PERKEMBANGAN POLITIK ERA BARAT: Liberalisme, Perebutan Hegemoni di Eropa dan Sejarah Singkat Islam Liberal di Indonesia - PEMUDA PERSIS KAB. SUMEDANG

Breaking

Post Top Ad

Kami pemuda pembela agama Pembangkit umat yang utama Bertabligh memikat hati yang suci Berdalilkan Qur’an dan Hadis Di-tanam iman disebar amal Memimpin jiwa dan akhlaqnya Membasmi bid’ah agama Berjihad, berdakwah, beruswah)* Bersatulah bersatulah bersatulah bersatulah Hai muslimin Siapa yang menentang Islam Musnahlah dalil dan hujahnyaWeb PEMUDA PERSIS SUMEDANG

Post Top Ad

Mangga bade Iklan palih dieu

Sabtu, 11 Agustus 2018

PERKEMBANGAN POLITIK ERA BARAT: Liberalisme, Perebutan Hegemoni di Eropa dan Sejarah Singkat Islam Liberal di Indonesia



Oleh M. Nurachman 

(Wakil Ketua PD. Pemuda Persatuan Islam Sumedang) 

A. Definisi Liberal 
Kata liberal secara harfiah artinya “bebas” (free) artinya “bebas dari berbagai batasan” (free from restraint). “Negara liberal”, tulis Chadwick, “haruslah negara sekular”. (Husaini, 2015:29). Liberalisme juga berasal dari bahasa Latin, liber, yang artinya ‘bebas’ atau ‘merdeka’. Sebagai ajektif (kata sifat), kata ‘liberal’ dipakai untuk menunjuk sikap anti-feodal, anti-kemapanan, rasional, bebas merdeka (independent), berpikiran luas lagi terbuka (open-minded). Dalam politik, liberalisme dimaknai sebagai sistem dan kecenderungan yang berlawanan dengan dan menentang ‘mati-matian’ sentralisasi dan absolutisme kekuasaan. Munculnya republik-republik menggantikan kerajaan-kerajaan, konon, tidak terlepas dari liberalisme merujuk pada pasar bebas di mana intervensi pemerintah dalam perekonomian dibatasi, malah tidak dibolehkan sama sekali. Dalam hal ini, dan pada batasan tertentu, liberalisme identik dengan kapitalisme.
Di wilayah sosial, liberalisme berarti emansipasi wanita, penyetaraan jender, pupusnya kontrol sosial terhadap individu dan runtuhnya nilai-nilai kekeluargaan. Sedangkan dalam urusan agama, liberalisme berarti kebebasan menganut, meyakini, dan mengamalkan apa saja, sesuai kecenderugan, kehendak dan selera masing-masing. Bahkan lebih jauh dari itu, liberalisme mereduksi agama menjadi urusan privat. Artiya, konsep amar ma’ruf maupun nahi munkar bukan saja dinilai tidak relevan, bahkan dianggap bertentangan dengan semangat liberalisme. Asal tidak merugikan pihak lain, orang yang berzinah tidak boleh dihukum, apalagi jika dilakukan atas dasar suka sama suka. Maka tidak salah jika liberalisme dipadankan dengan sekulerisme. (Amien, 2010:175-176).
B. Perebutan Hegemoni di Eropa
Hingga penghujung abad 18 M, istilah ini terkait erat dengan konsep manusia merdeka, baik merdeka semenjak lahir ataupun merdeka sesudah dibebaskan dari yang semula berstatus ‘budak’. Para sejarawan Barat biasanya menunjuk moto revolusi Prancis 1789-kebebasan, kesetaraan, persaudaran (liberte, egalite, fraternite) sebagai piagam agung (magna charta) liberalisme modern. Sebuah prinsip yang menyatakan bahwa tunduk kepada otoritas-apapun namanya-adalah bertentangan dengan hak asasi manusia, kebebasan dan harga diri manusia. Liberalisme yang sudah dikampanyekan sejak abad 15 M oleh Locke, Hume (Inggris), Rousseau, Diderot (Prancis), Lessing dan Kant (Jerman) ini pada tahap selanjutnya menuntut kebebasan individu yang seluas-luasnya, menolak klaim pemegang otoritas Tuhan, dan menuntut penghapusan hak-hak istimewa gereja maupun raja. Dalam catatan Syamsuddin Arif, ideologi liberalisme yang kebablasan tersebut pada akhirnya mengajarkan tiga hal: Pertama, kebebasan berpikir tanpa batas alias free thinking. Kedua, senantiasa meragukan dan menolak kebenaran alias sophisme. Ketiga, sikap longgar dan semena-mena dalam beragama. (Syarief, 2013:14).
Liberalisme dimunculkan pada masa Kristen di Eropa dan Amerika, sehingga kaum liberal selalu beranggapan bahwa nilai-nilai Kristianilah yang mengembangkannya dalam masyarakat mereka. Namun ketika gerakan untuk melindungi kebebasan individu melalui jalur hukum diperluas, liberalisme berkembang menjadi suatu ideologi politik, yang dibawah bendera hak asasi dan kebebasan individu, telah berbenturan berkali-kali dengan berbagai organisai keagamaan yang berada dalam komunitas liberal modern, khususnya pada bidang semacam hukum keluarga, penyelenggaraan sekolah dan pengobatan. (Legenhausen, 2002:25).
Dalam sejarah Kristen Eropa, kata secular dan liberal dimaknai sebagai pembebasan masyarakat dari cengkraman kekuasaan Gereja, yang sangat kuat dan hegemonil di Zaman pertengahan. Proses berikutnya bukan saja dalam bidang sosial-politik, tetapi juga menyangkut metedelogi pemahaman keagamaan. Misalnya, muncul pemikiran Yahudi Liberal (Liberal Judaism), dengan tokohnya Abraham Geiger. Begitu juga merebaknya pemikirannya teologi liberal dalam dunia Kristen. Proses sekulerisasi-liberalisasi agama, kemudian di globalkan dan dipromosikan ke agama-agama lainnya, termasuk Islam.
Kenapa barat kemudian memilih jalan hidup sekular-liberal? Setidaknya, ada tiga faktor penting yang menjadi latar belakang, mengapa barat memilih jalan hidup sekular dan liberal dan kemudian mengglobalkan pandangan hidup dan nilai-nilainya ke seluruh dunia, termasuk di dunia Islam.
Pertama, trauma sejarah, khususnya yang berhubungan dengan dominasi agama (Kristen) di zaman pertengahan. Kedua, problema teks Bible. Ketiga, problema teologis Kristen.
Ketiga problema itu terkait satu dengan lainnya, sehingga memunculkan sikap traumatis terhadap agama, yang pada ujungnya melahirkan sikap berpikir sekular-liberal dalam sejarah tradisi pemikiran Barat modern.
Pertama, Problem Sejarah Kristen.
Sejarah kekristenan, kata Bernard Lewis, banyak diwarnai dengan perpecahan (skima) dan kekafiran (heresy), dan konflik antar kelompok yang berujung pada peperangan atau penindasan. Sejarah bermula sejak zaman Konstantin Agung, dimana terjadi konflik antara gereja Konstantinopel Antioch dan Alexandria. Lalu, antara Konstantinopel dan Roma; antara Katolik Protestan dan antara berbagai sekte dalam Kristen. Setelah konflik-konflik berdarah banyak terjadi, maka muncul kalangan Kristen yang berpikir, bahwa kehidupan toleran antar kelompok masyarakat hanya mungkin dilakukan jika kekuasaan Gereja untuk mengatur politik dihilangkan, begitu juga campur tangan negara terhadap gereja.
Dalam perjalanan sejarahnya, peradaban Barat (Western Civilization) telah mengalami masa yang pahit, yang mereka sebut “zaman kegelapan” (the dark ages). Mereka menyebutnya juga sebagai ”zaman pertengahan” (the medieval ages). zaman itu dimulai ketika Imperium Romawi Barat runtuh pada 476 dan mulai munculnya Gereja Kristen sebagai institusi dominan dalam masyarakat Kristen Barat sampai masuknya zaman reneissance sekitar abad ke-14. Karena itu, mereka menyebut zaman baru dengan istilah “reneissance” yang artinya “rebirth” (lahir kembali). Mereka seperti merasa bahwa ketika hidup di bawah cengkeraman kekuasaan Gereja, mereka mengalami kematian. Sebab, ketika itu Gereja yang mengklaim sebagai institusi wakil Tuhan di muka bumi melakukan hegemoni terhadap kehidupan masyarakat dan melakukan berbagai tindakan brutal yang sangat tidak manusiawi. Sejarah dominasi kekuasaan Gereja bisa ditelusuri sejak awal mula tumbuhnya Kristen sebagai agama negara zaman Romawi. Besarnya kekuasaan yang dimiliki Gereja melahirkan berbagai penyimpangan. Tahun 1887 Lord Acton seperti menyindir hegemoni kekuasaan Gereja dan menulis surat kepada Uskup Mandell Creighton. Isinya antara lain: “Semua kekuasaan cenderung korup; dan kekuasaan yang mutlak melakukan korupsi secara mutlak”.
Untuk memahami latar belakang  penindasan brutal terhadap kaum non Kristen dan kelompok-kelompok yang dianggap kafir lainnya, yang lantas melahirkan trauma terhadap agama, sangat penting bagi kita untuk menelaah mengapa dan bagaimana Gereja di zaman Pertengahan membangun hegemoniknya. Salah satu fenomena penting dalam sejarah Abad Pertengahan di Eropa adalah upaya Gereja Kristen memperoleh dan memelihara kekuatan politiknya. Agama Kristen mulai mendapatkan peluang kebebasan—setelah beratus-ratus mengalami penindasan di bawah Imperium Romawi—dari Kaisar Konstantin, yang pada tahun 313 M mengeluarkan Edict of Milan. Dengan dikeluarkannya Edict of theodosius pada tahun 392 M, agama Kristen memegang posisi sebagai agama negara (state-religion) dari Imperium Romawi (Roman Empire).
Di akhir masa kekaisaran Romawi, ketika institusi-institusi kenegaraan Romawi mengalami kehancuran, institusi Gereja meraih kekuatan dan signifikasinya. Organisasi Gereja tumbuh menjadi lebih kuat dan keanggotaannya semakin meningkat. Ketika itu, Agama Kristen (Christianity) merupakan prinsip pemersatu dan Gereja menjadi institusi yang dominan dan sentral. Tidak ada satu pun aspek kehidupan di Abad pertengahan yang tidak tersentuh oleh pengaruh Gereja.
Ketika kekaisaran Romawi runtuh pada tahun 476, Gereja tetap mempertahankan sistem Romawi dan memelihara elemen-elemen peradaban Yunani-Romawi (Greeco Roman civilization). Sebagai faktor pemersatu, Gereja menyediakan jawaban bagi masyarakat tentang kehidupan dan kematian. Dalam kehidupan sosial yang menuju kehancuran ketika itu, Gereja merupakan satu-satunya institusi yang memberikan alternatif kerontruksi kehidupan. Karena itu, kemudian pengaruh Gereja meluas begitu cepat ke seluruh daratan Eropa, dari Italia sampai Irlandia, sebuah masyarakat baru, berpusat pada Kekristenan, terbentuk. Selama Abad Pertengahan, ketika kota-kota mengalami kehancuran, biara-biara menjelma menjadi pusat-pusat kebudayaan, dan tetap bertahan sampai munculnya kota-kota di masa kemudian. Ketika itu, biara-biara juga menyediakan perawatan dan bantuan bagi orang-orang sakit dan miskin serta menyiapkan tempat bagi para pengembara.
Awal-awal Abad pertengahan merupakan periode pembentukan institusi Kepausan. Gereja Romawi (Roman Church) mulai terorganisasi dengan baik di zaman Paus Gregorius (590-604)—yang dikenal sebagai “the Great”. Dialah yang membangun awal mula birokrasi kepausan masa pertengahan dan memperkuat kekuasaan kepausan (papacy’s power). Gregorius menggunakan metode administrasi Romawi untuk mengorganisasikan kekayaan Gereja di Italia, Sisilia, Sardinia, Gaul, dan wilayah lainnya. Ia memperkuat otoritas kepausan atas uskup dan para pastur lainnya, mengirimkan misionaris ke Inggris untuk menaklukan Anglo-saxons, dan melakukan aliansi dengan Prancis. Paus Gregorius juga melakukan aktivitas ekonomi dengan mengimpor gandum untuk memberi makan prajurit Romawi dan mengirimkan pasukan melawan kelompok heretic Lombards. Karena itu, Greorius I, dari sudut tertentu, sebagai “penyusun kekuatan politik kepausan” (creator of the political power of the popes). Akhirnya, pada abad ke-8, aliansi antara Paus dan Raja Pippin dari Prancis, berhasil mendirikan “Kerajaan Kepausan” (Papal States) dan mengatur dukungan Paus untuk memberikan legitimasi terhadap keluarga Pippin. Tahun 754, Pippin berjanji untuk mengembalikan teritori patrimoni dari St. Peter. Sebagai balasan, Paus Stephen III menjanjikan akan memberikan hukuman pengucilan (axcommunicated) terhadap raja-raja Prancis yang tidak berasal dari keluarga Pippin. Tahun 800, Paus Leo III ini, yang diangkat sebagai “Emperor of the Romans”. Aksi Leo III ini sekaligus memindahkan gelar itu dari kekaisaran Romawi Timur (Byzantine) ke Barat.
Pengesahan Kekaisaran Romawi terhadap Charlemagne kemudian membentuk pola kehidupan baru dalam bidang keagamaan di Eropa, dan kemudian memicu konflik politik-keagamaan di abad Pertengahan. Ini berkaitan dengan pemisahan tanggung jawab dan sumber legitimasi kekuasaan dari dua institusi tersebut: negara dan gereja. Contoh yang menarik terjadi pada kasus konflik antara Paus Gregorius VII dan Raja Hendry IV pada paruh abad ke-11. Konflik bermula ketika Gregorius melarang dalam keterlibatan Raja dalam pengangkatan pejabat gereja. Paus beragumen, bahwa konsep Gereja sebagai monarkhi berasal dari tradisi Imperium Romawi. Paus sendiri yang berhak mengangkat dan memberhentikan para uskup, mengadakan Sidang Umum dan mengeluarkan peraturan moral dan keagamaan. Jika Paus mengucilkan seorang penguasa, maka penguasa itu telah berdiri di luar tubuh Kekristenan, dan karena itu dia tidak dapat menjadi penguasa di wilayah Kristen (Christendom). Raja Hendri IV menolak klaim Paus tersebut, dan menyatakan bahwa kekuasaan raja juga datang langsung dari Tuhan. Menghadapi tentangan itu, Gregorius menyerukan kepatuhan pasif kepada Hendry IV. Pada akhir pertarungan, Hendry IV takluk dan dipaksa menemui Gregorius di Canossa pada 1077. Paus kemudian meringankan hukuman atas Hendry tetapi tidak memulihkan kekuasaanya. Kasus ini menunjukkan keefektivan kekuasaan Paus atas pemerintah. Institusi kepausan, meskepin tanpa tentara, mampu melakukan pengucilan terhadap Raja yang sangat besar kekuasaanya di Eropa. (Husaini, 2005:33 dan Amien, 2010:179-180).
Kemenangan Georgorius tampaknya meningkatkan moral Gereja dalam menghadapi segala sesuatu yang dipandang sebagai “musuh”. Apalagi, sejumlah penguasa Kristen juga berhasil merebut kembali daerah-daerah yang sebelumnya direbut oleh Muslim. Tahun 1091 Count Roger berhasil merebut Sisilia. Pada tahun 1085, Kristen Spanyol, dengan bantuan tentara Prancis berhasil mempertahankan Toledo dari serangan Muslim. Paus dan para Uskup kemudian lebih jauh melangkah untuk mendorong masyarakat membentuk milisi-milisi bersenjata. Salah satunya adalah Uskup Toul yang kemudian menjadi Paus Leo IX tahun 1049. Dua bulan setelah penobatannya, Paus Leo IX membentuk milisi Romawi untuk memerangi bangsa Norman yang mengancam menyerbu wilayahnya. Pada tahun 1053, ia sendiri memimpin pasukannya dalam peperangan. Dua puluh tahun kemudian, Paus Gregorius VII menyerukan seluruh rakyat Eropa untuk membentuk milisi bersenjata yang dia namakan sebagai “the King of St. Peter”.
Di zaman hegemoni kekuasaan Gereja inilah lahir institusi Gereja yang sangat terkenal kejahatan dan kekejamannya, yang dikenal sebagai “INQUISISI”. Karen Armstrong, mantan biarawati dan penulis terkenal, menggambarkan kejahatan institusi Inquisisi Kristen dalam sejarah sebagai berikut.
“Sebagian besar kita tentunya setuju bahwa salah satu dari institusi Kristen yang paling jahat adalah Inquisisi, yang merupakan instrumen teror dalam gereja Katolik sampai dengan abad ke-17. Metode Inquisisi ini juga digunakan oleh Gereja Protestan untuk melakukan penindasan dan kontrol terhadap kaum Katolik di negara-negara mereka”.
Ada sebagian tokoh Gerja yang berusaha melakukan pembelaan (apologetic) dalam soal Inquisisi itu. Peter de Rosa, dalam bukunya, Vicars of Christ: The Dark Side of the Papacy, mencatat, sikap itu hanya menambah kemunafikan terhadap kejahatan (it merely added hypocricy to wickedness). Yang sangat mengherankan dalam soal ini adalah penggunaan cara siksaan dan pembakaran terhadap korban. Dan ini bukan dilakukan oleh musuh-musuh Gereja, tetapi dilakukan sendiri oleh orang-orang tersuci yng bertindak atas perintah wakil Kristus (Vicar of Christ). Peter Rosa mencatat.
“Betapa pun, Inquisisi tersebut bukan hanya jahat saat dibandingkan dengan (nilai-nilai) abad ke-20, tetapi ini juga jahat dibandingkan dengan (nilai-nilai) abad ke-10 dan ke-11, saat dimana penyiksaan tidak disahkan oleh laki-laki serta wanita dijamin dengan pengadilan yang fair. Ini juga jahat dibandingkan dengan rezim zaman Diocletian, dimana tidak seorang pun di siksa dan di bunuh atas nama Yesus yang tersalib”.
Ketika pasukan Napoleon menaklukan Spanyol tahun 1808, seorang komandan pasukannya, Kolonel Lemanouski, melaporkan bahwa pastor-pastor Dominikan mengurung diri dalam biara mereka di Madrid. Ketika pasukan Lemanouski memaksa masuk, para inquisitors itu tidak mengakui adanya ruang-ruang penyiksaaan dalam biara mereka. Tetapi, setelah digeledah, pasukan Lemanouski menemukan tempat-tempat penyiksaan di ruang bawah tanah. Tempat-tempat itu penuh dengan tawanan, semuanya dalam keadaan telanjang, dan beberapa diantaranya gila. Pasukan Prancis yang terbiasa dengan kekejaman dan darah, sampai-sampai merasa muak dengan pemandangan seperti itu. Mereka lalu mengosongkan ruang-ruang penyiksaan itu, dan selanjutnya meledakan biara tersebut.
Dalam bukunya Inquisition, Peter de Rosa memuat foto-foto dan lukisan-lukisan yang sangat mengerikan tentang kejahatan Inquisisi yang dilakukan oleh tokoh-tokoh Gereja ketika itu. Dia paparkan lebih dari 50 jenis dan model alat-alat siksaan yang sangat brutal, seperti pembakaran hidup-hidup, pencungkilan mata, gergaji pembelah tubuh manusia, pemotongan lidah, alat penghancur kepala, pengebor vagina, dan berbagai alat dan model siksaan lain yang sangat brutal. Ironisnya lagi, sekitar 85 persen korban penyiksaan dan pembunuhan adalah wanita. Antara tahun 1450-1800, diperkirakan antara dua-empat juta wanita di bakar hidup-hidup di dataran Katolik maupun Protestan Eropa.
Hendry Charles Lea, seorang sejarawan Amerika, menulis kejahatan Inquisisi di Spanyol dalam empat volume bukunya: A History of the Inquisition of Spain, (New York:AMS Press Inc, 1998). Dalam bukunya ini, Lea membantah bahwa gereja tidak dapat dipersalahkan dalam kasus Inquisisi, sebagiman misalnya dikatakan oleh seorang tokoh Kristen, Father Gam, yang menyatakan: “Inquisisi adalah satu institusi dimana Gereja tidak memiliki tanggung jawab atasnya (The inquisition is an institution for which the Church has no responsibility).
Ini adalah salah satu bentuk apologi di kalangan pemimpin Kristen. Lea menunjuk bukti bahwa dalam kasus bentuk hukuman terhadap korban Inquisisi, otoritas gereja mengabaikan pendapat bahwa hukuman kaum “heretics” (kaum yang di cap menyimpang dari doktrin resmi gereja) dengan membakar hidup-hiup adalah bertentangan dengan semangat Kristus. Tapi, sikap gereja saat itu menyatakan bahwa membakar hidup-hidup kaum Inretics adalah suatu tindakan mulia.
Ketika melakukan berbagai bentuk kekejaman itu, Gaereja bertindak sebagai wakil Tuhan, dan mengatas namakan Tuhan. Karena itu, kesalahan yang di lakukan Gereja adalah kesalahan itu sendiri. Ini berbeda dengan Islam, yang tidak mengenal institusi kekuasaan agama (Teokrasi), sebagaimana yang terjadi pada sejarah Kristen. Para pemimpin diakui haknya untuk mengampuni dosa manusia, di dalam Islam tak ada seorang pun berhak memberikan ampunan terhadap dosa orang lain.
Karena itu, tidaklah tepat jika konsep politik dalam Islam, yang diterapkan selama ratusan tahun, yakni konsep Khilafah, disebut dengan istilah dalam tradisi Kristen, yaitu “theokrasi”. Abul A’la Maududi malah menyebut Teokrasi sebagai pemerintahan setan. Padahal, ketika memegang hegemoni kekuasaan yang begitu besar, justeru ketika itulah, terjadi berbagai penyalahgunaan kekuasaan, yang akhirnya menimbulkan pemberontakan dari dalam tubuh Gereja sendiri. Mereka menyebutnya dengan istilah “reformasi”.
Salah satu yang mendorong Martin Luther melakukan pemberontakan terhadap Paus adalah praktik jual beli surat pengampunan dosa. Pada 31 Oktober 1517, Martin Luther (1484-1546) memberontak pada kekeuasaan Paus dengan cara menenpel 95 poin pernyataan (Ninety-five Theses) di pintu gerejanya, di Jerman. Ia terutama menentang praktik penjualan “pengampunan dosa” (indulgences) oleh pemuka gereja. Pada 95 theses-nya itu, Luther juga menggugat keseluruhan doktrin supremasi Paus, yang dikatakannya telah kehilangan legitimasi akibat penyelewengan yang dilakukannya. Tahun 1521, Luther dikucilkan dari Gereja Katolik. Namun, Luther berhasil mendapatkan perlindungan seorang pengusaha wilayah Jerman dan akhirnya mengembangkan gereja dan ajaran tersendiri terlepas dari kekuasaan Paus.......
Berbagai penyelewengan penguasa agama, dan pemberontakan tokoh-tokoh Kristen kepada penguasa Gereja yang mengklaim sebagai wakil Kristus menunjukan bahwa konsep “infallible” (tidak dapat salah) dari Gereja sudah tergoyangkan. Pemberontakan demi pemberontakan terus berlangsung, sehingga dunia Kristen Eropa kemudian terbelah menjadi dua bagian besar, Katolik dan Protestan. Beratus tahun agama ini bersaing dan saling melakukan berbagai aksi pembantaian. Kisah perebutan tahta di Inggris menarik untuk disimak, bagaimana raja Hendry VIII (1491-1547) memisahkan diri dari Paus dan membentuk Gerja sendiri, hanya karena Paus menentang perkawinannya dengan Anne Boleyn dengan menceraikan istrinya terlebih dahulu, Catharine of Aragon. Tahta Inggris akhirnya jatuh ke tangan Protestan (Anglikan) setelah Vatikan gagal mencegah tampilnya Elizabeth I (1558-1603) sebagai ratu Inggris menggantikan Queen Mary yang Katolik. Sebuah film berjudul Elizabeth yang dibintangi oleh Cate Blanchett menggambarkan perebutan tahta Inggris antara Katolik dan Protestan yang diwarnai dengan berbagai tindakan kejam yang di luar batas perikemanusiaan, baik yang dilakukan tokoh-tokoh Katolik maupun tokoh Protestan.
Di Prancis pertarungan antara Katolik dan Protestan juga berlangsung sangat sengit. Salah satu kisah yang paling mengerikan adalah pembantaian kaum Protestan-terutama Calvinists—di Paris, oleh kaum Katolik tahun 1572 yang dikenal sebagai “The St. Bartholomew’s Day Massacre”. Diperkirakan 10.000 orang mati. Selama berminggu-minggu jalan-jalan di Paris dipenuhi dengan mayat-mayat laki-laki, wanita, dan anak-anak, yang membusuk.
Prancis yang dikenal dengan Revolusinya (1789) yang dahsyat yang mengusung jargon “Liberty, Egality, Fraternity”. Pada masa itu, para agamawan (clergy) di Prancis menempati kelas istimewa bersama bangsawan. Mereka mendapat hak istimewa, termasuk pembebasan pajak. Padahal, jumlah mereka sangat keci, yakni hanya sekitar 500.000 dari 26 juta rakyat Prancis.
Dendam masyarakat Barat terhadap keistimewaan para tokoh agama yang bersekutu dengan penguasa yang menindas rakyat semacam itu juga berpengaruh besar terhadap sikap Barat dalam memandang agama. Tidak heran, jika era berikutnya, muncul sikap anti-pemuka agama, yang dikenal dengan istilah “anti-clericalism” tersebut di Eropa pada abad ke-18. Sebuah ungkapan populer ketika itu: “Berhati-hatilah, jika anada berada di depan seorang wanita, berhati-hatilah jika anada berada di belakang keladai, dan berhati-hatilah jika berada di depan atau di belakang pendeta”.
Trauma inilah yang kemudian melahirkan paham sekulerisme dalam politik, yakni memisahkan antar agama dengan politik. Mereka selalu beralasan, bahwa jika agama di campur dengan politik, maka akan terjadi “politisasi agama”; agama haruslah dipisahkan dari negara. Agama dianggap sebagai wilayah pribadi dan politik (negara) adalah wilayah publik; agama adalah hal yang suci sedangkan politik adalah hal yang kotor dan profan. Bukti-bukti penyimpangan kekuasaan politik oleh penguasa agama di Eropa dengan mudah ditemukan. Pada tahap selanjutnya, mereka terus mencari dalil-dalil dan alasan teologis untuk memperkuat argumen-argumen sekulerisasi, khususnya ditemukan pada ayat-ayat tertentu pada Bible. Ini adalah trauma Barat pada sejarah keagamaan mereka, yang sangat berbeda dengan pengalaman sejarah Islam, atau peradaban lainnya. Menghadapi serangan yang sangat kuat tersebut pihak Kristen akhirnya menyerah dan menerima proses sekulerisasi sebagai bagian dari kenyetaan. Bahkan, banyak yang beragumen bahwa sekuerisasi adalah bagian dai ajaran Kristen itu sendiri. (Husaini, 2005:34-40 dan Amien, 2010:180-181).
Trauma Barat terhadap sejarah keagamaan mereka berpengaruh besar terhadap cara pandang mereka terhadap agama. Jika disebut kata “religion” maka yang teringat dalam benak mereka adalah sejarah agama Kristen, lengkap dengan doktrin, ritual, dan sejarahnya yang kelam yang diwarnai dengan Inquisisi dan sejarah penindasan atas para ilmuwan. Seorang ilmuan Barat, Scott Peck, menyatakan,
“Sekali kata ‘religion’ disebutkan di dunia Barat, ini akan membuat orang berpikir tentang....Inquisis, tahayul, lemah semangat, paham dogmatis, munafik, benar sendiri, kekuatan kekasaan, pembakaran buku, pembakaran dukun, larangan-larangan, ketakutan, taat aturan agama, pengakuan dosa, dan kegilaan. Apakah benar ini yang Tuhan lakukan untuk manusia atau apa yang manusia lakukan terhadap Tuhan. Ini merupakan bukti kuat bahwa mereka percaya kepada Tuhan sering menjadi dogma yang menghancurkan”.
Persepsi tentang agama Kristen semacam itulah yang kemudian membentuk persepsi kolektif tentang perlunya dilakukan “sekulerisasi” dalam kehidupan masyarakat. Agama (dalam hal ini institusi Gereja) harus dipisahkan dari wilayah politik, karena kekuasaan Gereja yang absolut sudah terbukti menyelewengkan dan memanipulasi kekuasaan untuk kepentingan pemuka agama. (Husaini, 2005:40-41).
Trauma dominasi dan hegemoni kekuasaan agama itulah yang memunculkan paham sekulerisme dalam politik, yakni memisahkan agama dengan politik. Mereka selalu beralasan, jika agama dicampur dengan politik maka akan terjadi “politisasi agama”; agama haruslah dipisahkan dari negara. Agama dianggap sebagai wilayah pribadi dan politik (negara) adalah wilayah publik; agama adalah  hal yang suci sedangkan politik adalah hal yang kotor dan profan. (Amien, 2010:181).
Ada kalanya, Gereja mencoba menyatukan masyarakat Kristen dengan menempatkan sesuatu sebagai “common enemy”, sebagaimana yang terjadi dalam Crusade, ketika Paus Urban II menggambarkan Muslim sebagai musuh Kristen. Institusi Inquisisi juga dibentuk dalam rangka membasmi musuh-musuh Gereja. Apa yang dilakukan Gereja di zaman pertengahan dalam menghimpun dan mengkonsentrasikan kekuasaan (power) dapatlah dikatakan sebagai suatu bentuk pemeliharaan hegemoni.
Dalam masalah keilmuan, waktu itu Gereja meyakini bahwa bumi adalah pusat tata surya. Sampai pada abad ke-17 Gereja dan juga Inquisitor-Generalnya, secara terbuka menganut keyakinan, seluruh alam semesta bergerak mengelilingi Mahkota Paus yang berada di bumi. Robert N. Bellah mencatat bahwa “Paus, di awal abad Pertengahan, hampir mengklaim diri sebagai ketua super negara internasional, dimana semua penguasa politik sekuler harus tunduk kepadanya (The Pope in the early Middle Ages comes close to claiming to be the head of an international super state to which all secular political authorities had to bow)”. Di abad-abad Pertengahan, Gereja memang merupakan kekuatan dominan dalam politik. Di samping memegang kekuatan agama, Gereja juga mengendalikan kekuatan besar dalam ekonomi. Di abad ke-10, Gereja merupaka pemilik lahan terbesar di Eropa Barat. Ketika itu Gereja memiliki hampir sepertiga wilayah Itali dan sejumlah besar kekayaan di wilayah lain. (Husaini, 2005:41).
Agama Kristen mulai bersinar di Eropa pada 313, ketika Kaisar Konstantin mengeluarkan surat perintah (Edik) yang isinya memberi kebebasan warga Romawi untuk memeluk agama Kristen. Tahun 380 Kristen dijadikan sebagai agama negara oleh Kaisar Theodosius. Menurut Edik Theodosius, semua warga negara Romawi diwajibkan menjadi anggota gereja Katolik. Agama di luar itu dilarang. Bahkan sekte-sekte Kristen di luar “gereja resmi” pun dilarang dengan berbagai keistimewaan yang dinikmatinya. Kristen menyebar ke berbagai penjuru dunia. tetapi Kristen tergerus oleh arus yang tak dapat dihindarinya, yaitu sekulerisasi dan liberalisasi. Jika dicermati lebih jauh, perkembangan gereja-gereja di Eropa kini memprihatinkan. Seorang aktivis Kristen asal Bandung memaparkan dengan jelas kehancuran gereja-gereja di Eropa dalam buku Gereja Modern, Mau ke Mana? (1995). Kristen benar-benar kelabakan dihantam nilai-nilai sekulerisme, modernisme, liberalisme, dan “klenikisme”. (Amien, 2010:182).
Kedua, Problem Teks Bible.
Problem ini berkaitan dengan otensitas teks Bible dan makna yang terkandung di dalamnya. Ada sebagian kalangan yang dengan gegabah menyamakan al-Qur’an dengan Bible, dengan menyatakan, bahwa semuanya adalah Kitab Suci, dan semuanya mukjizat. Padahal, ilmuan Barat yang jeli, bisa membedakan antara kedua Kitab agama itu. Teks al-Qur’an tidak mengalami problema sebagaimana teks Bible. Norman Daniel dalam bukunya, Islam and The West: The Making of an Image, menegaskan: al-Qur’an tidak ada bandingannya dengan apapun di luar Islam (The Quran has no parallel outside Islam).
Hebrew Bible (Kristen menyebutnya Perjanjian Lama), misalnya, hingga kini masih merupakan misteri. Richrd Elliot Friedman, dalam bukunya, Who Wrote the Bible, menulis bahwa hingga kini siapa yang sebenarnya yang menulis Kitab ini masih merupakan misteri. Ia menulis “Adalah sebuah fakta yang mengherankan bahwa kita tak pernah tahu secara pasti siapa yang telah membuat buku itu yang telah menjalankan peran penting dalam peradaban kita (It is a strange fact that we have never known with certainty who produced the book that has played a central role in our civilization)”. Ia mencontohkan, The Book of Torah, atau The Five Book of Moses, yang diduga ditulis oleh Moses. Book of lementation ditulis Nabi Jeremiah. Separuh Mazmur (Psalm) ditukis King David. Tetapi, kata Friedman, tidak seorang pun tahu, bagaimana perujukan penulis itu memang benar adanya. The Five Book of Moses, kata Friedman, merupakan teka-teki paling tua di dunia (It is one of the oldest puzzles in the world). Tidak ada satu ayat pun dalam Torah yang menyebutkan, bahwa Moses adalah penulisnya. Sementara di dalam teksnya dijumpai banyak kontradiksi.
Perjanjian Baru (The New Testament) juga menghadapi banyak problem otentisitas teks. Profesor Bruce M. Metzger, guru besar bahasa Perjanjian Baru di Princeton Theological Seminary, penulis beberapa buku tentang teks Perjanjian Baru. Satu bukunya berjudul “The Text of the New Testament: Its Transmission, Corruption, and Restoration” (Oxford University Press, 1985). Dalam bukunya yang lain, yang bejudul “A Textual Commentary on the Greek New Testament”, (terbitan United Bible Societies, corrected edition tahun 1975), Metzger menulis di pembukaan bukunya, ia menjelaskan ada dua kondisi yang selalu dihadapi oleh penafsir Bible, yaitu (1) tidak adanya dokumen Bible yang original saat ini, dan (2) bahan-bahan yang ada pun sekarang ini bermacam-macam, berbeda satu dengan yang lainnya.
Bahasa Yunani (Greek) adalah bahasa asal The New Testament. Melalui bukunya ini, Metzger menunjukkan, rumitnya problema kanonifikasi Teks Bible dalam bahasa Greek. Banyaknya ragam teks dan manuskrip menyebabkan keragaman teks tidak dapat dihindari. Hingga kini, ada sekitar 5.000 manuskrip teks Bible dalam bahasa Greek, yang berbeda satu sama lainnya. Cetakan pertama The New Testament bahasa Greek terbit di Basel pada 1516, disiapkan oleh Desiderius Erasmus (ada yang menyebut tahun 1514 terbit di The New Testament edisi Greek di Spanyol). Karena tidak ada manuskrip Greek yang lengkap, Erasmus menggunakan berbagai versi Bible untuk melengkapinya. Untuk Kitab Wahyu (Relevation) misalnya, ia gunakan versi Latin susunan Jerome, Vulgate. Padahal, teks Latin itu sendiri memiliki keterbatasan dalam mewakili bahasa Greek.
Dalam bukunya yang lain, The Early Versions of the New Testament, Metzger mengutip tulisan Bonifatius Fischer, yang berjudul, “Limitation of Latin in Representing Greek”. Dalam buku itu Fischer dikutip Metzger menulis, “Meskipun bahasa Latin secara umum sangat cocok untuk digunakan menterjemahkan dari bahasa Yunani, tetap saja ada bagian-bagian yang tidak bisa diekspresikan dalam bahasa Latin”.
Tahun 1519, terbit edisi kedua Teks Bible dalam bahasa Yunani. Teks ini digunakan oleh Martin Luther dan William Tyndale untuk menterjemahkan Bible dalam bahasa Jerman (1522) dan Inggris (1525). Tahun-tahun berikutnya banyak terbit Bible bahasa Yunani yang berbasis pada teks berbasis Byzantine. Antara tahun 1516 sampai 1633 terbit sekitar 160 versi Bible dalam bahasa Yunani. Dalam edisi Yunani ini dikenal istilah “Textus Receptus” yang dipopulerkan oleh Bonaventura dan Abraham Elzevier. Namun, edisi ini pun tidak jauh berbeda dengan 160 versi lainnya. Meskipun sekarang telah ada kanonifikasi, tetapi menurut Prof. Metzger, adalah mungkin untuk menghadirkan edisi lain dari The New Testament.
Jelas, fakta semacam itu tidak terfikir oleh Muslimin terhadap al-Qur’an, hingga kini. Apalagi kaum Muslim juga tidak mengalami problem bahasa al-Qur’an. Mereka masih membaca al-Qur’an dalam bahasa Arab dan beribadah dalam bahasa Arab, sesuatu yang tidak dapat dinikmati oleh kaum Kristiani pada umumnya. Misalnya, kaum Kristen di Sumatera Utara tidak bernyanyi puji-pujian dengan bahasa Yunani, bahasa asli Perjanjian Lama. Bagaimana pun telitinya, satu terjemahan pasti tidak akan mengekspresikan bahasa asalnya dengan tepat. Apalagi, jika terjemahan itu sudah dilakukan ke berbagai bahasa. Ambil satu contoh ayat dalam Bible, Kitab 1 Raja-raja 11:1 dalam sejumlah versi Bible ditulis sebagai berikut.
• Versi LAI (Lembaga Alkitab Indonesia) terbitan tahun 2000 ditulis: “Ada pun Raja Salomo mencintai banyak perempuan asing. Disamping anak Fir’aun ia mencintai perempuan-perempuan Moab, Amon, Edom, Sidon, dan Het”.
• Dalam The Living Bible ditulis: “King Salomon married any other girls besides the Egyptian princess. Many of them came from nation where idols were worshipped—Moab, Ammon, Edom, Sidon and from the Hittites”.
• Sedangkan Bible King James Version menulis: “But King Solomon loved many strange women, together with the daughter of Paharaoh women of Moabites, Ammonites, Edomites, Zidonians, and Hittites”.
• Lain pula yang ada dalam versi The Bible Resived Standart Version: “Now King Solomon loved many foreign women; the daughter of Pharaoh, and Moabites, Ammonite, E’domite, Sido’niah, and Hittite women”.
• Dalam edisi Latin ‘Vulgate’, ditulis: “Rex autem Solomon amavit mulieres alienigenas multas filiam quoque Pharaonis et Moabitidas et Ammanitidas Idumeas et Sidonias et Chettheas”.
Perhatikan, bagaimana sejumlah versi Bible manggunakan kata “mencintai” (loved/amavit), sedangkan The Living Bible manggunakan kata “married”. Faktanya, Salomon memang mengawini wanita-wanita asing itu. Kejahatan Salomon versi Bible digambarkan dalam Kitab 1 Raja-raja 11:1-9, digambarkan perilaku Salomo yang tidak patut dilakukan oleh seorang Nabi utusan Allah—dalam konsepsi Islam. Bagian dalam Bible ini diberi judul “Salomon Jatuh ke dalam penyembahan berhala”.
“(1) Adapun Raja Salomon mencintai banyak perempuan asing. Disamping anak Fir’aun ia mencintai perempuan-perempuan Moab, Amon, Edom, Sidon, dan Het. (2) Padahal tentang bangsa-bangsa itu Tuhan telah berfirman kepada orang Israel: “Janganlah kamu bergaul dengan mereka dan mereka pun jangan bergaul dengan kamu, sebab sesungguhnya mereka akan mencondongkan hatimu kepada allah-allah mereka. Hati Salomo telah terpaut kepada mereka dengan cinta. (3) Ia mempunyai tujuh ratus istri dan tiga ratus gundik; istri-istrinya itu menarik hatinya dari Tuhan. (4) Sebab pada waktu Salomo sudah tua, istri-istrinya itu mencondongkan hatinya kepada allah-allah lain, sehingga dia tidak sepenuh hati ber-paut kepada Tuhan, Allahnya seperti Daud, ayahnya. (5) Demikianlah, Salomo mengikuti Asytoret, dewi orang Sidon, dan mengikuti Milkom, dewa kejijikan sembahan orang Amon, (6) dan Salomo melakukan apa yang jahat di mata Tuhan, dan ia tidak dengan sepenuh hati mengikuti Tuhan, seperti Daud, ayahnya. (7) pada waktu itu Salomo mendirikan bukit Moab, di gunung sebelah Timur Yerusalem dan bagi Molokh, dewa kejijikan sembahan Bani Amon. (8) Demikian juga dilakukannya bagi semua istrinya, orang-orang asing itu, yang mempersembahkan korban ukupan dan korban sembelihan kepada allah-allah mereka. (9) Sebab itu Tuhan menunjukkan murkanya kepada Salomo, sebab hatinya telah menyimpang dari pada Tuhan, Allah Israel, yang telah dua kali menampakkan diri kepadanya.”
Fakta semacam ini tentu tidak mudah dipahami, sebab dalam konsepsi Bible, penyembah berhala harus dijatuhi hukuman mati. Dalam Alkitab terbitan LAI, Kitab Ulangan 17:2-7 diletakkan di bawah judul “Hukuman Mati untuk penyembah Berhala”.
(2) Apabila di tengah-tengahmu di salah satu tempatmu yang diberikn kepadamu oleh Tuhan, Allahmu, ada terdapat seorang laki-laki atau perempuan yang melakukan apa yang jahat di mata Tuhan, Allahmu dengan melangkahi perjanjian-Nya, (3) dan yang pergi beribadah kepada allah lain dan sujud menyembah kepadanya, atau kepada matahari, atau bulan, atau segenap tentara langit, hal yang telah Kularang itu; (4) dan apabila hal itu diberitahukan atas terdengar kepadamu, maka engkau harus memeriksa baik-baik. Jikalau ternyata benar dan sudah pasti, bahwa kekejian itu dilakukan diantara orang Israel, (5) maka engkau harus membawa laki-laki atau perempuan yang telah melakukan perbuatan jahat itu keluar ke pintu gerbang, kemudian laki-laki atau perempuan itu harus kau lempari dengan batu sampai mati. (6) Atas keterangan dua atau tiga orang saksi haruslah mati dibunuh orang yang dihukum mati; atas keterangan satu orang saksi saja janganlah ia dihukum mati. (7) Saksi-saksi itulah yang pertama-tama menggerakkan tangan mereka untuk membunuh dia, kemudian seluruh rakyat. Demikianlah harus kau hapuskan yang jahat itu dari tengah-tengahmu”.
Ketiga, Problem Teologi Kristen.
Dr. C. Groenen Ofm, seorang teolog Belanda, mencatat, “seluruh permasalahan Kristologi di dunia Barat berasal dari kenyataan di dunia Barat, Tuhan menjadi problem”. Setelah membahas perkembangan pemikiran tentang Yesus kristus (Kristologi) dari para pemikir dan teolog kristen yang berpengaruh, ia sampai pada kesimpulan, bahwa kekacauan para pemikir kristen di dunia Barat hanya mencerminkan kesimpangsiuran kultural di Barat. “Kesimpangsiuran itu merupakan akibat sejarah kebudayaan dunia Barat” tulis Groenen.
Setelah membahas puluhan konsep para teolog besar di dunia Barat modern, Greonen memamng akhirnya “menyerah” dan “lelah”, lalu sampai pada kesimpulan klasik bahwa konsep Kristen tentang Yesus memang “misterius” dan tidak dapat dijangkau oleh akal manusia. Sebab itu, jangan dipikirkan. Kata dia,
“Iman tidak tergantung pada pemikiran dan spekulasi para teolog. Yesus kristus, relevansi dan kebenaran abadi-Nya, akhirnya hanya tercapai dengan hati yang beriman dan berkasih. Yesus Kristus, Kebenaran, selalu lebih besar dari otak manusia, meski otak itu sangat cerdas dan tajam sekali pun”.
Sepanjang sejarah peradaban Barat, terjadi banyak prsoalan serius dalam perdebatan teologis. Di zaman pertengahan, rasio harus disubordinasikan kepada kepercayaan Kristen. Akal dan filosofi di zaman pertengahan tidak digunakan untuk mengkritisi atau menentang doktrin-doktrin kepercayaan Kristen, tetapi digunakan untuk mengklasifikasi, menjelaskan, dan menunjangnya. Sejumlah ilmuan seperti Saint Anselm, Abelard, dan Thomas Aquinas mencoba memadukan antara akal (reason) dan teks Bible (revelation). Sikap para ilmuan dan pemikir abad pertengahan digambarkan:
“Mereka tidak menolak berbagai keyakian Kristen yang berada di luar jangkauan akal manusia dan karenanya tidak dapat ditelaah dengan argumen rasional. Sebaliknya, mereka tetap meyakini berbagai keyakinan semacam itu yang terdapat di ayat-ayat dan menerimanya dengan iman. Bagi pemikir di zaman pertengahan, akal tidak memiliki keberadaan yang independen tapi pada akhirnya harus mengakui standar kebenaran yang bersifat suprarasional dan di luar jangkauan manusia. Mereka ingin agar pemikiran logis di arahkan oleh batasan-batasan Kristen dan dituntun oleh otoritas skriptural dan keagamaan”.
Problem yang kemudian muncul ialah ketika para ilmuan dan pemikir diminta mensubordinasikan dan menundukkan semua pemikirannya kepada teks Bible dan otoritas Gereja, justru pada kedua hal itulah terletak problem itu sendiri. Disamping menghadapi problem otensitas, Bible juga memuat hal-hal yang bertentangan dengan akal dan perkembangan ilmu pengetahuan. Sejumlah ilmuan mengalami benturan dengan Gereja dalam soal ilmu pengetahuan, seperti Galileo Galilei (1546-1642), dan Nicolaus Copernicus (1473-1543). Bahkan Giordano Bruno (1548-1600), pengagum Nicolaus Copernicus, dibakar hidup-hidup.
Jika para ilmuan dipaksa tunduk kepada doktrin teologi yang mereka sendiri sulit memahaminya, tentu muncul benturan pemikiran. Padahal, konsepsi teologis Kristen—terutama fakta dan posisi ketuhanan Yesus—telah menjadi ajang perdebatan ramai di kalangan Kristen, sepanjang sejarahnya. Kelompok-kelompok yang tidak menyetujui doktrin resmi Gereja dicap sebagai heretics dan banyak diantaranya yang diburu dan dibasmi. Contohnya, adalah satu kelompok yang bernama Cathary yang hidup di selatan Prancis. Kelompok Catharty adalah penganut Catharism, satu kelomok heresy radikal di Zaman Pertengahan. Cathary percaya karena daging adalah jahat, karena Kristus tidak mungkin menjelma dalam tubuh manusia. Karena itu, Kristus tidaklah disalib dan dibangkitkan. Dalam ajaran Cathary, Yesus bukanlah Tuhan, tapi Malaikat. Untuk mempersembahkan manusia, Tuhan yang jahat menciptakan gereja, yang mempertontonkan “sihirnya”dengan mengejar kekuasaan dan kekayaan. Ketika kaum ini tidak dapat disadarkan denga persuasif, Paus Innocent III menyerukan kepada raja-raja untuk memusnahkan mereka dengan senjata, sehingga ribuan orang dibantai.
Doktrin teologi Kristen tidaklah tersusun di masa Yesus, tetapi beratus tahun sesudahnya, yakni pada tahun 325 dalam Konsili Nicea. Adalah Kaisar Konstantin yang mempelopori Konsili Nicea, yang menyatukan atau memilih teologi resmi Gereja. Konsili menjadikan Roma sebagai pusat resmi Christian orthodoxy. Kepercayaan yang berbeda dengan yang resmi dipandang sebagai heresy. Dalam Konsili ini, aspek-aspek ketuhanan Yesus diputuskan melalui pemungutan suara (voting). Buku The Messianic Legacy, yang ditulis tiga orang pemikir Kristen Michael Baigent, Richard Leigh, Henry Lincoln, mencatat, bahwa Kristen memang berutang pada Konstantin, tetapi tidak dapat dikatakan Konstantin sebagai seorang Kristen atas mengkristenkan Romawi. Cerita tentang ‘konversi’ Konstantin diperdebatkan. Ia tetaplah penganut paganisme. Tuhannya adalah Sol Invictus, dewa matahari kaum pagan. Paganisme juga menjadi agama resmi Romawi ketika itu. Buku ini menyebutkan pengaruh paganisme Contantine terhadap Kristen. Tahun 321 M, keluar Edict yang menetapkan hari Minggu sebagai hari istirahat. Padahal, sebelumnya, Kristen tetap menghormati hari Sabtu. Sampai abad ke-4, hari kelahiran Yesus diperingati pada 6 Januari. Tapi, pada tradisi persembahan Sol Invictus, hari terpenting adalah 25 Desember.
The Interpreter’s Distionary of the Bible, menjelaskan bahwa istirahat ‘trinitas’ (Latin: trinitas, Inggris: trinity) merujuk pada pengertian: the coexistence of Father, Son, and Holy Spirit in the Unity of the Godhead. Istilah ini bukan merupakan istilah Biblical. Tapi, mewakili kristalisasi dari ajaran Perjanjian Baru. Dalam Matius 3:17 disebutkan: “Maka suatu suara dari langit mengatakan, ‘Inilah anakku yang kukasihi. Kepadanya Aku berkenan.’” Juga, Lukas 4:41 menyebutkan bahwa Yesus itu adalah anak Allah. Lonsep trinitas memang tidak mungkin dipahami dengan akal. Tokoh pemikir Kristen abad ke-13, Thomas Aquinas mengungkapkan dengan kata-kata, “Bahwa Tuhan adalah tiga dan satu hanya bisa dipahami dengan keyakinan, dan tidak mungkin hal ini bisa dibuktikan dengan demonstratif dengan akal (....deum esse trinum et unum est creditum, et nullo modo potest demonstrative probari).
Sejak Konsili Nicea, problem serius dan kontroversial memang masalah “ketuhanan Yesus”. Bagaimana menjelaskan kepada akal yang sehat bahwa Yesus adalah ‘Tuhan’ dan sekaligus ‘manusia’. Apa yang disebut kaum Katolik sebagai “Syahadat Nicea”, secara eksplisit mengutuk pemikiran Arius, seorang imam Alexandria yang lahir pada tahun 280. Arius—didukung sejumlah Iskup—menyebarkan pemahaman bahwa Yesus bukanlah Tuhan yang tunggal, esa, transeden, dan tak tercapai oleh manusia. Yesus adalah ‘Firman Allah” yang secara metafor boleh disebut “Anak Allah” bukanlah Tuhan, tetapi makhluk, ciptaan, dan tidak kekal abadi. ‘Syahadat Nicea’ menyatakan,
“Kami percaya pada satu Tuhan, Bapak Yang Mahakuasa, Pencipta segala yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan. Dan pada satu Tuhan Yesus Kristus, Putra Allah, Putra Tunggal yang dikandung dari Allah, yang berasal dari hakikat Bapak, Allah dari Allah, terang dari terang, Allah benar dari Benar, dilahirkan tapi tidak diciptakan, sehakikat dengan Bapak, melalui dia segala sesuatu menjadi ada....”
Tentang konsep ketuhanan Yesus, buku The Messianic Legacy mencatat bahwa Kristen yang dikenal saat ini bukan berasal dari zaman Yesus, tetapi dari Konsili Nicea, yang dicapai melalui pemungutan suara (At Nicea Jesus’ divinity, and the precise nature of his divinity, were esteblished by means of a vote. It is to state that Christianity as. We know It today derives ultimately not from Jesus’s time, but from the Council of Nicea).
Soal “Syahadat Katolik” juga menjadi perbincangan dan kontroversi hebat dalam sejarah Kristen. Konsili Efesus, tahun 431, melarang perubahan apa pun pada “Syahadat Nicea”, dengan ancaman kutukan Gereja (anathema). Namun, Konsili Kalsedon, tahun 451, mengubah “Syahadat Nicea”. Kutukan terhadap Arius dihapuskan. Naskah syahadat Konsili Kalsedon berasal dari konsili lokal di Konstatinopel tahun 381. Sebab, naskah edisi tahun 325 sudah tidak memadai untik berhadapan dengan situasi baru. Kalangan teolog Kristen ada yang menyebut bahwa naskah tahun 381 adalah penyempurnaan naskah tahun 325, tanpa mengorbankan disiplin teologisnya. Naskah syahadat itu di kalangan sarjana disebut “Syahadat dari Nicea dan Konstatinopel” disingkat N-C. Naskah syahadat N-C ini hingga sekarang masih menjadi naskah syahadat penting dari kebanyakan Gereja Kristiani. Namun, pada Konsili Toledo III di Spanyol tahun 589, Gereja Barat melakukan tambahan frasa “dan Putra” (Filioque), pada penggal kalimat “dan akan Roh Kudus....yang berasal dari Bapak”. Penambahan ini dimaksudkan untuk menekankan keindahan dan kesetaraan antara Putra dengan Bapak. Paus, yang mulanya menolak penambahan itu, akhirnya menerima dan mendukungnya. Namun, Gereja Timur menolak, karena melanggar Konsili Efesus. Penambahan ini kemudian menjadi penyebab utama terjadinya skisma—perpecahan—antara dua Gereja (Barat dan Timur) pada abad ke-11. Konsili Vatikan II juga membuat perubahan kecil pada Syahadat N-C, dengan mengganti kata pembuka “Aku percaya” menjadi “Kami percaya”. (Husaini, 2005:41-51).
C. Tokoh Islam Liberal Dunia
Menurut Kurzman Islam Liberal pertama kali diperkenalkan oleh Syah Waliyullah dari India (1703-1762). Walaupun pahamnya revival (salaf) namun bersikap lebih humanistik terhadap tradisi Islam adat. Lalu oleh Ali Abdul Raziq dari Mesir, lalu ada juga Dr. Faraq Faudah dari Mesir 1945-1993 yang akhirnya mati di tembak orang, Dr. Muhammad Khalafullah dari Mesir.
Kurzman menandai tokoh-tokoh Islam Liberal adalah orang-orang yang mengadakan pembaharuan lewat pendidikan, dengan memakai sistem pendidikan non Islam alias Barat. Maka secara umum, tokoh-tokoh Islam Liberal itu menurutnya, adalah orang-orang modernis atau pembaharu. (Hartono Ahmad Jaiz, 2008:214-215).

D. Sejarah Singkat Islam Liberal di Indonesia
Di Indonesia, kasusnya tidak jauh berbeda. Pemikiran Islam Liberal muncul di masa-masa akhir kolonialisme Belanda terhadap Indonesia. Sejarah tidak mungkin melewatkan perdebatan Soekarno-A. Hassan & M. Natsir tentang negara Islam dan kedudukan syariat Islam dalam negara pada tahun 1940-an. Soekarno sebagai juru bicara nasionalis muslim sekular, menulis artikel dalam Panji Islam dengn judul-judul: “Memudakan Pengertian Islam”, “Masyarakat Onta dan Masyarakat Kapal Udara”, dan “Apa sebabnya Turki Memisahkan Agama dari Negara” yang kemudian pada tahun 1965 tulisan-tulisan Soekarno di Panji Islam itu di bukukan oleh Panitia Penerbit Dibawah Bendera Revolusi dalam sebuah buku yang berjudul Dibawah Bendera Revolusi Jilid I. (Nashruddin Syarief, 2013:18 dan Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi I:369, 403 & 483).
Tulisan Soekarno “Memudakan Pengertian Islam” dibantah oleh A. Hassan (guru M. Natsir) dalam bukunya Islam dan Kebangsaan hal. 67. Lebih lanjut A. Hassan menyindir Soekarno dengan tulisan “Membudakkan Pengertian Islam”. Begitu pula M. Natsir merespon tulisan Soekarno “Masyrakat Onta dan Masyarakat Kapal Udara” dengan buku berjudul “Islam dan Akal Merdeka” secara khusus dibahas pada halaman 32-37. Selain itu, M. Natsir sebagai penyambung lidah nasionalis Islami menjawab juga dengan satu seri yang terdiri atas sembilan artikel dalam berkala yang sama dengan judul “Persatuan Agama dan Negara”. Menurut Deliar Noer, mereka (Soekarno dan Natsir) mewakili pandangan-pandangan dua kelompok terpenting di Indonesia, yakni para nasionalis muslim dan para nasionalis netral agama. Polemik mereka pada akhir tahun tiga puluhan dan awal empat puluhan bukan hanya merupakan suatu kelanjutan, melainkan juga satu klimaks perbedaan-perbedaan pendapat antara dua kelompok itu selama masa kolonial. (A. Hassan, 1984:67; M. Natsir, hal. 32-37; dan Deliar Noer, 1982: 296:315). Ahmad Suhelmi sampai membuat buku Polemik Negara Islam. Buku tersebut secara khusus membahas bagaimana sengitnya perdebatan antara Soekarno VS Natsir. (2002).
Perdebatan kedua kubu tersebut kemudian terus berlangsung di masa-masa awal kemerdekaan, dari sejak era persidangan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI/Dokuritsu Zyunbi Tyosakai) pada tahun 1945 sampai era persidangan Majelis Konstituante 1955-1959 yang berujung pada Dekrit Presiden 5 Juli 1959. (Endang Saifuddun Anshari, 1997:10 & M. Natsir, 2014:47-139).
Bila di belahan dunia lain seperti Mesir, India (Pakistan), Syiria, dan beberapa negara Arab lainnya, pemikiran Islam Liberal muncul lebih awal yaitu sekitar paruh pertama abad ke-20, yang di Indonesia berbarengan dengan munculnya gerakan-gerakan Islam Modernis, maka di Indonesia pemikiran Islam Liberal baru muncul pada tahun 1970-an ini. Menurut Tiar Anwar setidaknya ada dua alasan mengapa Islam Liberal muncul belakangan.
Pertama, Tokoh-tokoh Islam Nusantara sejak lama hanya menjadi “konsumen” bukan menjadi “produsen” dalam arti umat Islam di Indonesia lebih bersifat sebagai penerima ajaran yang telah berkembang di Timur Tengah.
Kedua, Tahun 1970-an inilah intelektual Islam yang mendapat pengaruh pemikiran Islam Liberal dari Timur Tengah mulai muncul seperti Harun Nasution dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Keduanya mendapat banyak pengaruh dari pemikir-pemikir Islam Liberal Mesir seperti: Ali Abdur Raziq, Rifa’at Tahtawi, dan Thaha Husein. (Bachtiar, 2017:42-43).
Sedangkan menurut Luthfie, Kemunculan Islam Liberal di Indonesia mulai dipopulerkan tahun 1950-an. Tapi mulai berkembang pesat—terutama di Indonesia—tahun 1980-an, yaitu oleh tokoh utama dan sumber rujukan “utama” komunitas atau Jaringan Islam Liberal, Nurcholish Madjid. Meski Nurcholish sendiri mengaku tidak pernah menggunakan istilah Islam Liberal untuk mengembangkan gagasan-gagasan pemikiran Islamnya, tapi ia tidak menentang ide-ide Islam Liberal. (Husaini dan Nuim, 2004:2-3 & Tiar, 2017:42).
Di masa-masa selanjutnya, pemikiran liberal Islam ini kemudian dimunculkan kembali oleh beberapa cendikiawan Muslim yang studi di Barat dan alur pemikirannya sudah ter-Barat-kan. Yudi Latif misalnya menyebut Nurcholish Madjid yang studi Islam di Chicago, Harun Nasution di Kanada, dan Abdurrahman Wahid yang walaupun tidak secara langsung studi di Barat tetapi dikenal sebagai tokoh yang rajin mempelajari pemikiran-pemikiran Barat. Meskipun demikian, bukan berarti semua cendikiawan yang belajar di Barat kemudian ke-Barat-kan, karena ternyata Imaduddin Abdulrahim dan Endang Saifuddin Anshari yang juga belajar di Amerika dan Kanada, ketika pulangnya justru menjadi penentang utama gerakan sekulerisme Nurcholish Madjid.
Dalam analisa Yudi Latif, Nurcholish waktu itu bergerak di kalangan anak muda dan terjun ke berbagai NGO dan organisasi mahasiswa, Abdurrahman Wahid bergerak di kalangan internal NU, sementara Harun Nasution bergerak di lingkungan kampus dengan melakukan liberalisasi IAIN. Yudi Latif juga mencatat bahwa lahirnya gerakan liberal merupakan respon akomodasionis (kompromi) terhadap rezim Orde Baru yang meminggirkan Islam (baca: sekularisasi) dan mengutamakan pembangunan. Menurutnya, pada waktu itu ada dua faksi utama gerakan Islam:
1. Para penganut gerakan dakwah Islam,
2. Para penganjur gerakan liberal Islam yang sering disebut “gerakan pembaharu”.
Faksi pertama bersikap rejeksionis/kurang pro terhadap pemerintah, sementara faksi kedua bersikap akomodasionis/pro terhadap pemerintah yang menggalakkan sekulerisasi. Para aktivis Islam dari universitas sekular merupakan penyokong utama faksi pertama, sedangkan aktivis Islam dari IAIN dan lembaga pendidikan NU merupakan penyokong utama faksi kedua. Lembaga Mujahid Dakwah (LMD), Lembaga Dakwah Kampus (LDK), lingkaran-lingkaran keagamaan di kampus umum, masjid-masjid “independen” dan harakah Islam yang bersifat global serta program-program mentoring Islam merupakan saluran-saluran utama transmisi ideologi dakwah. Di sisi lain HMI, PMII, NGO-NGO/LSM, dan lingkaran-lingkaran mahasiswa dan intelektual di IAIN dan NU menjadi katalis utama bagi proses transmisi ide-ide pembaharuan/liberal.
Hampir senada dengan Yudi Latif, Greg Barton dalam disertasi doktoralnya tentang gagasan Islam Liberal di Indonesia menemukan fakta bahwa pemikiran Islam Liberal sudah muncul di Indonesia dari sejak tahun 1970-an. Saat itu slogan yang dibawanya adalah neo-modernisme atau pembaharu. Pemikiran neo-modernisme ini memiliki karakteristik sebagai berikut:
1. Keyakinan bahwa pemikiran Islam wajib menganggapi secara positif tantangan modernitas.
2. Penafsiran rasional terhadap ajaran Islam yang termaktub dalam al-Qur’an dan contoh kehidupan Rasulullah, dibutuhkan.
3. Rasionalisme diberlakukan untuk mempertanyakan seluruh hal yang berkaitan dengan kebenaran, tepatnya dalam wilayah kultur Islam, bukan dalam teologi Islam.
4. Pengetahuan dan segala hal yang dibangun di atasnya senantiasa berubah.
5. Menolak pemikiran dan gerakan Negara Islam.
6. Penerimaan positif terhadap ajaran plural masyarakat modern, dan pancasila telah mencerminkan doktrin paling tepat bagi masyarakat Indonesia yang plural.
7. Mempercayai prinsip-prinsip humanitarian sebagai esensi dan jantung Islam.
Tokoh-tokoh yang disebutkan Barton sebagai penyebar gagasan Islam Liberal adalah Ahmad Wahib, Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, dan Djohan Effendi.
Tokoh-tokoh itulah, menurut Zuli Qodir, ditambah tokoh lainnya seperti Mukti Ali, Munawir Sadzali, Jalaluddin Rahmat, yang kemudian dijadikan rujukan pemikiran oleh generasi berikutnya yang berpikir liberal. Dalam catatannya, pemikiran Islam Liberal sebenarnya merupakan kelanjutan dari pemikiran neo-modernisme Islam yang digagas Cak Nur dan koleganya yang sering menyoroti permasalahan ketidakadilan sosial, demokrasi untuk Indonesia, dan perjuangan non partai politik Islam atau formalisasi syariah Islam di Indonesia.
Selain dari peran tokoh-tokoh tersebut di atas, Zuli Qodir juga menyebutkan empat faktor lainnya yang menjadi latar belakang kemunculan Islam Liberal yang dalam penelaahannya mulai muncul secara terang-terangan pada awal tahun 1900-an, yaitu:
1. Tuntutan atas modernisasi dan sekulerisasi. Modernisasi yang melanda dunia harus direspon oleh Islam, sebab menurut pemikiran Liberal, Islam adalah agama yang sesuai dengan kemajuan. Islam tidak ada pertentangan dengan modernisasi, sebab Islam mengajak setiap orang untuk senantiasa berpikir sesuai zamannya. Modernisasi dan sekulerisasi dunia sudah seharusnya membuat umat Islam berpikir lebih liberal, sehingga tidak ketinggalan zaman.
2. Refleksi krisis kekebalan teologis. Cara pandang teologi klasik yang konservatif, menurut pemikiran liberal, sudah tidak lagi memenuhu syarat tatkala berhadapan dengan problem-problem sosial kontemporer. Pandangan teologis yang fatalistik, menurut mereka, harus diganti dengan pandangan teologis yang lebih mengedepankan rasionalitas manusia. Masalah-masalah seperti iman, kufur, surga, neraka, dan dzimmi harus di tinjau ulang secara kritis dan hermeneutik, walau itu harus melanggar penafsiran yang sudah baku atas teks-teks suci. Sebab menurut mereka, penafsiran yang sudah baku tersebut adalah hasil pemikiran manusia yang sesuai dengan zamannya, sehingga sifatnya relatif. Kalau memang sudah tidak sesuai dengan zaman sekarang, maka tidak jadi soal untuk tidak digunakan lagi.
3. Adanya kerisauan atas fenomena keagamaan umat, tepatnya dengan kemunculan kaum fundamentalis seperti Front Pembela Islam (FPI) dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), yang melakukan penafsiran dan aksi Islam mayoritas, Muhammadiyah dan NU. Maka sebagian pemikir liberal ingin memberikan pertimbangan tema-tema yang berlawanan, seprti pluralisme agama, Islam tanpa kekerasan, kesetaraan jender, dan deformalisasi syariah di Indonesia, sehingga Islam Indonesia tidak dipahami secara tunggal tetapi multiinterpretasi.
4. Terjadinya mobilitas sosial dan pendidikan khususnya pada geberasi intelektual Muhammadiyah dan NU. Mobilitas tersebut terlihat pada perjalanan intelektual yang mereka lakukan, diantaranya belajar berbagai disiplin ilmu di dalam maupun di luar negeri dengan perspektif kritis dan pendekatan filosofis, sosiologis, antropologi, sejarah, psikologis, dan ilmu-ilmu humaniora lainnya. Selain itu melakukan pertemuan, debat, dan diskusi-diskusi atas karya-karya intelektual luar negeri yang liberal-progresif seperti Hasan Hanafi, Abdullah Ahmed an-Naim, Farid Esack, Mohammed Arkuon, Fatima Mernisi, Rifat Hasan, Amina Wadud, dan Khaled Abou al Fadhl. (Nashruddin Syarief, 2013:18-22).
Setelah Nurcholish Madjid meluncurkan gagasan sekulerisasi dan ide-ide teologi inskusif-pluralis dengan Paramadinanya, kini “kader-kader” Nurcholish mengembangkan gagasannya lebih intensif lewat yang mereka sebut “Jaringan Islam Liberal”. Jaringan Islam Liberal yang mereka singkat dengan JIL ini, mulai aktif pada Maret 2001 lalu. Kegiatan awal dilakukan dengan menggelar kelompok diskusi maya (milis) yang tergabung dalam islamliberal@yahoogruops.com, selain menyebarkan gagasannya lewat website www.islamlib.com.
Sejak 25 Juni 2001, JIL mengisi satu halaman Jawa Pos Minggu, berikutnya 51 koran jaringannya, dengan artikel dan wawancara seputar perpektif Islam Liberal. Tiap Kamis sore, JIL menyiarkan wawancara langsung (talkshow) dan diskusi interaktif dengan para kontributor Islam Liberal, lewat Kantor Berita Radio 68H dan puluhan radio jaringannya. Dalam konsep JIL, talkshow ini diupayakan mengundang sejumlah tokoh yang selama ini dikenal sebagai “pendekar pluralisme dan inklusivisme” untuk berbicara tentang berbagai isu sosial-keagamaan di tanah air. Acara ini diselenggarakan setiap minggu, dan disiarkan oleh seluruh jaringan KBR 68H di seluruh Indonesia. Selain itu, media massa yang aktif meluncurkn gagasan-gagasan Islam Liberal di antaranya adalah Kompas, Koran Tempo, Republika, majalah Tempo, dan lain-lain.
Talkshow ini semula diikuti oleh 10 radio. Empat radio di Jabotabek yaitu Radio Attahiriyyah FM (Radio Islam), Radio Muara FM (Radio Dangdut), Radio Star FM (Tangerang), Radio Ria FM (Depok), dan enam radio di daerah yaitu Radio Smart (Menado), Radio DMS (Maluku), Radio Unisi (Jogyakarta), Radio PTPN (Solo), Radio Mara (Bandung), Radio Prima FM (Aceh), yang merupakan jaringan 68H. Lama-lama, jaringan Radio 68H terus bertambah.
Pengelola JIL ini dikomandani oleh beberapa pemikir muda, seperti luthfi Assyaukanie (Universitas Paramadina Mulya), Ulil Abshar-Abdalla (Lakpesdam NU), dan Ahmad Sahal (jurnal Kalam). Markas JIL yang berpusat di Utan Kayu ini, juga sering diramaikan dengan diskusi dan ngobrol-ngobrol para aktivis muda dari berbagai kalangan.
JIL juga bekerjasama dengan para intelektual, penulis, dan akademisi dalam dan luar negeri, untuk menjadi kontributornya. Mereka adalah sebagai berikut:
• Nurcholish Madjid, Universitas Paramadina Mulya, Jakarta.
• Charles Kurzman, University of North Carolina.
• Azyumardi Azra, IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
• Abdallah Laroui, Muhammad V University, Maroko.
• Masdar F. Mas’udi, Pusat Pengembangan Pesantren dan Masyarakat, Jakarta.
• Goenawan Mohammad, Majalah Tempo, Jakarta.
• Edward Said.
• Djohan Effendi, Deakin University, Australia.
• Abdullahi Ahmad an-Naim, University of Khartoum, Sudan.
• Jalaluddin Rahmat, Yayasan Muthahhari, Bandung.
• Asghar Ali Engineer.
• Nasaruddin Umar, IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
• Mohammed Arkoun, University of Sorbonne, Prancis.
• Komaruddin Hidayat, Yayasan Paramadina, Jakarta.
• Sadeq Jalal Azam, Damascus University, Suriah.
• Said Agil Siraj, PBNU, Jakarta.
• Denny JA, Universitas Jayabaya, Jakarta.
• Rizal Mallarangeng, CSIS, Jakarta.
• Budi Munawwar-Rahman, Yayasan Paramadina, Jakarta.
• Ihsan Ali-Fauzi, Ohio University, AS.
• Taufik Adnan Amal, IAIN Alauddin, Ujung Pandang.
• Hamid Basyaib, Yayasan Aksara, Jakarta.
• Ulil Abshar Abdalla, Lakpesdam-NU, Jakarta.
• Luthfi Assyaukanie, Universitas Paramadina, Jakarta.
• Saiful Mujani, Ohio State University, AS.
• Ade Armando, Univesitas Indonesia, Depok.
• Syamsurizal Pangabean, Universitas Gadjamada, Yogyakarta.
Selain tokoh-tokoh di atas, beberapa orang tokoh Muhammadiyah juga aktif mendukung gagasan Islam Liberal, seperti Abdul Munir Mulkhan dan Sukidi. Bahkan ketua PP Muhammadiyah (pada waktu itu) Syafii Maarif juga dapat dikategorikan ke dalam pendukung gagasan-gagasan liberal (neomodernisme) Fazlur Rahman. Ia juga dikenal getol dalam menolak dikembalikannya Piagam Jakarta ke dalam Konstitusi. (Adian Husaini & Nuim Hidayat, 2004:4-6 & Hartono Ahmad Jais, 2008:235-236).
E. Tanggapan Ormas Islam, Ulama, dan Cendekiawan Muslim
Kelompok ormas Islam mengeluarkan fatwa dan buku mengenai faham Islam Liberal ini diantaranya adalah FUUI (Forum Ulama Umat Islam) pada 30 November 2002 mengeluarkan fatwa yang inti isinya yaitu menurut syariat Islam, oknum yang menghina dan memutar balikkan kebenaran agama dapat diancam dengan hukuman mati. MMI (Majelis Mujahidin Indonesia) mengeluarkan buku bantahan terhadap pemikiran Islam Liberal dan mengadakan debat terbuka sekaligus menerbitkan rekaman lengkap perdebatan tersebut. NU (Nahdhatul Ulama) dalam Muktamar ke-31 di Asrama Haji Donohudan, Boyolali, Jawa Tengah, Desember 2004 memperlihatkan kegeramannya terhadap Islam Liberal dan memuncak ketika 19 ulama sepuh membuat “Ikrar Ulama Nahdhatul Ulama” yang berisi bahwa NU harus menolak cara berfikir liberal yang menyimpang dari tradisi Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Muhammadiyah dalam Muktamar ke-45 di Malang Jawa Timur 3-8 Juli 2005 mendorong Majalah Tabligh mendirikan stan khusus selama Muktamar berlangsung yang dinamai “Pojok Anti-Liberal”. Stan ini menjual pernak-pernik, DVD, kaos, majalah, buku-buku, dan pernak-pernik lain yang bernuansa penolakan terhadap Islam Liberal. Selebaran juga dibagikan untuk mengantisipasi terpilihnya kembali tokoh-tokoh liberal menjadi pimpinan Muhammadiyah. Stan itu pun menyelenggarakan diskusi dengan topik “Islam Liberal” yang tujuannya untuk menyadarkan para peserta Muktamar dari bahaya Islam Liberal.
MUI menerbitkan Fatwa No.7/MUNAS VII/MUI/11/2005 tentang Pluralisme, Liberalisme, dan Sekulerisme Agama (Sepilis). Akronim ini dibuat dengan nada penghinaan seolah-olah pemikiran ini sama dengan salah satu jenis penyakit kelamin. Draf konsideran fatwa setebal sembilan halaman lampiran penjelasannya itu sendiri menyimpulkan sebagai berikut.
1. Pluralisme, Sekulerisme, dan Liberalisme agama sebagaimana dimaksudkan pada bagian pertama adalah paham yang bertentangan dengan ajaran agama Islam.
2. Umat Islam haram mengikuti paham Pluralisme, Sekulerisme, dan Liberalisme agama.
3. Dalam masalah akidah dan ibadah, umat Islam wajib bersikap eksklusif, dalam arti haram mencampuradukkan akidah dan ibadah umat Islam dengan akidah dan ibadah pemeluk agama lain.
4. Bagi pemeluk Muslim yang tinggal bersama pemeluk agama lain-lain (pluralitas agama), dalam masalah sosial yang tidak berkaitan dengan akidah dan ibadah, umat Islam bersikap insklusif, dalam arti tetap melakukan pergaulan sosial dengan agama lain sepanjang tidak saling merugikan.
Selain ormas Islam, banyak penulis lepas yang melakukan kritik terhadap pemikiran Islam Liberal seperti Hartono Ahmad Jais (Salafi), Ali Yafie (NU/MUI), Peunoh Dali (IAIN), Latief Muchtar (Persis), Ali Hilabi (al-Irsyad), Rasjidi (DDII), Agus Hasan Bashori, Muhammad Arifin bin Badri, Muhammad Amin Suma (MUI), Nabilas Lubis, Huzaemah Tahido Yanggo, Ali Mustafa Ya’kub, Neng Djubaedah, Rifyal Ka’bah, dan sebagainya yang bersebrangan dengan pemikiran Harun Nasution. (Bachtiar, 2017:140-154)
Menurut Hartono Ahmad Jais setidaknya ada lima kelemahan pokok Islam Liberal, yaitu:
1. Tidak punya landasan dalil yang benar.
2. Tidak punya paradigma ilmiah yang bisa dipertanggung jawabkan.
3. Tidak mengakui realita yang tampak nyata.
4. Tidak mengakui sejarah yang benar adanya.
5. Tidak punya rujukan yang bisa dipertanggung jawabkan.
Kelemahan-kelemahan itu bisa dibagi dua:
1. Lemah dari segi metode keilmuan.
2. Lemah dari segi tinjauan keyakinan atau teologis.
Meskipun banyak kelemahannya, namun karena pelontarannya itu adalah orang yang sudah kadung dianggap sebagai tokoh intelektual, maka dianggap sebagai pemikiran baru dan maju. Padahal sebenarnya jauh sekali dari kebenaran ilmiah maupun kebenaran agama yang berdasarkan dalil/nash ayat dan hadits. (2008:232-233).
Menurut Abu Deedat Syihab mengutip buku Protokol Zionis, paham Sekulerisme, Pluralisme, dan Liberalisme agama merupakan program Yahudi untuk menaklukan dunia dan menghancurkan agama-agama. (2014:123-124)
Terlebih menurut Nashruddin Syarief bahwa Liberalisme Islam di Perguruan Tinggi Agama Islam yang dikurikulumkan oleh Harun Nasution merupakan promosi terhadap paham Mu’tazillah. Lebih jauh Nashruddin Syarief menyebut keberpihakan Harun Nasution terhadap paham Mu’tazillah sudah muncul sejak ia mengenyam kuliah pascasarjana di McGill University, Kanada. (2015:281-287).
Dari uraian tentang sejarah Islam Liberal di atas, dapat diketahui bahwa pemikiran Islam Liberal pada hakikatnya merupakan produk kolonialisasi dan sekulerisasi yang dilancarkan Barat, karena tidak akan ditemukan mata rantai yang menghubungkan pemikiran liberal dengan jejak pemikiran Islam yang salaf. Ia adalah sebentuk pemikiran yang secara terang-terangan ingin melepaskan diri kaidah Islam dan kemudian berkompromi dengan modernisasi Barat secara liberal.
Islam Liberal, dengan demikian, pada hakikatnya bukan Islam yang berorientasi pada masa depan, melainkan Islam yang berorientasi pada masa silam, tepatnya pada masa dimana agama menjadi semacam candu di Barat. Menjadikan agama Islam seperti agama di Barat, jelas merupakan sebuah kesalahan, karena Islam tidak bernasib sama dengan di Barat. Islam tidak pernah menghegemoni kekuasaan dengan mengenyampingkan kemanusiaan sebagaimana halnya Gereja Kristen abad pertengahan. Islam juga tidak pernah mengekang kebebasan beragama manusia, karena Islam telah mengajarkan toleransi beragama dari sejak dini dan telah berhasil mempraktikannya tanpa pengaruh ideologi pluralisme. Islam tidak pernah bermasalah dengan konsep ketuhanannya, konsep agamanya, dan konsep wahyunya. Dari sejak awal sampai sekarang kesemua konsep itu diyakini dan dipraktikkan dalam kadar yang sama. Maka dari itu, sampai disini kita cukup untuk berkata, “Islam kok disamakan dengan Barat?” atau dengan kata lain, “Islam kok Liberal?”. (Nashruddin Syarief, 2013:22-23). Wallahu a’lam bishshowab.















Daftar Pustaka
• Ahmad Suhelmi. 2002. Polemik Negara Islam Soekarno VS Natsir. Teraju, Bandung. Cet. I.
• Amien, Shiddiq. 2010. Islam Dari Akidah Hingga Peradaban. Suluk, Jakarta. Cetakan I.
• Anshari, Endang Saifuddin. 1997. Piagam Jakarta 22 Juni 1945: Sebuah Konsensus Nasional tentang Dasar Negara Republik indonesia (1945-1949). Gema Insani Perss, Depok. Cetakan I.
• Bachtiar, Tiar Anwar. 2017. Pertarungan Pemikiran Islam di Indonesia. Pustaka al-Kautsar, Jakarta. Cetakan I.
• Hassan, A. 1984. Islam dan Kebangsaan. Lajnah Penerbitan Pesantren Persis Bangil, Bangil. Cetakan I.
• Husaini, Adian. 2005. Wajah Peradaban Barat dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal.  Gema Insani Press, Depok. Cetakan I.
• Husaini, Adian dan Nuim Hidayat. 2004. Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan, dan Jawabannya. Gema Insani Press, Depok. Cetakan III.
• Jais, Hartono Ahmad. 2008. Aliran dan Paham Sesat di Indonesia. Pustaka al-Kautsar, Jakarta. Cetakan XVIII.
• Legenhausen, Muhammad. 2002. Islam and Religious Pluralism. Edisi Indonesia: Satu Agama Atau Banyak Agama. Pen: Arif Mulyadi dan Ana Farida. Lentera Basritama, Jakarta. Cetakan I.
• Natsir, Mohammad. 2014. Islam Sebagai Dasar Negara. Sega Arsy, Bandung. Cetakan I.
• ----. tt. Islam dan Akal Merdeka. Media Dakwah, Jakarta.
• Noer, Deliar. 1982. Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942. LP3ES. Cetakan II.
• Soekarno. 1965. Dibawah Bendera Revolusi. Panitya Penerbit Dibawah Bendera Revolusi. Cetakan IV.
• Syarief, Nashruddin. 2013. Menangkal Virus Islam Liberal. Persis Press, Bandung. Cetakan III.
• ---. 2015. Islam Tanpa Sesat. Tsaqifa Publishing, Bandung. Cetakan I.
• Syihab, Abu Deedat. 2014. Membongkar Gerakan Pemurtadan & Penghancuran Agama. Pustaka Tazkia az-Zahra, Jakarta. Cetakan XII.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad

Responsive Ads Here