SERBA-SERBI IBADAH KURBAN - PEMUDA PERSIS KAB. SUMEDANG

Breaking

Post Top Ad

Kami pemuda pembela agama Pembangkit umat yang utama Bertabligh memikat hati yang suci Berdalilkan Qur’an dan Hadis Di-tanam iman disebar amal Memimpin jiwa dan akhlaqnya Membasmi bid’ah agama Berjihad, berdakwah, beruswah)* Bersatulah bersatulah bersatulah bersatulah Hai muslimin Siapa yang menentang Islam Musnahlah dalil dan hujahnyaWeb PEMUDA PERSIS SUMEDANG

Post Top Ad

Mangga bade Iklan palih dieu

Kamis, 09 Agustus 2018

SERBA-SERBI IBADAH KURBAN


Oleh M. Nurachman
(Penasihat PC.Pemuda Persatuan Islam Sumedang Selatan)

Kurban berasal dari kata Qoruba – Qorib artinya dekat, mendekati. Aqrob lebih dekat, Aqrobun kerabat dekat. Bila huruf Ro nya ditasydid jadi Qorroba - Qurban artinya mendekatkan, menghidangkan, mempersembahkan. (Muhammad Rahmat Najieb, Qurban Yang Disyari’atkan hal. 2).
Kurban adalah menyembelih hewan ternak; kambing (domba); sapi, atau unta pada tanggal 10 Dzulhijjah setelah sholat Idul Adha dan pada hari tasyrik. (Muhammad Rahmat Najieb, Qurban Yang Disyari’atkan hal. 10).
Ibadah kurban merupakan ibadah yang sangat tua di banding dengan ibadah-ibadah yang lainnya. Ibadah kurban sudah ada sejak zaman Nabi Adam. Berikut paparan sejarah kurban mulai dari zaman Nabi Adam sampai agama-agama di luar Islam.
A.    Kurban Pada Zaman Nabi Adam.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
۞وَٱتۡلُ عَلَيۡهِمۡ نَبَأَ ٱبۡنَيۡ ءَادَمَ بِٱلۡحَقِّ إِذۡ قَرَّبَا قُرۡبَانٗا فَتُقُبِّلَ مِنۡ أَحَدِهِمَا وَلَمۡ يُتَقَبَّلۡ مِنَ ٱلۡأٓخَرِ قَالَ لَأَقۡتُلَنَّكَۖ قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ ٱللَّهُ مِنَ ٱلۡمُتَّقِينَ ٢٧لَئِنۢ بَسَطتَ إِلَيَّ يَدَكَ لِتَقۡتُلَنِي مَآ أَنَا۠ بِبَاسِطٖ يَدِيَ إِلَيۡكَ لِأَقۡتُلَكَۖ إِنِّيٓ أَخَافُ ٱللَّهَ رَبَّ ٱلۡعَٰلَمِينَ ٢٨إِنِّيٓ أُرِيدُ أَن تَبُوٓأَ بِإِثۡمِي وَإِثۡمِكَ فَتَكُونَ مِنۡ أَصۡحَٰبِ ٱلنَّارِۚ وَذَٰلِكَ جَزَٰٓؤُاْ ٱلظَّٰلِمِينَ ٢٩فَطَوَّعَتۡ لَهُۥ نَفۡسُهُۥ قَتۡلَ أَخِيهِ فَقَتَلَهُۥ فَأَصۡبَحَ مِنَ ٱلۡخَٰسِرِينَ ٣٠فَبَعَثَ ٱللَّهُ غُرَابٗا يَبۡحَثُ فِي ٱلۡأَرۡضِ لِيُرِيَهُۥ كَيۡفَ يُوَٰرِي سَوۡءَةَ أَخِيهِۚ قَالَ يَٰوَيۡلَتَىٰٓ أَعَجَزۡتُ أَنۡ أَكُونَ مِثۡلَ هَٰذَا ٱلۡغُرَابِ فَأُوَٰرِيَ سَوۡءَةَ أَخِيۖ فَأَصۡبَحَ مِنَ ٱلنَّٰدِمِينَ ٣١
“Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): "Aku pasti membunuhmu!". Berkata Habil: "Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa". Sungguh kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan seru sekalian alam. Sesungguhnya aku ingin agar kamu kembali dengan (membawa) dosa (membunuh)ku dan dosamu sendiri, maka kamu akan menjadi penghuni neraka, dan yang demikian itulah pembalasan bagi orang-orang yang zalim. Maka hawa nafsu Qabil menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah, maka jadilah ia seorang diantara orang-orang yang merugi. Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana seharusnya menguburkan mayat saudaranya. Berkata Qabil: "Aduhai celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?" Karena itu jadilah dia seorang diantara orang-orang yang menyesal”. Q.S. al-Maidah (5) : 27-31.
Dari Ibnu Mas’ud, dari beberapa orang sahabat Rosullullah shollallahu ’alihi wa salam, bahwa Adam menikahkan setiap anak laki-lakinya dengan perempuannya kembaran anak laki-lakinya yang lain. Dan hendak menikahi saudara kembarannya yang menjadi kembaran Qobil bernama Laudza berparas cantik yang berusia lebih tua daripada Habil. Habil mempunyai kembaran bernama Iqlima.
            Hawa dan Adam mempunyai dua puluh pasang anak kembar. Kembaran Qobil adalah putri Adam yang paling cantik. Dan Qobil bermaksud menikahinya, tetapi Adam memerintahkan Habil untuk menikahi putri kembaran Qobil tersebut, sedang Adam sendiri berangkat ke Mekah untuk menunaikan ibadah Haji. Dalam pada itu, Adam menitipkan keluarganya kepada langit, tetapi langit menolaknya, lalu kepada bumi dan gunung, maka keduanyapun menolak. Kemudian Qobil menyatakan diri siap menjaga keluarganya itu.
            Maka keduanya pun berangkat mempersembahkan kurban yang diminta. Sebagai peternak kambing, Habil mempersembahkan kambing yang gemuk. Sedangkan sebagai seorang petani, Qobil mempersembahkan hasil pertanian yang jelek-jelek. Kemudian turun api yang menyambar kurban Qobil. Maka Qobil pun marah seraya berkata, “Aku akan membunuhmu agar tidak dapat menikahi saudara kembarku”. Habil menjawab, “Sesungguhnya Allah hanya menerima kurban dari orang-orang yang bertakwa”. Mendegar itu, Qobil marah dan memukulkan besi yang ada padanya hingga meninggal.(Ibnu Katsir, Qishosh al-Anbiya hal. 65-72 dan Said Yusuf Abu Aziz, Kisah Akhir Hayat Orang-Orang Zhalim hal. 11-19).
Untuk lebih jelas mengenai kisah antara Habil dan Qobil, silahkan baca buku karya Ibnu Katsir, Qishosh al-Anbiya dan Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilaly, Shohiih Qishoshil Anbiyaa’.
B.     Kurban Pada Zaman Nabi Ibrohim & Nabi Ismail.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ ٱلسَّعۡيَ قَالَ يَٰبُنَيَّ إِنِّيٓ أَرَىٰ فِي ٱلۡمَنَامِ أَنِّيٓ أَذۡبَحُكَ فَٱنظُرۡ مَاذَا تَرَىٰۚ قَالَ يَٰٓأَبَتِ ٱفۡعَلۡ مَا تُؤۡمَرُۖ سَتَجِدُنِيٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّٰبِرِينَ ١٠٢
Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar". Q.S. ash-Shooffaat (37) : 102.
            Nabi Ismail adalah anak Nabi Ibrohim yang sangat beliau harapkan, tetapi suatu hari beliau bermimpi untuk menyembelih putranya tersebut karena mimpi seorang Nabi merupakan wahyu. Kemudian Nabi Ibrohim menjelaskan hal itu kepada putranya agar hatinya mau menerimanya dengan penuh keridhoan sehingga tidak perlu menggunakan paksaan.
Nabi Ibrohim berkata, “Hai anakku! Sesungguhnya aku melihat dalam mimpiku bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu”. Maka Nabi Ismail pun menjawab, “Hai bapakku! Kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah, engkau akan mendapatkan dirimu termasuk orang-orang yang sabar”.
            Nabi Ibrohim pun lalu membaringkan Nabi Ismail seperti membaringkan hewan sembelihan dengan dahi melekat pada tanah. Kemudian Nabi Ibrohim pun menggoreskan pedangnya pada leher Nabi Ismail tetapi tidak melukainya sedikitpun. Lalu Allah memerintahkan untuk menghentikan penyembelihan itu dan mengganti penyembelihan itu dengan kambing putih yang matanya berwarna hitam dan mempunyai tanduk yang besar. Nabi Ibrohim melihat kambing itu terikat. (Ibnu Katsir, Qishosh al-Anbiya hal. 157-222).
Untuk lebih jelas mengenai kisah pengurbanan Nabi Ibrohim dan Nabi Ismail, silahkan baca buku karya Ibnu Katsir, Qishosh al-Anbiya danSyaikh Salim bin ‘Ied al-Hilaly, Kisah Shahih Para Nabi.
C.    Kurban Dalam Agama Tu dan Yang.
Jika disuatu daerah akan dibangun sebuah rumah atau jembatan, harus disediakan kurban untuk makhlus halus yang menempatinya, berupa kepala manusia atau hewan yang dikubur dengan upacara tertentu. Menurut kepercayaan mereka: jika mendekatkan diri pada makhluk halus atau poyang penghuni, ia akan memberi ijin membangun sesuatu di daerah kekuasaannya. Jika makhluk halus itu tidak setuju atau kurban tidak cukup, ia akan minta tambah dengan perantaraan seorang dukun yang kerasukan.
Jika mendirikan rumah adat di sembelihlah kambing hitam. Kepala kambing itu di kuburkan dan darahnya dipercikkan ke empat penjuru rumah. Jika mendirikan istana baru dikuburlah seorang hamba sahaya hidup-hidup atau kepala seorang perempuan atau anak kecil hasil pengayauan.(A.D. El. Marzdedeq, Parasit Akidah hal. 22 &28).
D.    Kurban Dalam Agama Weda.
Jika hendak membangun bangunan khusus terutama bangunan adat, ditanam kepala manusia, biasanya kepala seorang perempuan atau diganti dengan kepala binatang.(A.D. El. Marzdedeq, Parasit Akidah hal. 54).
E.     Agama Aria India.
Dewa Syiwa dipuja dengan kurban-kurban. (A.D. EL. Marzdedeq. Parasit Aqidah hal. 88).
F.     Agama Hindu Trimurti.
Saji besar dahulu dilakukan pengurbanan manusia, seorang gadis dikurbankan pada pesta 100 tahun  atau pesta 300 tahun, atau pada kematian seorang Maharaja. Sejak berkuasa raja-raja Islam di India, sajian untuk dewa berupa manusia itu dilarang, yang masih berjalan hanya satti dan baru diberhentikan pada masa Inggris. (A.D. EL. Marzdedeq. Parasit Aqidah hal. 91).
G.    Kurban Dalam Agama Aria Purba.
Dewa-dewa merupakan perwujudan alam. Api sebagai lambang matahari, udara, angin, dan tanah. Dewa-dewa yang terkenal, yaitu: Indra, Mithra, Anahita, Apas, Usa, Parona, Haumu, dan sebagainya.
Dewa-dewa itu diberi kurban, adakalnya dengan kurban manusia; seperti ketika Ratu Amesteris meninggal, empat belas anak bangsawan dikubur hidup-hidup sesuai dengan wasiatnya.
Pengurbanan ini akhirnya diperlunak dengan lembu atau kambing, biasanya dengan lembu jantan atau kambing betina. (A.D. El. Marzdedeq, Parasit Akidah hal. 108& 214).
H.    Kurban Dalam Agama Yunani & Romawi.
Jika bangunan baru diresmikan dilakukan pengurbanan hewan. Adakalnya seorang manusia dikubur hidup-hidup atau di tombak dan darahnya dipercikkan ke empat penjuru. Lalu dituangkan arak anggur. Dan seorang pendeta membaca mantera sambil tangannya memegang daun tangkai oak.
Jika bangunan itu telah siap pakai, datanglah raja membawa gunting besar. Tali berupa pita dari kulit dibentangkan pada setiap pintu masuk.
I.       Kurban Di Mesir.
Gadis tercantik dikurbankan untuk dewa sungai Nil.
J.      Kurban Di Irak.
Di daerah Kan’an, Irak, bayi-bayi dikurbankan kepada dewa Baal.
K.    Kurban Di Meksiko.
Suku Aztec di Meksiko, mengurbankan jantung dan darah manusia kepada dewa Matahari.(M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah XI:283 & Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi hal. 226).
L.     Kurban Di Eropa.
Orang-orang Viking di Eropa Timur yang tadinya mendiami Skandinavia mengurbankan para pemuka agama mereka kepada dewa perang “Odin”.(M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah XI:283).
M.   Kurban Di Arab Sebelum Masuknya Islam.
1.      Dikisahkan Amr bin Luhay mempunyai pembantu dari jenis jin. Jin ini memberitahukan kepadanya bahwa berhala-berhala kaum Num (Wud, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq dan Nasr) terpendam di Jiddah. Maka dia datang ke sana dan mengangkatnya, lalu membawanya ke Tihamah. Setelah tiba musim haji, dia menyerahkan berhala-berhala itukepada berbagai kabilah. Akhirnya berhala-berhala itu kembali ketempat asalnya masing-masing, sehingga setiap kabilah dan di setiap rumah hampir pasti ada berhalanya. Mereka juga memenuhi Masjidil Harom dengan berbagai macam berhala dan patung. Ada 360 berhala di Masjidil Harom. Berhala-berhala itu di sebut NUSHUB (yang berdiri atau yang ditancapkan).
Sa’id bin Musayyab telah menegaskan bahwa binatang-binatang ternak diperuntukkan bagi thoghut-thoghut mereka. Amr bin Luhay adalah orang yang pertama yang mempersembahkan onta untuk berhala. Shohih Bukhori I:499.
Unta yang di kurbankan untuk berhala itu berjumlah 100.000 ekor unta.
Baik pila diketahui bahwa bangsa Arab menyembah berhala, berhala ini adalah sebagai perantara kepada Tuhan, jadi pada hakekatnya bukan berhala-berhala itu yang mereka sembah.
أَلَا لِلَّهِ ٱلدِّينُٱلۡخَالِصُۚ وَٱلَّذِينَٱتَّخَذُواْ مِن دُونِهِۦٓ أَوۡلِيَآءَ مَا نَعۡبُدُهُمۡ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَآ إِلَى ٱللَّهِ زُلۡفَىٰٓ إِنَّ ٱللَّهَ يَحۡكُمُ بَيۡنَهُمۡ فِي مَا هُمۡ فِيهِ يَخۡتَلِفُونَۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَهۡدِي مَنۡ هُوَكَٰذِبٞ كَفَّارٞ ٣
“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya". Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar”. Q.S. az-Zumar (39) : 3.
Mereka melakukan hal itu dengan maksud taqorub (mendekatkan diri kepada Allah). Perbuatan mereka diabadikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam Q.S. al-An’am (6) : 136.
وَجَعَلُواْ لِلَّهِ مِمَّا ذَرَأَ مِنَ ٱلۡحَرۡثِ وَٱلۡأَنۡعَٰمِ نَصِيبٗا فَقَالُواْ هَٰذَا لِلَّهِ بِزَعۡمِهِمۡ وَهَٰذَا لِشُرَكَآئِنَاۖ فَمَا كَانَ لِشُرَكَآئِهِمۡ فَلَا يَصِلُ إِلَى ٱللَّهِۖ وَمَا كَانَ لِلَّهِ فَهُوَ يَصِلُ إِلَىٰ شُرَكَآئِهِمۡۗ سَآءَ مَا يَحۡكُمُونَ ١٣٦
“Dan mereka memperuntukkan bagi Allah satu bagian dari tanaman dan ternak yang telah diciptakan Allah, lalu mereka berkata sesuai dengan persangkaan mereka: "Ini untuk Allah dan ini untuk berhala-berhala kami". Maka saji-sajian yang diperuntukkan bagi berhala-berhala mereka tidak sampai kepada Allah; dan saji-sajian yang diperuntukkan bagi Allah, maka sajian itu sampai kepada berhala-berhala mereka. Amat buruklah ketetapan mereka itu”.
        Untuk mendekatkan diri kepada dewa-dewa itu, maka oleh bangsa Arab disajikan kepadanya kurban-kurban dari binatang ternak. Bahkan kepada dewa-dewa.(Ibnu Hisyam, Siroh Nabawiyah I:60-68; Syaikh shofiyyurrohman al-Mubarokfuri, Siroh Nabawiyah hal. 23-32; K.H.E. Abdurrahman, Renungan Tarikh hal. 308-318).
2.      Abdul Muththolib, ketika hendak menggali kembali lagi sumur Zam-zam, mendapat banyak kesulitan serta rintangan. Namun, dia dapat juga mengatasinya. Oleh karena itu, ia bernazar, bila ia dikarunia sepuluh anak laki-laki serta umurnya panjang sehingga mencapai usia dewasa,serta mampu pula membantunya pada saat-saat menemukan kesulitan kelak, ia akan menyembelih salah seorang dari putranya itu didekat Ka’bah.
Abdul Muththolib dengan hati tulus memenuhi nazarnya. Kemudian dilkukan undian atas kesepuluh anaknya itu dihadapan Hubal (berhala yang berada di sekitar Ka’bah). Undian pun jatuh kepada anaknya yang bernama Abdullah (ayah Rosullullah saw). Kaumnya, yakni kaum Quraisy, berkeberatan Abdullah dijadikan sebagai kurban untuk memenuhi nazarnya.
Abdul Muththolib merasa khawatir serta cemas menyalahi nazarnya, ia pun pergi ke Madinah untuk bertanya kepada Arrofat seorang dukun (Syam). Diterangkannya segala sesuatu yang telah terjadi atas dirinya. Setelah itu ditanyakan pula jumlah unta yang mesti disembelih bila ia mengurungkan penyembelihan anaknya (Abdullah).
Arrofat menjelaskan bahwa bila undian yang dilakukan dihadapan Hubal itu jatuh kepada anaknya yang bernama Abdullah, maka hendaklah ditebus dengan penyembelihan sepuluh ekor unta untuk setiap undian. Akan tetapi, apabila undian jatuh pada unta maka terbebaslah Abdullah dari tuntutan nazar. Kemudian Abdul Muththolib kembali ke Mekkah.
Sesampainya di Mekkah, Abdul Muththolib segera melakukan undian untuk mengundi unta dan Abdullah. Setiap kali undian terjadi, selalu jatuh pada nama Abdullah. Dan setiap kali undian jatuh pada nama Abdullah, dilakukan pengundian sepuluh ekor unta sebagai penebusnya. Demikian undian tersebut berkali-kali diulangi, tetapi senantiasa jatuh pada nama Abdullah, bukan pada nama unta. Baru setelah sepuluh kalinya, undian jatuh pada nama unta. Maka setelah itu barulah Abdullah terbebas dari tuntutan nazar, dan dilakukan sembelihan sebagai penebus dengan jumlah sepuluh unta sama dengan seratus unta. Daging unta itu dibagi-bagikan untuk dimakan manusia, hewan, dan burung.(Prof. DR. Ahmad Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam hal. 68-69; Syaikh shofiyyurrohman al-Mubarokfuri, Siroh Nabawiyah hal. 46-47; Ibnu Hisyam, Siroh Nabawiyah I:124-128; K.H.E. Abdurrahman, Hukum Qurban, ‘Aqiaqh, dan Sembelihan hal. 4-5).
3.      Dalam hadits, Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan sebelum datangnya Islam ada dua orang yang masuk Surga dan masuk Neraka dikarenakan berkurban hanya dengan seekor lalat,
Thoriq bin Shihab menuturkan bahwa Rosulullah bersabda: “Ada orang yang masuk Surga karena seekor lalat, dan ada orang yang masuk Neraka karena seekor lalat pula’. Para sahabat bertanya, ‘Bagaimana hal itu, ya Rosulullah?’. Beliau menjawab, ‘Ada orang yang berjalan melewati suatu kaum yang mempunyai berhala, yang mana tidak seorang pun yang melewati berhala itu sebelum mempersembahkan kepadanya suatu kurban. Ketika itu, berkatalah mereka kepada salah seorang dari kedua orang tersebut, ‘Persembahkanlah kurban kepadanya’. Dia menjawab, ‘Aku tidak mempunyai sesuatu yang dapat kupersembahkan kepadanya’. Mereka berkata kepadanya lagi, ‘Persembahkan, sekalipun seekor lalat’. Lalu orang itu mempersembahkan seekor lalatdan mereka pun memperkenankan dia untuk meneruskan perjalanannya. Maka dia masuk Neraka karenanya. Kemudian berkatalah mereka kepada seorang yang lain, ‘Persembahkanlah kurban kepadanya’. Dia menjawab, ‘Aku tidak patut mempersembahkan sesuatu kurban kepada selain Allah’. Kemudian mereka memenggal lehernya. Kerenanya, orang ini masuk Surga”. H.R. Ahmad.(Syaikh Muhammad at-Tamimi, Kitab Tauhid hal. 41-42).
Ketika Islam datang dan dibawa oleh Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wa sallam yang ditandai dengan turunnya Q.S. al-Kautsar (102) : 1-3.
إِنَّآ أَعۡطَيۡنَٰكَ ٱلۡكَوۡثَرَ ١فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَٱنۡحَرۡ ٢إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ ٱلۡأَبۡتَرُ ٣
“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus”.
Melalui Q.S. al-Kautsar (102) :1-3 ini,Allah subhanahu wa ta’ala hendak menerangkan:
1.      Membantah Upacara-Upacara Dan Keyakinan-Keyakinan Yang Berkembang Seputar Upacara Kurban Yang Dilakukan Oleh Agama-Agama Di Luar Islam.
Dalam agama-agama lain, daging kurban dipersembahkan kepada dewa sedangkan dalam Islam, daging kurban di “persembahkan” untuk manusia. Ini menggambarkan bagaimana Islam sangat memperhatikan asfek sosial, sedangkan agama diluar Islam mencerminkan kemubadziran. Lebih tegas lagi Allah subhanahu wa ta’ala menerangkan dalam Q.S. al-Hajj (22) : 37 bahwa yang sampai pada Allah itu bukan dagingnya atau pun darahnya tetapi takwanya,
لَن يَنَالَ ٱللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَآؤُهَا وَلَٰكِن يَنَالُهُ ٱلتَّقۡوَىٰ مِنكُمۡۚ كَذَٰلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمۡ لِتُكَبِّرُواْ ٱللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَىٰكُمۡۗ وَبَشِّرِ ٱلۡمُحۡسِنِينَ ٣٧
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik”.
K.H. E. Abdurrahman berkata, “Ayat tersebut tidak dapat dijadikan dalil bahwa kurban al-hadyu itu dapat diganti dan dibagikan uangnya atau ditukar dengan barang lainnya. Ayat ini menyatakan bila al-hadyu itu sekedar penyembelihan binatang ternak, maka sangatlah mudah dan tidak memerlukan jumlah uang yang banyak sebab orang bukan Islam pun dapat melakukannya. Perbuatan upacara ibadah tersebut baru ada nilainya bila yang menjadi pendorong, pembangkitnya, adalah ketakwaan, dengan niat untuk berbakti kepada Allah swt. Dengan ikhlas, semata-mata karena keridaan Allah. Sebagiamana rukuk dan sujud dalam salat, atau lapar dan dahaga dalam shaum, sama sekali tidak mempunyai nilai bila dilakukan bukan karena iman dan tidak ihtisaban, tidak disertai keikhlasan, serta dikerjakan tidak sesuai dengan yang telah digariskan dan diatur oleh syari’, yaitu Allah dan Rasul-Nya”.(K.H.E. Abdurrahman, Hukum Qurban, ‘Aqiqah, Dan Sembelihan hal. 18)
Tak sedikit di kalangan umat Islam pun ada yang mempunyai keyakinan bahwa hewan yang di kurbankan akan jadi kendaraannya nanti di akhirat ketika meniti jembatan shirothol mustaqim, sebagaimana yang diterangkan oleh sebuah hadits yang berbunyi,
“Berkurbankah (dengan hewan) yang gemuk, karena hewan itu untuk kendaran kamu di atas shirothol mustaqim”.
Ibnu Sholah berkata, “Hadits ini tidak di kenal dan tidak kuat”.
Syaikh M. Nashiruddin al-Bani berkata, “Tidak ada sumbernya lafazh hasits tersebut”.(A. Zakaria, al-Hidayah III:270).
Selain hadits tersebut ghorib (tidak dikenal), hadits tersebut pun bertentangan dengan Q.S. al-Hajj (22) : 37 di atas, bahwa yang akan sampai kepada Allah itu bukan daging dan darahnya tapi takwanya.
Ada juga yang melarang pengurban memakan daging kurban dikarenakan salah satunya adalah khawatir “hewan” yang nanti akan di tunggangi di akhirat fisiknya tidak sempurna. Padalah dalam Q.S. al-Hajj (22) : 28 dinyatakan bagi pengurban boleh memakan sebagian daging hewan yang di kurbankan.
(#rßygô±uŠÏj9yìÏÿ»oYtBöNßgs9(#rãà2õtƒurzNó$#«!$#þÎû5Q$­ƒr&BM»tBqè=÷è¨B4n?tã$tBNßgs%yu.`ÏiBÏpyJÎgt/ÉO»yè÷RF{$#((#qè=ä3sù$pk÷]ÏB(#qßJÏèôÛr&ur}§Í¬!$t6ø9$#uŽÉ)xÿø9$#ÇËÑÈ
“Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir”.
Ada cerita yang menarik tentang bahayanya mengamalkan hadits palsu tersebut. Disebutkan disuatu daerah ada seorang ibu yang akan menitipkan iuran hewan kurban kepada panitia kurban. Setelah sampai di sekretariat panitia, ternyata tinggal satu lagi jatah untuk 1 sapi. Sudah ada 6 orang orang yang sudah daftar, setelah dilihat ternyata ke-6 orang yang sudah daftar tersebut laki-laki semua. Dalam pikirnya, nanti di akhirat manusia akan dikumpulkan dalam keadaan tidak berbusana dan akan menaiki hewan kurban yang berjalan berlunggak-lenggok dengan kulit hewan yang kasar, lalu meniti jembatan shirothol mustaqim. Diatas sapi, dia sendiri wanitanya dan diapit oleh 6 laki-laki dengan bersandar pada hadits palsu tersebut. Apa yang terjadi? Tanpa dinyana ternyata ibu tersebut tidak jadi melaksanakan ibadah kurban.
2.      Membantah Akan Adanya Hewan Suci Yang Tidak Boleh Dikurbankan Sebagaimana Yang Menjadi Keyakinan Agama Hindu. 
Di India dari dulu hingga sekarang banyak terjadi “gesekan” antara umat Hindu dan umat Islam disebabkan ibadah kurban ini. Bahkan salah satu faktor terjadinya desintegrasi India dengan berdirinya negara Pakisatan adalah sentimen agama yaitu masalah penyembelihan sapi oleh umat Islam dan pensakralan sapi oleh umat Hindu. Di satu sisi umat Hindu sangat mengeramatkan dan menganggap suci hewan sapi dikarenakan mereka berkeyakinan bahwa sapi dilahirkan bersama dengan dewa Brahma. Sapi biasa dirasuki roh-roh suci, dan pitara. Sapi juga merupakan kendaraan dewa Syiwa, di satu sisi yang lain, umat Islam pun diperintahkan untuk berkurban salah satunya dengan menyembelih sapi.(A.D. EL. Marzdedeq, Parasit Akidah hal 89).
3.      Membantah Akan Adanya Larangan Memakan Daging Hewan.
Asal mulanya timbul Vegetarian atau hanya memakan tumbuh-tumbuhan seperti sayur-sayuran dan buah-buahan, berawal dari paham filsafat Pythagoras. Filsafat Pythagoras adalah semacam filsafat keagamaan atau boleh dikatakan merupakan tarikat (mistik). Pythagoras adalah seorang filosof yang menganut faham Reincarnatie yaitu suatu madzab yang mula-mulanya di India. Madzab ini boleh jadi menjalar kepada kaum Pythagoras itu dengan perantara bangsa Persia (Iran).
Sebagai kelanjutan dari pendapat Pythagoras tentang roh itu, maka kaum Pythagoras menganjurkan memanterang makan daging hewan. Menurut mereka, binatang adalah tempat jiwa manusia hinggap menurut paham Reincarnatie dari kaum Pythagoras. Sebab itu binatang tersebut tidak boleh di makan. Siapa yang makan daging binatang, dia berdosa, karena memakan daging makhluk tempat jiwa manusia hinggap. Boleh jadi jiwa yang hinggap pada binatang itu, jiwa bapaknya, jiwa ibunya, atau jiwa saudaranya.(Muchtar jahja, Pokok-Pokok Filsafat Yunani hal. 33-34).
4.      Allah Hendak Menerangkan Akan Keterjaminan Atau Kelestarian Hewan Kurban.
Para ilmuan telah menjelaskan ada hewan purba yang telah dinyatakan punah, salahsatunya adalah Dinosaurus. Terlepas dari teori yang dikemukakan oleh para ilmuan akan sebab kemusnahan Dinosaurus dikarenakan oleh hujan meteor, yang menjadi pembahan disini adalah karena Dinosaurus bukan hewan yang diperuntukan untuk kurban sehingga kelestarian atau keberaannya tidak dijamin oleh Allah subhanahu wa ta’ala.
Bandingkan dengan sapi, unta, atau kambing yang yang disyariatkan menjadi hewan kurban kelestariannya Allah jamin sampai hari kiamat.
Ust. H. Wawan Hermawan M.S memberikan ilustrasi dan berkata, ”Sebagai perbandingan, coba perhatikan kucing. Kucing adalah hewan yang ketika melahirkan hanya butuh waktu siklus 4 bulan sekali dengan sekali melahirkan bisa 4-6 anak sekaligus. Sedangkan sapi sekali melahirkan butuh siklus 1 tahun dengan sekali melahirkan hanya satu ekor anak sapi saja itupun tidak bisa langsung di sembelih, harus menunggu setidaknya dua tahun sampai bisa di sembelih. Tapi realitanya banyak jongko-jongko di pasar yang menjajakan daging sapi, rumah makan-rumah makan yang menghidangkan sup buntut sedangkan kita sudah pada mafhum kalau buntut atau ekor sapi hanya ada satu. Bandingkan dengan kucing, walaupun sekali melahirkan banyak anak tapi kita sulit untuk menemukan keberadaan kucing. Bila kita di suruh untuk mengumpulkan 200 ekor kucing dan 200 ekor sapi, kira-kira kita sanggup mengumpulkan yang mana? Ini mengisyaratkan akan keterjaminan Allah terhadap hewan kurban. Logika sederhananya, tidak mungkin Allah memerintahkan suatu ibadah bila tidak dengan keterjaminan sarana ibadah tersebut”.
Disebagian sekolah baik itu tingkat dasar, menengah, atau atas sering kita lihat ada yang mengintruksikan semua siswanya untuk mengumpulkan sejumlah uang untuk dibelikan hewan kurban dengan tujuan pendidikan. Tentu hal ini tidak bisa dikatakan sebagai kurban karena kurban sudah ditentukan bahwa hewan unta maksimal untuk sepuluh orang, sapi maksimal untuk tujuh orang, dan kambing untuk satu orang. Kalau alasannya untuk pendidikan, caranya guru yang dipandang sudah mampu berkurban dan atau orang tua/wali siswa membeli hewan kurban baik itu personal atau iurang sesuai dengan ketentuan hewan kurban yang telah disebutkan di atas, lalu disembelih di lingkungan sekolah dan disaksikan oleh semua siswa.
Dimasyarakat, kita saksikan ada yang berpendapat bahwa tidak boleh kurban bila tidak ‘aqiqah dulu, bila demikian bahwa orang yang akan berkurban tidak boleh kurban sebelum ‘aqiqah dulu dan meng’aqiqahi diri sendiri, atau meng’aqiqahi orang yang telah meninggal dunia, telah berkeyakinan bahwa ‘aqiqah adalah wajib?. Padahal hukum ‘aqiqah hanya sunnat saja.
Dalam hadits disebutkan bahwa yang sunat meng’aqiqahi itu bukan diri kita tapi orang tua kita, itupun ketika kita berusia tujuh hari bukan setelah meninggal dunia, artinya ‘aqiqqah itu merupakan ibadah yang terpaut oleh waktu.
َوَعَنْ سَمُرَةَ رضي الله عنه أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ( كُلُّ غُلَامٍ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيقَتِهِ, تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ, وَيُحْلَقُ, وَيُسَمَّى ) رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ, وَصَحَّحَهُ اَلتِّرْمِذِيّ
“Setiap anak (bayi) adalah tergadai dengan ‘Aqiqanya. Yang (harus) disembelih pada hari ke 7 (dari kelahiran), juga diberi nama serta dicukur rambutnya”.H.R. Imam yang lima dan dinyatakan shohih oleh Tirmidzi; Nailu al-Authoor, V:149.
َوَعَنْ سَمُرَةَ رضي الله عنه أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ( كُلُّ غُلَامٍ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيقَتِهِ, تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ, وَيُحْلَقُ, وَيُسَمَّى ) رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ, وَصَحَّحَهُ اَلتِّرْمِذِيّ
“Setiap anak (bayi) adalah tergadai dengan ‘Aqiqanya. Yang (harus) disembelih pada hari ke 7 (dari kelahiran), juga diberi nama serta dicukur rambutnya”.H.R. Imam yang lima dan dinyatakan shohih oleh Tirmidzi; Nailu al-Authoor, V:149.
“Hadits itu menjadi dalil bahwa waktu ‘aqiqah adalah pada hari ke tujuh dari hari kelahiran, dan bahwa kesempatan ‘aqiqah hilang setelah lewat hari ke tujuh, dan gugur (tidak harus di ‘aqiqahkan) manakala bayi itu meninggal dunia sebelum hari ke tujuh”. Nailu al-Authoor, V:150.(A. Zakaria, al-Hidayah III:230-232).
Ada orang yang ketika berkurban meniatkan menghadiahkan pahala kurban kepada orang yang telah meninggal apakah hal tersebut diperbolehkan dan pahalanya akan sampai kepada mayit?. Banyak ayat-ayat Qur’an yang menerangkan akan ketidak sampainya pahala tersebut sebagai mana diterangkan oleh ayat-ayat berikut ini:
وَٱتَّقُواْ يَوۡمٗا لَّا تَجۡزِي نَفۡسٌ عَن نَّفۡسٖ شَيۡ‍ٔٗا وَلَا يُقۡبَلُ مِنۡهَا عَدۡلٞ وَلَا تَنفَعُهَا شَفَٰعَةٞ وَلَا هُمۡ يُنصَرُونَ ١٢٣
“Dan takutlah kamu kepada suatu hari di waktu seseorang tidak dapat menggantikan seseorang lain sedikitpun (dosa dan pahala seseorang tidak dapat dipindahkan kepada orang lain) dan tidak akan diterima suatu tebusan daripadanya dan tidak akan memberi manfaat sesuatu syafa´at kepadanya dan tidak (pula) mereka akan ditolong”. Q.S. al-Baqoroh (2) : 123.
لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفۡسًا إِلَّا وُسۡعَهَاۚ لَهَا مَا كَسَبَتۡ وَعَلَيۡهَا مَا ٱكۡتَسَبَتۡۗ .......
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya......”. Q.S. al-Baqoroh (2) : 286.
قُلۡ أَغَيۡرَ ٱللَّهِ أَبۡغِي رَبّٗا وَهُوَ رَبُّ كُلِّ شَيۡءٖۚ وَلَا تَكۡسِبُ كُلُّ نَفۡسٍ إِلَّا عَلَيۡهَاۚ وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٞ وِزۡرَ أُخۡرَىٰۚ ثُمَّ إِلَىٰ رَبِّكُم مَّرۡجِعُكُمۡ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمۡ فِيهِ تَخۡتَلِفُونَ ١٦٤
“Katakanlah: "Apakah aku akan mencari Tuhan selain Allah, padahal Dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu. Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain (masing-masing orang memikul dosanya sendiri-sendiri). Kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan".Q.S. al-An’aam (6) : 164.
وَقَالَ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ لِلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّبِعُواْ سَبِيلَنَا وَلۡنَحۡمِلۡ خَطَٰيَٰكُمۡ وَمَا هُم بِحَٰمِلِينَ مِنۡ خَطَٰيَٰهُم مِّن شَيۡءٍۖ إِنَّهُمۡ لَكَٰذِبُونَ ١٢وَلَيَحۡمِلُنَّ أَثۡقَالَهُمۡ وَأَثۡقَالٗا مَّعَ أَثۡقَالِهِمۡۖ وَلَيُسۡ‍َٔلُنَّ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ عَمَّا كَانُواْ يَفۡتَرُونَ ١٣
“Dan berkatalah orang-orang kafir kepada orang-orang yang beriman: "Ikutilah jalan kami, dan nanti kami akan memikul dosa-dosamu", dan mereka (sendiri) sedikitpun tidak (sanggup), memikul dosa-dosa mereka. Sesungguhnya mereka adalah benar-benar orang pendusta. Dan sesungguhnya mereka akan memikul beban (dosa) mereka, dan beban-beban (dosa yang lain) di samping beban-beban mereka sendiri, dan sesungguhnya mereka akan ditanya pada hari kiamat tentang apa yang selalu mereka ada-adakan”. Q.S. al-Ankabut (29) : 12-13.
وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٞ وِزۡرَ أُخۡرَىٰۚ وَإِن تَدۡعُ مُثۡقَلَةٌ إِلَىٰ حِمۡلِهَا لَا يُحۡمَلۡ مِنۡهُ شَيۡءٞ وَلَوۡ كَانَ ذَا قُرۡبَىٰٓۗ إِنَّمَا تُنذِرُ ٱلَّذِينَ يَخۡشَوۡنَ رَبَّهُم بِٱلۡغَيۡبِ وَأَقَامُواْ ٱلصَّلَوٰةَۚ وَمَن تَزَكَّىٰ فَإِنَّمَا يَتَزَكَّىٰ لِنَفۡسِهِۦۚ وَإِلَى ٱللَّهِ ٱلۡمَصِيرُ ١٨
“Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan jika seseorang yang berat dosanya memanggil (orang lain) untuk memikul dosanya itu tiadalah akan dipikulkan untuknya sedikitpun meskipun (yang dipanggilnya itu) kaum kerabatnya. Sesungguhnya yang dapat kamu beri peringatan hanya orang-orang yang takut kepada azab Tuhannya (sekalipun) mereka tidak melihat-Nya dan mereka mendirikan sembahyang. Dan barangsiapa yang mensucikan dirinya, sesungguhnya ia mensucikan diri untuk kebaikan dirinya sendiri. Dan kepada Allahlah kembali(mu)”. Q.S. Faatir (35) : 18.
إِن تَكۡفُرُواْ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَنِيٌّ عَنكُمۡۖ وَلَا يَرۡضَىٰ لِعِبَادِهِ ٱلۡكُفۡرَۖ وَإِن تَشۡكُرُواْ يَرۡضَهُ لَكُمۡۗ وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٞ وِزۡرَ أُخۡرَىٰۚ ثُمَّ إِلَىٰ رَبِّكُم مَّرۡجِعُكُمۡ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمۡ تَعۡمَلُونَۚ إِنَّهُۥ عَلِيمُۢ بِذَاتِ ٱلصُّدُورِ ٧
“Jika kamu kafir maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman)mu dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu kesyukuranmu itu; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain (masing-masing memikul dosanya sendiri-sendiri). Kemudian kepada Tuhanmulah kembalimu lalu Dia memberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui apa yang tersimpan dalam (dada)mu”. Q.S. az-Zumar (39) : 7.
مَّنۡ عَمِلَ صَٰلِحٗا فَلِنَفۡسِهِۦۖ وَمَنۡ أَسَآءَ فَعَلَيۡهَاۗ وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّٰمٖ لِّلۡعَبِيدِ ٤٦
“Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, maka (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu menganiaya hamba-hamba-Nya”.Q.S. Fushilat (41) : 46.
أَلَّا تَزِرُ وَازِرَةٞ وِزۡرَ أُخۡرَىٰ ٣٨وَأَن لَّيۡسَ لِلۡإِنسَٰنِ إِلَّا مَا سَعَىٰ ٣٩
“(yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya”. Q.S. an-Najm (53) : 38-39.
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholeh”(HR. Muslim).
            Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin pernah ditanya: “Bolehkah menghadiahkan pahala berkurban kepada orang yang telah meninggal?”. Beliau menjawab: “Berkurban adalah sarana mendekatkan diri kepada Allah dengan menyembelih binatang kurban pada hari-hari kurban, yaitu hari Raya Kurban dan tiga hari setelahnya (hari-hari tasyrik) untuk mendekatkan diri kepada Allah. Perbuatan itu hukumnya sunnah bagi yang masih hidup atas nama dirinya dan keluarganya sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi. Jika seseorang berkurban atas nama dirinya dan keluarganya serta diniatkan agar pahalanya serta meniatkan pahalanya menjadi miliknya dan keluarga yang masih hidup dan yang telah meninggal (dikarenakan didikkan yang telah meninggal tersebut, pen), maka hal itu tidak mengapa. Adapun berkurban secara khusus atas nama orang yang telah meninggal, maka ada kondisi.
Pertama: Orang yang telah meninggal itu pernah berwasiat untuk hal tersebut. Bila ia memang pernah berwasiat demikian, maka penyembelihan kurban itu dilakukan sebagai pelaksanaan wasiat, hal ini berdasarkan firman Allah mengenai wasiat,
فَمَنۢ بَدَّلَهُۥ بَعۡدَ مَا سَمِعَهُۥ فَإِنَّمَآ إِثۡمُهُۥ عَلَى ٱلَّذِينَ يُبَدِّلُونَهُۥٓۚ إِنَّ ٱللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٞ ١٨١فَمَنۡ خَافَ مِن مُّوصٖ جَنَفًا أَوۡ إِثۡمٗا فَأَصۡلَحَ بَيۡنَهُمۡ فَلَآ إِثۡمَ عَلَيۡهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٞ رَّحِيمٞ ١٨٢
“Maka barangsiapa yang mengubah wasiat itu, setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Akan tetapi) barangsiapa khawatir terhadap orang yang berwasiat itu, berlaku berat sebelah atau berbuat dosa, lalu ia mendamaikan antara mereka, maka tidaklah ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. Q.S. al-Baqoroh (2) : 181-182.
Kedua ayat ini menunjukkan bahwa wasiat orang yang telah meninggal meski dilaksanakan selama wasiat itu tidak berupa perbuatan dosa.
Kedua: Berkurban atas nama orang yang telah meninggal tanpa ada wasiat. Mengenai hal ini ada perbedaan pendapat dikalangan ulama, apakah disyariatkan ataukah tidak. Diantara mereka ada yang mengatakan bahwa hal itu disyariatkan seperti halnya berkurban atas nama orang yang masih hidup dan seperti halnya bersedekah atas nama orang yang telah meningal.
Diantara mereka ada berpendapat bahwa hal itu tidak disyariatkan, karena tidak pernah ada sumbernya dari Nabi, yang mana sejumlah kerabat Nabi telah meninggal diwaktu beliau masih hidup, demikian juga para isteri beliau, dan selama itu pula beliau tidak pernah berkurban atas nama seorang pun dari mereka secara khusus, termasuk untuk tiga putri dan tiga putra beliau yang telah meninggal lebih dahulu, beliau tidak pernah berkurban atas nama salah seorang dari mereka. Juga pamannya, Hamzah yang syahid di medan Uhud, beliau tidak berkurban atas namanya. Tidak pulaatas isteri-isteri beliau yang telah meninggal lebih dahulu, yaitu Khodijah dan Zainab binti Khuzaimah. Seandainya hal itu termasuk yang disyariatkan, tentu Nabi telah melakukannya. Namun demikian, saya katakan, jika anda ingin berkurban atas nama orang yang telah meninggal, maka berkurbanlah atas nama diri anda sendiri dan keluarga anda serta niatkan pula bahwa pahala kurban itu juga untuk anda dan keluarga anda baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal, sebab karunia Allah itu sangat luas”.
            Dalam suatu kesempatan yang lain beliau juga pernah ditanya: “Apakah disunnahkan berkurban khusus bagi ayah misalnya, bila ia telah meninggal?”. Beliau menjawab: “Tidak termnasuk sunnah bila seseorang berkurban atas nama yang telah meninggal secara khusus. Yang sunnah adalah seseorang berkurban atas nama dirinya dan keluarganya, dan bila ia meniatkan atas nama keluarganya baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal, maka karunia Allah itu sangat luas, karena itu hal ini tidak mengapa. Adapun mengkhususkan untuk orang-orang yang telah meninggal tanpa menyertakan orang-orang yang yang masih hidup, maka hal ini tidak termasuk sunnah dan tidak pernah ada sumbernya dari Nabi bahwa beliau berkurban atas nama seseorang yang telah meninggal secara tersendiri”.(Hammud bin Abdullah al-Mathor, Ensiklopedia Bid’ah hal. 169-171). 
Untuk mengetahui lebih mendetail masalah Qurban, silahkan baca buku M. Rahmat Najieb, Qurban Yang Disyariatkan (Makna, Hukum, dan sejarah Qurban); Majalah RisalahNo. 8 Th. XXXXVII November 2009; K.H.E. Abdurrahman, Hukum Qurban, ‘Aqiqah, Dan Sembelihan.Wallahu a’lam bishshowab.








Sumber Bacaan
1.      Abu Muhammad Abdul Malik bin Hisyam al-Muafiri, as-Siroh an-Nabawiyah li Ibni Hisyam. Edisi Indonesia: Sirah Ibnu Hisyam. Pen: Fadhli Bahri, Lc. Darul Falah Bekasi, 2000. Cet. I.
2.      Departemen Agama RI, Terjemah dan Tafsir al-Qur’an. J-ART, 2005.
3.      Abu Abdullah Muhammad bin Ismail Bukhori, Shohih Bukhori. Darul Fikr Bairut, 2003.
4.      A.D.EL.Marzdedeq, Parasit Akidah. Syamil Cipta Media Bandung, 2005.
5.      M. Quraish Shihab,  Tarsir al-Misbah. Lentera Hati Tangerang, 2009. Cet. I.
6.      A. Zakaria, al-Hidayah. Ibn Azka Garut, 2006. Cet. II.
7.      Ibnu Katsir, Qishosh al-Anbiya’. Edisi Indonesia: Kisah Para Nabi. Pen: M. Abdul Ghoffar, Pustaka Azzam Jakarta, 2007. Cet. XIII.
8.      K.H.E. Abdurrahman, Hukum Qurban, ‘Aqiqah, Dan Sembelihan. Sinar Baru Algensindo Bandung,  2014. Cet. IX.
9.      K.H.E. Abdurrahman, Renungan Tarikh, Sinar Baru Algensindo Bandung, 2005. Cet. II.
10.  Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi. PT. Rineka Cipta Jakarta, 2009. Cet. IX.
11.  Majalah Risalah, No. 8 Th. XXXXVII, Dzulqo’dah 1430 / November 2009.
12.  Said Yusuf bin Abu Aziz, Tslasat wa Sittina Qish-shatan Min Niahayatizh zhalimin. Edisi Indonesia: Kisah Akhir Hayat Orang-Orang Zhalim. Pen. Abdur Rasyad Shidiq. Pustaka Al-Kautsar Jakarta, 2003. Cet. I.
13.  Syaikh Shofiyyurrohman al-Mubarokfuri, ar-Rohiqul Makhtum. Edisi Indonesia: Sirah Nabawiyah, Pen: Kathur Suhardi, Pustaka al-Kautsar Jakarta, 2014, Cet. XXXXI.
14.  Syaikh Muhammad at-Tamimi, Kitab Tauhid al-Ladzi Huwa Haqqullah alal-Abid. Edisi Indonesia: Kitab Tauhid Pemurnian Ibadah Kepada Allah, Pen: M. Yusuf Harun, Darul Haq Jakarta, 1999. Cet. IV.
15.  Muchtar Jahja, Pokok-Pokok Filsafat Yunani. Widjaya Jakarta, 1956.
16.  Muhammad Rahmat Najieb, Qurban Yang Disyari’atkan. Risalah Press Bandung, 2011.
17.   Hammud bin Abdullah al-Mathor, al-Bida’ wal Muhdatsatwama La Ashla Lahu. Edisi Indonesia: Ensiklopedia Bid’ah. Pen: Amir Hamzah Fachrudin. Darul Haq Jakarta, 2005.
18.  Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilaly, Shohiih Qishoshil Anbiyaa’. Edisi Indonesia: Kisah Shahih Para Nabi. Pen: M. Abdul Ghoffar E.M. Pustaka Imam Syafi’i, 2009. Cet. II.
19.  Ahmad Syalabi. Sejarah Dan Kebudayaan Islam. Pen. Prof. Dr. H. Mukhtar Yahya. PT. Pustaka al-Husna Baru Jakarta, 2003. Cet. VI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad

Responsive Ads Here