NASIONALISME, ISLAMISME, DAN MARXISME - PEMUDA PERSIS KAB. SUMEDANG

Breaking

Post Top Ad

Kami pemuda pembela agama Pembangkit umat yang utama Bertabligh memikat hati yang suci Berdalilkan Qur’an dan Hadis Di-tanam iman disebar amal Memimpin jiwa dan akhlaqnya Membasmi bid’ah agama Berjihad, berdakwah, beruswah)* Bersatulah bersatulah bersatulah bersatulah Hai muslimin Siapa yang menentang Islam Musnahlah dalil dan hujahnyaWeb PEMUDA PERSIS SUMEDANG

Post Top Ad

Mangga bade Iklan palih dieu

Sabtu, 25 Agustus 2018

NASIONALISME, ISLAMISME, DAN MARXISME


(Diresume dan dianalisis oleh M. Nurachman dengan NIM 16.01.008 dari buku Dibawah Bendera Revolusi I karya Soekarno Cetakan IV diterbitkan oleh Panitya Penerbit Dibawah Bendera Revolusi tahun 1965 dengan disesuaikan penulisannya berdasarkan EYD. Disampaikan dalam acara Mabim STKIP Persis Bandung Jurusan Pendidikan Sejarah, 24-25 April 2018)

Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme merupakan azas yang dipeluk oleh pergerakan-pergerakan rakyat diseluruh Asia [setidaknya ketika tulisan ini di tulis dalam surat kabar Suluh Indonesia Muda yaitu tahun 1926]. Inilah faham-faham yang menjadi rohnya pergerakan-pergerakan di Asia itu. Rohnya pula pergerakan-pergerakan di Indonesia kita ini [Sejarah tentang penamaan Indonesia terlacak oleh sejarawanYayasanNation Building (Nabil). DidiKwartanada, menambahkan, informasitentangseorangpriayiInggris, Earl George Samuel Windsor (1813-1865), dalamkaryailmiahberjudulOn The Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations (1850) mengusulkansebutankhususbagiwargaKepulauanMelayuatauKepulauanHindia (Hindia-Belanda) denganduanama yang diusulkan, yakniIndunesiaatauMalayunesia.Tokoh lain yang disebutkan Peter Carey danDidiKwartanadaadalahilmuwanJerman, Adolf Bastian (1826-1905), Guru BesarEtnologi di Universitas Berlin, yang memopulerkannama Indonesia di kalangansarjanaBelanda.Bastian memopulerkannama Indonesia dalambukunyaberjudulIndonesien; Oder Die Inseln Des MalayischenArchipelterbitan 1884 sebanyak lima jilid. Bukutersebutmemuathasilpenelitiannya di Nusantara dalamkurun 1864-1880.Menurut Carey, Bastian membagiwilayah Nusantara dalamzonaetnisdanantropologi. (www.kompas.com)]. Banyak partai di Indonesia yang menggunakan itu diantaranya Partai Budi Utoma, [dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan setidaknya ada tiga arti dari kata Partai. Pertama, perkumpulan (segolongan orang) yang seazas, sehaluan, dan setujuan (terutama di bidang politik); Kedua, penggolongan pemain dalam bulu tangkis dsb. Ketiga, kumpulan barang dagangan yng tidak tentu banyaknya (Depdiknas, 2005:830-831). Maksud dari tulisan di atas adalah makna yang pertama] “marhum” National Indische Partij yang kini masih “hidup”, Partai Sarekat Islam, Perserikatan Minahasa, Partai Komunis Indonesia dan masih banyak lagi partai-partai yang lainnya.
Dapatkah dalam tanah jajahan pergerakan Nasional itu dirapatkan dengan Pergerakan Islamisme yang pada hakekatnya tiada bangsa [Khilafah], dengan Marxisme yang mengajarkan perbedaan?. Dapatkah Islamisme itu, ialah suatu agama, dalam politik jajahan bekerja bersama-sama dengan Nasionalisme yang mementingkan bangsa, dengan matrealismenya Marxisme yang mengajar perbedaan?.
Dengan ketetapan hati kita menjawab, bisa! Artinya Nasionalime, Islamisme, dan Marxisme [sebagaimana di tulis dalam surat kabar Suluh Indonesia Muda ini, tahun 1926 Nasionalisme, Islamisme, dan Komunisme digunakan oleh Soekarno dalam melawan imprealisme dan kolonialisme penjajah dan belum ada akronimnya. Gerakan dan proses penyisipan konsep itu dikemukakan lagi pada masa Demokrasi Terpimpin yang terkandung dalam pidato Presiden Soekarno pada ulang tahun proklamsi kemerdekaan RI 17 Agustus 1959 di Jakarta dan selanjutnya dikenal dengan Manipol Usdek (Manifesto Politik UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Indonesia). Manipol adalah penjelasan resmi daripada Dekrit Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959 yang berisi pembubaran konstituante dan berlakunya kembali UUD 1945. Maka saat itulah muncul istilahNasakom yang merupakan akronim dari Nasionalime, Islamisme, dan Komunisme. Menurut Ricklefs, pada masa Demokrasi Terpimpin Presiden Soekarno mulai memberikan penekanan pada gagasannya yang kini dinamakan Nasakom. Tampaknya gagasan ini mengandung makna bahwa PNI (untuk Nasionalisme), NU (untuk Islamisme), dan PKI (untuk Komunisme) agar sama-sama dapat berperan dalam pemerintahan di segala tingkatan, sehingga menghasilkan suatu sistem yang antara lain didasarkan pada koalisi kekuatan-kekuatan politik yang berpusat di Jawa. Tujuannya untuk merangkul semua kalangan guna melanggengkan kekuasaanya. (Adulgani, 1960:6; Tim Redaksi, 2013:46-122; Ricklefs, 2008:556& Hermayati, 2012:1)] bisa duduk berdampingan bahkan bisa seiring sejalan sebab walaupun Nasionalisme itu dalam hakikatnya mengecualikan segala pihak yang tak ikut mempunyai “keinginan hidup menjadi satu” dengan rakyat itu; walaupun Nasionalisme itu sesungguhnya mengecilkan segala golongan yang tak merasa “satu golongan, satu bangsa” dengan rakyat itu; walaupun Kebangsaan itu dalam azasnya menolak segala perangai yang terjadinya tidak “dari perbuatan hal-ikhwal yang telah dijalankan oleh rakyat itu”,--maka tak boleh kita lupa, bahwa manusia-manusia yang menjadikan pergerakan Islamisme dan pergerakan Marxisme di Indonesia-kita ini, dengan manusia-manusia yang menjalankan pergerakan Nasionalisme itu semuanya mempunyai “keinginan hidup menjadi satu”,--bahwa mereka dengan kaum Nasionalis itu merasa “satu golongan, satu bangsa”;--bahwa segala pihak dari pergerakan kita ini, baik Nasionalis maupun Islamis, maupun pula Marxis, beratus-ratus tahun lamanya ada “persatuan hal-ikhwal”, beratus-ratus tahun lamanya sama-sama bernasib tak merdeka! Kita tak boleh lalai, bahwa teristimewa “persatuan hal-ikhwal”, persatuan nasib, inilah yang menimbulkan rasa “segolongan” itu. Betul rasa-golongan ini masih membuka kesempatan untuk perselisihan satu sama lain; betul sampai kini, belum pernah ada persahabatan yang kokoh diantara pihak-pihak pergerakan di Indonesia-kita ini,--akan tetapi bukanlah pula maksud tulisan ini membuktikan, bahwa perselisihan itu tidak bisa terjadi. Jikalau kita sekarang mau berselisih, amboi, tak sukarlah mendatangkan perselisihan itu sekarang pula!.
[Menurut Latief Awaluddin dalam Dadan Wildan mengungkapkan bahwa Nasionalisme adalah cita-cita bersama suatau golongan untuk bersatu dalam bidang politik dalam suatu negara kebangsaan. Faham kebangsaan atau Nasionalisme ini bersumber dari hadits maudhu atau palsu, yang berbunyi Hubbul wathon minal iman. Oleh karena itulah, Nasionalisme sebagai faham baru di dunia Islam mendapat tempat di kalangan intelektual muslim termasuk Soekarno dalam rangka membangkitkan emosional kolektif umat Islam untuk membangun suatu bangsa dan negara yang berdaulat sebagaimana terjadi di Mesir, Syiria, Iran, dan Afghanistan. Perkembangan selanjutnya setelah negeri-negeri muslim terlepas dari penjajahan Barat, rakyat-rakyat muslim satu demi satu memperoleh status kebangsaan mereka dan akibatnya keberpihakkan dan kepedulian kepada kriteria kebangsaan mulai mengalahkan patriotisme, bahkan Nasionalisme dijadikan sebuah ideologi politik yang cenderung berlawanan dengan kaum muslimin yang mengusung ideologi Islam. Maka dalam konteks inilah, Nasionalisme dalam pengertian politik mulai menjadi perdebatan di kalangan intelektual muslim.
Setidaknya intelektual muslim terbagi kepada dua kelompok dalam menyikapi Nasionalisme yaitu kelompok yang menerima Nasionalisme karena gagasan Nasionalisme dianggap tidak bertentangan dengan Islam. Kelompok ini diwakili oleh Rifa’at al-Tahtawi, Abduh, Hasan al-Bana, ketiganya dari Mesir. Sedangkan kelompok kedua yaitu kelompok yang menolak Nasionalisme karena mereka beranggapan bahwa Nasionalisme bertentangan dengan Islam karena dalam Islam mengenal universalitas yang tidak terikat oleh kebangsaan dan Nasionalisme cenderung mengajak kepada ashobiyyah jahiliyyah sebagaimana yang tertuang dalam H.R. Muslim, “Barangsiapa yang keluar dari taat (kepada imam) dan meninggalkan jamaah, kemudian mati maka niscaya dia mati seperti keadaan mati jahiliyyah dan barangsiapa berperang di bawah bendera immiyah, dia benci kepada ashobiyah dan berperang karena ashobiyah, maka dia bukan umatku”. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah al-Maududi, Nawwaf Safawi dan Sayyid Quth. Dari sini terlihat bahwa di kalangan internal Ikhwanul Muslimin terjadi dua pandangan berbeda diantara pembesarnya.
Di Indonesia kalangan yang diwakili SI mengkritik keras pemahaman kalangan Nasionalis seperti Soekarno, Iskak dan Soetomo, yang seakan-akan Islam bertentangan dengan pemikiran Nasionalisme. Bahkan, di kalangan Nasionalis ada yang mengkritik ajaran Islam yang dianggapnya terlalu ke-Arab-Araban dan merendahkan derajat wanita seperti bolehnya poligami. Sehingga mendorong Tjokroaminoto, Agus Salim dan tokoh-tokoh SI lainnya untuk menepis propaganda mereka dan menjelaskan bagaimana konsepsi Islam yang sebenarnya mengenai Nasionalisme. Yang pada intinya mereka menolak Nasionalisme yang mendorong kepada penghambaan manusia kepada berhala “tanah air” dan sikap fanatisme buta sehingga merendahkan bangsa-bangsa lain. Polemik tersebut berlangsung pada tahun 1930-an.
Dikalangan Persis pun perdebatan mengenai Nasionalisme yang dikembangkan oleh Soekarno terjadi antara A. Hassan dan Natsir. Persis menganggap Soekarno berhaluan sekuler[netral agama, yang menolak agama (Islam) dijadikan dasar negara, maka otomatis Nasionalisme yang digagas oleh Soekarno adalah Nasionalis-Sekuler. Puncak polemik terjadi ketika Soekarno bersikukuh mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara, bukan berdasarkan agama (Islam) karena bagi Soekarno dalam negara yang menganut Nasionalisme harus netral dari agama manapun.
 Respon Persis terhadap ide Nasionalisme pertama kali dilontarkan pada tahun 1930-an. Pendapat A. Hassan dan Natsir disebarkan dengan luas oleh media yang diterbitkan oleh Persis seperti Pembela Islam dan sebuah buku karangan A. Hassan yang berjudul “Islam dan Kebangsaan”. Kemudian respon kedua dipertegas oleh Isa Anshori pada tahun 1950-an dalam karyanya “Islam dan Nasionalisme” dan artikel-artikel yang dimuat dalam majalah “Aliran Islam” dan “Daulah Islamiyah” dan terkhir dalam pidatonya di Majelis Konstituante pada tahun 1956.
Ahmad Hassan dalam “Islam dan Kebangsaan” merumuskan beberapa sikap Nasionalisme yang tidak bertentangan dan yang bertentangan dengan Islam. Sikap-sikap Nasionalisme yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam antara lain: Seorang muslim berusaha ikut aktif memajukan bidang pendidikan; maju dalam ekonomi, memajukan kemakmuran dan kesejahteraan kaum muslimin, dan kaum muslimin mau meningkatkan derajat mereka, sekurang-kurangnya tidak di bawah derajat negeri-negeri lain; dan yang terpenting mau melaksanakan hukum-hukum yang tertera dalam al-Qur’an dan Sunnah.
 Adapaun Nasionalisme yang bertentangan dengan Islam adalah menjalankan hukum-hukum yang bukan dari Allah dan Rosul-nya, memandang muslim di luar negaranya sebagai orang asing atau bukan saudara, memutuskan hubungan dengan negeri-negeri Islam lainnya dengan alasan bukan sebangsa dan setanah air; padahal dalam Islam semua kaum muslimin bersaudara dan mesti bersatu.
Hal yang dikritik A. Hassan tentang Nasionalisme yaitu Nasionalisme dalam pengertian sempit dan berlebihan yang berorientasikan fanatik kebangsaan dan Nasionalisme yang mengenyampingkan faktor agama. Hassan memandang sikap ini sebagai penyempitan langkah mempersatukan bangsa Indonesia karena pada hakikatnya menjurus pada benci agama. Hassan menerima sikap netral agama jika diartikan sebagai suatu sikap memberi kesempatan orang mengemukakan pendapat sesuai dengan kayakinan agama masing-masing. Hassan menilai bahwa pergerakan kalangan Nasionalis mendorong lahirnya Nasionalisme yang terbebas dari unsur hukum-hukum agama. Sebaliknya, pergerakan Islam berusaha mencapai kemerdekaan yang nantinya akan mendorong dilaksanakannya hukum-hukum Islam.
Hassan pernah mengeluarkan suatu fatwa khusus dalam majalah al-Muslimun tahun 1955 yang menyatakan bahwa perkawinan antara seorang muslimah dengan seorang anggota komunis tidak sah. Kerja sama antara muslim dan komunis tidak diperbolehkan dalam Islam, karena kerja sama seperti itu hanya akan membawa kerusakan terhadap agama.
Muhammad Natsir berpendapat bahwa cinta tanah air merupakan tabiat setiap orang, tapi hendaklah cinta tanah air dihubungkan dengan niat mencari ridho Allah bukan karena ta’asub (fanatisme). Oleh karena itu perbedaan antara kalangan Islam dan kalangan Nasionalis yang netral agama (sekuler) terletak pada soal implementasi kebangsaannya yaitu tercermin pada niat (motivasi), amal (perbuatan), dan syi’ar (slogan, simbol).
Natsir berkesimpulan bahwa bangsa mempunyai dua sifat yang berhubungan sesamanya:
1.      Tidak ada ikatan yang mempersatukan manusia yang tidak bisa diputuskan dan diuraikan oleh kekuatan wet, undang-undang atau senjata.
2.      Tidak ada kekuatan paksaan yang bisa menggabungkan dua ikatan yang berlainan sifat akan dijadikan satu.
Muhammad Natsir dalam pidatonya di sidang Konstituante, 12 November 1957 secara panjang lebar mengupas sekulerisme. Menurut Natsir, hanya ada dua alternatif untuk meletakkan dasar negara dalam asasnya (principle attitude) yaitu paham sekulerisme tanpa agama atau paham agama. Lebih lanjut Natsir memandang sekulerisme adalah paham yang memandang kehidupan manusia ini terbagi menjadi dua “kotak”: yaitu kotak dunia dan kotak spiritual; dan agama mestinya hanya berhak mengatur kotak spiritual. Agama Islam berbeda dengan agama lain yang mempunyai beberapa aturan yang berkenaan dengan hukum-hukum kenegaraan dan pidana dan beberapa peraturan yang berhubungan dengan muamalah. Semuanya itu merupakan bagian-bagian yang tak dapat dipisahkan dari agama Islam itu sendiri.
Melihat apa yang dipaparkan oleh tokoh-tokoh SI, A. Hassan dan Natsir sangatlah terlihat bagaimana mereka berusaha menjama dua paham tentang Nasionalisme yang berkembang diantara pemikir-pemikir Islam dengan merumuskan bahwa ada Nasionalisme yang bertentangan dan ada juga Nasionalisme yang tidak bertentangan dengan Islam. Dalam hal ini Natsir melihat adanya kemustahilan sesuatu yang berbeda bisa bersatu padu misalnya antara Nasionalisme, Islam, dan Marxisme.
Puncak dari perdebatan antara Islam dan Nasionalisme terulang lagi ketika menjelang pemilu 1955 dan 1957 dalam perdebatan dasar negara di Majelis Konstituante. Kalangan Islam seperti Masyumi mengkampanyekan bahayanya pemikiran nasionalisme-sekuler dan lemahnya Pancasila sebagai dasar negara.
Isa Anshori ketua Persis yang duduk sebagai salah satu anggota Konstituante dari Fraksi Masyumi menjabarkan bagaimana pedoman Islam dalam masalah kenegaraan dan membandingkan antara ideologi Islam dengan Nasionalisme. Dalam awal pembahasannya Anshori mengutip Q.S. al-An’am (6) : 153 &161-162. Dengan ayat-ayat tersebut Anshori menyimpulkan bahwa Islam sebagai dien, peraturan dan tuntunan, telah memberikan dasar hidup dan sandaran hidup kepada umat Islam, baik untuk perorangan maupun untuk masyarakat agar jalan dan tujuan hidup mereka lurus dan dalam keridhoan Ilahi. Maka tegasnya, Islam tidak membenarkan umatnya berjuang dengan memakai dasar atau ideologi yang sifat, jalan dan tujuannya jauh dari keridhoan Ilahi dan Islam juga melarang umatnya menempuh jalan yang akan mendatangkan perpecahan dan percerai-beraian. Menurut Anshori, bagi kaum muslimin, ideologi Islam untuk itu merupakan suatu prinsip dan pandangan hidup.
Anshori memandang bahwa sekulerisme merupakan madzhab pemikiran serba dunia, tidak cocok dengan Islam karena mengenyampingkan peran Islam dalam negara dan masyarakat dan terlalu menuhankan rasio manusia. Sekulerisme juga merupakan warisan “cultural imperialism” yang dibawa oleh agen imprealis, yaitu kelompok aliran “kafir”, “aliran netral” yaitu kelompok paham nasionalisme dan “aliran munafik”.
Anshori melihat sekulerisme di dunia Islam, seperti sekulerisme di Turki merupakan suatu malapetaka bagi peradaban Islam. Sekulerisme di dunia Islam merupaka a-historis, berlawanan dengan hakikat Islam, perjuangan para Nabi dan sahabat-sahabat Nabi. Diatas dasar argumentasi Anshori adalah Q.S. al-Isro (17) : 80, “Dan Katakanlah: ‘Ya Tuhan-ku, masukkanlah aku secara masuk yang benar dan keluarkanlah (pula) aku secara keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong”. Ayat ini menurut Anshori, menunjukkan dengan tegas lapangan hidup kaum muslimin, filsafat hidup mereka yang selalu menjadi doa harapannya kepada Allah.
Sementara itu, E. Abdurrahman salah seorang ketua Persis, sangat yakin bahwa seluruh aspek kehidupan setiap muslim adalah ibadah. Karena itu urusan sosial, ekonomi dan politik diatur oleh agama. Karena Islam adalah al-dien yang pengertiannya meliputi agama, kebudayaan, dan peradaban dan tujuannnya adalah kebahagiaan dan keberuntungan dunia dan akhirat.
Abdurrahman berpendapat bahwa sekulerisme sebagai produk kebudayaan Barat merupakan tahapan awal menuju tahap materialisme dan puncaknya komunisme. Walaupun peradaban merupakan anak cucu Islam karena adanya pengaruh dari Islam, tapi merupakan anak yang berkhianat karena perjalanan hidupnya tidak sesuai dengan perjalanan hidup Islam. Abdurrahman berpendapat bahwa sekulerisme merupakan racun yang berbahaya dan bukanlah obat bagi umat Islam.
Lebih lanjut Abdurrahman membagi sekulerisme kepada dua kategori: Pertama, sekulerisme yang mengakui adanya kepercayaan kepada Tuhan dan agama, tetapi memisahkan urusan duniawi dari agama. Inilah yang menjadi pemikiran demokrasi Barat. Kedua, sekulerisme yang tidak membenarkan adanya kepercayaan kepada Tuhan dan agama sama sekali, yang mengakibatkan pandangan hidupnya mutlak materalistis. Inilah yang diterapkan oleh ideologi komunis di Uni Soviet dan pembebek-pembebeknya pula. [al-Qur’an; Muslim, Shohih Muslim; Hasan, 1984:37, 42-43 & 108, Noer, 1982:274-275, 282 & 297; Mughni, 1994:32; Zakaria, 2006 III:267; Abdurrahman, 1998:12-13;Wildan dkk, 2015:429-448; dan Wildan 1999:105].
Dalam Q.S. al-Hujurot(49) : 13 “Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”. Ayat ini menjelaskan akan kemerdekaan, persamaan, dan persaudaraan sebagaimana inti dari ajaran Marxisme.
Dalam banyak ayat dan hadits pun dijelaskan supaya kita memberi sebagian harta yang kita miliki kepada fakir miskin supaya harta tidak beredar hanya di orang kaya saja tapi merata adanya. Hal tersebut bukankah bagian dari ajaran Marxisme?.
Taktik Marxisme yang sekarang adalah berlainan dengan taktik Marxisme yang dulu. Taktik Marxisme, yang dulu sikapnya begitu sengit anti-kaum-kebangsaan dan anti-kaum-keagamaan, maka sekarang, terutama di Asia, sudahlah begitu berubah, hingga kesengitan “anti” ini sudah berbalik menjadi persahabatan dan penyokongan. Kini kita melihat persahabatan kaum Marxis dengan kaum Nasionalis di negeri Tiongkok; dan kita melihat persahabatan kaum Marxis dengan kaum Islamis di negeri Afghanistan.
Dengan jalan yang jauh kurang sempurna, kita kita mencoba membuktikan, bahwa faham Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme itu dalam negeri jajahan pada beberapa bagian menutupi satu sama lain.
[Semua kalangan Islam Indonesia menolak paham komunis, baik itu dari kalangan Islam modernis atau tradisional. Hanya saja paham komunis masuk ke kalangan Islam melalui penyusupan di tubuh SI yang dikenal dengan SI Merah (yang berhaluan komunis) sebagai lawan dari SI Hijau (yang setia kepada ideologi Islam). Penolakan terhadap komunisme pada umumnya ditujukan kepada Partai Komunis Indonesia (PKI), sebuah partai yang terang-terangan menyatakan setia kepada ideologi komunis resmi.
Di antara kalangan Islam khususnya modernis yang secara terang-terangan menolak keras komunisme adalah Persis. Penolakan tersebut dapat dilihat melalui pernyataan-pernyataan para tokoh Persis seperti M. Natsir, Isa Anshori, Rusyad Nurdin dan E. Abdurrahman dan pernyataan resmi organisasi. Penolakan mereka pada umumnya melihat adanya pertentangan yang prinsipil antara komunisme dan Islam dari segi teoritis-ideologis dan praktis (prilaku politik). Bahkan komunis bagi Persis dianggap sebagai musuh agama, bangsa, dan negara karena komunis menganggap bahwa agama merupakan candu masyarakat.
Persis secara organisasi di bawah ketua umumnya M. Isa Anshori dan E. Abdurrahman sebagai sekretaris umum pada tanggal 4 Maret 1957 di Bandung mengeluarkan Manifesto yang berisi bahwa teori dan praktek komunis bukan saja bertentangan dengan semua agama, melainkan juga mengandung permusuhan dan pertentangan dengan akidah yang diajarkan oleh semua agama. Persis juga menganggap bahwa setiap muslim yang telah mendengarkan alasan-alasan batilnya komunisme dan nasionalisme sekuler tetapi tetapi tetap mengikuti konsep politiknya, dianggap murtad: tidak perlu di sholatkan dan tidak perlu dimakamkan secara Islam bila ia meninggal dunia.
Menurut M. Natsir, komunisme sama halnya dengan kapitalime, keduanya merusak kemanusiaan karena memperkosa tabiat, dan hak-hak asasi manusia. Sedangkan kapitalisme dalam memberikan kebebasan kepada tiap-tiap orang tidak mengindahkan perikemanusiaan dan hidup dari pemerasan keringat orang lain dan membukakan jalan untuk kehancuran kekayaan alam. Natsir juga berpandangan bahwa komunis dalam memberikan konsep kemanusiaan berbeda dengan Islam. Misalnya dalam hal kepemilikan, komunisme menolak adanya kepemilikan individu sedangkan Islam mengakui adanya hak milik individu.
Isa Anshori juga mengkritik bahayanya komunisme bagi umat Islam secara tegas dan konprehensif sebagai berikut:Pertama, bahwa komunisme dibangun atas filsafat hidup yang belum selesai, yaitu materialisme-historis yang sangat bertentangan dengan fitroh kemanusiaan dan aturan alam besar ini. Kedua, materialisme ini pada dasarnya adalah menolak adanya Tuhan, wahyu, dan nabi. Ketiga, implikasi penolakan adanya Tuhan adalah komunisme menjadi anti agama. Keempat, imprlikasi materialisme-historis adalah berlakunya hukum rimba dengan adagium apa yang kamu rampas itulah hakmu. Kelima, komunisme dibangun tanpa moral karena moral kesusilaan hanyalah pagar bagi kaum borjuis untuk mengekalkan kekuasaannya. Keenam, Marxisme mempergunakan pertentangan antar-kelas (perang golongan) yang berbeda untuk mencapai tujuannya, yaitu masyarakat tanpa kelas. Ketujuh, kekuasaan diktator-proletariat pada dasarnya adalah pemerintahan teror yang didasarkan pada kekuatan, ancaman, dan ketakutan serta tegak dengan penuh kecurigaan dan kecemburuan antar kelas. Kedelapan, komunisme merupakan neraka dunia karena hak milik perorangan ditiadakan dengan jalan paksa-kekerasan, sehingga manusia sebagai pribadi terampas kemerdekaannya. Kesembilan, komunisme pada dasarnya anti-demokrasi karena tidak diakuinya perbedaan tafsir dan kebebasan berpendapat. Kesepuluh, komunisme adalah anti-nasional karena berkiblat dan mengabdi untuk kepentingan Moskow sebagai induk komunisme dunia. Kesebelas, komunisme pada dasarnya adalah imprealisme baru karena revolusi dunia yang diidam-idamkan oleh kaum komunis bertujuan untuk melaksanakan penjajahan baru atas umat manusia dengan cara menggulingkan tiap-tiap kekuasaan bukan komunis (hal terbukti dengan adanya tiga kali pemberontakan dan kudeta yang dilakukan oleh komunis di Nusantara atau ketika pendudukan Belanda tahun 1926 dan Indonesia tahun 1948 dan 1965, pen). Kedua belas, komunisme merupakan penjelmaan agama baru karena komunisme atau Marxisme tidak terbatas pada epistomologi materialisme-historis dalam persoalan kehidupan dan kemasyarakatan manusia belaka, kaidah-kaidah perekonomian dan pembagian rezeki, tetapi juga berperan seperti agama baru yang memutarbalikkan pandangan manusia. Agama komunisme ini disebut sebagai agama kebencian karena hendak memutarbalikkan wajah dan semangat manusia dari menuhankan Tuhan yang gaib kepada menuhankan Tuhan yang nyata (konkret) berupa alam materi.
Lebih jauh Isha Anshori dengan Persis-nya membentuk Front Anti Komunis pada pertengahan November 1954. Kantor Persis pun dijadikan markas Front Anti Komunis. Anshori melakukan aktivitas Front Anti Komunis itu dibantu Yusuf Wibisono dan Syarif Usman. Bersama mereka pula, Anshori menerbitkan buku yang berkenaan dengan penolakannya terhadap paham komunisme. Bukunya tersebut berjudul Bahja Merah di Indonesia, yang dikarang oleh Anshori, Yusuf Wibisono, dan Syarif Usman. Anshori juga menerbitkan majalah Anti Komunis.
Rusyad Nurdin menegaskan bahwa komunisme merupakan musuh bersama bagi penganut agama dan bangsa manapun karena anti-Tuhan dan anti-bangsa. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan-pernyataan para tokoh komunis seperti Karl Marx, Lenin, dan D.N. Aidit. Dan dalam konteks Indonesia tegas Nurdin, sebenarnya kalangan komunis anti-Pancasila walaupun mereka menerima Pancasila padahal hanya sebatas politis yakni untuk menyelamatkan posisi mereka.
E. Abdurrahman berpendapat bahwa komunisme merupakan puncak ideologi yang lahir dari kebudayaan Barat yang bermula dari materialisme yakni, sesuatu paham kebendaan. Dan apabila dianalogikan, materialisme bagaikan anak kecil yang bila badannya sudah menjadi dewasa akan menjelma menjadi komunisme.
Soekarno menyebut bahwa paham Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme itu dalam negeri jajahan pada beberapa bagian menutupi satu sama lain. Ibarat pozel yang saling melengkapi satu sama lainnya. Padahal Islam merupakan agama dan ideologi yang sempurna serta tidak butuh agama atau paham lainnya sebagaimana diterangkan oleh Q.S. al-Maidah (5) : 3 “....pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu]. (Wildan dkk, 2015:449-456, Wildan, 1999:101-105;Rudi 9, 11, & 22; Bachtiar dkk, 2012:87; dan  Abdurrahman, 1998:8-9).















Daftar Pustaka
Abdulgani, Roeslan. 1960. Pendjelasan Manipol dan Usdek. Departemen Penerangan RI. Cetakan II.
Abdurahman, E. 1998. Recik-Recik Dakwah. Bandung: Sinar Baru Algensindo. Cetakan II.
Agama, Departemen RI. 2005. Terjemah dan Tafsir al-Qur’an. J-ART.
Bachtiar, Tiar Anwar dkk. 2012. Persis dan Politik: Sejarah Pemikiran dan Aksi Politik Persis 1923-1997. Jakarta: Pembela Islam Media. Cetakan I.
Hassan, A. 1984. Islam & Kebangsaan. Bangil: Lajnah Penerbitan Pesantren Persis Bangil (LP3B). Cetakan I.
Hermayati, Nur Fitri. 2012. Upaya Nasakomisasi TNI-AD dan Dampaknya Pada Situasi Politik Indonesia Tahun 1960-1967. Bandung: UPI. Pdf .
Mughni, Syafiq A. 1994. Hassan Bandung Pemikir Islam Radikal. Surabaya: Bina Ilmu. Cetakan II.
Muslim, Abu Husain bin Hijaj. 2007.Shohih Muslim. Libanon: Darul Fikr Bairut.
Natsir, M. 2004. Islam Sebagai Dasar Negara. Bandung: Sega Arsy. Cetakan I.
Redaksi, Tim. 2013. Jasmerah: Pidato-Pidato Spektakuler Bung Karno Sepanjang Masa. Jakarta: Palapa. Cetakan I.
Ricklefs, M.C. 2007. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta. Cetakan III.
RI, Depdiknas. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka. Cetakan III.
Rudy, Iman. Partai Komunis Indonesia: Sebuah Telaah Sejarah dan Kebangkitannya. Pdf.
Soekarno. 1965. Dibawah Bendera Revolusi I.Panitya Penerbit Dibawah Bendera Revolusi. Cetakan IV.
Wildan, Dadan. 1999. Yang Da’i Yang Politikus: Hayat dan Perjuangan Lima Tokoh Persis. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Cetakan II.
Wildan, Dadan dkk. 2015. Gerakan Dakwah Persatuan Islam. Tangerang: Amana Publishing. Cetakan I.
Zakaria, A. 2016. Al-Hidayah III. Garut: Ibnu Azka Press. Cetakan II
https://nasional.kompas.com/read/2015/10/29/18000081/Asal-usul.Nama.Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad

Responsive Ads Here