(Ketua PC. Pemuda Persatuan Islam Sumedang Selatan)
Pertama kali Islam diprolamirkan oleh Muhammad musthofa, masyarakat
Arab pada waktu itu merasa asing dengan apa yang dibawa oleh Muhammad. Diam di
gua Hiro untuk merenung, lalu tiba-tiba membawa ajaran yang sangat “mendobrak” tradisi
adat istiadat masyarakat, sampai-sampai banyak yang bilang bahwa Muhammad sudah
gila, seorang penyair ulung, tukang tenung, dan lain-lain.
Empat belas abad yang lampau Rosulullah sholallahu ‘alaihi wa
sallam telah memprediksi bahwa Islam dulunya asing dan di akhir zaman nanti
akan kembali asing sebagaimana permulaan Islam dulu. Mungkinkah apa yang diprediksi
Nabi terjadi pada hari ini?.
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ « إِنَّ
الإِسْلاَمَ بَدَأَ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ ».
قَالَ قِيلَ وَمَنِ الْغُرَبَاءُ قَالَ النُّزَّاعُ مِنَ الْقَبَائِلِ. قال الشيخ
الألباني : صحيح
دون قال قيل
“Sesungguhnya
Islam muncul dalam keadaan asing, dan akan kembali asing seperti saat
kemunculannya. Maka beruntunglah orang-orang yang asing”. Seseorang bertanya :
“Siapakah orang-orang yang asing itu ya Rasulullah ? “Mereka yang “menyempal” (berseberangan) dari
kaumnya”, jawab
Rasulullah (HR. Ibnu Majah, Ahmad & Ad Darimi dinyatakan Shahih oleh Syaikh Al
Albani )
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ قَالَ «إِنَّ
الدِّينَ بَدَأَ غَرِيبًا وَيَرْجِعُ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ الَّذِينَ
يُصْلِحُونَ مَا أَفْسَدَ النَّاسُ مِنْ بَعْدِى مِنْ سُنَّتِى ». قَالَ أَبُو
عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ
“Sesungguhnya
Islam muncul dalam keadaan asing, dan akan kembali asing seperti saat
kemunculannya. Maka beruntunglah orang-orang yang terasing”. Seseorang bertanya
: “Siapakah orang-orang yang asing itu ya Rasulullah ? “Orang-orang yang
selalu memperbaiki (melakukan ishlah) di saat manusia merusak sunnah-sunnah ku”,
jawab Rasulullah (HR. At Tirmidzi, dinyatakan Hasan
Shahih oleh Imam At Tirmidzi).
فَقِيلَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَمَا
الْغُرَبَاءُ؟ قَالَ :”الَّذِينَ يُصْلِحُونَ عِنْدَ فَسَادِ النَّاسِ
“Siapakah
orang-orang yang terasing itu ya Rasulullah ? “Orang-orang yang selalu
memperbaiki (amar ma’rur dan nahi munkar) di saat manusia dalam keadaan rusak”,
jawab Rasulullah (HR. Thabrani).
« طُوبَىلِلْغُرَبَاءِ ». فَقِيلَمَنِالْغُرَبَاءُيَارَسُولَاللَّهِقَالَ
« أُنَاسٌصَالِحُونَفِىأُنَاسِسَوْءٍكَثِيرٍمَنْيَعْصِيهِمْأَكْثَرُمِمَّنْيُطِيعُهُمْ
» ﴿رَوَاهُأحمد ﴾ تعليقشعيبالأرنؤوط : حسنلغيرهمكرر
“Beruntunglah
orang-orang yang terasing”. Seseorang bertanya : “Siapakah orang-orang yang
terasing itu ya Rasulullah ?
“Orang-orang shalih yang berada di antara orang-orang jahat yang jumlahnya
banyak sekali. Yang menentang mereka lebih banyak dibandingkan yang mengikuti ”,
jawab Rasulullah (HR. Ahmad, dinyatakan Hasan oleh
Syaikh Syu’aib Al Arnauth).
اِنَّ اْلاِسْلاَمَ بَدَأَ غَرِيْبًا وَ
سَيَعُوْدُ غَرِيْبًا كَمَا بَدَأَ، فَطُوْبَى لِلْغُرَبَاءِ. قِيْلَ: يَا
رَسُوْلَ اللهِ، وَ مَا اْلغُرَبَاءُ؟ قَالَ: اَلَّذِيْنَ يُحْيُوْنَ مَا اَمَاتَ
النَّاسُ مِنْ سُنَّتِى.
“Sesungguhnya
Islam itu pada mulanya datang dengan asing (tidak umum), dan akan kembali
dengan asing lagi seperti pada mulanya datang. Maka berbahagialah bagi
orang-orang yang asing“. Beliau ditanya, “Ya Rasulullah, siapakah orang-orang
yang asing itu ?”. Beliau bersabda, “Yaitu orang-orang yang
menghidup-hidupkan apa-apa yang telah dimatikan manusia daripada sunnahku”.(HR. Muslim, Ibnu Majah dan Thobroni).
Berdasar
Hadits-hadits di atas, maka makna Ghuroba’ adalah :
1. Mereka yang “menyempal”
(berseberangan) dari kaumnya atau dari mayoritas masyarakat (HR.
Ibnu Majah, Ahmad & Ad Darimi : Shahih)
2. Orang-orang yang selalu
melakukan Amar Ma’ruf Nahi Munkar di saat manusia merusak sunnah-sunnah
Rasulullah (HR. At Tirmidzi, Hasan Shahih)
3. Orang-orang shalih yang berada
di antara orang-orang jahat yang jumlahnya banyak sekali. Yang menentang mereka
lebih banyak dibandingkan yang mengikuti (HR. Ahmad,
Hadits Hasan)
4. Orang-orang yang selalu
memperbaiki (amar ma’ruf dan nahi munkar) di saat manusia dalam keadaan rusak
(HR. Thabrani, Shahih).
5. Orang-orang yang menghidupkan
sunnah Nabi(H.R. Muslim, Ibnu Majah, dan Thobroni).
Al-Auza’i berkata, “Bahwasanya Islam tidak akan lenyap, akan tetapi kelompok
Ahlu Sunnah akan menghilang hingga tidak ada seorangpun disuatu negeri
melainkan hanya satu orang saja”.
Yunus bin Ubaid berkata, “Tidak ada yang lebih asing daripada
sunnah dan orang yang mengetahuinya lebih asing lagi daripada sunnah”.
Ibnu Rojab al-Hanbali berkata, “Orang-orang yang asing itu terbagi
menjadi dua golongan. Golongan pertama adalah orang yang memperbaiki dirinya
tatkala manusia rusak, sedang yang kedua adalah orang yang memperbaiki sesuatu
yang dirusak manusia. Golongan yang kedua ini adalah golongan orang asing yang
paling tinggi dan paling utama”. (Abu Abdurrahman al-Atsari, Memusuhi Penguasa
Murtad hal. 230-231).
Ust. H. Wawan hermawan M.S.
mengilustrasikan hadits tersebut diatas seperti seorang nenek yang hendak mencuci
wajan yang hitam dihulu sungai yang berair deras. Ketika ia sedang mencuci
wajan pengorengan tersebut, wajannya terbawa hanyut oleh air sungai yang sangat
deras. Karena air sungai yang teramat deras, si nenek tersebut tidak berani
berenang untuk mengejar wajannya itu. Dengan berat hati dia pun mengikhlaskan
wajan pengorengannya itu tersapu derasnya aliran sungai.
Tak dinyana ternyata di hilir ada
seorang yang sedang menjala ikan menemukan wajan penggorengan si nenek itu,
dengan sigab ia membawa wajan tersebut ke tepi sungai. Dilihatnya wajan
tersebut hitam pekat, tanpa pikir panjang ia pun berinisiatif membersihkan
wajan tersebut. Dalam pikirnya, pasti wajan ini milik seseorang yang terbawa
hanyut oleh derasnya aliran sungai, maka ia pun pergi ke hulu sungai dan
mengumumkan kepada masyarakat ihwal wajan tersebut. Ada seorang warga yang memberitahu
bahwa wajan tersebut kepunyaan si nenek. Tak berapa lama dia pun mendatangi
tempat tinggal si nenek dan memberikan wajan yang telah ia temukan dan dicuci
sampai berkilau. Tapi apa yang terjadi, ternyata si nenek tidak merasa
kehilangan wajan penggorengan. Karena ia merasa bahwa wajan yang hanyut
berwarna hitam legam sedangkan yang dibawa oleh si penjala ikan itu berkilau
kinclong.
Setelah dijelaskan sedemikian detai
oleh si penjala ikan tersebut bahwa ia telah mengembalikan warna asli wajan tersebut
seperti ketika pertama kali di beli dengan cara di cuci dengan bersih. Walaupun
sudah dijelaskan sedemikan rupa, nenek itu tetap menolak karena ia berasumsi
bahwa wajannya hitam legam.
Ilustrasi di atas sangat tepat engan
kondisi umat Islam pada saat ini yang praktek ibadah dan aqidahnya sudah
tercampur baur dengan bid’ah, syirik, tahayul, khurofat, tradisi nenek moyang
dan lain-lain. Ketika kita menerangkan bahwa agama Islam yang asli adalah yang
sesuai dengan al-Qur’an dan Hadits, mereka menolak karena mereka sudah
beranggapan bahwa “Islam” yang asli adalah seperti yang mereka praktekan, tak
jarang mereka menyebut ajaran yang kita bawa disebut “agama baru”.
Sebagai seorang muslim jelas ini
merupakan tugas kita bersama dalam menjaga “keorisinilan” Islam tersebut dan
menjadi Islam puritan merupakan keniscayan. Tugas ini bukan saja tugas Kiai,
Ustad, atau pemuka agama, tapi tugas kita semua sebagai seorang muslim karena
pada hakikatnya Islam adalah agama dakwah, agama yang menganut prinsif amar
ma’ruf dan nahi mungkar. Jangan sampai karena kelamaan Islam dihinggapi oleh
“parasit” sehingga umat Islam menganggap parasit tersebut bagian dari Islam
dikarenakan kita sebagai umat Islam lalai dalam menjaga Islam.
Seperti pohon mangga yang tidak
terurus oleh yang punyanya sehingga pohon mangga tersebut dihinggapi oleh
parasit yang akhirnya parasit tersebut merubah bentuk rupa pohon mangga. Ketika
si anak yang punya pohon melihat bentuk rupa pohon seperti itu (yang sudah
dihinggapi parasit) dia menganggap bahwa rupa pohon mangga yang asli seperti
itu, seperti yang dia lihat dan tersimpan kuat didalam memorinya. Ketika
ayahnya membabad habis parasit yang hinggap dipohon tersebut dan tampaklah rupa
asli pohon mangga tersebut, maka ketika anak itu melihat bentuk pohon mangga
yang asli dia menyebut bahwa itu bukan pohon mangga, karena image yang dia
pahami pohon mangga bukan seperti itu.
Ketika ayahnya menerangkan bahwa
bentuk pohon mangga yang dulu adalah bentuk pohon mangga yang terhinggapi
parasit atau benalu, tapi tetap anak tersebut menolak karena yang terlintas
dalam benaknya bentuk pohon mangga itu seperti yang ia lihat dulu.
Ilustrsi diatas bila disimpulkan seperti
berikut: “Kemungkaran yang dijalankan terus-menerus oleh kebanyakan orang
bahkan oleh tokoh agama, maka kemungkaran itu akan dianggap ma’ruf dan ketika
kita meninggalkannya atau tidak menjalankannya, maka kita dianggap mungkar dan
ketika kita menjalankannya, kita dianggap ma’ruf. Sedangkan perbuatan ma’ruf
yang ditinggalkan terus-menerus oleh kebanyakan orang bahkan oleh tokoh agama,
maka perbuatan ma’ruf itu dianggap mungkar dan ketika kita melakukannya, maka
kita dianggap mungkar dan ketika menjalankannya kita dianggap ma’ruf”.
Ust. Lili Somantri berkata, “Aya lima urang nu gelo, jeung saurang nu cageur. Pan
nu di gelo-gelo teh, nu saurang ku limaan. Kusabab nu saurang eta embung di
gelo-gelo, terus we manehna ‘gelo’; mangka ceuk nu limaan, eta jalma nu saurang
teh cageur”. (Ada lima orang yang gila dan satu orang waras. Kan yang di
gila-gila itu, satu orang yang waras oleh lima orang yang gila. Karena orang
yang waras itu tidak mau di gila-gila, maka orang yang waras itu jadi ‘gila’;
maka kata ke lima orang gila tersebut, satu orang itu waras).
Dalam kehidupan sehari-hari pun kita harus memperlihatkan pendirian
kita, jangan “bermuka dua” karena ejekan atau cemoohan orang-orang yang tidak
sepaham dengan kita. Justru kita dihargai oleh orang-orang disebabkan
kekonsistenan kita.
Ada orang yang kelihatannya gendut, setelah diselidiki ternyata
orang itu gendutnya bukan karena daging yang menenpel dibadannya, akan tetapi
kerena banyaknya daki yang “hinggap” pada tubuhnya. Diantara padi-padi yang
tumbuh dipesawahan ada tanaman yang menyerupai padi yaitugagajahan.
Sepintas tanaman ini memang mirip tanaman padi padahal tanaman ini adalah
tanaman benalu yang sangat merusak karena akan “memakan” saripati tanah yang
seharusnyasaripati tanah itu “dimakan” oleh padi.
Memang hakikat dari pada bid’ah itu menyerupai ibadah sebagaimana
yang di ungkapkan oleh Imam Syaathibi: “Bid’ah adalah tata cara dalam
agama yang sengaja dibuat dan menyerupai syariat dengan tujuan
mengekspresikannya dalam bentuk tingkah laku (perbuatan) yang bersandar
padanya, seperti yang dijalankan pada tata cara syariat”. (Imam
Syaathibi, al-I’tishom I:5).
Untuk lebih jelasnya mengenai bid’ah silahkan baca buku Imam
Syaathibi, al-I’tishom.
Menjadi orang yang terasing (al-ghurobaa) memang berat karena kita dituntut untuk konsisten dalam
kebaikan dikala moral atau perilaku manusia sudah rusak dan menghidupkan sunnah
Nabi yang telah di “matikan” oleh kebanyakan orang. Bila tidak bisa menjalankan
apa yang telah Rosul amanatkan itu, minimalnya kita tidak ikut praktek-praktek
mereka dan hati kita pun menolaknya dan itu merupakan selemah-lemahnya iman
sebagaimana yang Rosulullah sabdakan,
عَنْ أَبِي سَعِيْد الْخُدْرِي رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ : مَنْ رَأَى
مِنْكُمْ مُنْكَراً فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ
فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ
اْلإِيْمَانِ[رواه مسلم]
Dari Abu
Sa’id Al Khudri radiallahuanhu berkata : Saya mendengar Rasulullah shollallohu
‘alaihi wa sallam bersabda : “Siapa yang melihat kemunkaran maka rubahlah
dengan tangannya, jika tidak mampu maka rubahlah dengan lisannya, jika tidak
mampu maka (tolaklah) dengan hatinya dan hal tersebut adalah selemah-lemahnya
iman”.H.R. Muslim.
Bila hal itu pun tidak ada hasilnya, maka jadilah Asabul kahfi yang
mengasingkan diri untuk menyelamatkan akidah dan ibadah dari kekacauan
masyarakat maupun penguasa. Untuk lebih jelas tentang praktek konsef ini,
silahkan lihat Q.S al-Kahfi.
Bila hal tersebut pun tidak dapat dilakukan, maka ada konsep hijrah
sebaimana yang diterangkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala, bahkan Allah sangat
mencela orang yang tidak mau berhijrah ketika situasi dan kondisi masyarakat
atau negara sudah sangat rusak:
فَٱسۡتَجَابَ لَهُمۡ رَبُّهُمۡ أَنِّي
لَآ أُضِيعُ عَمَلَ عَٰمِلٖ مِّنكُم مِّن ذَكَرٍ أَوۡ أُنثَىٰۖ بَعۡضُكُم مِّنۢ
بَعۡضٖۖ فَٱلَّذِينَ هَاجَرُواْ وَأُخۡرِجُواْ مِن دِيَٰرِهِمۡ وَأُوذُواْ فِي
سَبِيلِي وَقَٰتَلُواْ وَقُتِلُواْ لَأُكَفِّرَنَّ عَنۡهُمۡ سَئَِّاتِهِمۡ
وَلَأُدۡخِلَنَّهُمۡ جَنَّٰتٖ تَجۡرِي مِن تَحۡتِهَا ٱلۡأَنۡهَٰرُ ثَوَابٗا مِّنۡ
عِندِ ٱللَّهِۚ وَٱللَّهُ عِندَهُۥ حُسۡنُ ٱلثَّوَابِ
١٩٥
“Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman):
"Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di
antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah
turunan dari sebagian yang lain. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir
dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang
dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah Aku
masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai
pahala di sisi Allah. Dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik" Q.S. Ali Imron (3) : 195.
إِنَّ ٱلَّذِينَ تَوَفَّىٰهُمُ
ٱلۡمَلَٰٓئِكَةُ ظَالِمِيٓ أَنفُسِهِمۡ قَالُواْ فِيمَ كُنتُمۡۖ قَالُواْ كُنَّا
مُسۡتَضۡعَفِينَ فِي ٱلۡأَرۡضِۚ قَالُوٓاْ أَلَمۡ تَكُنۡ أَرۡضُ ٱللَّهِ وَٰسِعَةٗ
فَتُهَاجِرُواْ فِيهَاۚ فَأُوْلَٰٓئِكَ مَأۡوَىٰهُمۡ جَهَنَّمُۖ وَسَآءَتۡ
مَصِيرًا ٩٧إِلَّا ٱلۡمُسۡتَضۡعَفِينَ مِنَ ٱلرِّجَالِ وَٱلنِّسَآءِ
وَٱلۡوِلۡدَٰنِ لَا يَسۡتَطِيعُونَ حِيلَةٗ وَلَا يَهۡتَدُونَ سَبِيلٗا ٩٨
“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan
menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: "Dalam keadaan
bagaimana kamu ini?". Mereka menjawab: "Adalah kami orang-orang yang
tertindas di negeri (Mekah)". Para malaikat berkata: "Bukankah bumi
Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?". Orang-orang
itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali,
kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang
tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah)”. Q.S. an-Nisa (4) : 97-98.
Itulah sekelumit bagian dari dakwah
yang harus kita jalani dan lakoni yang beresiko dikucilkan, disebut sok suci,
sok bener, sok alim, tidak guyub, dan banyak lagi celotehan-celotehan lainnya. Asalkan
kita jangan jadi manusia munafiq atau mudabdabin(plin-plan /
plintat-plintut), bagaimana ramainya, dalam bahasa sunda: lolondokan /
ngabunglon. Memegang kebenaran itu memang banyak aral dan onak yang merintangi
sebagaimana yang telah Rosulullah beritakan:
يَأْتِيعَلَىالنَّاسِزَمَانٌالصَّابِرُفِيهِمْعَلَىدِينِهِكَالْقَابِضِعَلَىالْجَمْرِ
“Akan datang suatu zaman dimana orang yang berpegang teguh kepada
agama seperti orang yang memegang bara api (dipegang panas, dilepaskan padam)”.
H.R. Tirmidzi.
Dalam hadits yang lain kita
diperintahkan agar menggigit kebenaran itu dengan gigi geraham dan tetap dalam
Jamaah Muslimin dan Imam Kaum Muslimin serta menjauhi firqoh walaupun harus memakan
akar-akaran atau mati dalam keadaan seperti itu, lebih baik daripada ikut serta
dengan mereka:
الْعِرْبَاضَبْنَسَارِيَةَقَالَوَعَظَنَارَسُولُاللَّهِصَلَّىاللَّهُعَلَيْهِوَسَلَّمَمَوْعِظَةًذَرَفَتْمِنْهَاالْعُيُونُوَوَجِلَتْمِنْهَاالْقُلُوبُقُلْنَايَارَسُولَاللَّهِإِنَّهَذِهِلَمَوْعِظَةُمُوَدِّعٍفَمَاذَاتَعْهَدُإِلَيْنَاقَالَقَدْتَرَكْتُكُمْعَلَىالْبَيْضَاءِلَيْلُهَاكَنَهَارِهَالَايَزِيغُعَنْهَابَعْدِيإِلَّاهَالِكٌوَمَنْيَعِشْمِنْكُمْفَسَيَرَىاخْتِلَافًاكَثِيرًافَعَلَيْكُمْبِمَاعَرَفْتُمْمِنْسُنَّتِيوَسُنَّةِالْخُلَفَاءِالرَّاشِدِينَالْمَهْدِيِّينَوَعَلَيْكُمْبِالطَّاعَةِوَإِنْعَبْدًاحَبَشِيًّاعَضُّواعَلَيْهَابِالنَّوَاجِذِفَإِنَّمَاالْمُؤْمِنُكَالْجَمَلِالْأَنِفِحَيْثُمَاانْقِيدَانْقَادَ
Dari ‘Irbadh bin Saariyah, ia berkata; Rosulullah shollallahu
‘alaihi wa salam bersabda: “aku wasiatkan padamu agar takwa kepada Allah, pauh
serta taat (kepada pemimpin) sekalipun ia orang Habsyi (berkulit hitam). Sungguh,
siapa saja yang hidup di antaramu setelahku, akan melihat banyak perselisihan.
Hendaklah kamu pegang teguh sunnahku dan sunnah Khulafaau Roosyidiin yang
mendapat petunjuk, berpegang teguhlah kepadanya dan gigitlah sunnahku itu
dengan gigi gerahammu. Hendaklah kamu berhati-hati terhadap perkara yang
diada-adakan, karena setiap yang diada-adakan itu bid’ah, setiap bid’ah adalah
sesat”. H.R. Ahmad.
(Menurut Hudzaifah bin Yaman) “Orang-orang bertanya kepada
Rosulullah tentang kebaikan, sedangkan aku bertanya tentang kejahatan; kerena
hal itu takut menimpa diriku. Lalu aku bertanya: ‘Wahai Rosulullah! Kami dulu
berada dalam jahiliyah dan kejahatan, kemudian Allah mendatangkan atau
membawakan kebaikan (agama) kepada kami, maka setelah kebaikan ini, akan terjadi
lagi kejahatan?’. Nabi menjawab, ‘Ya!’. Lalu aku bertanya lagi, ‘Apakah setelah
kejahatan itu akan datang lagi kebaikan?’. Nabi menjawab, ‘Ya!, tetapi masih
ada DUKHONNYA (asapnya)’. Lalu aku bertanya lagi, ‘Apa itu DUKHONNYA?’. Nabi
menjawab, ‘Suatu kaum yang memberikan petunjuk bukan dengan petunjukku, engkau
kenal mereka tetapi engkau mengingkarinya’. Lalu aku bertanya lagi, ‘Apakah
setelah kebaikan itu akan ada lagi kejahatan?’. Nabi menjawab, ‘Ya! Dai-dai (penyeru-penyeru)
yang mengajak ke pintu jahanam. Barangsiapa yang memenuhi panggilan mereka,
niscaya akan dilemparkan ke Neraka’. Lalu aku bertanya lagi, ‘Wahai Rosulullah,
terangkanlah kepada kami sifat-sifat mereka?’. Nabi menjawab, ‘Mereka itu
sekulit dengan kulit kita, dan berbicara dengan bahasa kita’. Aku bertanya
lagi, ‘Apa yang akan engkau perintahkan kepadaku jika aku mengalami hal itu?’.
Nabi menjawab, ‘Tetaplah dalam Jamaah Muslimin dan Imam mereka’. Aku bertanya
lagi, ‘Bagaiman jika tidak ada jamaah dan imam’. Nabi menjawab, ‘Jauhilah semua
firqoh yang ada, walau engkau harus menggigit akar suatu pohon dan engkau mati
dalam keadaan itu”.
H.R. Bukhori.
Kalau dalam beribadah dan berakidah
mengikuti kebanyakan orang tidak menuruti Qur’an dan Hadits, akan celaka. Allah
subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَإِن تُطِعۡ أَكۡثَرَ مَن فِي ٱلۡأَرۡضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ
ٱللَّهِۚ إِن يَتَّبِعُونَ إِلَّا ٱلظَّنَّ وَإِنۡ هُمۡ إِلَّا يَخۡرُصُونَ ١١٦
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi
ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain
hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta
(terhadap Allah)”. Q.S.
al-An’am (6) : 116.
Dalam doanya Rosul ingin dimasukan kedalam golongan yang sedikit.
اللَّهُمَّ اجْعَلْنِي مِنَ القَلِيلِ
"Ya Allah jadikanlah aku termasuk dari orang-orang
yang sedikit’.”H.R Ahmad dan Ibnu Abi Syaibah.
Syaikh
Abdullah bin Abdurrahman Abu Bathin berkata, “
Apabila seseorang telah mengetahui kebenaran, jangan merasa kesepian dengan
sedikitnya orang yang sependapat dengannya, dan banyaknya orang yang
menyelisihinya, apalagi diakhir zaman sekarang ini. Pendapat orang bodoh
mengatakan, ‘Seandainya ini benar pasti diketahui oleh si fulan dan si fulan’,
ini adalah dakwaan orang-orang kafir. Sebagaimana perkataan mereka dalam
al-Qur’an,
...لَوۡ
كَانَ خَيۡرٗا مَّا سَبَقُونَآ إِلَيۡهِۚ...
"....Kalau sekiranya di (Al Quran) adalah suatu yang baik,
tentulah mereka tiada mendahului kami (beriman) kepadanya....”. Q.S.
al-Ahqoof (48) : 11”.(Abu abdurrahman al-Atsari, Memusuhi Penguasa
Murtad hal. 190).
Diakhirat kelak kita tidak akan ditanya kenapa kita menyelisihi
kebanyakan orang!. Tapi kita akan ditanya kenapa menyelisihi satu orang yaitu
Rosulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam.
Lebih baik dibenci oleh semua orang yang ada dikolong langit karena
mempertahankan kebenaran, daripada dibenci oleh Allah karena terjerumus dalam
kebatilan. Kalau kita sudah dibenci oleh Allah, kepada siapa lagi kita akan
meminta pertolongan?.
Bila kita memegang kebenaran tidak heran kita akan diolok-olok
sabagai mana ikan yang hidup di sungai. Sampah-sampah yang terbawa arus tidak
dipermasalahkan tetapi ikan yang melawan arus malah dia lah yang
dipergunjingkan, tapi ingat; justeru dia yang banyak dicari oleh kebanyakan
orang.
Jadilah seperti ikan yang hidup di
dalam laut. Walaupun dia hidup di air asin tetapi dia tidak terbawa asin. Atau
jadilah belut yang hidup di lumpur tetapi dia tidak terbawa kotor. Allah
subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَٱسۡتَقِمۡ كَمَآ أُمِرۡتَ وَمَن
تَابَ مَعَكَ وَلَا تَطۡغَوۡاْۚ إِنَّهُۥ بِمَا تَعۡمَلُونَ بَصِيرٞ ١١٢
“Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana
diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah
kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”. Q.S. Hud (11) : 112.
K.H. Wawan Shofwan Sholehuddin
berkata, “Menyendiri di dunia karena hidup mempertahankan sunnah, lebih baik
daripada hidup beramai-ramai untuk menyendiri diakhirat dalam keterusiran”.(Wawan
Shofwan Sholehuddin, Sholat Sunnat & Permasalahannya hal. x)
Barangkali yang dimaksud oleh K.H. Wawan Shofwan Sholehuddin
ialah hadits berikut,
سَهْلِبْنِسَعْدٍقَالَقَالَالنَّبِيُّصَلَّىاللَّهُعَلَيْهِوَسَلَّمَإِنِّيفَرَطُكُمْعَلَىالْحَوْضِمَنْمَرَّعَلَيَّشَرِبَوَمَنْشَرِبَلَمْيَظْمَأْأَبَدًالَيَرِدَنَّعَلَيَّأَقْوَامٌأَعْرِفُهُمْوَيَعْرِفُونِيثُمَّيُحَالُبَيْنِيوَبَيْنَهُمْقَالَأَبُوحَازِمٍفَسَمِعَنِيالنُّعْمَانُبْنُأَبِيعَيَّاشٍفَقَالَهَكَذَاسَمِعْتَمِنْسَهْلٍفَقُلْتُنَعَمْفَقَالَأَشْهَدُعَلَىأَبِيسَعِيدٍالْخُدْرِيِّلَسَمِعْتُهُوَهُوَيَزِيدُفِيهَافَأَقُولُإِنَّهُمْمِنِّيفَيُقَالُإِنَّكَلَاتَدْرِيمَاأَحْدَثُوابَعْدَكَفَأَقُولُسُحْقًاسُحْقًالِمَنْغَيَّرَبَعْدِيوَقَالَابْنُعَبَّاسٍسُحْقًابُعْدًايُقَالُسَحِيقٌبَعِيدٌسَحَقَهُوَأَسْحَقَهُأَبْعَدَهُوَقَالَأَحْمَدُبْنُشَبِيبِبْنِسَعِيدٍالْحَبَطِيُّحَدَّثَنَاأَبِيعَنْيُونُسَعَنْابْنِشِهَابٍعَنْسَعِيدِبْنِالْمُسَيَّبِعَنْأَبِيهُرَيْرَةَأَنَّهُكَانَيُحَدِّثُأَنَّرَسُولَاللَّهِصَلَّىاللَّهُعَلَيْهِوَسَلَّمَقَالَيَرِدُعَلَيَّيَوْمَالْقِيَامَةِرَهْطٌمِنْأَصْحَابِيفَيُحَلَّئُونَعَنْالْحَوْضِفَأَقُولُيَارَبِّأَصْحَابِيفَيَقُولُإِنَّكَلَاعِلْمَلَكَبِمَاأَحْدَثُوابَعْدَكَإِنَّهُمْارْتَدُّواعَلَىأَدْبَارِهِمْالْقَهْقَرَى
“Dari
Sahal bin Sa'd mengatakan, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Akulah pertama-tama yang mendangi telaga, siapa yang menuju telagaku akan
minum, dan siapa yang meminumnya tak akan haus selama-lamanya, sungguh akan ada
beberapa kaum yang mendatangiku dan aku mengenalnya dan mereka juga mengenaliku,
kemudian antara aku dan mereka dihalangi." Kata Abu Hazim, Nu'man bin Abi
'Ayyasy mendengarku, maka ia berkomentar; 'Beginikah kamu mendengar dari Sahal?
' 'Iya' Jawabku. Lalu ia berujar; 'Saya bersaksi kepada Abu Sa'id Alkhudzri,
sungguh aku mendengarnya dan dia menambahi redaksi; "aku berkata; 'mereka
adalah golonganku! ' tetapi di jawab; 'Sungguh engkau tidak tahu apa yang
mereka lakukan sepeninggalmu! ' Maka aku berkata; 'menjauh, menjauh, bagi orang
yang mengubah (agama) sepeninggalku." Kata Ibnu 'Abbas, istilah suhqan
maknanya menjauh. Sahiq maknanya ba'id (jauh). Ashaqo maknanya ab'ada
(menjauhkan). Sedang Ahmad bin Syabib bin Sa'id Al Habathi mengatakan, telah
menceritakan kepada kami ayahku dari Yunus dari Ibnu Syihab dari Sa'id bin
Musayyab dari Abu Hurairah bahwasanya ia menceritakan, bahwa Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Pada hari kiamat beberapa orang
sahabatku mendatangiku, kemudian mereka disingkirkan dari telaga, maka aku
katakan; 'ya rabbi, (mereka) sahabatku! ' Allah menjawab; 'Kamu tak mempunyai
pengetahuan tentang yang mereka kerjakan sepeninggalmu. Mereka berbalik ke
belakang dengan melakukan murtad, bid'ah dan dosa besar”. H.R. Bukhori.
Imam al-Ghazali
berkata, “Jangan resah andai ada yang membencimu, karena masih ramai yng
mencintaimu di dunia; tetapi resahlah andai Allah membencimu karena tiada lagi
yang mencintaimu di akhirat”.
Bila kita ingin tahu jernihnya air sungai, maka kita harus
melihatnya langsung ke hulu sungai tersebut karena di hilir sungai, airnya sudah
tercampuri oleh berbagai macam limbah. Baik dari limbah pabrik, limbah rumah
tangga, air pesawahan, air selokan dan lainnya. Begitu pula bila kita ingin
melihat Islam yang sesungguhnya, maka kita harus ke “hulu” Islam yaitu
al-Qur’an dan Hadits karena Islam sekarang sudah tercampuri oleh “limbah” dari
agama lain (tasyabuh), paham-paham sesat, aliran-aliran sesat dan lainnya.
Maka dari itu, jalankanlah
sunnah-sunnah nabi dengan menjalankan atau menghidupkan sunnah-sunnahnya, kerena
dengan menjalankan atau menghidupkan sunnah-sunnahnya;merupakan bukti cinta
kepadanya danakan mengantarkan kita ke surga, serta bila kita benci kepada
sunnah-sunnahnya kita dianggap bukan umatnya,
قُلۡ إِن كُنتُمۡ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ
فَٱتَّبِعُونِي يُحۡبِبۡكُمُ ٱللَّهُ وَيَغۡفِرۡ لَكُمۡ ذُنُوبَكُمۡۚ وَٱللَّهُ
غَفُورٞ رَّحِيمٞ ٣١
“Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah
aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu’. Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang”. Q.S.
Ali Imron (3) : 31.
.......وَمَآ ءَاتَىٰكُمُ ٱلرَّسُولُ فَخُذُوهُوَمَا نَهَىٰكُمۡ عَنۡهُ
فَٱنتَهُواْۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلۡعِقَابِ ٧
“........Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa
yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya”. Q.S. Al-Hasyr (59) : 7.
قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا
بُنَيَّ إِنْ قَدَرْتَ أَنْ تُصْبِحَ وَتُمْسِيَ لَيْسَ فِي قَلْبِكَ غِشٌّ
لِأَحَدٍ فَافْعَلْ ثُمَّ قَالَ لِي يَا بُنَيَّ وَذَلِكَ مِنْ سُنَّتِي وَمَنْ
أَحْيَا سُنَّتِي فَقَدْ أَحَبَّنِي وَمَنْ أَحَبَّنِي كَانَ مَعِي فِي الْجَنَّةِ
Dari Anas ia berkata; sesungguhnya Rosulullah sholallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda kepadaku: “Wahai anakku, jika engkau mampu berada dipagi dan
sore hari dengan tidak punya niat untuk menipu seseorang, maka lakukanlah.
Kemudian beliau bersabda: “Wahai anakku! Itu adalah sunnahku dan siapa yang mencintai
sunnahku berarti mencintaiku, siapa mencintaiku, ia akan bersamaku di surga”. H.R. Tirmidzi.
فمَن رغب عن سنَّتي فليس منِّي
Dari Anas ia berkata; Nabi Sholallahu ‘alaihi wa salam telah
bersabda: “Barangsiapa yang meninggalkan sunnahku, maka ia bukan ummatku”. H.R. Muslim.
Bila kita menyakini apa yang kita lakukan ini benar, kita setidaknya
harus mengimplementasikan hal tersebut dalam tiga hal:
1.
Mempertahankan Argumen Bila Didebat Oleh Orang Lain.
Mudah saja
mengetahui apakah amal yang kita amalkan itu sesuai dengan sunnah atau tidak,
salah satu indikatornya yaitu ketika amalan kita dipertanyakan oleh orang lain,
apakah kita bisa mengemukakan dan mempertahankan argumen kita atau tidak. Bila
tidak?, maka sudah dapat dipastikan amalan tersebut hanya ikut-ikutan (taqlid)
saja.
2.
Menjalankan Dengan Konsisten Apa Yang Kita Yakini Benar.
Konsekuensi menyakini
amalan yang kita anggap kebenarannya yaitu dengan cara menjalankan apa yang
kita yakini itu dengan konsisten. Bila kita menyakini amalan yang kita anggap
benar, tetapi kita tidak menjalankannya maka dipertanyakan keabsahan amalan
tersebut karena kita sendiri saja tidak menjalankan, secara tidak langsung kita
tidak yakin akan kebenaran amalan kita yakini itu, begitulah logika
sederhananya.
3.
Menyebar Luaskan Apa Yang Kita Anggap Benar Itu.
Kalau ada orang
yang menyakini amalanya benar, tetapi tidak menyebarluaskan amalannya tersebut,
itu indikator bahwa amalannya diragukan; sebab dia sendiri ragu akan amalannya
sampai-sampai ia enggan untuk menyebarbarluaskannya. sedangkanMenyebarluaskan
atau mengajak kepada kebenaran amat besar ganjaranya,
وَعَنْ أَبِي مَسْعُودٍ رضي
الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( مَنْ دَلَّ عَلَى
خَيْرٍ, فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ
Dari Ibnu Mas’ud Radliyallaahu ‘anhu bahwa
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa menunjukkan
(seseorang) kepada kebaikannya, ia memperoleh pahala seperti pahala orang yang
melakukannya.”H.R. Muslim.
مَنْدَعَاإِلَىهُدًىكَانَلَهُمِنْالْأَجْرِمِثْلُأُجُورِمَنْتَبِعَهُلَايَنْقُصُذَلِكَمِنْأُجُورِهِمْشَيْئًاوَمَنْدَعَاإِلَىضَلَالَةٍكَانَعَلَيْهِمِنْالْإِثْمِمِثْلُآثَامِمَنْتَبِعَهُلَايَنْقُصُذَلِكَمِنْآثَامِهِمْشَيْئًا
“Siapa yang
mengajak kepada petunjuk (yang benar), maka baginya pahala sebagaimana orang
yang mengikutinya-tidak akan dikurangi dari pahala mereka sedikitpun-dan siapa
yang mengajak kepada kesesatan, maka baginya dosa sebagaimana dosa orang yang
mgikutinya-tidak dikurangi dari dosa mereka sedikitpun-“. H.R. Muslim.
Itulah sekelumit prediksi Nabi
tentang kejadian-kejadian yang akan terjadi pada masa yang akan datang, karena Nabi
berprediksi menggunakan wahyu bukan ro’yu atau hawa nafsu.
Sebenarnya banyak prediksi-prediksi Nabi yang akan terjadi di masa
yang akan datang, tapi kiranya pada pembahasan kali ini penulis cukup
memberikan satu atau dua contoh saja. Bagi yang ingin mengetahui lebih banyak
mengenai hal tersebut, silahkan baca buku karya Imam Santoso, Lc yang
berjudul Prediksi Kenabiandan Abdul Hakim bin Amir Abdatyang
berjudul Telah Datang Zamannya.HANCA.
1.
Abu Abdurrahman al-Atsri, al-Haqq wal Yaqiin fii ‘Adaawaat
at-Thoghoot wal Murtaddiin. Edisi Indonesia: Memusuhi Penguasa
Murtad. Pen: Wahyudin bin Rasyidin. Media Islamika, 2008. Cet. I.
2.
Abu Abdullah Muhammad bin Ismail Bukhori, Shohih Bukhori.
Darul Fikr Bairut, 2003.
3.
Abu Husain Muslim bin Hijaj, Shohih Muslim. Darul Fikr
Bairut, 2007. Abdul Hakim bin Amir Abdat, Telah Datang Zamannya. Pustaka Imam
Muslim Jakarta, 2005. Cet. I.
4.
Departemen Agama RI, Terjemah dan Tafsir al-Qur’an. J-ART,
2005.
5.
Imam asy-Syathibi, al-I’tishom. Pen. Shalahuddin Sabki,
Pustaka Azzam Jakarta, 2010. Cet. III.
Wawan
Shofwan Sholehuddin, Sholat Sunnat & Permasalahnya. Tafakur Bandung,
2009. Cet. I.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar