JANGAN BERSEDIH MENJADI ORANG YANG TERASING - PEMUDA PERSIS KAB. SUMEDANG

Breaking

Post Top Ad

Kami pemuda pembela agama Pembangkit umat yang utama Bertabligh memikat hati yang suci Berdalilkan Qur’an dan Hadis Di-tanam iman disebar amal Memimpin jiwa dan akhlaqnya Membasmi bid’ah agama Berjihad, berdakwah, beruswah)* Bersatulah bersatulah bersatulah bersatulah Hai muslimin Siapa yang menentang Islam Musnahlah dalil dan hujahnyaWeb PEMUDA PERSIS SUMEDANG

Post Top Ad

Mangga bade Iklan palih dieu

Kamis, 09 Agustus 2018

JANGAN BERSEDIH MENJADI ORANG YANG TERASING


Oleh: M. Nurachman
(Ketua PC. Pemuda Persatuan Islam Sumedang Selatan)

Pertama kali Islam diprolamirkan oleh Muhammad musthofa, masyarakat Arab pada waktu itu merasa asing dengan apa yang dibawa oleh Muhammad. Diam di gua Hiro untuk merenung, lalu tiba-tiba membawa ajaran yang sangat “mendobrak” tradisi adat istiadat masyarakat, sampai-sampai banyak yang bilang bahwa Muhammad sudah gila, seorang penyair ulung, tukang tenung, dan lain-lain.
Empat belas abad yang lampau Rosulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam telah memprediksi bahwa Islam dulunya asing dan di akhir zaman nanti akan kembali asing sebagaimana permulaan Islam dulu. Mungkinkah apa yang diprediksi Nabi terjadi pada hari ini?.
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ  « إِنَّ الإِسْلاَمَ بَدَأَ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ ». قَالَ قِيلَ وَمَنِ الْغُرَبَاءُ قَالَ النُّزَّاعُ مِنَ الْقَبَائِلِ. قال الشيخ الألباني : صحيح دون قال قيل
“Sesungguhnya Islam muncul dalam keadaan asing, dan akan kembali asing seperti saat  kemunculannya. Maka beruntunglah orang-orang yang asing”. Seseorang bertanya : “Siapakah orang-orang yang asing itu ya Rasulullah ? “Mereka yang “menyempal” (berseberangan) dari kaumnya”, jawab Rasulullah   (HR. Ibnu Majah, Ahmad & Ad Darimi dinyatakan Shahih oleh Syaikh Al Albani )
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ  قَالَ «إِنَّ الدِّينَ بَدَأَ غَرِيبًا وَيَرْجِعُ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ الَّذِينَ يُصْلِحُونَ مَا أَفْسَدَ النَّاسُ مِنْ بَعْدِى مِنْ سُنَّتِى ». قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ
“Sesungguhnya Islam muncul dalam keadaan asing, dan akan kembali asing seperti saat  kemunculannya. Maka beruntunglah orang-orang yang terasing”. Seseorang bertanya : “Siapakah orang-orang yang asing itu ya Rasulullah  ? “Orang-orang yang selalu memperbaiki (melakukan ishlah) di saat manusia merusak sunnah-sunnah ku”, jawab Rasulullah  (HR. At Tirmidzi, dinyatakan Hasan Shahih oleh Imam At Tirmidzi).
فَقِيلَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَمَا الْغُرَبَاءُ؟ قَالَ :”الَّذِينَ يُصْلِحُونَ عِنْدَ فَسَادِ النَّاسِ
“Siapakah orang-orang yang terasing itu ya Rasulullah ? “Orang-orang yang selalu memperbaiki (amar ma’rur dan nahi munkar) di saat manusia dalam keadaan rusak”, jawab Rasulullah   (HR. Thabrani).
« طُوبَىلِلْغُرَبَاءِ ». فَقِيلَمَنِالْغُرَبَاءُيَارَسُولَاللَّهِقَالَ « أُنَاسٌصَالِحُونَفِىأُنَاسِسَوْءٍكَثِيرٍمَنْيَعْصِيهِمْأَكْثَرُمِمَّنْيُطِيعُهُمْ » ﴿رَوَاهُأحمد ﴾ تعليقشعيبالأرنؤوط : حسنلغيرهمكرر
“Beruntunglah orang-orang yang terasing”. Seseorang bertanya : “Siapakah orang-orang yang terasing itu ya Rasulullah  ? “Orang-orang shalih yang berada di antara orang-orang jahat yang jumlahnya banyak sekali. Yang menentang mereka lebih banyak dibandingkan yang mengikuti ”, jawab Rasulullah   (HR. Ahmad, dinyatakan Hasan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth).
اِنَّ اْلاِسْلاَمَ بَدَأَ غَرِيْبًا وَ سَيَعُوْدُ غَرِيْبًا كَمَا بَدَأَ، فَطُوْبَى لِلْغُرَبَاءِ. قِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، وَ مَا اْلغُرَبَاءُ؟ قَالَ: اَلَّذِيْنَ يُحْيُوْنَ مَا اَمَاتَ النَّاسُ مِنْ سُنَّتِى.
“Sesungguhnya Islam itu pada mulanya datang dengan asing (tidak umum), dan akan kembali dengan asing lagi seperti pada mulanya datang. Maka berbahagialah bagi orang-orang yang asing“. Beliau ditanya, “Ya Rasulullah, siapakah orang-orang yang asing itu ?”. Beliau bersabda, “Yaitu orang-orang yang menghidup-hidupkan apa-apa yang telah dimatikan manusia daripada sunnahku”.(HR. Muslim, Ibnu Majah dan Thobroni).
Berdasar Hadits-hadits di atas, maka makna Ghuroba’ adalah :
1.      Mereka yang “menyempal” (berseberangan) dari kaumnya atau dari mayoritas masyarakat  (HR. Ibnu Majah, Ahmad & Ad Darimi : Shahih)
2.      Orang-orang yang selalu melakukan Amar Ma’ruf Nahi Munkar di saat manusia merusak sunnah-sunnah Rasulullah   (HR. At Tirmidzi, Hasan Shahih)
3.      Orang-orang shalih yang berada di antara orang-orang jahat yang jumlahnya banyak sekali. Yang menentang mereka lebih banyak dibandingkan yang mengikuti     (HR. Ahmad, Hadits Hasan)
4.      Orang-orang yang selalu memperbaiki (amar ma’ruf dan nahi munkar) di saat manusia dalam keadaan rusak  (HR. Thabrani, Shahih).
5.      Orang-orang yang menghidupkan sunnah Nabi(H.R. Muslim, Ibnu Majah, dan Thobroni).
Al-Auza’i berkata, “Bahwasanya Islam tidak akan lenyap, akan tetapi kelompok Ahlu Sunnah akan menghilang hingga tidak ada seorangpun disuatu negeri melainkan hanya satu orang saja”.
Yunus bin Ubaid berkata, “Tidak ada yang lebih asing daripada sunnah dan orang yang mengetahuinya lebih asing lagi daripada sunnah”.
Ibnu Rojab al-Hanbali berkata, “Orang-orang yang asing itu terbagi menjadi dua golongan. Golongan pertama adalah orang yang memperbaiki dirinya tatkala manusia rusak, sedang yang kedua adalah orang yang memperbaiki sesuatu yang dirusak manusia. Golongan yang kedua ini adalah golongan orang asing yang paling tinggi dan paling utama”. (Abu Abdurrahman al-Atsari, Memusuhi Penguasa Murtad hal. 230-231).

            Ust. H. Wawan hermawan M.S. mengilustrasikan hadits tersebut diatas seperti seorang nenek yang hendak mencuci wajan yang hitam dihulu sungai yang berair deras. Ketika ia sedang mencuci wajan pengorengan tersebut, wajannya terbawa hanyut oleh air sungai yang sangat deras. Karena air sungai yang teramat deras, si nenek tersebut tidak berani berenang untuk mengejar wajannya itu. Dengan berat hati dia pun mengikhlaskan wajan pengorengannya itu tersapu derasnya aliran sungai.
            Tak dinyana ternyata di hilir ada seorang yang sedang menjala ikan menemukan wajan penggorengan si nenek itu, dengan sigab ia membawa wajan tersebut ke tepi sungai. Dilihatnya wajan tersebut hitam pekat, tanpa pikir panjang ia pun berinisiatif membersihkan wajan tersebut. Dalam pikirnya, pasti wajan ini milik seseorang yang terbawa hanyut oleh derasnya aliran sungai, maka ia pun pergi ke hulu sungai dan mengumumkan kepada masyarakat ihwal wajan tersebut. Ada seorang warga yang memberitahu bahwa wajan tersebut kepunyaan si nenek. Tak berapa lama dia pun mendatangi tempat tinggal si nenek dan memberikan wajan yang telah ia temukan dan dicuci sampai berkilau. Tapi apa yang terjadi, ternyata si nenek tidak merasa kehilangan wajan penggorengan. Karena ia merasa bahwa wajan yang hanyut berwarna hitam legam sedangkan yang dibawa oleh si penjala ikan itu berkilau kinclong.
            Setelah dijelaskan sedemikian detai oleh si penjala ikan tersebut bahwa ia telah mengembalikan warna asli wajan tersebut seperti ketika pertama kali di beli dengan cara di cuci dengan bersih. Walaupun sudah dijelaskan sedemikan rupa, nenek itu tetap menolak karena ia berasumsi bahwa wajannya hitam legam.
            Ilustrasi di atas sangat tepat engan kondisi umat Islam pada saat ini yang praktek ibadah dan aqidahnya sudah tercampur baur dengan bid’ah, syirik, tahayul, khurofat, tradisi nenek moyang dan lain-lain. Ketika kita menerangkan bahwa agama Islam yang asli adalah yang sesuai dengan al-Qur’an dan Hadits, mereka menolak karena mereka sudah beranggapan bahwa “Islam” yang asli adalah seperti yang mereka praktekan, tak jarang mereka menyebut ajaran yang kita bawa disebut “agama baru”.
            Sebagai seorang muslim jelas ini merupakan tugas kita bersama dalam menjaga “keorisinilan” Islam tersebut dan menjadi Islam puritan merupakan keniscayan. Tugas ini bukan saja tugas Kiai, Ustad, atau pemuka agama, tapi tugas kita semua sebagai seorang muslim karena pada hakikatnya Islam adalah agama dakwah, agama yang menganut prinsif amar ma’ruf dan nahi mungkar. Jangan sampai karena kelamaan Islam dihinggapi oleh “parasit” sehingga umat Islam menganggap parasit tersebut bagian dari Islam dikarenakan kita sebagai umat Islam lalai dalam menjaga Islam.
            Seperti pohon mangga yang tidak terurus oleh yang punyanya sehingga pohon mangga tersebut dihinggapi oleh parasit yang akhirnya parasit tersebut merubah bentuk rupa pohon mangga. Ketika si anak yang punya pohon melihat bentuk rupa pohon seperti itu (yang sudah dihinggapi parasit) dia menganggap bahwa rupa pohon mangga yang asli seperti itu, seperti yang dia lihat dan tersimpan kuat didalam memorinya. Ketika ayahnya membabad habis parasit yang hinggap dipohon tersebut dan tampaklah rupa asli pohon mangga tersebut, maka ketika anak itu melihat bentuk pohon mangga yang asli dia menyebut bahwa itu bukan pohon mangga, karena image yang dia pahami pohon mangga bukan seperti itu.
            Ketika ayahnya menerangkan bahwa bentuk pohon mangga yang dulu adalah bentuk pohon mangga yang terhinggapi parasit atau benalu, tapi tetap anak tersebut menolak karena yang terlintas dalam benaknya bentuk pohon mangga itu seperti yang ia lihat dulu.
            Ilustrsi diatas bila disimpulkan seperti berikut: “Kemungkaran yang dijalankan terus-menerus oleh kebanyakan orang bahkan oleh tokoh agama, maka kemungkaran itu akan dianggap ma’ruf dan ketika kita meninggalkannya atau tidak menjalankannya, maka kita dianggap mungkar dan ketika kita menjalankannya, kita dianggap ma’ruf. Sedangkan perbuatan ma’ruf yang ditinggalkan terus-menerus oleh kebanyakan orang bahkan oleh tokoh agama, maka perbuatan ma’ruf itu dianggap mungkar dan ketika kita melakukannya, maka kita dianggap mungkar dan ketika menjalankannya kita dianggap ma’ruf”.
Ust. Lili Somantri berkata, “Aya lima urang nu gelo, jeung saurang nu cageur. Pan nu di gelo-gelo teh, nu saurang ku limaan. Kusabab nu saurang eta embung di gelo-gelo, terus we manehna ‘gelo’; mangka ceuk nu limaan, eta jalma nu saurang teh cageur”. (Ada lima orang yang gila dan satu orang waras. Kan yang di gila-gila itu, satu orang yang waras oleh lima orang yang gila. Karena orang yang waras itu tidak mau di gila-gila, maka orang yang waras itu jadi ‘gila’; maka kata ke lima orang gila tersebut, satu orang itu waras).
Dalam kehidupan sehari-hari pun kita harus memperlihatkan pendirian kita, jangan “bermuka dua” karena ejekan atau cemoohan orang-orang yang tidak sepaham dengan kita. Justru kita dihargai oleh orang-orang disebabkan kekonsistenan kita.
Ada orang yang kelihatannya gendut, setelah diselidiki ternyata orang itu gendutnya bukan karena daging yang menenpel dibadannya, akan tetapi kerena banyaknya daki yang “hinggap” pada tubuhnya. Diantara padi-padi yang tumbuh dipesawahan ada tanaman yang menyerupai padi yaitugagajahan. Sepintas tanaman ini memang mirip tanaman padi padahal tanaman ini adalah tanaman benalu yang sangat merusak karena akan “memakan” saripati tanah yang seharusnyasaripati tanah itu “dimakan” oleh padi.
Memang hakikat dari pada bid’ah itu menyerupai ibadah sebagaimana yang di ungkapkan oleh Imam Syaathibi: “Bid’ah adalah tata cara dalam agama yang sengaja dibuat dan menyerupai syariat dengan tujuan mengekspresikannya dalam bentuk tingkah laku (perbuatan) yang bersandar padanya, seperti yang dijalankan pada tata cara syariat”. (Imam Syaathibi, al-I’tishom I:5).
Untuk lebih jelasnya mengenai bid’ah silahkan baca buku Imam Syaathibi, al-I’tishom.
Menjadi orang yang terasing (al-ghurobaa) memang berat  karena kita dituntut untuk konsisten dalam kebaikan dikala moral atau perilaku manusia sudah rusak dan menghidupkan sunnah Nabi yang telah di “matikan” oleh kebanyakan orang. Bila tidak bisa menjalankan apa yang telah Rosul amanatkan itu, minimalnya kita tidak ikut praktek-praktek mereka dan hati kita pun menolaknya dan itu merupakan selemah-lemahnya iman sebagaimana yang Rosulullah sabdakan,
عَنْ أَبِي سَعِيْد الْخُدْرِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ : مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَراً فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ[رواه مسلم]
Dari Abu Sa’id Al Khudri radiallahuanhu berkata : Saya mendengar Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Siapa yang melihat kemunkaran maka rubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka rubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu maka (tolaklah) dengan hatinya dan hal tersebut adalah selemah-lemahnya iman”.H.R. Muslim.
Bila hal itu pun tidak ada hasilnya, maka jadilah Asabul kahfi yang mengasingkan diri untuk menyelamatkan akidah dan ibadah dari kekacauan masyarakat maupun penguasa. Untuk lebih jelas tentang praktek konsef ini, silahkan lihat Q.S al-Kahfi.
Bila hal tersebut pun tidak dapat dilakukan, maka ada konsep hijrah sebaimana yang diterangkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala, bahkan Allah sangat mencela orang yang tidak mau berhijrah ketika situasi dan kondisi masyarakat atau negara sudah sangat rusak:
فَٱسۡتَجَابَ لَهُمۡ رَبُّهُمۡ أَنِّي لَآ أُضِيعُ عَمَلَ عَٰمِلٖ مِّنكُم مِّن ذَكَرٍ أَوۡ أُنثَىٰۖ بَعۡضُكُم مِّنۢ بَعۡضٖۖ فَٱلَّذِينَ هَاجَرُواْ وَأُخۡرِجُواْ مِن دِيَٰرِهِمۡ وَأُوذُواْ فِي سَبِيلِي وَقَٰتَلُواْ وَقُتِلُواْ لَأُكَفِّرَنَّ عَنۡهُمۡ سَيِّ‍َٔاتِهِمۡ وَلَأُدۡخِلَنَّهُمۡ جَنَّٰتٖ تَجۡرِي مِن تَحۡتِهَا ٱلۡأَنۡهَٰرُ ثَوَابٗا مِّنۡ عِندِ ٱللَّهِۚ وَٱللَّهُ عِندَهُۥ حُسۡنُ ٱلثَّوَابِ
١٩٥
“Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala di sisi Allah. Dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik" Q.S. Ali Imron (3) : 195.
إِنَّ ٱلَّذِينَ تَوَفَّىٰهُمُ ٱلۡمَلَٰٓئِكَةُ ظَالِمِيٓ أَنفُسِهِمۡ قَالُواْ فِيمَ كُنتُمۡۖ قَالُواْ كُنَّا مُسۡتَضۡعَفِينَ فِي ٱلۡأَرۡضِۚ قَالُوٓاْ أَلَمۡ تَكُنۡ أَرۡضُ ٱللَّهِ وَٰسِعَةٗ فَتُهَاجِرُواْ فِيهَاۚ فَأُوْلَٰٓئِكَ مَأۡوَىٰهُمۡ جَهَنَّمُۖ وَسَآءَتۡ مَصِيرًا ٩٧إِلَّا ٱلۡمُسۡتَضۡعَفِينَ مِنَ ٱلرِّجَالِ وَٱلنِّسَآءِ وَٱلۡوِلۡدَٰنِ لَا يَسۡتَطِيعُونَ حِيلَةٗ وَلَا يَهۡتَدُونَ سَبِيلٗا ٩٨
“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: "Dalam keadaan bagaimana kamu ini?". Mereka menjawab: "Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)". Para malaikat berkata: "Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?". Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali, kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah)”. Q.S. an-Nisa (4) : 97-98.
            Itulah sekelumit bagian dari dakwah yang harus kita jalani dan lakoni yang beresiko dikucilkan, disebut sok suci, sok bener, sok alim, tidak guyub, dan banyak lagi celotehan-celotehan lainnya. Asalkan kita jangan jadi manusia munafiq atau mudabdabin(plin-plan / plintat-plintut), bagaimana ramainya, dalam bahasa sunda: lolondokan / ngabunglon. Memegang kebenaran itu memang banyak aral dan onak yang merintangi sebagaimana yang telah Rosulullah beritakan:
يَأْتِيعَلَىالنَّاسِزَمَانٌالصَّابِرُفِيهِمْعَلَىدِينِهِكَالْقَابِضِعَلَىالْجَمْرِ
“Akan datang suatu zaman dimana orang yang berpegang teguh kepada agama seperti orang yang memegang bara api (dipegang panas, dilepaskan padam)”. H.R. Tirmidzi.
            Dalam hadits yang lain kita diperintahkan agar menggigit kebenaran itu dengan gigi geraham dan tetap dalam Jamaah Muslimin dan Imam Kaum Muslimin serta menjauhi firqoh walaupun harus memakan akar-akaran atau mati dalam keadaan seperti itu, lebih baik daripada ikut serta dengan mereka:


الْعِرْبَاضَبْنَسَارِيَةَقَالَوَعَظَنَارَسُولُاللَّهِصَلَّىاللَّهُعَلَيْهِوَسَلَّمَمَوْعِظَةًذَرَفَتْمِنْهَاالْعُيُونُوَوَجِلَتْمِنْهَاالْقُلُوبُقُلْنَايَارَسُولَاللَّهِإِنَّهَذِهِلَمَوْعِظَةُمُوَدِّعٍفَمَاذَاتَعْهَدُإِلَيْنَاقَالَقَدْتَرَكْتُكُمْعَلَىالْبَيْضَاءِلَيْلُهَاكَنَهَارِهَالَايَزِيغُعَنْهَابَعْدِيإِلَّاهَالِكٌوَمَنْيَعِشْمِنْكُمْفَسَيَرَىاخْتِلَافًاكَثِيرًافَعَلَيْكُمْبِمَاعَرَفْتُمْمِنْسُنَّتِيوَسُنَّةِالْخُلَفَاءِالرَّاشِدِينَالْمَهْدِيِّينَوَعَلَيْكُمْبِالطَّاعَةِوَإِنْعَبْدًاحَبَشِيًّاعَضُّواعَلَيْهَابِالنَّوَاجِذِفَإِنَّمَاالْمُؤْمِنُكَالْجَمَلِالْأَنِفِحَيْثُمَاانْقِيدَانْقَادَ
Dari ‘Irbadh bin Saariyah, ia berkata; Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa salam bersabda: “aku wasiatkan padamu agar takwa kepada Allah, pauh serta taat (kepada pemimpin) sekalipun ia orang Habsyi (berkulit hitam). Sungguh, siapa saja yang hidup di antaramu setelahku, akan melihat banyak perselisihan. Hendaklah kamu pegang teguh sunnahku dan sunnah Khulafaau Roosyidiin yang mendapat petunjuk, berpegang teguhlah kepadanya dan gigitlah sunnahku itu dengan gigi gerahammu. Hendaklah kamu berhati-hati terhadap perkara yang diada-adakan, karena setiap yang diada-adakan itu bid’ah, setiap bid’ah adalah sesat”. H.R. Ahmad.
(Menurut Hudzaifah bin Yaman) “Orang-orang bertanya kepada Rosulullah tentang kebaikan, sedangkan aku bertanya tentang kejahatan; kerena hal itu takut menimpa diriku. Lalu aku bertanya: ‘Wahai Rosulullah! Kami dulu berada dalam jahiliyah dan kejahatan, kemudian Allah mendatangkan atau membawakan kebaikan (agama) kepada kami, maka setelah kebaikan ini, akan terjadi lagi kejahatan?’. Nabi menjawab, ‘Ya!’. Lalu aku bertanya lagi, ‘Apakah setelah kejahatan itu akan datang lagi kebaikan?’. Nabi menjawab, ‘Ya!, tetapi masih ada DUKHONNYA (asapnya)’. Lalu aku bertanya lagi, ‘Apa itu DUKHONNYA?’. Nabi menjawab, ‘Suatu kaum yang memberikan petunjuk bukan dengan petunjukku, engkau kenal mereka tetapi engkau mengingkarinya’. Lalu aku bertanya lagi, ‘Apakah setelah kebaikan itu akan ada lagi kejahatan?’. Nabi menjawab, ‘Ya! Dai-dai (penyeru-penyeru) yang mengajak ke pintu jahanam. Barangsiapa yang memenuhi panggilan mereka, niscaya akan dilemparkan ke Neraka’. Lalu aku bertanya lagi, ‘Wahai Rosulullah, terangkanlah kepada kami sifat-sifat mereka?’. Nabi menjawab, ‘Mereka itu sekulit dengan kulit kita, dan berbicara dengan bahasa kita’. Aku bertanya lagi, ‘Apa yang akan engkau perintahkan kepadaku jika aku mengalami hal itu?’. Nabi menjawab, ‘Tetaplah dalam Jamaah Muslimin dan Imam mereka’. Aku bertanya lagi, ‘Bagaiman jika tidak ada jamaah dan imam’. Nabi menjawab, ‘Jauhilah semua firqoh yang ada, walau engkau harus menggigit akar suatu pohon dan engkau mati dalam keadaan itu”. H.R. Bukhori.
            Kalau dalam beribadah dan berakidah mengikuti kebanyakan orang tidak menuruti Qur’an dan Hadits, akan celaka. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَإِن تُطِعۡ أَكۡثَرَ مَن فِي ٱلۡأَرۡضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِۚ إِن يَتَّبِعُونَ إِلَّا ٱلظَّنَّ وَإِنۡ هُمۡ إِلَّا يَخۡرُصُونَ ١١٦

“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)”. Q.S. al-An’am (6) : 116.
Dalam doanya Rosul ingin dimasukan kedalam golongan yang sedikit.
اللَّهُمَّ اجْعَلْنِي مِنَ القَلِيلِ
"Ya Allah jadikanlah aku termasuk dari orang-orang yang sedikit’.”H.R Ahmad dan Ibnu Abi Syaibah.
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Abu Bathin berkata, “ Apabila seseorang telah mengetahui kebenaran, jangan merasa kesepian dengan sedikitnya orang yang sependapat dengannya, dan banyaknya orang yang menyelisihinya, apalagi diakhir zaman sekarang ini. Pendapat orang bodoh mengatakan, ‘Seandainya ini benar pasti diketahui oleh si fulan dan si fulan’, ini adalah dakwaan orang-orang kafir. Sebagaimana perkataan mereka dalam al-Qur’an,
...لَوۡ كَانَ خَيۡرٗا مَّا سَبَقُونَآ إِلَيۡهِۚ...
"....Kalau sekiranya di (Al Quran) adalah suatu yang baik, tentulah mereka tiada mendahului kami (beriman) kepadanya....”. Q.S. al-Ahqoof (48) : 11”.(Abu abdurrahman al-Atsari, Memusuhi Penguasa Murtad hal. 190).
Diakhirat kelak kita tidak akan ditanya kenapa kita menyelisihi kebanyakan orang!. Tapi kita akan ditanya kenapa menyelisihi satu orang yaitu Rosulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam.
Lebih baik dibenci oleh semua orang yang ada dikolong langit karena mempertahankan kebenaran, daripada dibenci oleh Allah karena terjerumus dalam kebatilan. Kalau kita sudah dibenci oleh Allah, kepada siapa lagi kita akan meminta pertolongan?.
Bila kita memegang kebenaran tidak heran kita akan diolok-olok sabagai mana ikan yang hidup di sungai. Sampah-sampah yang terbawa arus tidak dipermasalahkan tetapi ikan yang melawan arus malah dia lah yang dipergunjingkan, tapi ingat; justeru dia yang banyak dicari oleh kebanyakan orang.
            Jadilah seperti ikan yang hidup di dalam laut. Walaupun dia hidup di air asin tetapi dia tidak terbawa asin. Atau jadilah belut yang hidup di lumpur tetapi dia tidak terbawa kotor. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَٱسۡتَقِمۡ كَمَآ أُمِرۡتَ وَمَن تَابَ مَعَكَ وَلَا تَطۡغَوۡاْۚ إِنَّهُۥ بِمَا تَعۡمَلُونَ بَصِيرٞ ١١٢
“Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”. Q.S. Hud (11) : 112.
            K.H. Wawan Shofwan Sholehuddin berkata, “Menyendiri di dunia karena hidup mempertahankan sunnah, lebih baik daripada hidup beramai-ramai untuk menyendiri diakhirat dalam keterusiran”.(Wawan Shofwan Sholehuddin, Sholat Sunnat & Permasalahannya hal. x)
Barangkali yang dimaksud oleh K.H. Wawan Shofwan Sholehuddin ialah hadits berikut,
سَهْلِبْنِسَعْدٍقَالَقَالَالنَّبِيُّصَلَّىاللَّهُعَلَيْهِوَسَلَّمَإِنِّيفَرَطُكُمْعَلَىالْحَوْضِمَنْمَرَّعَلَيَّشَرِبَوَمَنْشَرِبَلَمْيَظْمَأْأَبَدًالَيَرِدَنَّعَلَيَّأَقْوَامٌأَعْرِفُهُمْوَيَعْرِفُونِيثُمَّيُحَالُبَيْنِيوَبَيْنَهُمْقَالَأَبُوحَازِمٍفَسَمِعَنِيالنُّعْمَانُبْنُأَبِيعَيَّاشٍفَقَالَهَكَذَاسَمِعْتَمِنْسَهْلٍفَقُلْتُنَعَمْفَقَالَأَشْهَدُعَلَىأَبِيسَعِيدٍالْخُدْرِيِّلَسَمِعْتُهُوَهُوَيَزِيدُفِيهَافَأَقُولُإِنَّهُمْمِنِّيفَيُقَالُإِنَّكَلَاتَدْرِيمَاأَحْدَثُوابَعْدَكَفَأَقُولُسُحْقًاسُحْقًالِمَنْغَيَّرَبَعْدِيوَقَالَابْنُعَبَّاسٍسُحْقًابُعْدًايُقَالُسَحِيقٌبَعِيدٌسَحَقَهُوَأَسْحَقَهُأَبْعَدَهُوَقَالَأَحْمَدُبْنُشَبِيبِبْنِسَعِيدٍالْحَبَطِيُّحَدَّثَنَاأَبِيعَنْيُونُسَعَنْابْنِشِهَابٍعَنْسَعِيدِبْنِالْمُسَيَّبِعَنْأَبِيهُرَيْرَةَأَنَّهُكَانَيُحَدِّثُأَنَّرَسُولَاللَّهِصَلَّىاللَّهُعَلَيْهِوَسَلَّمَقَالَيَرِدُعَلَيَّيَوْمَالْقِيَامَةِرَهْطٌمِنْأَصْحَابِيفَيُحَلَّئُونَعَنْالْحَوْضِفَأَقُولُيَارَبِّأَصْحَابِيفَيَقُولُإِنَّكَلَاعِلْمَلَكَبِمَاأَحْدَثُوابَعْدَكَإِنَّهُمْارْتَدُّواعَلَىأَدْبَارِهِمْالْقَهْقَرَى
“Dari Sahal bin Sa'd mengatakan, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Akulah pertama-tama yang mendangi telaga, siapa yang menuju telagaku akan minum, dan siapa yang meminumnya tak akan haus selama-lamanya, sungguh akan ada beberapa kaum yang mendatangiku dan aku mengenalnya dan mereka juga mengenaliku, kemudian antara aku dan mereka dihalangi." Kata Abu Hazim, Nu'man bin Abi 'Ayyasy mendengarku, maka ia berkomentar; 'Beginikah kamu mendengar dari Sahal? ' 'Iya' Jawabku. Lalu ia berujar; 'Saya bersaksi kepada Abu Sa'id Alkhudzri, sungguh aku mendengarnya dan dia menambahi redaksi; "aku berkata; 'mereka adalah golonganku! ' tetapi di jawab; 'Sungguh engkau tidak tahu apa yang mereka lakukan sepeninggalmu! ' Maka aku berkata; 'menjauh, menjauh, bagi orang yang mengubah (agama) sepeninggalku." Kata Ibnu 'Abbas, istilah suhqan maknanya menjauh. Sahiq maknanya ba'id (jauh). Ashaqo maknanya ab'ada (menjauhkan). Sedang Ahmad bin Syabib bin Sa'id Al Habathi mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku dari Yunus dari Ibnu Syihab dari Sa'id bin Musayyab dari Abu Hurairah bahwasanya ia menceritakan, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Pada hari kiamat beberapa orang sahabatku mendatangiku, kemudian mereka disingkirkan dari telaga, maka aku katakan; 'ya rabbi, (mereka) sahabatku! ' Allah menjawab; 'Kamu tak mempunyai pengetahuan tentang yang mereka kerjakan sepeninggalmu. Mereka berbalik ke belakang dengan melakukan murtad, bid'ah dan dosa besar”. H.R. Bukhori.
            Imam al-Ghazali berkata, “Jangan resah andai ada yang membencimu, karena masih ramai yng mencintaimu di dunia; tetapi resahlah andai Allah membencimu karena tiada lagi yang mencintaimu di akhirat”.
Bila kita ingin tahu jernihnya air sungai, maka kita harus melihatnya langsung ke hulu sungai tersebut karena di hilir sungai, airnya sudah tercampuri oleh berbagai macam limbah. Baik dari limbah pabrik, limbah rumah tangga, air pesawahan, air selokan dan lainnya. Begitu pula bila kita ingin melihat Islam yang sesungguhnya, maka kita harus ke “hulu” Islam yaitu al-Qur’an dan Hadits karena Islam sekarang sudah tercampuri oleh “limbah” dari agama lain (tasyabuh), paham-paham sesat, aliran-aliran sesat dan lainnya.
            Maka dari itu, jalankanlah sunnah-sunnah nabi dengan menjalankan atau menghidupkan sunnah-sunnahnya, kerena dengan menjalankan atau menghidupkan sunnah-sunnahnya;merupakan bukti cinta kepadanya danakan mengantarkan kita ke surga, serta bila kita benci kepada sunnah-sunnahnya kita dianggap bukan umatnya,
قُلۡ إِن كُنتُمۡ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِي يُحۡبِبۡكُمُ ٱللَّهُ وَيَغۡفِرۡ لَكُمۡ ذُنُوبَكُمۡۚ وَٱللَّهُ غَفُورٞ رَّحِيمٞ ٣١
“Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu’. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. Q.S. Ali Imron (3) : 31.
.......وَمَآ ءَاتَىٰكُمُ ٱلرَّسُولُ فَخُذُوهُوَمَا نَهَىٰكُمۡ عَنۡهُ فَٱنتَهُواْۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلۡعِقَابِ ٧
“........Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya”. Q.S. Al-Hasyr (59) : 7.
قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا بُنَيَّ إِنْ قَدَرْتَ أَنْ تُصْبِحَ وَتُمْسِيَ لَيْسَ فِي قَلْبِكَ غِشٌّ لِأَحَدٍ فَافْعَلْ ثُمَّ قَالَ لِي يَا بُنَيَّ وَذَلِكَ مِنْ سُنَّتِي وَمَنْ أَحْيَا سُنَّتِي فَقَدْ أَحَبَّنِي وَمَنْ أَحَبَّنِي كَانَ مَعِي فِي الْجَنَّةِ
Dari Anas ia berkata; sesungguhnya Rosulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku: “Wahai anakku, jika engkau mampu berada dipagi dan sore hari dengan tidak punya niat untuk menipu seseorang, maka lakukanlah. Kemudian beliau bersabda: “Wahai anakku! Itu adalah sunnahku dan siapa yang mencintai sunnahku berarti mencintaiku, siapa mencintaiku,  ia akan bersamaku di surga”. H.R. Tirmidzi.
فمَن رغب عن سنَّتي فليس منِّي
Dari Anas ia berkata; Nabi Sholallahu ‘alaihi wa salam telah bersabda: “Barangsiapa yang meninggalkan sunnahku, maka ia bukan ummatku”. H.R. Muslim.
Bila kita menyakini apa yang kita lakukan ini benar, kita setidaknya harus mengimplementasikan hal tersebut dalam tiga hal:
1.      Mempertahankan Argumen Bila Didebat Oleh Orang Lain.
Mudah saja mengetahui apakah amal yang kita amalkan itu sesuai dengan sunnah atau tidak, salah satu indikatornya yaitu ketika amalan kita dipertanyakan oleh orang lain, apakah kita bisa mengemukakan dan mempertahankan argumen kita atau tidak. Bila tidak?, maka sudah dapat dipastikan amalan tersebut hanya ikut-ikutan (taqlid) saja.
2.      Menjalankan Dengan Konsisten Apa Yang Kita Yakini Benar.
Konsekuensi menyakini amalan yang kita anggap kebenarannya yaitu dengan cara menjalankan apa yang kita yakini itu dengan konsisten. Bila kita menyakini amalan yang kita anggap benar, tetapi kita tidak menjalankannya maka dipertanyakan keabsahan amalan tersebut karena kita sendiri saja tidak menjalankan, secara tidak langsung kita tidak yakin akan kebenaran amalan kita yakini itu, begitulah logika sederhananya.
3.      Menyebar Luaskan Apa Yang Kita Anggap Benar Itu.
Kalau ada orang yang menyakini amalanya benar, tetapi tidak menyebarluaskan amalannya tersebut, itu indikator bahwa amalannya diragukan; sebab dia sendiri ragu akan amalannya sampai-sampai ia enggan untuk menyebarbarluaskannya. sedangkanMenyebarluaskan atau mengajak kepada kebenaran amat besar ganjaranya,
وَعَنْ أَبِي مَسْعُودٍ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ, فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ
Dari Ibnu Mas’ud Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa menunjukkan (seseorang) kepada kebaikannya, ia memperoleh pahala seperti pahala orang yang melakukannya.”H.R. Muslim.
مَنْدَعَاإِلَىهُدًىكَانَلَهُمِنْالْأَجْرِمِثْلُأُجُورِمَنْتَبِعَهُلَايَنْقُصُذَلِكَمِنْأُجُورِهِمْشَيْئًاوَمَنْدَعَاإِلَىضَلَالَةٍكَانَعَلَيْهِمِنْالْإِثْمِمِثْلُآثَامِمَنْتَبِعَهُلَايَنْقُصُذَلِكَمِنْآثَامِهِمْشَيْئًا
“Siapa yang mengajak kepada petunjuk (yang benar), maka baginya pahala sebagaimana orang yang mengikutinya-tidak akan dikurangi dari pahala mereka sedikitpun-dan siapa yang mengajak kepada kesesatan, maka baginya dosa sebagaimana dosa orang yang mgikutinya-tidak dikurangi dari dosa mereka sedikitpun-“. H.R. Muslim.
            Itulah sekelumit prediksi Nabi tentang kejadian-kejadian yang akan terjadi pada masa yang akan datang, karena Nabi berprediksi menggunakan wahyu bukan ro’yu atau hawa nafsu.
Sebenarnya banyak prediksi-prediksi Nabi yang akan terjadi di masa yang akan datang, tapi kiranya pada pembahasan kali ini penulis cukup memberikan satu atau dua contoh saja. Bagi yang ingin mengetahui lebih banyak mengenai hal tersebut, silahkan baca buku karya Imam Santoso, Lc yang berjudul Prediksi Kenabiandan Abdul Hakim bin Amir Abdatyang berjudul Telah Datang Zamannya.HANCA.



Sumber Bacaan:
1.      Abu Abdurrahman al-Atsri, al-Haqq wal Yaqiin fii ‘Adaawaat at-Thoghoot wal Murtaddiin. Edisi Indonesia: Memusuhi Penguasa Murtad. Pen: Wahyudin bin Rasyidin. Media Islamika, 2008. Cet. I.
2.      Abu Abdullah Muhammad bin Ismail Bukhori, Shohih Bukhori. Darul Fikr Bairut, 2003.
3.      Abu Husain Muslim bin Hijaj, Shohih Muslim. Darul Fikr Bairut, 2007. Abdul Hakim bin Amir Abdat, Telah Datang Zamannya. Pustaka Imam Muslim Jakarta, 2005. Cet. I.
4.      Departemen Agama RI, Terjemah dan Tafsir al-Qur’an. J-ART, 2005.
5.      Imam asy-Syathibi, al-I’tishom. Pen. Shalahuddin Sabki, Pustaka Azzam Jakarta, 2010. Cet. III.
Wawan Shofwan Sholehuddin, Sholat Sunnat & Permasalahnya. Tafakur Bandung, 2009. Cet. I.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad

Responsive Ads Here