Oleh M. Nurachman
(Penasihat PC. Pemuda Persatuan Islam Sumedang Selatan)
Banyak orang yang biasa membaca barjanzi bahkan tidak
sedikit orang yang hafal diluar kepala isi kandungan kitab Barjanji. Tapi hanya
sedikit yang tahu terjemah dari al-Barjanzi tersebut. Ini
yang menyebabkan semakin tebalnya kabut yang menyelimuti al-Barjanzi sehingga mereka luput terhadap
hal-hal yang mengandung penyimpangan dalam al-Barjanzi tersebut.
Judul asli kitab Barjanzi adalah Iqdul Jawahir yang
disnisbatkan kepada pengarangnya yaitu Syaikh Ja’far al–Barjanzi bin Husain
bin Abdul Karim yang lahir di Madinah 1690 dan wafat tahun 1766 M. Nama
barjanzi sendiri dinisbatkan kepada negeri asal keturunannya yakni Barjin,
suatu daerah d wilayah Kurdistan, Iraq.
Kitab al-Barjanzi adalah sebuah karya tulis seni sastra
yang memuat kisah kehidupan Nabi SAW mulai dari asal keturunan, perjalanan,
budi pekerti hingga berbagai keanehan yang menyelimuti kehidupan Nabi SAW.
Garis besar paparannya sebagai berikut:
1. Berisi
silsilah keluarga Nabi SAW.
2. Kehidupan
masa kecil hingga remaja.
3. Kisah
perjalanannya ke Syam hingga bertemu
dengan pendeta Buhairo.
4. Pernikahannya
dengan Khodijah melalui perantara Maisaroh dan Abu Tholib.
5. Tentang
pekerti dan kerosulannya.
6. Peristiwa
Isra Mi’raj dan sikap kaum kafir Quraisy.
7. Memuat
berbagai macam keanehan di luar akal terutama di sekitar kelahirannya.
Selain dalam peringatan Maulid Nabi, kitab Barjanzi juga sering dibaca pada
upacara-upacara seperti pada saat memberi nama bayi, khitanan, syukuran dll.
Sayangnya pada acara-acara tersebut tidak dibaca syarah atau terjemahnya yang
sekali lagi menyebabkan semakin tebalnya kabut penyimpangan yang menyelimuti kitab Barjanzi tersebut.
Kitab Barjanzi biasanya dibacakan dengan irama nazhom dalam
beberapa versi lagu seperti:
-Rekbi, yakni
membaca dengan perlahan.
-Hejaz, menaikan
suara lebih tinggi dari pada rekbi.
-Ras,
menaikan suara dengan lebih berirama.
-Husain, membaca
dengan suara tenang.
-Nawahan, dengan
suara tinggi
dan berirama menyerupai lagu Ras.
-Masyri,
melagukan dengan irama yang khas, dibaca secara berkelompok atau perorangan. (Majalah Risalah No. 1 Th. XXXXIII
April 2005 hal. 68-69).
Menyingkap Kabut al-Barjanzi.
Di
dalam kitab al-Barjanzi
banyak paparan-paparan irasional yang sangat sulit diterima akal serta terkesan
berlebihan. Seputar kelahiran Nabi,
seperti:
1. “WASUMI’A FII
SHULBIHINNABIYYU SHOLLALLAAHU ‘ALAIHI WASALAMA DZAKAROLLAHUTA’ALAA WABBAAHU”
Artinya: “Dari tulang sulbi Ilyas terdengar
Nabi SAW berdzikir kepada Allah dan bertalbiah.”
Bantahan:
Jarak kelahiran antara Ilyas dan Syaikh al-Barjanzi
sangat jauh, tahu dari mana Syaikh al-Barjanzi bahwa Nabi berdzikir kepada
Allah dan bertalbiah sedangkan Nabi pun belum lahir?
2. “HAFIZAL
ILAAGUKAROOMATAN LI MUHAMMADIN AABB-AHUL AMJAADA SHOUNAL LISMIHI.”
Artinya: “Allah telah memelihara
kemuliaan Nabi Muhammad dengna
nenek moyang yang mulia demi memelihara nama baiknya.”
Bantahan:
Syair ini bertentangan dengan Hadits shohih yang
menerangkan bahwa ayah dan ibu nabi berikut kakek neneknya semua di neraka.
Banyak hadits yang menerangkan akan hal itu diantaranya:
“Telah berkata Anas, bahwasanya seorang laki-laki pernah
bertanya, ‘Ya Rosulullah! Dimanakah tempat ayah saya?’. Sabdanya, ‘Di neraka’.
Maka tatkala orang itu berpaling hendak pergi, dipanggil oleh Rosulullah lalu
sabdanya, ‘Sesungguhnya ayahku dan ayahmu di neraka”. H.R. Muslim.
Telah berkata Ibnu Mas’ud: Pernah datang dua orang anak
Mulaikah kepada Nabi sambil berkata, “Bahwa ibu kami biasa memuliakan suaminya,
dan belas kasihan kepada anaknya, serta menghormati tamu, tetapi sudah pernah
menanam anaknya perempuan dengan hidup-hidup dimasa jahiliyah”. Maka Nabi bersabda, “Ibumu itu di neraka”. Kata Ibnu
Mas’ud, “Kemudian mereka berdua pergi, padahal kesusahan tampak pada muka
keduanya, kemudian beliau menyuruh panggil kembali kedua anak itu, lalu kedua
anak itu kembali, padahal kegirangan tampak pada mukanya sebab mengharap
barangkali ada kejadian baru, lalu beliau bersabda, “Bahwa ibuku itu beserta
dengan ibumu (di neraka)......”. H.R.
Ahmad.
Untuk mengetahui lebih jauh
mengenai masalah ini, silahkan baca buku A. Hassan, Soal-Jawab
Tentang Berbagai Masalah Agama hal. II:705-715. Untuk perbandingan,
baca juga buku Abu Abdurrahman al-Atsri Memusuhi Penguasa Murtad hal.
143-177.
3.
“SUROOTUN SUROONUURUNN BUWWATI
FII ASAARIIRI GHURORIHIMUKBAHIYYAH.”
Artinya:
“Cahaya kenabian Muhammad memancar dari dahi ke dahi nenek moyangnya yang
gemerlapan.”
4.
“WABADARO BADRUHUUU FII JABIINI
JSDDIHII ‘ABDIL MUTHTHOLIBI WABNIHII ‘ABDILLAAH.”
Artinya: “Dan tampak jelas cahayanya yang gemerlapan pada
kening kakeknya, Abdul Mutholib, dan putranya sayyid Abdullah.”
Bantahan:
Dua
bait ini menerangkan adanya cahaya kenabian yang berpindah-pindah dan jatuh
pada dahi Abdul Mutholib beserta anaknya
Abdullah. Pendapat tersebut merupakan sesuatu yang mustahil bahwa Allah
meletakan cahaya kenabian pada kedua orang itu dan bukan kepada Nabi SAW
sendiri. Tidak ada saksi sejarah yang menyampaikan bahwa kedua dahi Abdul
Mutholib dan Abdullah bersinar dengan cahaya kenabian. Waroqoh bin Naufal,
seorang pendeta terkemuka Pada
saat itu tidak mengetahui ada cahaya kenabian pada selain Nabi SAW. (Majalah Risalah No. 1 Th. XXXXIII April 2005 hal. 70).
5.
“NAQOLAHUU ILAA MAQORRIHII MIN
SHODAFATI AAMINATAZZUHRIYYAH.”
Artinya:
”Allah menetapkan cahaya
tersebut ke dalam kandungan Siti Aminah az-Zuhriyyah.”
Bantahan:
Pendapat
ini pun tidak bersumber.
Sebab tidak ada saksi yang melihat Aminah penuh dengan cahaya saat mengandung Nabi SAW.
6.
“WA SHOBAA KULLU SHOBBILLI
HUBUUBI NASIIMI SHIBAAH.”
Artinya: ”Keadaan sudah semakin
memuncak, karena
seluruh makhluk sudah semakin rindu dan berharap kelahirannya.”
7. “WAKUSIYATIL ARDHU
BA’DA THUULI JADBIHAA MINANNABAATI HULALAN SUNDUSIYYAH.”
Artinya: “Bumi yang sepanjang tahun
gersang, mulai tumbuh tanaman-tanaman yang menjadikannya subur.”
8. “WA AINA
‘ATITSTSIMAAQU WA ADNASYSYAJARU LIL JAANII JANAAH.”
Artinya: “Dan matanglah buah-buahan
dari pohon-pohonnya yang cabang-cabangnya melengkung rendah sehingga mudah
dipetik.”
9. “WA NATHOQOT
BIHAMILIHII KULLU DAABBATILLIQUROISYIMBIFIOOHHIL ALSUNIL ‘AROBIYYAH.”
Artinya: “Dan setiap binatang yang
hidup milik suku Quraisy
memperbincangkan kehamilan Siti Aminah dengan bahasa Arab yang fasih.”
10. “WA
TABAASYAROTWUHUUSYUL MASYAARIQI WAL MAGHOORIBI WA DAWAABBUHAL BAHRIYYAH.”
Artinya: “Binatang-binatang liar dari
bumi belahan timur dan belahan barat riang gembira, begitu pula
binatang-binatan laut. ”
11. “WAHTASATIL
‘AWAALIMU MINAS SURUURI KA’SA HUMAYYAAH.”
Artinya:
“Seluruh penghuni alam semesta juga riang gembira memperbincangkan berita
bahagia ini.”
12.
“WA BUSYSYIROTIL JINNU BI
IZHLAALI ZAMANIHII WANTAHAKATIL KAHAANATU WA ROHIBATIRRUHBAANIYYAH.”
Artinya:
“Setiap jin gembira dengan tibanya zaman yang terang benderang, sedangkan ahli
nujum, tukang sihir dan para rahib gentar karena ketakutan.”
Bantahan:
Dari
beberapa bait diatas, Nampak keanehan-keanehan yang diceritakan oleh al-Barjanzi
pada kelahiran Nabi SAW. Selain Nabi Sulaiman ‘alaihi salam, tidak ada seorang
manusia pun yang dapat mengerti bahasa binatang dan jin. Dari mana syaikh al-Barjanzi mengetahui kegembiraan para
penghuni langit, bumi dan laut tentang akan lahirnya seorang Nabi ?
Jin
adalah ghoib hanya Allah lah yang tahu dan Nabi yang diridhoi-Nya. Sebagiamana yang tercantum dalam Q.S. al-Jinn (72) :
26-27.
عَٰلِمُ ٱلۡغَيۡبِ فَلَا يُظۡهِرُ عَلَىٰ غَيۡبِهِۦٓ
أَحَدًا ٢٦ إِلَّا مَنِ
ٱرۡتَضَىٰ مِن رَّسُولٖ فَإِنَّهُۥ يَسۡلُكُ مِنۢ بَيۡنِ يَدَيۡهِ وَمِنۡ
خَلۡفِهِۦ رَصَدٗا ٢٧
“(Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia
tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada
rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga
(malaikat) di muka dan di belakangnya”.
Imam Syafi’i berkata: “Siapa yang mengaku dapat melihat jin, kami tolak kesaksiannya,
kecuali Nabi”.
Ibnu Hajar
menguraikan maksud ucapan Imam Syafi’i itu adalah “Yang mengaku melihatnya
dalam bentuk asli. Adapun yang mengaku melihatnya setelah jin berbentuk dengan
aneka bentuk hewan, kesaksiannya dapat diterima”.
Rosyid Ridho berkata, “Siapa yang berkata bahwa dia melihat jin, itu hanya ilusi
atau ia melihat binatang aneh yang diduganya jin”. (M. Quraish Shihab,
MA, Yang Tersembunyi hal. 77-78).
Tahu
dari mana syaikh al-Barjanzi
bahwa jin bergembira dengan tibanya zaman yang terang benderang?. Ini jelas bertentangan dengan Q.S.
ash-Shooffat (37): 8-10.
لَّا يَسَّمَّعُونَ إِلَى ٱلۡمَلَإِ ٱلۡأَعۡلَىٰ وَيُقۡذَفُونَ
مِن كُلِّ جَانِبٖ ٨ دُحُورٗاۖ
وَلَهُمۡ عَذَابٞ وَاصِبٌ ٩ إِلَّا مَنۡ خَطِفَ
ٱلۡخَطۡفَةَ فَأَتۡبَعَهُۥ شِهَابٞ ثَاقِبٞ ١٠
“Syaitan syaitan itu tidak dapat
mendengar-dengarkan (pembicaraan) para malaikat dan mereka dilempari dari
segala penjuru. Untuk mengusir
mereka dan bagi mereka siksaan yang kekal. Akan tetapi barangsiapa (di antara
mereka) yang mencuri-curi (pembicaraan); maka ia dikejar oleh suluh api yang
cemerlang.”
Bahwa
ketika Nabi SAW lahir maka jin/syaitan
tidak dapat mencuri dengar dilangit dan mereka akan dikejar oleh panah-panah api. Tidak ada saksi
bahwa pendeta Waroqoh bin Naufal gentar karena kehadiran Nabi.
13.
“WA AKHODZAHAL MAKHOODIU
FAWALADATHU SHOLLALLAHU’ALAIHI WA SALLAMA NUUROYYATALA’LA-U SANAAH.”
Artinya: “Tak lama kemudian, ibunya
melahirkan beliau dengan cahaya yang berkilauan memenuhi alam semesta.”
14. “ASFAROT’ANHU
LAILATUN GHORROO-U. ”
Artinya: “Karena sinarnya, malam
menjadi terang.”
15. “WA ZHOHARO’INDA
WILAADATIHII KHOWAARIQU WA GHOROO-IBU GHOIBBIYYAH.”
Artinya: “Pada saat kelahiran Nabi
SAW banyak terjadi peristiwa ghoib serta keanehan-keanehan yang luar biasa.”
16. “WA GHOODHOT
BUHAIROTU SAAWATA WAKAANAT BAINA HAMADZAANA WAQUMMA MINAL BILAADIL’AJAMIYYAH.”
Artinya: “Telaga-telaga yang berada
antara kota Hamadzan dan Qum, di negeri Persia (Iran) menjadi kering
kerontang.”
17.
“WA JAFFAT IDZKAFFA WAAKIFU
MAUJIHATSTSAJJAAJI YANAA BII’UHAA TIIKALMIYAAH.”
Artinya: “Kekeringan itu disebabkan
mata air yang biasanya mengalir secara melimpah, mendadak surut, berhenti.”
18. “WAFAADHO WAADII
SAMAAWATA WAHIYA MAFAAZATUN FII FALAATIWWABIRRIYYAH.”
Artinya: “Sedangkan wadi Samawat, airnya melimpah mengairi
daratannya.”
19. “WA
SAMINATISYSYAARIFU LADAIHA WASYSYIYAAH.”
Artinya: “Unta-unta dan
kambing-kambing miliknya menjadi gemuk.”
20. “WANJAABA
‘ANJAANIBIHAA KULLU MULIMMATIWWA ROZIYYAH.”
Artinya:
“Segala marabahaya dan bencana yang berasal dari lingkungan sekitarnya menjadi
hilang lenyap.”
Bantahan:
Pendapat
dari al-Barjanzi ini, sesuatu yang berlebihan tanpa menyampaikan sumber
pengambilannya. Bila sama sekali tidak ditemukan nash yang kuat mengenai
apa yang telah menjadi keyakinannya, maka dalam hal ini al-Barjanzi telah mengada-ngada sesuatu yang
tidak pernah terjadi dan itu merupakan
kebohongan sejarah.
Kabut
lain yang menyelimuti kitab al-Barjanzi adalah mengenai tawasul seperti dalam
bait berikut:
1. “WA NATAWASSALU
ILAIKA BISYAROFIDZDZAATIL MUHAMMADIYYAH.”
Artinya:
“Kami bertawasul kepada-Mu dengan kemuliaan dzat Muhammad.”
Cara
tawasul seperti ini termasuk syirik, tidak pernah dicontohkan oleh Nabi dan
juga tidak dilakukan oleh para sahabat. Tawasul yang disyariatkan adalah dengan
menyebut sifat-sifat Allah, dengan amal sholeh atau melalui doa orang yang
masih hidup, dan bukan dengan orang yang sudah meninggal walaupun kedudukannya
seorang Nabi.
Komentar Ulama Seputar Tawasul:
Abu
Hanifah berkata,
“Tidak
ada dalil bagi seorang yang berdoa kepada Allah dengan perantara makhluk-Nya.”
Abu
Yusuf berkata, “Aku tidak suka seorang
berkata: dengan hak fulan.”
Al-Qoduru berkata,
“Dilarang berdoa kepada Allah dengan BIHAQQI makhluk tidak memiliki hak atas
Allah.”
Ibnu Taimiyah berkata, “Orang yang berdoa dengan menggunakan kata-kata dengan hak
malaikat-Mu, dengan hak para nabi-Mu, dengan hak nabi-Mu fulan, dengan hak rosul-Mu
fulan, dengan Baitul Haram, dengan Zam-zam, Maqom Ibrohim, dengan gunung Thur
atau Baitul Makmur merupakan doa yang tidak pernah dilakukan Nabi, sahabat dan
para tabi’in. Bahkan Imam Abu Hanifah dan pengikutnya seperti Abu Yusuf
menyatakan tidak boleh.” (H. Mahrus Ali, Mantan Kiai NU Menggugat Sholawat
& Dzikir Syirik hal. 28-29).
Ibnu Taimiyah berkata, “Dan tawasul itu terkadang membawa kemusyrikan dimana dia
meyakini bahwa Allah membutuhkan perantara manusia seperti halnya amir/raja
atau hakim. Dan ini sama dengan telah menyerupakan Kholik kepada makhluknya”.
(A. Zakaria, Materi Dakwah Untuk Da’i dan Muballigh hal. 96).
Dalam kesempatan lain Ibnu Taimiyyah berkata, ”Bertawasul
kepada mayat sama dengan orang tenggelam minta bantuan kepada orang yang tenggelam
atau orang yang terpenjara minta bantuan kepada orang yang terpenjara.”
Di tempat lain Ibnu Taimiyyah juga berkata, “Doa
termasuk ibadah. Barangsiapa berdoa kepada makhluk yang sudah mati dan
makhluk-makhluk lain yang ghaib serta meminta pertolongan kepada mereka,
berarti ia telah membuat bid’ah dalam perkara agama, mempersekutukan Tuhan
seluruh alam dan mengikuti jalan selain jalan orang-orang mukmin”. (Mukjizat
Nabi & Keramat Wali hal. 11).
Syaikh
Muhammad bin Abu Bakar ad-Damasyqi: “Terkadang ada orang
berdoa dengan menggunakan kehormatan tokoh ulama atau aulinya, padahal mereka
sendiri tidak pernah memerintahkan, bahkan melarangnya.”
Syaikh
Sholeh bin Abdul Aziz
berkata, “Tawasul dengan orang yang sudah meninggal dunia adalah
jalan menuju kesyirikan. Dan setiap sarana menuju kekufuran dan kesyirikan itu
harus dicegah dan tidak boleh terulang lagi”. Di tempat lain
beliau menyatakan bahwa, “Minta tolong kepada para Nabi atau orang
sholeh setelah meninggal dunia adalah
ajaran syirik.” (H. Mahrus Ali, Mantan Kiai NU Meluruskan Ritual-Ritual Kiai
Ahli Bid’ah Yang Dianggap Sunnah hal. 579
Syaikh Abdurrahman Hasan
Alu Syaikh: “Tidak (boleh) minta tolong kepada Nabi
dan juga orang lainnya. Aku benci perbuatan ini.”
2. “WA BIASHHAABIHII
UULILHIDAAYATI WALAFDHOLIYYAH.”
Artinya: “Dan dengan para sahabatnya
mempunyai hidayah dan keutamaan.”
Keyakinan
ini bertentangan dengan Q.S. al-Qoshshos (28) : 56.
إِنَّكَ لَا تَهۡدِي مَنۡ أَحۡبَبۡتَ
وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ يَهۡدِي مَن يَشَآءُۚ وَهُوَ أَعۡلَمُ بِٱلۡمُهۡتَدِينَ ٥٦
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat
memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk
kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang
mau menerima petunjuk”.
Hanya
Allah-lah yang mempunyai
dan dapat memberi hidayah, Nabi Muhammad SAW pun tidak mempunyai hidayah
apalagi para sahabat.
Membaca barjanzi sepertinya tidak lengkap kalau tidak
disertai pembacaan “Diba”, misalnya untuk “Marhaba” yang dilakukan secara
berjamaah sambil berdiri (dengan maksud menghormat kepada arwah Nabi, pen). (Majalah
Risalah No. 1 Th. XXXXIII april 2005 hal. 71). Hal ini jelas dilarang
karena berasal dari agama yahudi.
“Alkisah
pada hari raya paskah itu, imam-imam orang Aseni pun memimpin upacara. Mereka
berdiri menghadap kearah negeri Mesir mengenang arwah Bani Isro’il yang mati
dalam penyiksaan Fir’aun.” (Asar-asar Yahudi: 251). Ada
juga hadits yang melarang akan hal ini:
“Janganlah
kamu berdiri menghormatiku sebagaimana orang-orang ‘Ajam.” Sebagian dari mereka
berdiri menghormati sebagian yang lain.” (H.R. Abu Dawud). (A.D.
El. Marzdedeq, Parasit Akidah hal. 316).
Syair dalam “Diba” pun selain mengutarakan
sanjungan kepada
Nabi SAW juga mengandung penyimpangan dari kedudukan yang semestinya, seperti:
1.
“ANTA
NUURUN FAUQONUURIN.”
Artinya: “Engkaulah cahaya di atas
cahaya.”
Bantahan:
Keyakinan
ini bertentangan dengan Q.S. an-Nur (24) :
35.
۞ٱللَّهُ نُورُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِۚ
مَثَلُ نُورِهِۦ كَمِشۡكَوٰةٖ فِيهَا مِصۡبَاحٌۖ ٱلۡمِصۡبَاحُ فِي زُجَاجَةٍۖ
ٱلزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوۡكَبٞ دُرِّيّٞ يُوقَدُ مِن شَجَرَةٖ مُّبَٰرَكَةٖ
زَيۡتُونَةٖ لَّا شَرۡقِيَّةٖ وَلَا غَرۡبِيَّةٖ يَكَادُ زَيۡتُهَا يُضِيٓءُ
وَلَوۡ لَمۡ تَمۡسَسۡهُ نَارٞۚ نُّورٌ عَلَىٰ نُورٖۚ يَهۡدِي ٱللَّهُ لِنُورِهِۦ
مَن يَشَآءُۚ وَيَضۡرِبُ ٱللَّهُ ٱلۡأَمۡثَٰلَ لِلنَّاسِۗ وَٱللَّهُ بِكُلِّ
شَيۡءٍ عَلِيمٞ ٣٥
“Allah (Pemberi) cahaya (kepada)
langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang
tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan)
kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan
dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak
di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya
(saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas
cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia
kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu”.
“Allah-lah Cahaya langit dan bumi, cahaya diatas cahaya.” Jadi, yang
menempati cahaya diatas cahaya adalah Allah SWT dan bukan Nabi SAW.
2. “YAA KARIIMAL
WAALIDAIN.”
Artinya: “Wahai Nabi yang
kedua orang tuanya mulia.”
Bantahan:
Tidak
benar kedua orang tua Nabi mulia. Malah nabi sendiri berkata kepada orang yang
menanyakan dimana orang tuaku? Maka Nabi menjawab: orang tuamu dan orang tuaku
sama-sama di neraka (sebagaimana
hadits yang telah disebutkan di atas).
3. “WASTAJAAROT YAA HASIIBII.”
Artinya: “Mohon perlindungan wahai
kekasih.”
Bantahan:
Ini pun jelas dilarang karena kita dianjurkan memohon
perlindungan hanya kepada Allah semata bukan kepada Nabi sebagaimana dalam Q.S.
al-Fatihah (1) : 5.
إِيَّاكَ نَعۡبُدُ وَإِيَّاكَ
نَسۡتَعِينُ ٥
“Hanya
kepada Engkaulah kami memohon dan hanya kepada Engkaulah kami memohon
perlindungan.”
Dalam hadits juga disebutkan minta pertolongan hanya kepada Allah .
عَنْ
ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كُنْتُ خَلْفَ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا فَقَالَ يَا غُلَامُ إِنِّي أُعَلِّمُكَ
كَلِمَاتٍ احْفَظْ اللَّهَ يَحْفَظْكَ احْفَظْ اللَّهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ إِذَا سَأَلْتَ
فَاسْأَلْ اللَّهَ وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَاعْلَمْ أَنَّ الْأُمَّةَ
لَوْ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ
قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ لَكَ وَلَوْ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ بِشَيْءٍ لَمْ
يَضُرُّوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَيْكَ رُفِعَتْ الْأَقْلَامُ
وَجَفَّتْ الصُّحُفُ
Dari Abu al-‘Abbas, Abdullah bin ‘Abbas rodhiyallahu
anhu, ia berkata: “Pada suatu hari saya pernah berada di belakang Nabi shollallahu
‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Wahai anak muda, aku akan mengajarkan
kepadamu beberapa kalimat. Jagalah Allah, niscaya Dia akan menjagamu. Jagalah
Allah, niscaya kamu akan mendapati Dia di hadapanmu. Jika kamu minta, mintalah
kepada Allah. Jika kamu minta pertolongan, mintalah tolong juga kepada Allah.
Ketahuilah, sekiranya semua umat berkumpul untuk memberikan kepadamu sesuatu
keuntungan, maka hal itu tidak akan kamu perolehselain dari apa yang sudah
Allah tetapkan untuk dirimu. Sekiranya mereka pun berkumpul untuk melakukan
sesuatu yang membahayakn kamu, niscaya tidak akan membahayakan kamu kecuali apa
yang telah Allah tetapkan untuk dirimu. Pena-pena telah diangkat dan
lembaran-lembaran telah kering”. H.R.
Tirmidzi.
4.
“ABUDKALMISKIINU YARJUU FADHLAKALJAMM ALGHOFIIRU.”
Artinya:
“Hambamu yang miskin
memohon, keutamaanmu sumber pengampunan.”
Bantahan:
Hal ini pun dilarang karena sumber pengampunan adalah
Allah SWT bukan Nabi. Q.S. Ali Imron (3) : 133
۞وَسَارِعُوٓاْ إِلَىٰ
مَغۡفِرَةٖ مِّن رَّبِّكُمۡ وَجَنَّةٍ عَرۡضُهَا ٱلسَّمَٰوَٰتُ وَٱلۡأَرۡضُ
أُعِدَّتۡ لِلۡمُتَّقِينَ ١٣٣
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhan-mu dan
kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk
orang-orang bertakwa.”
Bahkan Rosulullah pun yang sudah dijamin masuk surga,
diampuni semua dosanya, setiap hari masih memohon ampunan kepada Allah 70-100
kali.
وَاللَّهِ إِنِّي لَأَسْتَغْفِرُ اللَّهَ
وَأَتُوبُ إِلَيْهِ فِي الْيَوْمِ أَكْثَرَ مِنْ سَبْعِينَ مَرَّةً
“Demi Allah, sesungguhnya aku memohon ampun kepada Allah
dan bertaubat kepada-Nya lebih dari tujuh puluh kali dalam sehari”. H.R. Bukhori.
إِنِّي لَأَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وَأَتُوبُ
إِلَيْهِ فِي الْيَوْمِ مِائَةَ مَرَّةٍ
“Sesungguhnya Aku memohon ampun kepada Allah dan
bertaubat kepada-Nya dalam sehari seratus kali”. H.R. Ibnu Majah.
5.
“FAA AGHITSNII WA AJIRNII YAA MUJIRU
MINASSA’IIRI.”
Artinya: “Tolong dan bebaskanlah
kami, wahai pengangkat kami dari neraka syair.”
Bantahan:
Kita
dianjurkan untuk meminta dan memohon pertolongan hanya kepada Allah dan tidak
kepada Nabi yang sudah wafat sebagaimana dalam Q.S. Al-Fatihah (1): 5.
إِيَّاكَ نَعۡبُدُ وَإِيَّاكَ نَسۡتَعِينُ ٥
“Hanya Engkaulah yang kami
sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan”
6.
“YAA GHOYAATSII YAA MALAADZII FII MULIMMAATUL UMUURI.”
Artinya:
“Wahai penolongku dan pemberikenikmata, dalam segala kepentingan kehidupan.”
Bantahan:
Hal ini pun jelas dilarang karena hanya Allah lah
penolong dan pemberi kenikmatan sebagaimana tercantum dalam:
وَءَاتَىٰكُم مِّن كُلِّ مَا
سَأَلۡتُمُوهُۚ وَإِن تَعُدُّواْ نِعۡمَتَ ٱللَّهِ لَا تُحۡصُوهَآۗ إِنَّ
ٱلۡإِنسَٰنَ لَظَلُومٞ كَفَّارٞ ٣٤
“Dan Dia telah memberikan kepadamu
(keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu
menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya
manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah)” Q.S.
Ibroohim (14) : 34.
فَبِأَيِّ ءَالَآءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ ١٣
“Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan”. Q.S. Ar-Rohmaan (55): 13.
Dan masih banyak lagi ayat-ayat Quran dan Hadits yang
senada dengan itu.
7.
“YAA
ROBBI BALLIGHHULWAILLAH.”
Artinya: “Ya Robbi jadikanlah beliau
debagai perantara.”
Hal
ini pun dilarang sebagaimana dijelaskan diatas, bahwa tidak boleh bertawasul
kepada Nabi setelah beliau meninggal.
8.
“YAAROBBU
YAA SAAMI’ DU’AANAA YAA ROBBI BALIGHNAA NAZUURUH.”
Artinya: “Ya Robbi Maha Pendengar doa
kami. Ya Robbi sampaikanlah ziarah kami.”
Ini
pun dilarang karena kesannya hamba menyuruh kepada Allah, ini tidak sopan dan
tidak patut untuk dilakukan.
9.
“YAA
ROBBI TAGHSYAANBBINUURIH.”
Artinya: “Ya Robbi terangilah kami dengan
cahaya Nabi.”
Sebagaimana
telah dibahas diatas bahwa Nabi tidak mempunyai cahaya, hanya Allah lah yang
mempunyai cahaya.
10. “AHLU BAITILMUSHTHOFATHTHUHURI HUMAMAANULARDHI
FADDAKIRI.”
Artinya:
“Keluarga Nabi yang terpilih dan suci. Mereka mengamankan dunia, perhatikanlah
itu!”
Keluarga Nabi tidak suci (maksum)
hanya Rosulullah sajalah yang maksum.
Ini termasuk syair Syi’ah
yang selalu mengagung-agungkan ahlu bait. Ini mengindikasikan bahwa Syaikh al-Barjanzi adalah orang Syi’ah.
Sampai disini maka cukup berbahaya bila apa yang
diuraikan oleh al-Barjanzi menjadi sebuah keyakinan yang kuat. Pembaca (atau
penghafal, pen) barjanzi tidak menyadari, sebab mereka lebih cenderung membaca
atau menghafal ketimbang memahami uraiannya. Wallahu’alam bishawab. (Majalah
Risalah No. 1 Th. XXXXIII April 2005 hal. 71). Wallahu ‘alam bishshowab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar