penakwilannya bahwa yang ia maksudkan adalah
hadits yang mempunyai sanad hasan dan semua hadits tentang pendapat yang
membolehkan pengamalannya. Mungkin, maksud perkataannya, ‘lebih baik daripada
qiyas’, adalah jika itu dijadikan dalil, sehingga seakan-akan ia menolak qiyas
dan membuat pernyataan yang menolak orang yang menjadikan qiyas sebagai dasar
hukum dan menentang hadits-hadits. Oleh karena itu, Imam Ahmad rohimahullah
lebih cenderung untuk memakai qiyas. Imam Ahmad berkata, ‘Kita terus mencela
orang yang menggunakan pendapat akal (Ahlur Ro’yi) dan mereka mencela kita
hingga datang Imam Syafi’i yang menyelesaikan pertentangan diantara kita’. Atau
yang ia maksudkan adalah qiyas yang rusak, yang tidak mempunyai dasar dari
al-Qur’an, as-Sunnah, serta ijma’. Sehingga ia lebih mengutamakan hadits dhoif,
meski hadits tersebut tidak dipakai. Lagipula, bila perkataan Imam Ahmad itu
dapat dipahami sesuai kehendaknya, maka tidak dibenarkan untuk bersandar
atasnya dengan adanya penentangan terhadap pendapat para Imam RA”. (Imam
asy-Syathibi, al-‘Itishom I:262-263).
Adapun mengenai kata-kata “Kami tidak keras dalam urusan sanad”,
tentu saja maksudnya yang kurang sedikit dalam memenuhi syarat-syarat shohih
dan turunlah menjadi derajat hasan. Sama dengan yang dimaksud beliau,
“Dhoif yang dapat diamalkan. Apabila kata-kata “Hadits-hadits dhoif dapat
diamalkan”. Diartikan secara tidak terbatas, maka hal tersebut akan
mengakibatkan banyak ibadah yang sunnah disangka bid'ah dan (terutama)
ibadah-ibadah yang bid'ah disangka sunnah karena menurut Imam Syathibi
munculnya bid'ah salah satunya berhujjah dengan hadits dhoif, sehingga beliau
membuat satu bab dalam bukunya al-‘Itishom yang diberi nama “Bersandarnya
Orang-Orang Yang Condong Kepada Kesesatan Pada Hadits-Hadits Yang Meragukan,
Lemah, Serta Dusta Terhadap Rosulullah SAW”.
Tentu saja pendapat ini akan dimanfaatkan oleh orang-orang yang
memalsukan sesuatu yang banyak ke dalam urusan fadhoilul amal dan akhlaq,
tidak disandarkan kepada dalil yang makbul(diterima), berdasarkan
pendapat “Hadits dhoif dapat diamalkan“. Tegasnya Imam Ahmad dan
kawan-kawan beliau yang sependirian, menolak hadits dhoif untuk diamalkan.
Kelompok Ketiga,
Berpendapat : Hadits Dhoif Dapat Diamalkan Sepanjang Mengenai Targib Dan
Fadailul Amal Atau Yang Lain-Lainnya Itu, Apabila Memenuhi Syarat-Syarat
Di Bawah Ini :
1.
Kedhoifannya tidak parah. Maka tidak termasuk kepada hadits-hadits
dhoif karena ada rowi yang tertuduh dusta karena fuhsy gholati (Kejinya
kesalahan) rowi dan lain-lain seperti itu.
2.
Harus berada di bawah pokok yang ma'mul (diamalkan).
3.
Pada waktu mengamalkan tidak boleh berkeyakinan, bahwa itu subut
(benar-benar adanya) melainkan harus berkeyakinan semata-mata untuk ikhtiyat(kehati-hatian).
Ini adalah pendapat Ibnu Ma'in, Ibnu Mubarok, ats-Tsauri, Ibnu Uyainah,
al-Khotib, al-Baghdadi, Ibnu Sayyidin Nas, Al-'Iroqi, as-Sakhowi, Zakariya
al-Anshori, as-Suyuti, Ali al-Qori, dan lain-lain.
Ketiga syarat diatas tidak menguatkan pendapat “Hadits dhoif
dapat diamalkan”,melainkan menguatkan pendapat “Hadits dhoif tidak dapat
diamalkan”.
Apabila dengan melihat syarat ketiga yaitu pada waktu
mengamalkannya tidak boleh berkeyakinan bahwa itu subut melainkan harus
berkeyakinan semata-mata untuk ikhtiat (kehati-hatian). Maka ibadah
macam apa yang kita disunatkan untuk melaksanakannya, akan tetapi harus
berkeyakinan akan tidak adanya tidak (disyaratkan).
Maka pendapat ini benar-benar tidak dapat diterima sebab ikhtiyat
dalam urusan ibadah adalah mengerjakan yang yakin dan meninggalkan yang tidak
yakin. Syarat-syarat yang dikemukakan oleh pendapat kedua dan ketiga itu tidak
pernah bisa dilakukan. Kalaupun dianggap bisa, maka itu sangat sulit, kecuali
oleh orang-orang yang benar-benar piawai dalam ilmu hadits. Padahal yang
biasanya suka mengamalkan hadits lemah ini adalah orang-orang yang tidak banyak
mengetahui ilmu hadits dengan baik.
Syarat kedua, harus berada dibawah hadits umum yang shohih.
Kalau memang seperti itu, lalu mengapa tidak beramal berdasarkan hadits shohih
yang umum itu saja? Mengapa harus merepotkan diri berbelit-belit dengan hadits
yang lemah akan tetapi harus berada di bawah hadits umum yang shohih?
Syarat berikutnya, tidak boleh meyakini bahwa itu ucapan Rosulullah
dan harus meyakini bahwa itu hanya untuk kehati-hatian. Kalau memang seperti
itu lalu mengapa tidak sekaliandikatakan bahwa hadits lemah tidak boleh
diamalkan secara mutlak? Lha Wong yang mengamalkannya saja harus bahwa itu
bukan ucapan Rosulullah, namun hanya untuk kehati-hatian? Lalu manakah sikap
yang lebih hati-hati, apakah mengambil hadits yang lemah tersebut atau menolaknya?.
Bukankan dengan mengambilnya ada kemungkinan kita berdusta atas
nama Rosulullah?.
مَنْكَذَبَعَلَيَّفَلْيَتَبَوَّأْمَقْعَدَهُمِنْالنَّارِ
“Barangsiapa berdusta atas (nama) ku dengan sengaja, maka hendaklah
ia mengambil tempat duduknya dari neraka”. H.R. Bukhori dan Muslim.
“Barangsiapa yang menceritakan dariku sebuah hadits yang dia sangka
bahwa hadits itu dusta, maka dia adalah salah satu dari pendusta”. H.R.Muslim.
Ibnu Hibban berkata, “Hadits ini menunjukan bahwa seorang ahli
hadits jikalau meriwayatkan sebuah hadits yang tidak shohih dari Rosulullah,
padahal dia mengetahuinya, maka dia termasuk salah satu pendusta”.
“Akan tetapi yang shohih dan rojih menurut para peneliti dari
kalangan ulama ahli hadits bahwa meriwayatkan sebuah hadits yang lemah tanpa
menerangkan kelemahannya itu tidak boleh, karena hal itu akan membuat orang
lain menyangka bahwa hadits tersebut adalah sebuah hadits yang shohih,
lebih-lebih lagi kalau yang menukil hadits tersebut adalah seorang ulama yang terpercaya”. Demikianlah pendapat Syaikh Muhammad Nashirudin Albani
dengan sedikit ringkasan dan tambahan dari penulis.
Imam asy-Syafi’i berkata, “Bila suatu hadits itu shohih, maka
itulah madzhabku”. (M. Nashiruddin al-Albani, Sifat Shalat Nabi hal. 58).
Imam Nawawi berkata, “Orang yang tidak mengetahui keshohihan
sebuah hadits tidak boleh berhujjah dengannya tanpa meneliti dahulu, jika dia
sanggup melakukannya atau bertanya kepada para ulama”.
Syaikul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Kesimpulannya bahwa dalam
masalah ini bisa diriwayatkan dan diamalkan dalam hal targhibwa tarhib, bukan
untuk menyunnahkan sesuatu”.
Muhammad Ajjaj al-Khithob mengatakan, “Tidak ragu lagi,
keyakinan inilah yang paling selamat. Kita telah mempunyai fadailul amal,
at-targhib dan at-tarhib yang shohih, sampai bilangan yang tidak akan terhingga
untuk dijelaskan.Semua itu telah cukup bagi kami daripada mengamalkan
riwayat-riwayat yang dhoif, terutama bahwa sesungguhnya fadailul amal dan
makarimul akhlak (memuliakan akhlak) adalah termasuk tiang-tiang agama. Hal itu
tidak berbeda dengan hukum-hukum yang harus subut, dari Nabi Muhammad SAW,
apakah termasuk kategori shohih ataukah hasan . apabila sesuatu dijadikan
sebagai sumber, wajiblah khobar-khobarnya itu maqbullah”.
Dewan Hisbah PP. Persatuan Islam mengenai metodelogi pengambilan
keputusan hukum dalam beristidhol dengan hadits menetapkan beberapa syarat:
1.
Menggunakan hadits shohih dan hasan dalam pengambilan keputusan
hukum.
2.
Menerima kaidah; “Jika dhoifnya hadits tersebut dari segi dhoth
(hafalan) dan tidak bertentangan dengan al-Qur’an atau hadits lain yang shohih.
Adapun jika dhoifnya itu dari segi fisqur rowi atau ‘tertuduh dusta’ maka
kaidah tersebut tidak dipakai”.
3.
Tidak menerima hadits dhoif; karena yang menunjukan fadhoilul
amal dalam hadits shohih pun cukup banyak.
4.
Menerima hadits shohih sebagai tasyri’ (syariat)yang
mandiri, sekalipun tidak merupakan bayan (penjelas) dari al-Qur’an.
5.
Menerima hadits ahad (hadits yang diriwayatkan oleh satu orang) sebagai
dasar hukum selama hadits tersebut shohih.
6.
Hadits mursal shohabi(hadits yang hanya sampai kepada
sahabat) dan mauquf bil hukmil marfu’ (atsar sahabat tetapi hukumnya
sama dengan hadits) dipakai sebagai hujah selama sanad hadits tersebut shohih
dan tidak bertentangan dengan hadits lain yang shohih.
7.
Hadits mursal tabi’i(hadits yang hanya sampai kepada tabi’i)
yang di jadikan hujah apabila hadits apabila hadits tersebut disertai qorinah(petunjuk
yang menjelaskan) yang menunjukkan ittishol (bersambung)-nya hadits
tersebut.
8.
Menerima kaidah; al-jarhu qoddamun ‘alat ta’dil (orang yang
menyatakan cacat di dahulukan daripada orang yang menyatakan memuji). Dengan
ketentuan sebagai berikut;
a.
Jika yang menjarah menjelaskan jarah-nya, didahulukan
daripada ta’dil.
b.
Jika yang menjarah tidak menjelaskan sebab jarah-nya,
didahulukan ta’dil daripada jarah.
c.
Jika yang men-jarah tidak menjelaskan sebab jarah-nya,
tetapi tidak ada seorang pun yang menyatakan tsiqot (kuat), maka
jarahnya bisa diterima.
9.
Menerima kaidah tentang sahabat; “Semua sahabat adil”.
10. Riwayat orang
yang sering melakukan tadlis (menghilangkan rowi) diterima jika ia
menerangkan bahwa apa yang diriwayatkannya itu jelas sighot tahamul-nya
menunjukan ittishol(bersambung), seperti menggunakan kata ‘hadzdzatsani”.
(Kumpulan Keputusan Dewan Hisbah Persatuan Islam, Editor: K.H. Drs. Shiddiq
Amien, MBA dkk hal. 38-39 dan disempurnakan dalam sidang Dewan Hisbah 30-31
Januari 2018 lihat Majalah Risalah Maret 2018).
Maka wajiblah kiranya kita berterima kasih dan menghargai segenap upaya
para ulama yang telah mengklasifikasikan hadits kepada shohih, hasan,
dan dhoif.(Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf, Hadits Lemah Dan Palsu
yang Populer Di Indonesia hal. 3-25; A. Zakaria, al-Hidayah I:51-59; Wawan
Shofwan Sholehuddin, salat-Salat Yang Bid’ah hal. 1-8).
Secara dalil aqli pun hadits lemah tidak dapat dijadikan hujjah.
Kalau boleh kita analogikannya dengan uang, ternyata ada banyak ragam uang yang
beredar di masyarakat. Ada uang asli yang baru dikeluarkan oleh bank, uang asli
yang kondisinya sudah lecet, uang asli yang sobek atau sebagiannya hilang dan
uang palsu. Tidak usah kiranya kita membicarakan uang asli yang baru keluar
dari bank, pasti uang tersebut akan laku apabila kita belanjakan, uang yang
kedua pun demikian hanya saja yang punya warung agak sedikit cemberut ketika kita
membayar menggunakan uang itu, uang yang ketiga walaupun uang asli tidak akan
laku karena keadaannya tidak utuh dan uang yang terakhir jangankan laku malah
kita ditangkap polisi karena dituduh mengedarkan uang palsu. Ini adalah qias
dari hadits shohih, hasan, dhoif, dan maudhu.
Ada banyak sebab-sebab hadits berstatus dhoif diantaranya
diantara sanadnya ada seorang atau bahkan lebih rowi yang
tertuduh pembohong, pikun, kitabnya terbakar, tukang tipu, tidak sezaman, sezaman
tapi tidak pernah bertemu, munqoti (terputus), penganut paham sesat dll.
Secara garis besar hadits merupakan ucapan “katanya” dari mulut ke mulut
yang ditulis oleh mukhorij/mudawim.
Sebagai ilustrasi: Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ahmad misalkan
dari si G dari si F dari si E dari si D dari si C dari sahabat dari Rosulullah.
Misalkan ada yang member kabar kepada kita bahwa saudara kita suka makan jamur.
Itu kata si G, si G kata si F, si F kata si E, si E kata si D, si D kata si C,
si C kata si B dan si B kata si A.
Ternyata setelah diteliti si D adalah seorang pembohong. Apakah
kita akan percaya berita tersebut? untuk masalah kedunyaan saja sudah kita
tolak apalagi dalam masalah agama. Mungkin saja berita itu tidak benar karena
dalam susunan orang yang mengabarkannya ada seorang pembohong.
Bisa jadi berita tersebut buatan si pembohong tersebut. Begitu pun
misalkan kita mendapat kabar bahwa Ahmad Dhani pernah ikut berperang dengan Pangeran
Diponegoro. Jelas, kabar ini akan kita tolak karena Ahmad Dhani dan Pangeran
Diponegoro tidak sezaman.
Pernahkah kita melihat kuis yang dulu ditayangkan oleh salah satu
stasiun tv swasta nasional. Ada 5 orang yang dimasukan secara terpisah dalam
kapsul kaca kedap suara yang diberi pembatas besi. satu orang berada di luar
dan memberitahu kata yang diperintahkan oleh MC, setiap akan diberitahu sekat
besi akan terbuka.Bila orang no 2 salah mendengar maka orang ke 3 sampai orang
terakhir akan lebih salah dalam memberitakan berita tersebut. Begitu lah halnya
hadits.
Dalam masalah keduniaan saja sudah tertolak apalai dalam masalah
agama. Kami pun merasa heran kepada saudara-saudara kita yang dalam masalah
keduniaan begitu selektif dalam menerima, mempercayai, dan bahkan mengamalkan
berita yang beredar tapi mereka tidak selektif dalam menerima, mempercayai dan
mengamalkan berita yang bermuatan agama. Untuk lebih jelas mengenai pembahasan
di atas, silahkan baca buku karya Asyraf bin Sa’id yang berjudul Hukum
Mengamalkan Hadits Dha’if.Walahu'alam bishowab.
DAFTAR PUSTAKA
Albani, Syaikh Muhammad Nashiruddin. Shifatu
Shalaati an-Nabiyyi Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallama min At-Takbiiri ilaa
At-Tasliimi Ka-annaka Taraahaa. Edisi Indonesia: Sifat Shalat Nabi SAW.
Pen: M. Thalib. Media Hidayah Yogyakarta, 2000. Cet. XV.
Ash-Shiddieqy,
M. Hasbi. Sejarah Dan Pengantar Ilmu Hadits. Bulan Bintang
Jakarta, 1991. Cet. X.
At-Taubah
No. 14, Th. IV, 1 Januari 2016.
Bukhori,
Abu Abdullah Muhammad bin Ismail. Shohih Bukhori. Darul Fikr Bairut,
2003.
Hassan,
A. Qadir. Ilmu Musthalah Hadits. CV. Diponegoro Bandung, 2002. Cet.
VIII.
Islam,
Persatuan. Kumpulan Keputusan Dewan Hisbah. Editor: Shiddiq Amieq Amien.
Persis Press Bandung, 2001. Cet. I.
Lathif,
Ahmad Sabiq bin Abdul Abu Yusuf. Hadits Lemah Dan Palsu Yang Populer Di
Indonesia.Pustaka Aal-Furqon Gresik, 2009.
Muslim,
Abu Husain bin Hijaj. Shohih Muslim. Darul Fikr Bairut, 2007.
Risalah No. 12 Th XXXXXV Maret 2018/Jumadits
Tsani 1439.
Sa’id,
Asyraf bin. Hukmu al ‘Amal bi al
Hadiits adh-Dha’iif. Edisi Indonesia: Hukum Mengamalkan Hadits Dha’if.
Pen: Neni Kurniati, Lc. Pustaka Azzam Jakarta, 2004. Cet. I.
Sholehuddin,
Wawan Shofwan. Hadis Maudu Dalam Istilah & Sejarah. CV. Andika
Bandung (tt).
-----.
Salat-Salat Bid’ah. Tanpa Penerbit. Cet. II Tahun 2004.
Syathibi.
al-I’tishom.Pen. Shalahuddin Sabki, Pustaka Azzam jakarta, 2010. Cet.
III.
Zakaria, A. al-Hidayah. Ibn Azka Press Garut, 2006. Cet. II.
-----.
Pokok-Pokok Ilmu Musthalah Hadits. Ibnu Azka Press Garut, 2014. Cet. I.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar