MENYINGKAP KABUT TEBAL AL-BARJANZI - PEMUDA PERSIS KAB. SUMEDANG

Breaking

Post Top Ad

Kami pemuda pembela agama Pembangkit umat yang utama Bertabligh memikat hati yang suci Berdalilkan Qur’an dan Hadis Di-tanam iman disebar amal Memimpin jiwa dan akhlaqnya Membasmi bid’ah agama Berjihad, berdakwah, beruswah)* Bersatulah bersatulah bersatulah bersatulah Hai muslimin Siapa yang menentang Islam Musnahlah dalil dan hujahnyaWeb PEMUDA PERSIS SUMEDANG

Post Top Ad

Mangga bade Iklan palih dieu

Selasa, 14 Agustus 2018

MENYINGKAP KABUT TEBAL AL-BARJANZI


Oleh M. Nurachman
(Penasihat PC. Pemuda Persatuan Islam Sumedang Selatan)

Banyak orang yang biasa membaca barjanzi bahkan tidak sedikit orang yang hafal diluar kepala isi kandungan kitab Barjanji. Tapi hanya sedikit yang tahu terjemah dari al-Barjanzi tersebut. Ini yang menyebabkan semakin tebalnya kabut yang menyelimuti al-Barjanzi sehingga mereka luput terhadap hal-hal yang mengandung penyimpangan dalam al-Barjanzi tersebut.
Judul asli kitab Barjanzi adalah Iqdul Jawahir yang disnisbatkan kepada pengarangnya yaitu Syaikh Ja’far al–Barjanzi bin Husain bin Abdul Karim yang lahir di Madinah 1690 dan wafat tahun 1766 M. Nama barjanzi sendiri dinisbatkan kepada negeri asal keturunannya yakni Barjin, suatu daerah d wilayah Kurdistan, Iraq.
Kitab al-Barjanzi adalah sebuah karya tulis seni sastra yang memuat kisah kehidupan Nabi SAW mulai dari asal keturunan, perjalanan, budi pekerti hingga berbagai keanehan yang menyelimuti kehidupan Nabi SAW. Garis besar paparannya sebagai berikut:
1.    Berisi silsilah keluarga Nabi SAW.
2.    Kehidupan masa kecil hingga remaja.
3.    Kisah perjalanannya  ke Syam hingga bertemu dengan pendeta Buhairo.
4.    Pernikahannya dengan Khodijah melalui perantara Maisaroh dan Abu Tholib.
5.    Tentang pekerti dan kerosulannya.
6.    Peristiwa Isra Mi’raj dan sikap kaum kafir Quraisy.
7.    Memuat berbagai macam keanehan di luar akal terutama di sekitar kelahirannya.
Selain dalam peringatan Maulid Nabi, kitab Barjanzi juga sering dibaca pada upacara-upacara seperti pada saat memberi nama bayi, khitanan, syukuran dll. Sayangnya pada acara-acara tersebut tidak dibaca syarah atau terjemahnya yang sekali lagi menyebabkan semakin tebalnya kabut penyimpangan yang menyelimuti kitab Barjanzi tersebut.
Kitab Barjanzi biasanya dibacakan dengan irama nazhom dalam beberapa versi lagu seperti:
-Rekbi, yakni membaca dengan perlahan.
-Hejaz, menaikan suara lebih tinggi dari pada rekbi.
-Ras, menaikan suara dengan lebih berirama.
-Husain, membaca dengan suara tenang.
-Nawahan, dengan suara tinggi dan berirama menyerupai lagu Ras.
-Masyri, melagukan dengan irama yang khas, dibaca secara berkelompok atau perorangan. (Majalah Risalah No. 1 Th. XXXXIII April 2005 hal. 68-69).
Menyingkap Kabut al-Barjanzi.
Di dalam kitab al-Barjanzi banyak paparan-paparan irasional yang sangat sulit diterima akal serta terkesan berlebihan. Seputar kelahiran Nabi, seperti:
1.      “WASUMI’A FII SHULBIHINNABIYYU SHOLLALLAAHU ‘ALAIHI WASALAMA DZAKAROLLAHUTA’ALAA WABBAAHU”
Artinya: “Dari tulang sulbi Ilyas terdengar Nabi SAW berdzikir kepada Allah dan bertalbiah.”
Bantahan:
Jarak kelahiran antara Ilyas dan Syaikh al-Barjanzi sangat jauh, tahu dari mana Syaikh al-Barjanzi bahwa Nabi berdzikir kepada Allah dan bertalbiah sedangkan Nabi pun belum lahir?
2.      “HAFIZAL ILAAGUKAROOMATAN LI MUHAMMADIN AABB-AHUL AMJAADA SHOUNAL LISMIHI.
            Artinya: “Allah telah memelihara kemuliaan Nabi Muhammad dengna nenek moyang yang mulia demi memelihara nama baiknya.”
Bantahan:
Syair ini bertentangan dengan Hadits shohih yang menerangkan bahwa ayah dan ibu nabi berikut kakek neneknya semua di neraka. Banyak hadits yang menerangkan akan hal itu diantaranya:
“Telah berkata Anas, bahwasanya seorang laki-laki pernah bertanya, ‘Ya Rosulullah! Dimanakah tempat ayah saya?’. Sabdanya, ‘Di neraka’. Maka tatkala orang itu berpaling hendak pergi, dipanggil oleh Rosulullah lalu sabdanya, ‘Sesungguhnya ayahku dan ayahmu di neraka”. H.R. Muslim.
Telah berkata Ibnu Mas’ud: Pernah datang dua orang anak Mulaikah kepada Nabi sambil berkata, “Bahwa ibu kami biasa memuliakan suaminya, dan belas kasihan kepada anaknya, serta menghormati tamu, tetapi sudah pernah menanam anaknya perempuan dengan hidup-hidup dimasa jahiliyah”. Maka Nabi  bersabda, “Ibumu itu di neraka”. Kata Ibnu Mas’ud, “Kemudian mereka berdua pergi, padahal kesusahan tampak pada muka keduanya, kemudian beliau menyuruh panggil kembali kedua anak itu, lalu kedua anak itu kembali, padahal kegirangan tampak pada mukanya sebab mengharap barangkali ada kejadian baru, lalu beliau bersabda, “Bahwa ibuku itu beserta dengan ibumu (di neraka)......”. H.R. Ahmad.
Untuk mengetahui lebih jauh mengenai masalah ini, silahkan baca buku A. Hassan, Soal-Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama hal. II:705-715. Untuk perbandingan, baca juga buku Abu Abdurrahman al-Atsri Memusuhi Penguasa Murtad hal. 143-177.
3.      “SUROOTUN SUROONUURUNN BUWWATI FII ASAARIIRI GHURORIHIMUKBAHIYYAH.”
Artinya: “Cahaya kenabian Muhammad memancar dari dahi ke dahi nenek moyangnya yang gemerlapan.”
4.      “WABADARO BADRUHUUU FII JABIINI JSDDIHII ‘ABDIL MUTHTHOLIBI WABNIHII ‘ABDILLAAH.”
Artinya: “Dan tampak jelas cahayanya yang gemerlapan pada kening kakeknya, Abdul Mutholib, dan putranya sayyid Abdullah.”
Bantahan:
Dua bait ini menerangkan adanya cahaya kenabian yang berpindah-pindah dan jatuh pada dahi Abdul Mutholib beserta anaknya  Abdullah. Pendapat tersebut merupakan sesuatu yang mustahil bahwa Allah meletakan cahaya kenabian pada kedua orang itu dan bukan kepada Nabi SAW sendiri. Tidak ada saksi sejarah yang menyampaikan bahwa kedua dahi Abdul Mutholib dan Abdullah bersinar dengan cahaya kenabian. Waroqoh bin Naufal, seorang pendeta terkemuka Pada saat itu tidak mengetahui ada cahaya kenabian pada selain Nabi SAW. (Majalah Risalah No. 1 Th. XXXXIII April 2005 hal. 70).
5.      “NAQOLAHUU ILAA MAQORRIHII MIN SHODAFATI AAMINATAZZUHRIYYAH.”
Artinya: ”Allah menetapkan cahaya tersebut ke dalam kandungan Siti Aminah az-Zuhriyyah.”
Bantahan:
Pendapat ini pun tidak bersumber. Sebab tidak ada saksi yang melihat Aminah penuh dengan cahaya saat mengandung Nabi SAW.
6.      “WA SHOBAA KULLU SHOBBILLI HUBUUBI NASIIMI SHIBAAH.”
Artinya: ”Keadaan sudah semakin memuncak, karena seluruh makhluk sudah semakin rindu dan berharap kelahirannya.”
7.      “WAKUSIYATIL ARDHU BA’DA THUULI JADBIHAA MINANNABAATI HULALAN SUNDUSIYYAH.”
Artinya: “Bumi yang sepanjang tahun gersang, mulai tumbuh tanaman-tanaman yang menjadikannya subur.”
8.      “WA AINA ‘ATITSTSIMAAQU WA ADNASYSYAJARU LIL JAANII JANAAH.”
Artinya: “Dan matanglah buah-buahan dari pohon-pohonnya yang cabang-cabangnya melengkung rendah sehingga mudah dipetik.”
9.      “WA NATHOQOT BIHAMILIHII KULLU DAABBATILLIQUROISYIMBIFIOOHHIL ALSUNIL ‘AROBIYYAH.”
Artinya: “Dan setiap binatang yang hidup milik suku Quraisy memperbincangkan kehamilan Siti Aminah dengan bahasa Arab yang fasih.”
10.  “WA TABAASYAROTWUHUUSYUL MASYAARIQI WAL MAGHOORIBI WA DAWAABBUHAL BAHRIYYAH.”
Artinya: “Binatang-binatang liar dari bumi belahan timur dan belahan barat riang gembira, begitu pula binatang-binatan laut. ”
11.  “WAHTASATIL ‘AWAALIMU MINAS SURUURI KA’SA HUMAYYAAH.”
Artinya: “Seluruh penghuni alam semesta juga riang gembira memperbincangkan berita bahagia ini.”
12.  “WA BUSYSYIROTIL JINNU BI IZHLAALI ZAMANIHII WANTAHAKATIL KAHAANATU WA ROHIBATIRRUHBAANIYYAH.”
Artinya: “Setiap jin gembira dengan tibanya zaman yang terang benderang, sedangkan ahli nujum, tukang sihir dan para rahib gentar karena ketakutan.”
Bantahan:
Dari beberapa bait diatas, Nampak keanehan-keanehan yang diceritakan oleh al-Barjanzi pada kelahiran Nabi SAW. Selain Nabi Sulaiman ‘alaihi salam, tidak ada seorang manusia pun yang dapat mengerti bahasa binatang dan jin. Dari mana syaikh al-Barjanzi mengetahui kegembiraan para penghuni langit, bumi dan laut tentang akan lahirnya seorang Nabi ?
Jin adalah ghoib hanya Allah lah yang tahu dan Nabi yang diridhoi-Nya. Sebagiamana yang tercantum dalam Q.S. al-Jinn (72) : 26-27.
عَٰلِمُ ٱلۡغَيۡبِ فَلَا يُظۡهِرُ عَلَىٰ غَيۡبِهِۦٓ أَحَدًا ٢٦ إِلَّا مَنِ ٱرۡتَضَىٰ مِن رَّسُولٖ فَإِنَّهُۥ يَسۡلُكُ مِنۢ بَيۡنِ يَدَيۡهِ وَمِنۡ خَلۡفِهِۦ رَصَدٗا ٢٧
“(Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya”.
Imam Syafi’i berkata: “Siapa yang mengaku dapat melihat jin, kami tolak kesaksiannya, kecuali Nabi”.
Ibnu Hajar menguraikan maksud ucapan Imam Syafi’i itu adalah “Yang mengaku melihatnya dalam bentuk asli. Adapun yang mengaku melihatnya setelah jin berbentuk dengan aneka bentuk hewan, kesaksiannya dapat diterima”.
Rosyid Ridho berkata, “Siapa yang berkata bahwa dia melihat jin, itu hanya ilusi atau ia melihat binatang aneh yang diduganya jin”. (M. Quraish Shihab, MA, Yang Tersembunyi hal. 77-78).
Tahu dari mana syaikh al-Barjanzi bahwa jin bergembira dengan tibanya zaman yang terang benderang?. Ini jelas bertentangan dengan Q.S. ash-Shooffat (37): 8-10.
لَّا يَسَّمَّعُونَ إِلَى ٱلۡمَلَإِ ٱلۡأَعۡلَىٰ وَيُقۡذَفُونَ مِن كُلِّ جَانِبٖ ٨  دُحُورٗاۖ وَلَهُمۡ عَذَابٞ وَاصِبٌ ٩ إِلَّا مَنۡ خَطِفَ ٱلۡخَطۡفَةَ فَأَتۡبَعَهُۥ شِهَابٞ ثَاقِبٞ ١٠
“Syaitan syaitan itu tidak dapat mendengar-dengarkan (pembicaraan) para malaikat dan mereka dilempari dari segala penjuru. Untuk mengusir mereka dan bagi mereka siksaan yang kekal. Akan tetapi barangsiapa (di antara mereka) yang mencuri-curi (pembicaraan); maka ia dikejar oleh suluh api yang cemerlang.”
Bahwa ketika Nabi SAW lahir maka jin/syaitan tidak dapat mencuri dengar dilangit dan mereka akan dikejar oleh panah-panah api. Tidak ada saksi bahwa pendeta Waroqoh bin Naufal gentar karena kehadiran Nabi.
13.  “WA AKHODZAHAL MAKHOODIU FAWALADATHU SHOLLALLAHU’ALAIHI WA SALLAMA NUUROYYATALA’LA-U SANAAH.”
Artinya: “Tak lama kemudian, ibunya melahirkan beliau dengan cahaya yang berkilauan memenuhi alam semesta.”
14.  “ASFAROT’ANHU LAILATUN GHORROO-U. ”
Artinya: “Karena sinarnya, malam menjadi terang.”
15.  “WA ZHOHARO’INDA WILAADATIHII KHOWAARIQU WA GHOROO-IBU GHOIBBIYYAH.”
Artinya: “Pada saat kelahiran Nabi SAW banyak terjadi peristiwa ghoib serta keanehan-keanehan yang luar biasa.”
16.  “WA GHOODHOT BUHAIROTU SAAWATA WAKAANAT BAINA HAMADZAANA WAQUMMA MINAL BILAADIL’AJAMIYYAH.”
Artinya: “Telaga-telaga yang berada antara kota Hamadzan dan Qum, di negeri Persia (Iran) menjadi kering kerontang.”
17.  “WA JAFFAT IDZKAFFA WAAKIFU MAUJIHATSTSAJJAAJI YANAA BII’UHAA TIIKALMIYAAH.”
Artinya: “Kekeringan itu disebabkan mata air yang biasanya mengalir secara melimpah, mendadak surut, berhenti.”
18.  “WAFAADHO WAADII SAMAAWATA WAHIYA MAFAAZATUN FII FALAATIWWABIRRIYYAH.”
Artinya: “Sedangkan wadi Samawat, airnya melimpah mengairi daratannya.”
19.  “WA SAMINATISYSYAARIFU LADAIHA WASYSYIYAAH.”
Artinya: “Unta-unta dan kambing-kambing miliknya menjadi gemuk.”
20.  “WANJAABA ‘ANJAANIBIHAA KULLU MULIMMATIWWA ROZIYYAH.”
Artinya: “Segala marabahaya dan bencana yang berasal dari lingkungan sekitarnya menjadi hilang lenyap.”
Bantahan:
Pendapat dari al-Barjanzi ini, sesuatu yang berlebihan tanpa menyampaikan sumber pengambilannya. Bila sama sekali tidak ditemukan nash yang kuat mengenai apa yang telah menjadi keyakinannya, maka dalam hal ini al-Barjanzi telah mengada-ngada sesuatu yang tidak pernah terjadi dan itu merupakan kebohongan sejarah.
Kabut lain yang menyelimuti kitab al-Barjanzi adalah mengenai tawasul seperti dalam bait berikut:
1.      “WA NATAWASSALU ILAIKA BISYAROFIDZDZAATIL MUHAMMADIYYAH.”
Artinya: “Kami bertawasul kepada-Mu dengan kemuliaan dzat Muhammad.”
Cara tawasul seperti ini termasuk syirik, tidak pernah dicontohkan oleh Nabi dan juga tidak dilakukan oleh para sahabat. Tawasul yang disyariatkan adalah dengan menyebut sifat-sifat Allah, dengan amal sholeh atau melalui doa orang yang masih hidup, dan bukan dengan orang yang sudah meninggal walaupun kedudukannya seorang Nabi.
Komentar Ulama Seputar Tawasul:
Abu Hanifah berkata, “Tidak ada dalil bagi seorang yang berdoa kepada Allah dengan perantara makhluk-Nya.”
Abu Yusuf berkata, “Aku tidak suka seorang berkata: dengan hak fulan.”
 Al-Qoduru berkata, “Dilarang berdoa kepada Allah dengan BIHAQQI makhluk tidak memiliki hak atas Allah.”
Ibnu Taimiyah berkata, “Orang yang berdoa dengan menggunakan kata-kata dengan hak malaikat-Mu, dengan hak para nabi-Mu, dengan hak nabi-Mu fulan, dengan hak rosul-Mu fulan, dengan Baitul Haram, dengan Zam-zam, Maqom Ibrohim, dengan gunung Thur atau Baitul Makmur merupakan doa yang tidak pernah dilakukan Nabi, sahabat dan para tabi’in. Bahkan Imam Abu Hanifah dan pengikutnya seperti Abu Yusuf menyatakan tidak boleh.” (H. Mahrus Ali, Mantan Kiai NU Menggugat Sholawat & Dzikir Syirik hal. 28-29).
Ibnu Taimiyah berkata, “Dan tawasul itu terkadang membawa kemusyrikan dimana dia meyakini bahwa Allah membutuhkan perantara manusia seperti halnya amir/raja atau hakim. Dan ini sama dengan telah menyerupakan Kholik kepada makhluknya”. (A. Zakaria, Materi Dakwah Untuk Da’i dan Muballigh hal. 96).
Dalam kesempatan lain Ibnu Taimiyyah berkata, ”Bertawasul kepada mayat sama dengan orang tenggelam minta bantuan kepada orang yang tenggelam atau orang yang terpenjara minta bantuan kepada orang yang terpenjara.”
Di tempat lain Ibnu Taimiyyah juga berkata, “Doa termasuk ibadah. Barangsiapa berdoa kepada makhluk yang sudah mati dan makhluk-makhluk lain yang ghaib serta meminta pertolongan kepada mereka, berarti ia telah membuat bid’ah dalam perkara agama, mempersekutukan Tuhan seluruh alam dan mengikuti jalan selain jalan orang-orang mukmin”. (Mukjizat Nabi & Keramat Wali hal. 11).
Syaikh Muhammad bin Abu Bakar ad-Damasyqi: “Terkadang ada orang berdoa dengan menggunakan kehormatan tokoh ulama atau aulinya, padahal mereka sendiri tidak pernah memerintahkan, bahkan melarangnya.”
Syaikh Sholeh bin Abdul Aziz berkata, Tawasul dengan orang yang sudah meninggal dunia adalah jalan menuju kesyirikan. Dan setiap sarana menuju kekufuran dan kesyirikan itu harus dicegah dan tidak boleh terulang lagi”.  Di tempat lain beliau menyatakan bahwa, “Minta tolong kepada para Nabi atau orang sholeh  setelah meninggal dunia adalah ajaran syirik.” (H. Mahrus Ali, Mantan Kiai NU Meluruskan Ritual-Ritual Kiai Ahli Bid’ah Yang Dianggap Sunnah hal. 579
 Syaikh Abdurrahman Hasan Alu Syaikh: “Tidak (boleh) minta tolong kepada Nabi dan juga orang lainnya. Aku benci perbuatan ini.”
2.      “WA BIASHHAABIHII UULILHIDAAYATI WALAFDHOLIYYAH.”
Artinya: “Dan dengan para sahabatnya mempunyai hidayah dan keutamaan.”
Keyakinan ini bertentangan dengan Q.S. al-Qoshshos (28) : 56.
إِنَّكَ لَا تَهۡدِي مَنۡ أَحۡبَبۡتَ وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ يَهۡدِي مَن يَشَآءُۚ وَهُوَ أَعۡلَمُ بِٱلۡمُهۡتَدِينَ  ٥٦
Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk”.
Hanya Allah-lah yang mempunyai dan dapat memberi hidayah, Nabi Muhammad SAW pun tidak mempunyai hidayah apalagi para sahabat.
Membaca barjanzi sepertinya tidak lengkap kalau tidak disertai pembacaan “Diba”, misalnya untuk “Marhaba” yang dilakukan secara berjamaah sambil berdiri (dengan maksud menghormat kepada arwah Nabi, pen). (Majalah Risalah No. 1 Th. XXXXIII april 2005 hal. 71). Hal ini jelas dilarang karena berasal dari agama yahudi.
“Alkisah pada hari raya paskah itu, imam-imam orang Aseni pun memimpin upacara. Mereka berdiri menghadap kearah negeri Mesir mengenang arwah Bani Isro’il yang mati dalam penyiksaan Fir’aun.” (Asar-asar Yahudi: 251). Ada juga hadits yang melarang akan hal ini:
“Janganlah kamu berdiri menghormatiku sebagaimana orang-orang ‘Ajam.” Sebagian dari mereka berdiri menghormati sebagian yang lain.” (H.R. Abu Dawud). (A.D. El. Marzdedeq, Parasit Akidah hal. 316).
Syair dalam “Diba” pun selain mengutarakan sanjungan kepada Nabi SAW juga mengandung penyimpangan dari kedudukan yang semestinya, seperti:
1.      “ANTA NUURUN FAUQONUURIN.” 
Artinya: “Engkaulah cahaya di atas cahaya.” 
Bantahan:
Keyakinan ini bertentangan dengan Q.S. an-Nur (24) : 35.
۞ٱللَّهُ نُورُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِۚ مَثَلُ نُورِهِۦ كَمِشۡكَوٰةٖ فِيهَا مِصۡبَاحٌۖ ٱلۡمِصۡبَاحُ فِي زُجَاجَةٍۖ ٱلزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوۡكَبٞ دُرِّيّٞ يُوقَدُ مِن شَجَرَةٖ مُّبَٰرَكَةٖ زَيۡتُونَةٖ لَّا شَرۡقِيَّةٖ وَلَا غَرۡبِيَّةٖ يَكَادُ زَيۡتُهَا يُضِيٓءُ وَلَوۡ لَمۡ تَمۡسَسۡهُ نَارٞۚ نُّورٌ عَلَىٰ نُورٖۚ يَهۡدِي ٱللَّهُ لِنُورِهِۦ مَن يَشَآءُۚ وَيَضۡرِبُ ٱللَّهُ ٱلۡأَمۡثَٰلَ لِلنَّاسِۗ وَٱللَّهُ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيمٞ ٣٥
Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.
“Allah-lah Cahaya langit dan bumi, cahaya diatas cahaya.” Jadi, yang menempati cahaya diatas cahaya adalah Allah SWT dan bukan Nabi SAW.
2.      “YAA KARIIMAL WAALIDAIN.”
Artinya: “Wahai Nabi yang kedua orang tuanya mulia.”
Bantahan:
Tidak benar kedua orang tua Nabi mulia. Malah nabi sendiri berkata kepada orang yang menanyakan dimana orang tuaku? Maka Nabi menjawab: orang tuamu dan orang tuaku sama-sama di neraka (sebagaimana hadits yang telah disebutkan di atas).
3.      “WASTAJAAROT YAA HASIIBII.”
Artinya: “Mohon perlindungan wahai kekasih.” 
Bantahan:
Ini pun jelas dilarang karena kita dianjurkan memohon perlindungan hanya kepada Allah semata bukan kepada Nabi sebagaimana dalam Q.S. al-Fatihah (1) : 5.
إِيَّاكَ نَعۡبُدُ وَإِيَّاكَ نَسۡتَعِينُ ٥
“Hanya kepada Engkaulah kami memohon dan hanya kepada Engkaulah kami memohon perlindungan.”
Dalam hadits juga disebutkan minta pertolongan hanya kepada Allah          .
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كُنْتُ خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا فَقَالَ يَا غُلَامُ إِنِّي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ احْفَظْ اللَّهَ يَحْفَظْكَ احْفَظْ اللَّهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلْ اللَّهَ وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَاعْلَمْ أَنَّ الْأُمَّةَ لَوْ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ لَكَ وَلَوْ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَيْكَ رُفِعَتْ الْأَقْلَامُ وَجَفَّتْ الصُّحُفُ
Dari Abu al-‘Abbas, Abdullah bin ‘Abbas rodhiyallahu anhu, ia berkata: “Pada suatu hari saya pernah berada di belakang Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Wahai anak muda, aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat. Jagalah Allah, niscaya Dia akan menjagamu. Jagalah Allah, niscaya kamu akan mendapati Dia di hadapanmu. Jika kamu minta, mintalah kepada Allah. Jika kamu minta pertolongan, mintalah tolong juga kepada Allah. Ketahuilah, sekiranya semua umat berkumpul untuk memberikan kepadamu sesuatu keuntungan, maka hal itu tidak akan kamu perolehselain dari apa yang sudah Allah tetapkan untuk dirimu. Sekiranya mereka pun berkumpul untuk melakukan sesuatu yang membahayakn kamu, niscaya tidak akan membahayakan kamu kecuali apa yang telah Allah tetapkan untuk dirimu. Pena-pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering”. H.R. Tirmidzi.
4.      “ABUDKALMISKIINU YARJUU FADHLAKALJAMM ALGHOFIIRU.”
Artinya: “Hambamu yang miskin memohon, keutamaanmu sumber pengampunan.” 
Bantahan:
Hal ini pun dilarang karena sumber pengampunan adalah Allah SWT bukan Nabi. Q.S. Ali Imron (3) : 133
۞وَسَارِعُوٓاْ إِلَىٰ مَغۡفِرَةٖ مِّن رَّبِّكُمۡ وَجَنَّةٍ عَرۡضُهَا ٱلسَّمَٰوَٰتُ وَٱلۡأَرۡضُ أُعِدَّتۡ لِلۡمُتَّقِينَ ١٣٣
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhan-mu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang bertakwa.”
Bahkan Rosulullah pun yang sudah dijamin masuk surga, diampuni semua dosanya, setiap hari masih memohon ampunan kepada Allah 70-100 kali.
وَاللَّهِ إِنِّي لَأَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ فِي الْيَوْمِ أَكْثَرَ مِنْ سَبْعِينَ مَرَّةً
“Demi Allah, sesungguhnya aku memohon ampun kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya lebih dari tujuh puluh kali dalam sehari”. H.R. Bukhori.
إِنِّي لَأَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ فِي الْيَوْمِ مِائَةَ مَرَّةٍ
“Sesungguhnya Aku memohon ampun kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya dalam sehari seratus kali”. H.R. Ibnu Majah.
5.       “FAA AGHITSNII WA AJIRNII YAA MUJIRU MINASSA’IIRI.”
Artinya: “Tolong dan bebaskanlah kami, wahai pengangkat kami dari neraka syair.”
Bantahan:
Kita dianjurkan untuk meminta dan memohon pertolongan hanya kepada Allah dan tidak kepada Nabi yang sudah wafat sebagaimana dalam Q.S. Al-Fatihah (1): 5.
إِيَّاكَ نَعۡبُدُ وَإِيَّاكَ نَسۡتَعِينُ ٥
“Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan”
6.      “YAA GHOYAATSII YAA MALAADZII FII MULIMMAATUL UMUURI.”
Artinya: “Wahai penolongku dan pemberikenikmata, dalam segala kepentingan kehidupan.”
Bantahan:
Hal ini pun jelas dilarang karena hanya Allah lah penolong dan pemberi kenikmatan sebagaimana tercantum dalam:
وَءَاتَىٰكُم مِّن كُلِّ مَا سَأَلۡتُمُوهُۚ وَإِن تَعُدُّواْ نِعۡمَتَ ٱللَّهِ لَا تُحۡصُوهَآۗ إِنَّ ٱلۡإِنسَٰنَ لَظَلُومٞ كَفَّارٞ ٣٤
Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah) Q.S. Ibroohim (14) : 34.
فَبِأَيِّ ءَالَآءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ ١٣
“Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan”. Q.S. Ar-Rohmaan (55): 13.
Dan masih banyak lagi ayat-ayat Quran dan Hadits yang senada dengan itu.
7.      “YAA ROBBI BALLIGHHULWAILLAH.”
Artinya: “Ya Robbi jadikanlah beliau debagai perantara.”
Hal ini pun dilarang sebagaimana dijelaskan diatas, bahwa tidak boleh bertawasul kepada Nabi setelah beliau meninggal.
8.      “YAAROBBU YAA SAAMI’ DU’AANAA YAA ROBBI BALIGHNAA NAZUURUH.”
Artinya: “Ya Robbi Maha Pendengar doa kami. Ya Robbi sampaikanlah ziarah kami.”
Ini pun dilarang karena kesannya hamba menyuruh kepada Allah, ini tidak sopan dan tidak patut untuk dilakukan.
9.      “YAA ROBBI TAGHSYAANBBINUURIH.”
 Artinya: “Ya Robbi terangilah kami dengan cahaya Nabi.”
Sebagaimana telah dibahas diatas bahwa Nabi tidak mempunyai cahaya, hanya Allah lah yang mempunyai cahaya.
10.  “AHLU BAITILMUSHTHOFATHTHUHURI HUMAMAANULARDHI FADDAKIRI.”
Artinya: “Keluarga Nabi yang terpilih dan suci. Mereka mengamankan dunia, perhatikanlah itu!”
Keluarga Nabi tidak suci (maksum) hanya Rosulullah sajalah yang maksum. Ini termasuk syair Syi’ah yang selalu mengagung-agungkan ahlu bait. Ini mengindikasikan bahwa Syaikh al-Barjanzi adalah orang Syi’ah.
Sampai disini maka cukup berbahaya bila apa yang diuraikan oleh al-Barjanzi menjadi sebuah keyakinan yang kuat. Pembaca (atau penghafal, pen) barjanzi tidak menyadari, sebab mereka lebih cenderung membaca atau menghafal ketimbang memahami uraiannya. Wallahu’alam bishawab. (Majalah Risalah No. 1 Th. XXXXIII April 2005 hal. 71). Wallahu ‘alam bishshowab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad

Responsive Ads Here