FEMINISME DALAM TINJAUAN ISLAM - PEMUDA PERSIS KAB. SUMEDANG

Breaking

Post Top Ad

Kami pemuda pembela agama Pembangkit umat yang utama Bertabligh memikat hati yang suci Berdalilkan Qur’an dan Hadis Di-tanam iman disebar amal Memimpin jiwa dan akhlaqnya Membasmi bid’ah agama Berjihad, berdakwah, beruswah)* Bersatulah bersatulah bersatulah bersatulah Hai muslimin Siapa yang menentang Islam Musnahlah dalil dan hujahnyaWeb PEMUDA PERSIS SUMEDANG

Post Top Ad

Mangga bade Iklan palih dieu

Kamis, 09 Agustus 2018

FEMINISME DALAM TINJAUAN ISLAM


Oleh M. Nurachman
 (Wakil Ketua PD. Pemuda Persatuan Islam Kab. Sumedang)

1.      Sejarah Feminisme
A.    Sejarah Awal Feminisme
Gerakan feminis mulai muncul ketika massa StampAmpf di tahun 1760 kaum perempuan Amerika terlibat dalampenyebaran gejolak revolusioner tanpa pandang mereka dari desaatau kota. Pada tahun 1800 gerakan kesetaraan perempuan mulaiberkembang ketika revolusi sosial dan politik terjadi di berbagainegara. Dalam bidang pendidikan dan ketenagakerjaan perempuanberangsur sampai tahun 1900. Pada tahun 1970 kampanye tentanghak-hak perempuan semakin giat dikumandangkan. Pada saat itusudah banyak kaum perempuan yang memperoleh pendidikan diperguruan tinggi sampai ke jenjang pendidikan tertinggi.
Rosemarie Putnam Tong mengemukakan tiga gelombang feminisme. Menurut Tong, gelombang pertama dimulai pada sekitar tahun 1800-an, dan merupakan dasar bagi gerakan-gerakan perempuan berikutnya. Pada fase ini, para perempuan sibuk sebagai aktifis gerakan perempuan. Gelombang kedua berkembang di tahun 1960-an, yang ditandai dengan pencarian representasi citra perempuan dan kedudukan perempuan oleh kaum feminis. Pada masa inilah teori mengenai kesetaraan perempuan mulai tumbuh. Gelombang ketiga ditengarai dengan pengkolaborasian teori mengenai kesetaraan perempuan dengan pemikiran kontemporer, yang kemudian melahirkan teori feminis yang beraneka ragam.
Gerakan feminis di Barat penyebab utamanya adalah pandanganmeremehkan bahkan membenci perempuan (misogyny), bermacam-macamanggapan buruk (stereotype) yang dilekatkan kepadanya, serta aneka citranegatif yang terwujud dalam tata nilai masyarakat, kebudayaan, hukum, danpolitik. Feminisme sebagai filsafat dan gerakan dapat dilacak dalam sejarahkelahirannya dengan kelahiran Era Pencerahan di Eropa yang dipelopori olehLady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet.
Kata faminismediperkenalkan pertama kali oleh aktivis sosialis utopis, Charles Fourier padatahun 1837. Feminisme mulai timbul pada abad ke-18 di Eropa, tepatnya diPerancis yang didorong oleh ideology pencerahan (Aufklarung) yang menekankanpentingnya peran rasio dalam mencapai kebenaran. Setelah terjadi revolusi sosialdan politik di Amerika Serikat, perhatian terhadap hak-hak kaum perempuanmulai mencuat. Gerakan ini pindah ke Amerika dan berkembang pesat disanasejak publikasi John Stuart Mill, the Subjection of Women (1869).
Tahun 1882di Inggris ditetapkan undang-undang yang menetapkan perempuan berhakmemiliki uang yang mereka peroleh. Feminisme sesungguhnya merupakansebuah gerakan perempuan yang bergerak aktif dalam menuntut emansipasi(kesamaan hak) dengan pria dalam kehidupan sosial.Gerakan feminismedicanangkan untuk pertama kalinya pada tahun 1785 oleh Lady Mary WortleyMantagu dan Marquis de Condorcet di Middelburg, sebuah kota di SelatanBelanda. Pada kisaran abad 17-21 Masehi, gerakan ini telah melahirkan tokoh-tokohfeminis yang terkenal seperti Hillary Rose, Evelyn Fox Keller, SandraHarding, Donna Haraway dan tokoh-tokoh feminis lainnya. Diskursus genderdalam agenda feminisme kontemporer lebih banyak difokuskan pada gerakandalam memperjuangkan persamaan hak, partisipasi perempuan dalam duniakerja, pendidikan maupun hak reproduksi.
Mereka memiliki hak suara dan ikut menduduki jabatan-jabatan penting di pemerintahan di hampir semua Negara yang mempunyai prosedur pemilihan umum. Kampanye gender sampai pula ke dunia Islam. Negara Mesir sebagai tempat transformasi sains dan teknologi Eropa merupakan pintu gerbang masuknya kampanye gender dan feminism ke dunia Islam pada awal abad ke-20.
Dalam perjalanan sejarah feminisme,Islamlah yang paling banyak mendapatkan sorotan terkait dengan aturan yangditetapkan Islam untuk kaum perempuan. Gerakan feminisme Islam (harakah tahrir al-mar’ah) dalam sejarahIslam sendiri, khususnya di Indonesia, berlangsung dalam beberapacara.
Pertama, melalui pemberdayaan terhadap kaum perempuan, yangdilakukan melalui pembentukan pusat studi wanita di perguruan-perguruantinggi, pelatihan-pelatihan dan training-training gender, melaluiseminar-seminar maupun konsultasi-konsultasi. Kegiatan seperti ini biasanyadilakukan oleh lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM) yangmemiliki konsen dengan persoalan-persoalan keperempuanan, sepertiP3M (Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat), RifkaAn-Nisa WCC (Woman Crisis Centre), Yasanti (Yayasan Annisa Swasti)dan lain-lain. Selain itu, lembaga-lembaga dalam konsen ini juga dikenaldalam mengkritisi kebijakan-kebijakan Negara yang dinilai merugikankeberadaan perempuan.
Kedua, melalui buku-buku yang ditulis dalam beragam tema, adayang melalui fiqh pemberdayaan sebagaimana dilakukan Masdar FaridMas’udi (tokoh NU yang berpikiran Liberal) dalam bukunya, Hak-Hak Reproduksi Perempuan,yang ditulisdengan gaya dialog, melalui sastra, baik novel cerpen sebagaimanatampak dari karya-karya Nawal el-Sadawi seperti, Perempuan di Titik Nol, Memoar seorang Dokter Perempuan dan lain-lain atau Tsitsi dengan novelnya Warisandan sebagainya. Melalui badan-badan internasional seperti United Nation For Development Program (UNDP), misalnya. Di badan PBB ini, “Gender Measurement Index (GMI) menjadi masukan dalam kategori menetapkan Human Development Index (HDI).Pointnya, seberapa jauh kesetaraan gender di sebuah negara maka akan mendukung peringkat indeks pembangunan manusia di negara tersebut.
Ketiga, melakukan kajian historis tentang kesetaraan laki-laki danperempuan dalam sejarah masyarakat Islam, yang berhasil menempatkanperempuan yang benar-benar sejajar dengan laki-laki dan membuatmereka mencapai tingkat prestasi yang istimewa dalam berbagai bidang,baik politik, pendidikan, keagamaan, dan lain-lain. Karya-karya FatimaMernissi yang berjudul Ratu-ratu Islam yang Terlupakan, karya Ruth Rodedyang berjudul Kembang Peradaban, karya Hibbah Rauf Izzat yangberjudul Wanita dan Politik dalam Pandangan Islam, merupakan sebagiancontoh dari gerakan feminisme jenis ini.
Keempat, melakukan kajian-kajian kritis terhadap teks-teks keagamaan,baik al-Qur’an maupun hadis, yang secara literal menampakkanketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan. Mereka menganggap bahwa hukum Islam diskriminatif seperti akikah, air kencing anak, menutup aurat, waris, persaksian, poligami, wali, iddah, posisi imam dalam shalat mayit, imam dan shaf, shalat Jum’at, cara memberitahu imam yang lupa atau salah, menjadi pemimpin, dan lain-lain. (M. Koderi, 1999:32-44).
Dalam hal ini dilakukanpenafsiran ulang dengan pendekatan hermeneutic dan melibatkan pisauanalisis yang ada dalam ilmu-ilmu sosial untuk menunjukkan bahwakedudukan laki-laki dan perempuan adalah setara. Atau dalam arti sederhana mereka “menggugat” otensitas wahyu.Mereka mengganggap bahwa al-Qur’an dan Hadits sudah tidak relevan lagi dan harus di tinjau ulang, bahkan di revisi sebagaimana Bibel. Ini dilakukan sebagaialternatif terhadap penafsiran klasik yang cenderung mempertahankanmakna literal teks-teks yang tampak patriarkhis tersebut. Hal-hal tersebut banyak di promosikan dan di dengung-dengungkan oleh Jaringan Islam Liberal.
Menurut Adian Husaini, wacana kesetaraan gender ini tumbuh subur di Indonesia karena pengaruh pemikiran Barat tentang konsep laki-laki dan perempuan, dan telah menjadi gerakan internasional. Dalam pengalaman sejarahnya, Barat memandang rendah wanita dan memperlakukannya secara hina, karena itulah muncul gerakan yang membebaskan wanita dari belenggu yang mengikatnya. Setelah masa renaissance, mereka melihat bahwa Barat maju karena konsep feminismenya, maka Indonesia juga harus ikut kalau mau maju seperti Barat, di sana wanita sudah setara.
Menurut Nabilah Lubis, “Mereka menyusun draf untuk mengubah KHI (Kompilasi Hukum Islam). Misalnya, Muslimah boleh menikah dengan non Muslim.Laki-laki juga harus memiliki masa iddah ketika ditinggal mati istrinya.Perempuan juga harus membayar mahar seperti laki-laki.”Hal ini tentu sangat mengejutkan, karena masalah-masalah tersebut di atas termasuk hukum-hukum yang didukung dalil-dalil sharih (jelas) dan sahih. “Di antara masalah paling aneh yang dikemukakan dalam Draft Revisi KHI adalah membolehkan pernikahan beda agama secara mutlak. Padahal, nash al-Qur’an dengan jelas melarangnya, yaitu pada Surah al-Baqarah ayat 221 dan Surah al-Mumtahanah ayat 10”. (majalahgontor.co.id).
Fatima Mernissi,Amina Wadud Muhsin, Riffat Hassan dan Asghar Ali Engineer sangatintens dalam melakukan gerakan feminisme jenis ini.Dalam bukunya yang diberi judul Catatan Kang Jalal: Visi Media,Politik, Pendidikan,Jalaluddin Rakhmat menulis sebuah uraian tentangfeminisme, ringkas dan sangat menarik. Setelah meninjau berbagaigerakan dan visi feminisme, Jalaluddin Rakhmat berkesimpulan:“Walhasil, Islam sangat memuliakan perempuan. Orang Islam harusberjuang memuliakan mereka. Bila keadaan perempuan sekarang inibelum mulia, maka kaum muslim wajib mengubah masyarakatsehingga posisi mereka menjadi mulia. Jadi sampai disini orang Islam boleh dikatakan feminis.” Sebelumnya Soekarno juga pernah membuat buku berjudul Sarinah yang secara khusus “membela” akan hak-hak kaum wanita ketika beliau berkunjung ke salah satu ruko temannya, beliau melihat dari balik tabir sepasang mata yang memperhatikan mereka sedang mengobral dan beliaupun yakin kaki dan ujung sarung yang kelihatan dari bawah tabir itu adalah kaki dan ujung-ujung sarung perempuan.
David Jary dan Julia Jary menyebutkan salah satu pengertian feminisme dengan teori atau praktek sosio politik yang bertujuan untukmembebaskan perempuan dari supremasi dan eksplotasi kaum laki-laki.Merujuk pada pengertian “feminsme” yang dikemukakan David Jary danJulia Jary tersebut, pernyataan Jalaluddin Rakhmat bahwa Islam mendukungfeminisme, bukanlah sesuatu yang berlebihan, karena Islammemang menentang ketidakadilan terhadap siapapun, termasuk ketidakadilanterhadap perempuan. Alih-alih, Islam justru mengajarkan agarummat Islam memperjuangkan kemuliaan dan martabat perempuan yangsebelum kedatangan Islam tidak dihargai.
B.     Sejarah Gerakan Perempuan di Indonesia
1.      Sejarah Kolonial (akhir abad 19 awal abad 20)
Tahun 1879–1904. Sejarah feminisme ketika zaman kolonial telah dipelopori oleh RA Kartini. Ia muncul akhir abad ke 20 (1879-1904). Ia diperlakukan tidak adil oleh orang tuanya dengan “dipingit” tidak seperti saudara laki-lakinya yang disekolahkan di Universitas Leiden negeri Belanda. Ia merasa terhina oleh adanya perkawinan permaduan (poligami). Ia kemudian mempelopori dibukanya sekolah untuk mendidik wanita .Setelah itu lahirlah tokoh feminisme di Jawa Barat yakni Dewi Sartika.
Tahun 1912. Organisasi perempuan yang pertama adalah Poetri Mardika yang lahir tahun 1912. Organisasi ini memiliki hubungan dengan dengan Organisasi Nasional pertama Boedi Oetomo (1908). Setelah Poetri Mardika berdiri, muncullah perkumpulan perempuan lainnya bernama Putri Sejati dan Wanita Utama. Selanjutnya Gerakan Pembaharuan Islam Muhammadiyah yang terbentuk tahun 1917 telah melahirkan organisasi wanita Aisyiah pada tahun 1920 dan kemudian diikuti oleh organisasi perempuan kaum katolik, dan protestan. Demikian pula di Maluku, Minahasa dan Minangkabau. Gerakan organisasi Aisyiah ini memiliki isue sentral agar perempuan mendapat pendidikan yang baik dan perbaikan kondisi poligini. Sedangkan organisasi perempuan kaum katolik dan protestan menyuarakan anti poligami.
Tahun 1920. Muncullah Organisasi Sarekat Rakyat yang menyuarakan peningkatan upah dan kondisi kerja yang baik bagi kaum perempuan. Disusul kemudian oleh lahirnya organisai lainnya yang memperjuangkan perlunya pendidikan bagi kaum perempuan, menentang perkawinan anak-anak, permaduan serta perdagangan perempuan dan anak-anak. Rentang waktu tahun 1928-1930marak tumbuh berbagai organisasi perempuan. Pada tahun 1928 muncullah 30 organisasi, diantaranya Persatoean Perempuan Indonesea (PPI) yang menyuarakan reformasi pendidikan dan reformasi perkawinan. PPI kemudian namanya diganti menjadi Perikatan Perhimpunan Istri Indonesia (PPII) yang menyuarakan penghapusan perdagangan perempuan dan anak. Organisasi Istri Sedar (1930) masih tetap menyuarakan anti poligami dan perceraian. Organisasi perempuan berkembang pesat pada tahun 1930-an.
2.      Pendudukan Jepang (1942)
Organisasi Serikat Rakyat Istri Sedar merupakan organisasi yang sebetulnya diperalat oleh pemerintah Jepang yang menyuarakan kecaman terhadap politik pemerintah kolonial Belanda, anti kapitalisme dan menyuarakan perlunya perbaikan nasib kaum perempuan proletar. Pada masa inipun telah dibentuk organisasi Fujinkai, yang memperjuangkan pemberantasan buta huruf dan berorientasi pada pekerjaan sosial. Motivasi mendirikan organisasi ini adalah semata-mata memihak Jepang untuk kemenangan Jepang. Anggotanya terdiridari istri pegawai negeri serta kegiatan dalam hirarki sejalan dengan kegiatan suami.
3.      Masa Agresi Belanda
Tahun 1946-1949. Kembali Kongres Wanita Indonesia, menyuarakan upah yang sama, perbaikan hukum perkawinan serta esensi pendidikan untuk perempuan. Wanita Indonesia harus menyokong Indonesia Merdeka, bergabung dengan pasukan bersenjata dan ikut perang gerilya. Belanda dikalahkan pada tahun 1949.
4.      Pasca Kemerdekaan–Orde Lama
Tahun 1950 organisasi wanita berangsur-angsur hancur, disamping itu muncullah GERWANI (Gerakan Wanita Indonesia) sebagai kelanjutan dari Istri Sedar. Organisasi ini tersebar di berbagai kegiatan masyarakat seperti warung, koperasi, koperasi simpan pinjam, petani, buruh pabrik, taman kanak-kanak yang diselenggarakan di pasar, perkebunan, kampung, Badan Penyuluh Perkawinan, dan kursus-kursus dengan materi buku ajaran komunis. Organisasi ini menyuarakan: sukseskan pemilu, anti perkosaan, peningkatan kesadaran perempuan tani, berantas buta huruf, hukuman berat bagi pemerkosa dan penculikan, kegiatan sosek bagi kaum perempuan, pendidikan masalah politik, kesehatan, dan monogami. Pada dasarnya organisasi ini menyokong kampanye politik terpenting yang dilakukan oleh PKI. Anggota organisasi ini terdiri dari lapisan menengah ke bawah dan kelas buruh.
Tahun 1955 muncul Organisasi Perempuan Islam dan Nasionalis, serta berbagai kegiatan yang terikat pada partai politik dan gerakan keagamaan dalam bentuk Balai-balai Perempuan, Bank-bank Perempuan, Surau Perempuan, Organisasi Perempuan serta Majalah Perempuan. Selain itu, tahun 1954 lahir pula organisasi PERWARI (Persatuan Wanita Republik Indonesia).
5.      Masa Orde baru
Pada era ini organisasi masa mengalami pengekangan hingga tahun 1968. Tahun 1966 hingga 1970 terjadi pembersihan PKI. Satu-satunya organisasi yang hidup adalah Perwari. Kemudian 1978 Perwari dilebur kedalam Golkar. Pada tahun inilah hilang organisasi wanita yang bersifat independen, akan tetapi lahir beberapa organisasi besar seperti: Golkar, Dharma Wanita (istri PNS), Dharma Pertiwi (Istri yang suaminya bekerja di Angkatan Bersenjata) serta organisasi PKK. Adanya bentuk organisasi seperti ini telah menciptakan banyak organisasi di setiap departemen, muncul organisasi perempuan istri pejabat yang bersifat semu. Kegiatan lebih banyak berhubungan dengan kepentingan suami. Organisasi ini mendapat bantuan dari pemerintah baik politik maupun praktis, memperoleh berbagai kemudahan transportasi, kantor, keuangan dsb. Akhirya timbul suatu image dimana pemerintah menggambarkan menguasai hampir seluruh masalah yang berkaitan dengan organisasi perempuan. Orientasi organisasi wanita ini antara lain (a) kesemuanya dipolitisir untuk kemenangan Golkar dan sebagai alat untuk menjaga agar tak ada orang/golongan masyarakat yang menentang rezim yang berkuasa, (b) menetang kecenderungan laki-laki melecehkan perempuan, (c) kegiatan lebih banyak berhubungan dengan kepentingan suami, (d) mendukung birokrasi militer. Sehingga wanita kurang berkiprah di dalam birokrasi dan pembangunan, selain itu hanya ada dua organisasi wanita yang boleh bergerak di perdesaan yaitu Aisyiah dan PKK.
6.      Era Reformasi
Runtuhnya Orde Baru yang telah menyuburkan korupsi, kolusi dan nepotisme yang bertahan selama 32 tahun telah membawa implikasi dan krisis yang bersifat multidimensi. Berbagai belenggu yang menyangkut kebebasan berorganisasi, berpendapat dalam setiap aspek kelembagaan baik formal maupun non formal telah membuka pintu derasnya arus demokrasi dalam kehidupan bangsa Indonesia.Demokrasi yang datang ditengah hiruk pikuknya globalisasi telah memunculkan berbagai problematika yang kompleks. Problematika yang mendasar dan paling dirasakan masyarakat banyak adalah keterpurukan ekonomi yang menciptakan beban berat yang membawa implikasi antara lain adalah tingginya angka pengangguran (36 juta jiwa) yang mengakibatkan munculnya anak jalanan/vandalisme dan kriminalitas, peningkatan biaya hidup, kecemburuan ekonomi yang mengakibatkan isu sara yang mengancurkan tatanan fisik dan moral masyarakat, krisis kepercayaan terhadap penguasa, dsb.
Dalam era reformasi, munculnya berbagai organisasi wanita yang membangkitkan kembali para reformis wanita seperti tahun 1930-an yang tidak saja membela kaumnya sendiri, melainkan juga membela dan memikirkan nasib masyarakat marjinal, berbagai organisasi LSM yang membela rakyat kecil antara lain Wardah Hafiz, kelompok perempuan yang menamakan Suara Ibu Peduli yang membela hak anak, Ratna Sarumpaet yang memperjuangkan demokrasi dan hak buruh perempuan lewat organisasi Teaternya, Nursyahbani Kacasungkana yang membela wanita dari obyek kekerasan dan kejahatan melalui supremasi hukum, tidak ketinggalan Ibu Aisyah Amini yang telah berkiprah dalam dunia politik sejak lama, serta masih banyak lagi tokoh wanita Islam lainnya yang berkiprah dalam organisasi wanita. (Sri Hidayati Djoeffan, 2011:286-290).
C.    Pengertian Feminisme/Gender/Emansipasi
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa Feminisme adalah gerakan wanita yang menuntutpersamaan hak seluruhnyaantara kaum wanita dan pria. (KBBI, 2005:315). Istilah gender sesungguhnya tidak ada dalam bahasa Indonesia asli. Dan dalam kamus bahasa Inggris, kata “gender” dan “sex” diartikan sebagai jenis kelamin. Arti ini yang kemudian oleh Bahasa Indonesia di serap. Sehingga perlu diuraikan dengan jelas tentang kaitan antara konsep gender dengan sistem ketidakadilan sosial secara luas, kaitan antara konsep gender dengan kaum perempuan, dan hubungannya dengan persoalan ketidakadilan sosial lainnya. Antara feminisme, gender, dan emansipasi merupakan kata yang berbeda tetapi mempunyai makna yang sama.
Pemahaman mengenai gender pada hakekatnya adalah pemahaman yang pekat dengan nuansa barat (western invention). Konsep genderkemudian diadopsi oleh Indonesia karena masyarakat Indonesia modern kurang memperhatikan esensi kebudayaan lokal mengenai dinamika relasi-relasi seksual. Gender sebagai suatu konsep bertumpu pada aspek biologis (biological reductionism) sebagaimana dikatakan oleh Cucchiari, bahwa gender memiliki dua kategori biologis yang berbeda namun saling mengisi, yaitu pertama kategori laki-laki dan yang kedua adalah kategori perempuan. Setiap kategori mengandung makna yang pengertiannya bervariasi dari satu ke lain masyarakat. Setiap aktivitas, sikap, tata nilai dan simbol-simbol diberi makna oleh masyarakat pendukungnya menurut kategori biologis masing-masing.
Menurut Gerda Lerner, terdapat beberapa definisi mengenai istilah feminisme. Diantaranya, (a) feminisme adalah sebuah doktrin yang menyokong hak-hak sosial dan politik yang setara bagi perempuan; (b) menyusun suatu deklarasi perempuan sebagai sebuah kelompok dan sejumlah teori yang telah diciptakan oleh perempuan; (c) kepercayaan pada perlunya perubahan sosial yang luas yang berfungsi untuk meningkatkan daya perempuan. Lebih lanjut Lerner, mengemukakan bahwa feminisme dapat mencakup baik gerakan hak-hak perempuan maupun emansipasi perempuan. Ia mendefinisikan kedua posisi tersebut sebagai gerakan hak-hak perempuan berarti sebuah gerakan yang peduli dengan pemenangan bagi kesetaraan perempuan dengan laki-laki dalam semua aspek masyarakat dan memberi mereka akses pada semua hak-hak dan kesempatan-kesempatan yang dinikmati laki-laki dalam institusi-institusi dari masyarakat tersebut.
Oleh karenaitu, gerakan hak-hak perempuan serupa dengan gerakan hak-hak sipil dalam menginginkan partisipasi setara bagi perempuan dalam status quo, pada dasarnya tujuan seorang reformis. Gerakan hak-hak perempuan dan hak pilih bagi perempuan adalah contohnya. Ketika Pemilu Legislatif 2014, KPU mensyaratkan terhadap semua partai politik untuk menyertakan 20% perempuan calon anggota legislatif. Sehingga dengan demikian, istilah emansipasi perempuan berarti bebas dari pembatasan yang menindas yang dikenakan oleh seks, penentuan diri dan otonomi. Bebas dari pembatasan yang menindas yang dikenakan oleh seks berarti bebas dari pembatasan biologis dan kemasyarakatan.
Penentuan diri berarti seseorang bebas untuk memutuskan nasibnya sendiri, bebas untuk mendefinisikan peran sosial seseorang, memiliki kebebasan untuk membuat keputusan berkenaan dengan tubuh seseorang. Otonomi berarti seseorang mendapatkan statusnya sendiri, tidak dilahirkan ke dalamnya atau menikahinya, sehingga berarti juga kemandirian finansial, bebas untuk memilih gaya hidup, yang semuanya secara tidak langsung berarti sebuah transformasi radikal dari lembaga-lembaga, nilai-nilai dan teori-toeri yang ada.
D.    Aliran-Aliran Feminisme
Seiring perjalanan waktu, timbul berbagai macam aliran feminisme, sebagai berikut :
1). Feminisme Liberal
Liberalisme menekankan bahwa setiap individu dapat mempraktekkan otonominya. Kaum liberalis dapat dibedakan menjadi dua tipe, yaitu liberalis klasik dan liberalis egaliterian. Liberalis klasik mengharapkan perlindungan negara dalam hal kebebasan sipil, seperti hak kepemilikan, hak untuk memilih, hak untuk mengemukakan pendapat, hak untuk memeluk suatu agama, dan hak untuk berorganisasi. Sedangkan mengenai isu pasar bebas, liberalis klasik menghendaki agar setiap individu diberi kesempatan yang sama untuk mencari keuntungan.
Di pihak lain, kaum liberalis egaliterian mengusulkan bahwa idealnya negara seharusnya hanya berfokus pada keadilan ekonomi dan bukan pada kebebasan sipil. Menurut paham ini, setiap individu memasuki pasar dengan terlebih dahulu memiliki modal, misalnya materi ataupun koneksi, talenta dan juga keberuntungan. Feminisme liberal melandaskan idealisme fundamentalnya pada pemikiran bahwa manusia bersifat otonomi dan diarahkan oleh penalaran yang menjadikan manusia mengerti akan prinsip-prinsip moralitas dan kebebasan individu. Feminisme liberal mengangkat isu-isu yang berkaitan dengan akses pada pendidikan, kebijakan yang bias gender, hak-hak politis dan sipil.
Rochelle Gatlin menerangkan korelasi antara feminisme liberal dan perubahannya menjadi feminisme radikal. Ia mendefinisikan feminis liberal adalah kaum liberal yang potensial. Akan tetapi banyak liberalis yang tidak menyadari hal ini dan menyangkal bahwa liberalisme yang merekadukung adalah sebuah ideologi politis seperti lainnya. Mereka sering tidak sadar bahwa nilai-nilai liberal dari hak-hak individual dan kesetaraan kesempatan sesungguhnya berkontradiksi dengan pengakuan feminis mereka bahwa perempuan adalah sebuah kelas seks yang kondisi umumnya ditentukan secara sosial dan bukan secara individual.
Inti dari Feminisme Liberal adalah menfokuskan pada perlakuan yang sama terhadap wanita di luar daripada di dalam keluarga (wanita karir) yang hanya berkutat pada kasur, sumur dan dapur. Memperluas kesempatan dalam pendidikan sebagai cara yang paling efektik dalam melakukan perubahan sosial. Pekerjaan-pekerjaan wanita semisal perawatan anak dan pekerjaan rumah tangga di pandang sebagai pekerjaan tidak terampil yang hanya mengandalkan tubuh bukan pikiran rasional. Perjuangan harus menyentuh antara wanita dan laki-laki melalui penguatan perwakilan wanita di ruang-ruang publik. Paham ini untuk sekarang lebih sejalan dengan model liberalisme kesejahteraan atau egalitarian yang mendukung sistem kesejahteraan negara dan meriktokrasi. (Edi Suharto hal. 9)
2). Feminisme Radikal
Menurut Arivia, inti gerakan feminis radikal adalah isu mengenai penindasan perempuan. Mereka mencurigai bahwa penindasan tersebut disebabkan oleh adanya pemisahan antara lingkup privat dan lingkup publik, yang berarti bahwa lingkup privat dinilai lebih rendah daripada lingkup publik, dimana kondisi ini memungkinkan tumbuh suburnya patriarki.
Dalam konsep feminisme radikal, tubuh dan seksualitas memegang esensi yang sangat penting. Hal ini terkait dengan pemahaman bahwa penindasan diawali melalui dominasi atas seksualitas perempuan dalam lingkup privat. Kaum feminis radikal meneriakkan slogan bahwa “yang pribadi adalah politis”, yang berarti penindasan dalam lingkup privat adalah merupakan penindasan dalam lingkup publik.
Feminis radikal memberikan prioritas pada upaya untuk memenangkan isu-isu tentang kesehatan, misalnya perdebatan mengenai aborsi dan penggunaan alat kontrasepsi yangaman. Mereka ingin menyadarkan perempuan bahwa “perempuan adalah pemilik atas tubuh mereka sendiri”, mereka memiliki hak untuk memutuskan segala sesuatu yang berkaitan dengan tubuh mereka, termasuk dalam hal kesehatan dan reproduksi.Para feminis radikal juga memberi perhatian khusus pada isu tentang kekerasan laki-laki terhadap perempuan. Dominasi laki-laki dalam sistem patriarki membuat kekerasan yang menimpa perempuan, seperti pemerkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, pornografi, pelecehan seksual, menjadi tampak alami dan “layak”. Sejalan dengan pemahaman ini, tercipta pula dikotomi mengenai good girls dan bad girls. Apabila seorang perempuan berperilaku baik, terhormat, dan patuh, maka ia tidak akan dicelakai.
Mengingat bahwa dalam sistem patriarkhi laki-lakilah yang memegang kendali kekuasaan dan dominasi, maka adalah juga laki-laki yang berhak memberikan definisi mengenai perilaku yang “dapat diterima” dan “pantas”, atau dengan kata lain, seorang perempuan harus bertindak tanduk dalam suatu pola perilaku untuk memenuhi cita rasa laki-laki dan untuk menyenangkan mereka agar memperoleh posisi yang aman dan nyaman. Dalam hubungan laki-laki dan perempuan yang demikian, terdapat suatu pola superordinat - subordinat, pengampu-diampu, suatu target yang sangat ingin dihapuskan oleh feminis radikal.
Di lain pihak, feminis radikal kultural bersikeras pada proposisi yang menyatakan bahwa perempuan seharusnya tidak seperti laki-laki, dan tidak perlu bagi perempuan untuk berperilaku seperti laki-laki. Kaum feminis radikal kultural mencegah penerapan nilai-nilai maskulin yang secara kultural dikenakan pada pria, misalnya kebebasan, otonomi, intelektual, kehendak, kirarki, dominasi, budaya, transendensi, perang dan kematian.
Perbedaan antara feminisme radikal libertarian dengan feminisme radikal kultural mengungkapkan adanya perbedaan sudut pandang yang tajam antara keduanya mengenai reproduksi. Dimana pertentangannya memperdebatkan apakah reproduksi merupakan sumber “penindasan perempuan atau “kekuatan perempuan”. Meskipun demikian, terdapat satu hal yang mengikat ide radikal feminisme, yaitu pada pemahaman dasar bahwa sistem gender adalah basis dari penindasan perempuan. Feminis mengangkat isu-isu tentang seksisme, patriarkhi, hak-hak reproduksi, kekuatan hubungan laki-laki dan perempuan, dikotomi antara ranah privat dan ranah publik. Lebih lanjut Arivia, menyatakan bahwa terdapat berbagai kritik terhadap feminisme radikal bahwa ide telah terperangkap pada anggapan bahwa pada dasarnya perempuan lebih baik daripada laki-laki, dan bahwa ideologi juga tereduksi menjadi dikotomi antara laki-laki dan perempuan.
Inti dari ajaran feminisme radikal adalah ‘the personal is political’ merupakan selogan yang kerap digunakan oleh feminisme radikal yang bermakna bahwa pengalaman-pengalaman individual wanita mengenai ketidakadilan dan kesengsaraan yang oleh para wanita dianggap sebagai masalah-masalah personal yang pada hakikatnya adalah isu-isu politik yang berakar pada ketidakseimbangan kekuasaan antara wanita dan laki-laki. Serta menganggap perkawinan sebagai bentuk formalisasi pendiskriminasian terhadap wanita. Menggambarkan sexims sebagai sosial yang terdiri dari hukum, tradisi, ekonomi, pendidikan, lembaga keagamaan, ilmu pengetahuan, bahasa, media massa, moralitas seksual, perawatan anak, pembagian kerja, dan interaksi sosial sehari-hari. Agenda tersembunyi dari sistem sosial ini adalah memberi kekuasaan laki-laki melebihi wanita. Masyarakat harus diubah secara menyeluruh. Lembaga-lembaga sosial yang paling fundamental harus dirubah secara fundamental juga. Para feminis radikal menolak perkawinan bukan hanya dalam teori melainkan pula sering dalam praktek. Menolak sistem hirarkis yang berstrata berdasarkan garis gender dan kelas sebagaimana diterima oleh feminis liberal. (Edi Suharto hal. 12).
3). Feminisme Marxis dan Sosialis
Meskipun terdapat sejumlah persamaan antara feminisme Marxis dan sosialis, akan tetapi antara keduanya terdapat perbedaan yang tegas. Feminis sosialis menekankan bahwa penindasan gender disamping penindasan kelas adalah merupakan sumber penindasan perempuan. Sebaliknya, feminis Marxis berargumentasi bahwa sistem kelas bertanggungjawab terhadap diskriminasi fungsi dan status.
Feminis Marxis percaya bahwa perempuan borjuis tidak mengalami penindasan seperti yang dialami perempuan proletar. Penindasan perempuan juga terlihat melalui produk-produk politik, struktur sosiologis dan ekonomis yang secara erat bergandengan tangan dengan sistem kapitalisme. Sperti halnya Marxisme, feminis Marxis memperdebatkan bahwa eksistensi sosial menentukan kesadaran diri. Perempuan tidak dapat mengembangkan dirinya apabila secara sosial dan ekonomi tergantung pada laki-laki. Untuk mengerti tentang penindasan perempuan, relasi antara status kerja perempuan dan citra diri mereka dianalisa.
Feminis Marxis ataupun sosialis mencuatkan isu pada kesenjangan ekonomi, hak milik properti, kehidupan keluarga dan domestik di bawah sistem kapitalisme dan kampanye tentang pemberian upah bagi pekerjaan-pekerjaan domestik. Gerakan ini dikritik karena hanya melihat relasi kekeluargaan yang semata-mata eksploitasi kapitalisme, dimana perempuan memberikan tenaganya secara gratis. Feminis Marxis dan sosialis mengabaikan unsur-unsur cinta, rasa aman dan rasa nyaman, yang padahal juga berperan penting dalam pembentukan sebuah keluarga. Ideologi ini hanya menekankan fokuspada eksploitasi dalam kapitalisme dan ekonomi. Bukan memberi perhatian lebih pada masalah gender, justru berkonsentrasi pada analisis kelas.
Menurut Rosemary Hennesy dan Chrys Ingraham, feminisme Marxis dan sosialis melihat budaya sebagai suatu arena produksi sosial, arena dimana feminis berjuang daripada melihat budaya sebagai suatu kehidupan sosial secara keseluruhan. Inti dari ajaran feminis marxis dan sosialis adalah wanita tidak dimasukkan dalam analisis kelas karena pandangan bahwa wanita tidak memiliki hubungan khusus dengan alat-alat produksi, karenanya perubahan alat-alat produksi merupakan ‘necessary condition’ meskipun bukan ‘sufficient condition’dalam mengubah faktor-faktor yang mempengaruhi penindasan terhadap wanita. Menganjurkan solusi untuk membayar wanita atas pekerjaannya yang dia lakukan di rumah. Memisahkan antara pekerjaan bergaji dengan pekerjaan rumah tangga dan mendesak agar wanita melakukan pekerjaan domestik. (Edi Suharto hal. 15).
4). Feminisme Eksistensialisme
Simone de Beauvoirmenyatakan bahwa dalam feminisme eksistensialisme penindasan perempuan diawali dengan beban reproduksi yang harus ditanggung oleh tubuh perempuan. Dimana terdapat berbagai perbedaan antara perempuan dan laki-laki, sehingga perempuan dituntut untuk menjadi dirinya sendiri dan kemudian menjadi “yang lain” karena ia adalah makhluk yang seharusnya di bawah perlindungan laki-laki, bagian dari laki-laki karena diciptakan dari laki-laki. Dengan demikian, perempuan didefinisikan dari sudut pandang laki-laki, sehingga laki-laki adalah subjek dan perempuan adalah objeknya atau “yang lain”.
Teori terdahulunya adalah teori Jean Paul Sartre yang menyatakan bahwa ada tiga jenis eksistensi atau keberadaan, yaitu etre ens soi (ada pada dirinya), etre pour soi (ada bagi dirinya) dan etre pour les autres (ada untuk orang lain). Konflik menurut teori ini adalah inti dari hubungan antar subjek, sehingga hubungan antara individu juga berdasarkan pada konflik.Argumentasi ini sejalan dengan ide Shulamith Firestone dalam bukunya yang berjudul The Dialectic of Sex : The Case for Feminist Revolution, dimana ia mengklaim bahwa beban reproduksi dan tanggungjawab untuk merawat anak membawa perempuan dalam posisi tawar yang rendah terhadap laki-laki.
5). Feminisme Psikoanalitis
Feminisme psikoanalitis mendasarkan teorinya pada pemahaman bahwa alasan dasar bagi penindasan perempuan terletak pada kejiwaan perempuan. Phyllis Chesler dalam tulisannya yang berjudul Women and Madness menyatakan bahwa sakit kejiwaan perempuan kemungkinan adalah hasil dari pengkotak-kotakkan peran gender atau dampak dari masyarakat yang terkondisi berdasarkan jenis kelamin, maka sebagai konsekuensinya seorang perempuan akan dicap tidak waras apabila ia tidak berperilaku sesuai dengan label yang diberikan masyarakat kepadanya.
Kondisi depresif yang diderita perempuan mengarahkan pada kekurangwarasan dan sakit jiwa ini kemudian dibakukan dalam bentuk depresi, upaya bunuh diri, neurotis kecemasan, paranoia, lesbianisme, dan sebagainya. Dalam situasi ketika perempuan berlawanan dengan standar yang berlaku, maka ia akan dilihat sebagai neurotis atau psikotis. Misalnya, seorang perempuan akan dianggap aneh jika ia berperilaku kritis, tegas, dan vokal dalam suatu masyarakat yang menuntut seorang perempuan untuk patuh, pasrah, dan diam.
Nancy Chorodow dalam The Reproduction of Mothering mengungkapkan fakta bahwa kecenderungan dominasi laki-laki terhadapperempuan sesungguhnya berakar dari fase bayi. Baik anak perempuan maupun laki-laki mengidentifikasikan dirinya dengan ibu karena ikatan mental dan fisik dengan ibunya. Seiring pertumbuhannya, seorang perempuan kehilangan kedekatan dan ikatannya dengan ibu, dan menggantikannya dengan ayah, kemudian dengan lawan jenisnya. Proses ini tidak membawa dampak yang sangat besar bagi perempuan, karena ia tetap memiliki feminitas ibunya dan juga hubungannya dengan ayahnya.
Sebaliknya bagi laki-laki, proses ini berdampak besar karena ia harus menekan pengidentifikasiannya dengan ibunya agar ia seperti ayahnya secara utuh. Hal ini berbeda dari perempuan yang relasinya dengan sang ayah merupakan relasi tambahan, sedangkan relasi laki-laki terhadap ayah adalah relasi pengganti. Dengan demikian, dalam hubungan sosialnya, seorang perempuan lebih suka berkelompok dan penuh kasih sayang daripada laki-laki karena kedekatannya dengan sang ibu terus berlangsung. Kebalikannya, seorang laki-laki cenderung merasa terpenjara dalam hubungannya dengan orang lain.
6). Feminisme Posmodern
Mirip dengan teori eksistensialisme, dalam feminisme posmodern perempuan juga dianggap sebagai “yang lain”. Seorang perempuan teralienisasi karena cara berpikirnya, cara keberadaannya, dan bahasa perempuan yang menghalangi terciptanya keterbukaan, pluralitas, diversifikasi dan perbedaan. Dengan memandang pada bahasa sebagai sebuah sistem, feminis posmodern mencoba untuk menguak teralienisasinya perempuan dalam seksualitas, psikologi dan sastra.Jacgues Lacan menjelaskan bahwa the Symbolic Order, yaitu seperangkat peraturan simbolis, atau juga disebutnya sebagai the Law of Father memegang peranan penting dalam konstruksi masyarakat. Menurutnya, peraturan simbolis yang sangat maskulin ini adalah sumber kesulitan perempuan mengingat bahwa secara anatomi seorang perempuan berbeda dengan ayahnya. Dengan demikian, perempuan mengalami kesulitan dalam pengidentifikasian diri terhadap ayahnya yang laki-laki dan maskulin. Penindasan perempuan diawali pada saat perturan simbolis yang diekspresikan melalui bahasa dan cara berpikir yang maskulin.
7).Feminisme Ekofeminisme
Mary Daly mengingatkan perempuan untuk waspada terhadap metode-metode mistifikasi laki-laki. Ia mengklasifikasikan mistifikasi ini ke dalam empat cara, yaitu penghapusan (erasure), pembalikan (resersal), polarisasi yang salah (false polarization) serta memecah belah dan menaklukkan (divide and conquer). Metode penghapusan terlihat dari adanya penghapusan fakta pembunuhan jutaan perempuan yang disangka sebagai tukang sihir dalam pengetahuan patriarkhi. Metode pembalikan tercermin dalam mitos-mitos yang patriarkhi,misalnya Adam-Hawa, Zeus-Athena. Metode polarisasi yang salah terimplikasi dalam feminisme menurut definisi laki-laki yang dipertentangkan dengan seksisme menurut definisi laki-laki dalam media patriarkhi.
Sedangkan metode memecah belah dan menaklukkan terimplementasi dalam bentuk adanya perempuan rendah yang dilatih untuk “membunuh” feminis dalam profesi yang patriarkhis. Selanjutnya Daly menegaskan bahwa budaya maskulin membawa degradasi bagi kemanusiaan, dalam pemahaman bahwa sistem patriarkhi yang mengagungkan kekuasaan, eksploratif, destruktif dan menguasai. Apabila sistem patriarkhi dipertentangkan dengan sistem matriarkhi yang lembut, kebersamaan dan menyayangi, maka alam akan terjaga dan lestari dalam sistem matriarkhi. Menurut Susan Grifin, perempuan mempunyai kemampuan terhadap pelestarian alam karena pada dasarnya perempuan mencintai kelangsungan hidup dan bukannya kematian. Perempuanlah yang melahirkan anak, maka ia mengenal betul arti kehidupan.
8). Feminisme Lesbian
Esensi dari lesbianisme adalah politik, karena ideologi ini mengkritisi supremasi laki-laki melalui lembaga dan ideologi yang heteroseksual. Charlotte Bunch menyajikan perbedaan yang jelas antara lesbian dan perempuan murni, lesbianisme menekankan keterikatan perempuan terhadap perempuan, sementara heteroseksual menekankan keterikatan perempuan terhadap laki-laki.
Dalam heteroseksual, laki-laki menikmati hak-hak istimewa yang lebih tinggi. Sebaliknya perempuan dianggap sebagai suatu bentuk properti laki-laki. Tubuhnya, pelayanannya, dan anak-anaknya menjadi milik laki-laki. Kenyataan ini memicu sejumlah perempuan untuk mendobrak sistem patriarkhi--konvensional dan mengembangkan suatu gaya hidup baru dengan karakter yang sarat budaya feminin, yaitu lesbianisme yang kontroversial.Freedman dkk, mengatakan bahwa lesbianisme lebih terbentuk oleh keterkaitan ideologi dan politik, seperti halnya praktek seksual. Dalam pengertian ini, lesbianisme bukan hanya terbatas pada aktivitas seksual saja, melainkan juga mungkin meliputi konsep sosiopolitik dari suatu komunitas.
Daly mengatakan bahwa dominasi laki-laki terhadap perempuan terentang dalam sepanjang abad dan segala budaya. Sistem patriarkhi “melembagakan”penindasan perempuan termasuk kekerasan seksual atau “sado-ritual”, seperti budaya pengikatan kaki (agar memiliki bentuk tertentu), mutilasi genital perempuan, suttee di India, pembakaran tukang sihir perempuan dan ginekologi.
E.     Konsep-Konsep Feminisme
Nasaruddin Umar menyebutkan bahwa konsep kesetaraan laki-lakidan perempuan terangkum dalam beberapa variable. Pertama, laki-laki danperempuan sama-sama sebagai hamba Allah, seperti tercantum dalam Q.S. adz-Dzariyat [51]: 56), Q.S. al-Hujurat [49] : 13; Q.S. an-Nahl [16]: 97. Kedua,laki-laki dan perempuan sama-sama khalifah Allah di muka bumi, sepertitercantum Q.S. al-An’am[6]: 165. Ketiga, laki-laki dan perempuan sama-samamenerima perjanjian primordial dengan Tuhan, seperti tercantumdalam Q.S. al-A’raf [7] : 172. Keempat, Adam dan Hawa sama-sama terlibatdalam drama kosmis seperti terlihat dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 35,187;Q.S. al-A’raf [7] : 20, 22-23. Kelima, laki-laki dan perempuan sama-samaberpotensi meraih prestasi seperti tercantum dalam Q.S. Ali Imran [3]: 195, Q.S. an-Nisa’ [4] : 124; Q.S. Ghafir [40] : 40.
Salah satu ayat Al-Qur’an yang sering digunakan oleh para mufassirfeminisuntuk menguatkan pandangan tentang kesetaraan laki-laki danperempuan perlu dikutip:“Sungguh, laki-laki dan perempuan muslim, laki-laki dan perempuanmukmin, laki-laki dan perempuan yang tabah, laki-laki dan perempuanyang khusyu, laki-laki dan perempuan yang memberi sedekah,laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuanyang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yangmengingat Allah, bagi mereka Allah menyediakan pahala yangbesar.” (QS. al-Ahzab [33]: 35).
Ajaran Islam secara tegas menjelaskan bahwa pria dan wanitadi hadapan Allah adalah sama kedudukannya, terutama dalammelakukan perbuatan baik, hal ini sebagaimana tercermin dalamfirman Allah surat An Nahl [16] : 97 yang artinya, “Barangsiapamengerjakan amal saleh baik pria maupun wanita dalam keadaanberiman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanyakehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasankepada mereka dengan pahala yang lebih dari apa yang telahmereka kerjakan”. Ayat tersebut mengandung makna bahwa Allah SWTmemerintahkan umat manusia (tanpa memandang pria atau wanita)agar selalu berusaha melakukan kebaikan kepada siapa saja,sehingga dapat mencapai kedudukan yang mulia dan terhormat dihadapan Allah SWT.
Dalam Q.S. al-Baqarah [2] : 228 juga disebutkan bahwa wanita pada hakikatnya sama dengan laki-laki tetapi laki-laki oleh Allah dilebihkan satu derajat dari wanita, “.....dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. Dan dalam Q.S. An-Nisa [4] : 34 disebutkan, “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita)…”.
Wanita adalah senjata bermata dua, jika ia baik melaksanakantugas pokok dan fungsinya sebagaimana yang telah digariskan,berarti ia adalah bangunan berkualitas untuk membangunmasyarakat yang Islami, kokoh, dan berakhlaq luhur. Islam secaraserius dan intensif di dalam memberikan perhatian danmemberdayakan kaum wanita. Mengajar wanita dengan tarbiyah(pendidikan) dan ri’ayah (pengawasan), memerintahkan untukmemberikan hak sesuai fitrahnya, hal ini tidak pernah diberikanoleh satu umat pun di sepanjang sejarah dunia.
Keadilan adalah memberikan kepada manusia hak yang harusditerimanya dan Allah adalah Sang Pencipta yang tidak seorang punmempunyai hak atas-Nya. Allah telah memberi pada setiap manusiakarakter sesuai dengan tugas yang diinginkan atas makhluk-Nya.Keadilan pada hakikatnya adalah memberikan manusia kesempatanbergerak sesuai dengan potensi, hak dan kewajiban serta karaktermereka. Oleh karena itu, hendaknya diyakini adanya persamaan priadan wanita dalam kemanusiaan, namun hal ini tidak berartimeyakini persamaan keduanya dalam berperanan.
5. Gerakan Dan Tokoh Feminisme            
1). Para feminis Islam dimulai oleh Aisyah Taymuriyah pada tahun1884-1902 (penulis dan penyair Mesir) dan Zainab Fauwaz dariLibanon yang berupaya keluar dari lingkungan tradisi dengancara berteman dengan wanita lain satu nasib.Rokhayat Sakhawat Hussin dan Nazar Sajjad Haidar tidaksetuju dengan ide domestik wanita yang dipublikasikan denganmelalui cerita fiksi. Keduanya menyusun cerita, novel, artikelyang di dalamnya terdapat ide tentang pembebasan kaumwanita. Karya mereka pada akhirnya dijadikan sumberpemikiran para tokoh feminis Islam yang lain, sebagaimanahalnya Raden Adjeng Kartini (Indonesia) tahun 1879-1904,Emilie Ruete (Zanzibar, 1844-1924), Tajas Salthanah (Iran) danNabawiyyah Musa (Mesir). Mereka berpandangan bahwademikian penting menyusun kembali sistem pendidikan danpekerjaan yang cocok bagi kaum wanita.
2). Huda Sya’rawi dari Mesir (1879-1947) berusaha memadukanantara adat-istiadat dengan ajaran Islam dengan menunjukkanadanya pengaruh gerakan pembaharuan Islam yang dipeloporioleh Muhammad Abduh pada abad ke-18 di Mesir. HudaSya’rawi mulai karirnya sebagai feminis pada tahun 1909dengan berusaha mengutamakan faktor kesehatan bagi wanitadan anak-anak. Lembaga sosial yang didirikan bersifat sekulerdan merupakan ajang kegiatan bersama kaum wanita Islamdengan kaum wanita Kristiani. Ia memimpin persatuan feminis Idi dunia Arab pada tahun 1923. Para feminis yang mendapatpengaruh Marxisme pada abad ke-20 berpandangan bahwaeksploitasi terhadap kaum wanita merupakan dampak adanyaperbedaan kelas yang didukung oleh ideologi gender denganagama. Hal ini berakibat bahwa peranan dan kedudukan genderyang tidak sama dalam keluarga maupun masyarakatmenjadikan kaum wanita sebagai korban penindasan.
3). Tokoh feminisme Islam kontemporer yaitu Nawal el Saadawiseorang doktor dan feminis Mesir sosialis. Ia lebih banyakmenekankan permasalaahn kaum wanita di Mesir terutamaberhubungan dengan aspek sosial, ekonomi, psikologi bahkansampai kepada hal yang sensitif bagi kaum wanita (seks).
4). Riffat Hasan (Pakistan) yang menganalisis tentang sejarahlahirnya pemikiran wanita dan gender dalam Islam.
5). Assia Djebar, penulis novel dan essay yang berasal dari Aljazairmenyatakan berbagai wujud eksploitasi yang dirasakan kaumwanita di Aljazair dan berbagai tantangan yang dirasakan olehpara feminis Aljazair yang hidup di bawah pengaruhnasionalisme patriarkhat.
6). Gadis AriviaPerempuan kelahiran New Delhi 1964 ini mengawali pendidikannya pada 1974 di British Embassy School, Hungaria. Gadis Arivia mendapat gelar S3 dari Universitas Indonesia, Jurusan Ilmu Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya pada 2002. Dirinya merupakan Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan, yang merupakan jurnal pertama di Indonesia yang fokus pada feminisme dan berbagai persoalan perempuan.Lewat berbagai tulisannya, Gadis Arivia terus berjuang membicarakan persoalan perempuan, dan menjadikan hal tersebut sebagai persoalan pokok yang perlu diatasi.Selain menulis dan mengajar, dirinya juga pernah terlibat dalam pembuatan film dokumenter yang berjudul ‘Perempuan di Wilayah Konflik’ pada 2002.
7). Aquarini Priyatna Prabasmoro. Jika ada yang menganggap bahwa feminisme adalah gerakan yang ingin mendongkel dan melebihi kedudukan laki-laki, Aquarini adalah orang yang paling depan menentangnya. Bagi dirinya, feminisme merupakan gerakan yang mengkritisi adanya ketimpangan dalam struktur sosial masyarakat. Mengambil studi Kajian Perempuan di Universitas Indonesia, dan sempat belajar Feminis Cultural Theory and Practise di Lancaster Uiversity, Inggris, dan program doktoral Feminist Cultural Studies di Monash University, Australia, membuat dirinya makin cemerlang sebagai perempuan yang terus mengkritisi persoalan kaumnya dari kacamata kebudayaan.
8). Toety Heraty.Akademisi yang lulus sebagai Doktor Filsafat dari Universitas Indonesia ini dianggap sebagai salah satu pemikir feminis generasi pertama di Indonesia. Dirinya banyak menulis pemikiran tentang perempuan, termasuk dalam berbagai karya fiksinya.Toety Heraty pernah menjabat sebagai Ketua Yayasan Mitra Budaya Indonesia, dan pada 1998, dirinya mendirikan Jurnal Perempuan.Sepanjang hidupnya Toety Heraty mengabdikan dirinya pada Suara Ibu Peduli, yaitu organisasi non-pemerintah yang memperjuangkan pemberdayaan perempuan.
9). Ayu Utami. Pasca kemenangannya dalam sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta, nama Ayu Utami sebagai salah satu sastrawan muda perempuan makin mencuat. Berbagai karya fiksinya yang membicarakan persoalan perempuan menjadi tren dan menginspirasi penulis lainnya untuk tidak lagi tabu memandang persoalan perempuan. Ayu Utami adalah pejuang feminisme yang bersenjatakan kata-kata.
10). Ratna Sarumpaet. Aktivis perempuan pro-demokrasi ini selalu vokal terhadap permasalahan yang menimpa kaumnya. Naskah drama ‘Marsinah: Nyanyian dari Bawah tanah’ menjadi karya pertamanya yang lahir dan terjun langsung mencari duduk perkara yang jelas tentang kasus pembunuhan Marsinah, seorang buruh yang ditembak kemaluannya hanya karena menuntut kenaikan upah Rp 500 saja. Bagi Ratna Sarumpaet, satu naskah drama Marsinah, efeknya setara dengan 10 paper yang membicarakan tentang persoalan perempuan.
6.      Kritik Islam Terhadap Feminisme
Penulis hanya akan menyoroti dua faham feminisme saja yang menurut hemat penulis sangat bertentangan dengan Islam yaitu Feminisme Liberal dan Feminisme Radikal.
Pertama, Feminisme Liberal. Feminisme Liberal ialah terdapat pandangan untuk menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Setiap manusia--demikian menurut mereka--punya kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara rasional, begitu pula pada perempuan. Akar ketertindasan dan keterbelakngan pada perempuan ialah karena disebabkan oleh kesalahan perempuan itu sendiri. Perempuan harus mempersiapkandiri agar mereka bisa bersaing di dunia dalam kerangka “persaingan bebas” dan punya kedudukan setara dengan lelaki.
Jika kita memandang paham ini dari kaca mata Islam kita akan mendapati banyak kerancuanpaham ini. Paham ini berakar pada kebebasan individual perempuan itu sendiri. Namun denganmakna bebas secara mutlak, seperti dalam berpakaian, bergaul, dan bekerja justru akan menjerumuskanperempuan pada nilai-nilai negatif dalam sosial. Alih-alih ingin membebaskan perempuandari ketertindasan malah mendorong perempuan ke arah luar dari fitrahnya. Di sini Islam mengarahkanperempuan dalam beberapa aturan demi menjaga perempuan itu sendiri dan memeliharakehormatannya, seperti dengan menutup aurat, menjaga pergaulan dari percampuran antara lelakidan perempuan yang bukan mahram dalam tempat yang sepi (khalwat), dan memberikan pekerjaanyang layak dan proporsional bagi perempuan sesuai kodratnya demi kemaslahatan dalam masyarakatitu sendiri.
Namun hal ini sama sekali tidak membendung perempuan dari kemajuan dalam bidangpengetahuan, sosial, ekonomi, dan politik.Bahkan penisbatan kemunduran perempuan karena kesalahan perempuan itu sendiri justru sepertimelegalkan penindasan terhadap perempuan. Jadi jika ada perempuan ditindas itu bukan salah sipenindas tapi karena kesalahan perempuan yang mau ditindas. Bukankah ini bertentangan denganakal sehat manusia?
            Kedua, Feminisme Radikal. Trend ini muncul sejak pertengahan tahun 1970-an di mana aliran ini menawarkan ideologi“perjuangan separatisme perempuan”. Pada sejarahnya, aliran ini muncul sebagai reaksi atas kulturseksisme atau dominasi sosial berdasar jenis kelamin di Barat pada tahun 1960-an, utamanya melawan kekerasan seksual dan industri pornografi. Pemahaman penindasan laki-laki terhadap perempuanadalah satu fakta dalam sistem masyarakat yang sekarang ada. Dan gerakan ini adalah sesuai namanyayang “radikal”. Feminis Radikal memilki pandangan mengenai negara sebagai penguasa yang tidakmemihak antara kepentingan kelompok yang berbeda yang berasl dari teori pluralisme negara. Merekamenyadari bahwa negara itu didominasi oleh kaum pria, yang terlefleksikan menjadi kepentinganyang bersifat “maskulin”, tetapi mereka juga menganggap bahwa negara dapat didominasi kuatoleh kepentiangan dan pengaruh kaum pria tadi.
Paham ini lebih mempunyai tekanan kepada negara yang senantiasa dikuasai oleh kaum lelaki,baik dalam pemerintahan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Dalam pandangan Islam meletakkanperempuan pada urusan-urusan rumah tangga dan pengasuhan anak dan lebih menempatkan laki-lakidalam bidang kekuasaan politik adalah demi kelestarian generasi yang tangguh di masa selanjutnya. Dalam Islam, ibu di tempatkan sebagai “sekolah pertama/madrasatul ‘ula” bagi anak-anaknya. Tugas perempuan adalah mendidik dan mencetak generasi bahkan pemimpin bangsa di rumah-rumah mereka. Bayangkan jika kemudian perempuan semuanya masuk ke ranah pemerintahan dan merekadisibukkan dalam urusan administrasi negara, siapa yang akan mengurus rumah tangga mereka?. Siapa yang mengurus anak-anak mereka?. Mengurus rumah tangga dan mengurus pemerintahansama pentingnya dan sama beratnya, maka perlu pembagian tugas. Jika lelaki memegang pemerintahandemi berlangsungnya tatanan masyarakat secara normal maka perempuan mempersiapkancalon-calon pemimpin masa depan di dalam rumah tangga mereka. Bukankah ini artinya samanilainya dua tugas tersebut?.
Rasulullah secara tegas telah melarang wanita menjadi pemimpin sebagaimana yang beliau sabdakan dalam salah satu haditsnya yang berbunyi, “Tidak akan jaya suatu kaum yang menyerahkan urusannya (kepemimpinannya/raja/presiden) kepada perempuan”. H.R. Bukhari. Kongres Ulama Umat Islam (KUUI) pada tahun 1998 telah menfatwakan bahwa wanita haram menjadi presidan dan wakil presiden. Fatwa ini lalu dijadikan rekomendasi kepada MUI untuk mengeleluarkan fatwa yang sama. Tetapi secara mengejutkan sampai Munas MUI pada Juli 1998 atau satu tahun sebelum pemilu 1999, MUI tidak mengeluarkan fatwa apapun tentang presiden wanita. Diamnya MUI itu bukan karena mereka tidak tahu tentang isu tersebut, melainkan karena keengganan untuk menentang kebijakan pemerintah yang pada waktu itu presidennya kebetulan Megawati Soekarno Putri seorang perempuan.  (M. Koderi, 1999:76-77, dan Khoizainul Ulum, 2014:175).
Begitu pula dengan Dewan Hisbah PP. Persis dalam sidangnya pada hari Rabu, 28 Rajab 1419 H/18 Nopember 1998 M di Bandung mengistimbatbahwa perempuan tidak dibenarkan menjadi presiden/kepala negara dan kaum muslimin haram memilih seorang perempuan sebagai presiden/kepala negara. (Dewan Hibah, 2014:281-293).
Hartono Ahmad Jaiz pernyataannya lebih keras lagi. Bahkan beliau sampai menerbitkan satu buah buku khusus yang membahas tentang keharaman perempuan jadi presiden. Buku tersebut berjudul Polemik Presiden Wanita Dalam Tinjauan Islam. (1998:1-126)
Sejarah telah mencatat bahwa salah satu kemunduran Kerajaan Aceh Darussalam ialah ketika kerajaan ini di pimpin oleh sultanah-sultanah (raja-raja perempuan) pada tahun 1641-1699. (Helmiati, 2011:52).
7.      Solusi Islam Terhadap Feminisme
Islam menjaga akhlak dan sifat malu yang secara alamiah ada di dalam diri perempuan, sepertidengan menganjurkan perempuan menjaga pandangan terhadap lelaki yang bukan mahramnya dansebaliknya. Selain itu juga menganjurkan kepada perempuan untuk memakai pakaian yang bisa menutup auratnya. Hal ini diungkap secara gamblang dalam surat An-Nur ayat 31.Memberikan hak belajar dalam masjid, sekolah, dan sarana belajar lain dengan tetap menjaga dariterjadinya perzinaan dan percampuran yang keluar dari kaidah syar’i (ikhtilat).
Menganjurkan para calon ibu mempelajari ilmu-ilmu yang berkaitan dengan pendidikan agar kelaksaat mempunyai anak mereka bisa mencetak generasi yang tangguh baik dari segi emosional maupun fisik.Memberikan hak sosial-politik dalam masyarakat seperti mengikuti musyawarah dan pengadilan yang berkaitan dengan perempuan, sebagaimana disebut dalam Al Qur’an Surat At-Taubah ayat 71, “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi auliya (penolong)bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikanshalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat olehAllah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Yvonne Yazbeck Haddad yang menegaskan bahwa al-Qur’an merupakan sumber nilai yang pertama kali menggagas konsep keadilan gender dalam sejarah panjang umat manusia. Diantara kebudayaan dan peradaban dunia yang hidup pada masa turunannya al-Qur’an, seperti Yahudi, Romawi, Cina, India, Persia, Kristen, dan Arab pra Islam, tidak satu pun yang menempatkan perempuan lebih bermartabat dan lebih terhormat daripada nila-nilai yang diperkenalkan oleh al-Qur’an.
Selain ayat-ayat yang menekankan keadilan gender, praktek kehidupan sosial pada masa nabi diakui telah menempatkan posisi perempuan dalam kedudukan yang setara dengan laki-laki. Struktur patriarki pada masa jahiliyah dibongkar Islam, dengan memberikan hak-hak kepada perempuan yang pada masa sebelumnya tidak diberikan. Nabipun menyuruh umat Islam untuk mengadakan aqiqah untuk menyambut kelahiran anak perempuan (bukan membunuh anak perempuan), sebagaimana halnya anak laki-laki. Jika pada masa jahiliyah, perempuan tidak diberi hak untuk mewarisibahkan menjadi harta yang diwariskan lalu Islam memberikan warisan kepada mereka Q.S. an-Ni’sa [4] : 19 dan lain-lain.
Roded mencatat, bahwa perlakuan yang setara antara laki-laki dan perempuan itu telah memunculkan mereka mencapai prestasi sebagaimana yang diperoleh laki-laki. Menurutnya, dari ribuan sahabat Nabi, 1200 diantaranya adalah perempuan, mereka berhubungan langsung dengan Nabi. Ibnu Sa’ad menulis tentang 600-an perempuan-perempuan sahabat Nabi yang ikut menyemarakkan kota Madinah. Fatima Mernissi juga mencatat adanya banyak perempuan yang berhasil menguasai tahta kekuasaan politik bahkan ‘Aisyah menjadi guru bagi para sahabat dan sahabah bahkan beliau pernah memimpin perang Jamal terhadap khalifah Ali bin Abi Thalib. Sahabah pun ketika peperangan terjadi, ikut serta untuk membangkitkan semangat para prajurit Islam dan menggotong, menandu, serta mengobati prajurit yang terluka di dalam masjid. (Syalabi, 2003; I:248).Wallahu a’lam bishsowab.














Daftar Pustaka         
Apriani, Fajar. Berbagai Pandangan Mengenai Gender Dan Feminisme. Pdf
Bukhari, Abu Abdullah Muhammad bin Ismail. 2003.Shahih Bukhari. Libanon: Darul Fikr,  Bairut.
DEPDIKNAS. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Cet. III
Djoeffan, Sri Hidayati. Gerakan Feminisme Di Indonesia: Tantangan Dan Strategi Mendatang. Jurnal Mimbar No. 3 Th.XVII Juli–September 2001. Pdf
Hasyim, Zulfahani. Perempuan dan Feminisme Dalam Perspektif Islam. Pdf
Helmiati. 2011. Sejarah Islam Asia Tenggara.Riau: Zanafa Publishing. Cet. I
Hisbah, Dewan. 2013. Kumpulan Keputusan Sidang Dewan Hisbah Persatuan Islam (Persis) tentang Muamalah (masalah-masalah kontemporer). Editor Wawan Shofwan. Bandung: Persis Press. Cet. I
Jaiz, Hartono Ahmad. 1998. Polemik Presiden Wanita Dalam Tinjauan Islam. Jakarta: Pustaka al-Kautsar. Cet. I.
Karim, Abdul. Kerangka Studi Feminisme. Jurnal Fikrah. Vol. 2 No. 1 Juni 2014. Pdf
Koderi, Muhammad. 1999. Bolehkan Wanita Menjadi Imam Negara. Jakarta: Gema Insani Press. Cet. I
RI, DEPAG. 2005. Terjemah dan Tafsir al-Qur’an. J-ART.
Soekarno. 1963. Sarinah. Panitya Penerbitan Buku-Buku karangan Presiden Soekarno. Cet. III.
Suharto, Edi. Teori Feminis dan Pekerjaan Sosial. Pdf
Suryorini, Ariana. Menelaah Feminisme dalam Islam. Jurnal Sawwa. Volume 7 Nomor 2 April 2012. Pdf
Syalabi, Ahmad. 2003. Sejarah & Kebudayaan Islam I. Jakarta: PT. Pustaka al-Husna Baru. Cet. VI
Ulum, Khozainul. Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Pemikiran Hukum Islam di Indonesia. Jurnal Akademika Volume 8 Nomor 2 Desember 2014. Pdf
Widyastinil. Gerakan Feminisme Islam dalam Perspektif Fatimah Mernissi. Pdf
Liputan6.com                           
Majalahgontor.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad

Responsive Ads Here