KEPERCAYAAN DAN KEBIASAAN KETIKA TERJADINYA GERHANA - PEMUDA PERSIS KAB. SUMEDANG

Breaking

Post Top Ad

Kami pemuda pembela agama Pembangkit umat yang utama Bertabligh memikat hati yang suci Berdalilkan Qur’an dan Hadis Di-tanam iman disebar amal Memimpin jiwa dan akhlaqnya Membasmi bid’ah agama Berjihad, berdakwah, beruswah)* Bersatulah bersatulah bersatulah bersatulah Hai muslimin Siapa yang menentang Islam Musnahlah dalil dan hujahnyaWeb PEMUDA PERSIS SUMEDANG

Post Top Ad

Mangga bade Iklan palih dieu

Kamis, 09 Agustus 2018

KEPERCAYAAN DAN KEBIASAAN KETIKA TERJADINYA GERHANA


Oleh
M. Nurachman (Wakil Ketua PD. Pemuda Persatuan Islam Sumedang).

Pendahuluan
Besarnya bumi 500 juta KM² dengan diameter 12.756 KM, sedang beratnya 6.000.000.000.000.000.000.000 ton. Jarak antara bumi dan matahari 93.000.000 mil. Bumi beredar mengelilingi matahari dengan jarak 93.005.000 mil dalam setahun sekali, yaitu 365 hari 5 jam 49 menit dan 12 detik dengan kecepatan 18 mil tiap detik. Kemudian bumi menyelesaikan rotasinya dalam 23 jam 56 menit 1 detik dengan kecepatan 1000 mil / jamnya.
Besar matahari 1.250.000 kali besar bumi, sedangkan besar bulan 50 kali lebih kecil dari besar bumi. Jauh matahari ke bumi 93 juta mil, dan jarak dari bulan ke bumi 240.000 mil.. Cahaya matahari sampai ke bumi memerlukan waktu sekitar 8 menit. (A. Hassan, Soal Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama II:452 & A. Zakaria, Tafsir Surat al-Fatihah hal. 139-140, Drs. H. Uu Suhendar, M.Ag. Tafsir al-Razi; Kasaluyuan Surat, Ayat, Jeung Mufrodat. Hal. 111)
Besar dan jauh planet–planet tersebut suatu ketika posisinya bisa sejajar (rotasi sate). Bila bulan terletak ditengah–tengah jarak antara bumi dan matahari sehingga bayangan bulan jatuh ke permukaan bumi maka peristiwa tersebut dinamakan gerhana matahari sedangkan bila posisi bumi berada di tengah–tengah jarak antara matahari dan bulan maka peristiwa tersebut dinamakan gerhana bulan. (Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga hal. 358).

Keyakinan Dan Kebiasaan–Kebiasaan Seputar Gerhana Menurut Agama–Agama Ardhi:
Tu dan Yang.
Gerhana Bulan atau gerhana matahari adalah tanda sang Hyang Bulan (Tsukiyomi) atau pohyan dalam bahaya karena mungkin ia tertidur. Jika ia dan pembantunya tertidur nyenyak, naga langit mungkin menelan bulan atau matahari. Untuk membangunkannya dilakukan upacara memukul tabuh-tabuhan. Wanita yang sedang mengandung harus mandi atau bersembunyi (biasanya di kolong ranjang atau dikolong rumah panggung). Karena naga langit itu biasa menelan benda–benda langit, ia pun dipuja dan dibujuk. Sangyang Pohyan/Poyan menyuruh dua pembantunya, siluman kera dan siluman cebol bermuka buruk. Keduanya mengusik naga itu agar berpaling dari pengejaran benda–benda langit. (A.D.El. Marzdedeq, Parasit Akidah hal. 26-27).
Hindu Bali.
Menurut kepercayaan agama Hindu Bali, gerhana bulan atau gerhana matahari terjadi karena bulan atau matahari di pegang oleh Dewa Rahu. Maka untuk membujuk Rahu agar segera melepaskan bulan atau matahari disajikanlah saji-sajian dan pemukulan kentungan. (A.D.El. Marzdedeq, Parasit Akidah hal. 99).
Agama Kultur Samiyah (Agama dari Sumeria).
Tersebutlah dewa jahat, Nahas Zebud yang bertubuh ular, ingin mengalahkan Nebu Ila. Bila bulan diludahinya, bulan pun menjadi suram dan gelap, itulah gerhana; atau mungkin pula bulan berkarat. Maka cepatlah Bil Qomur menggosoknya sehingga bulan terang kembali. (A.D.El. Marzdedeq, Parasit Akidah hal. 134).
Agama Shobiyah atau Shobi’in (Sempalan dari Ajaran Nabi Nuh).
Syamas adalah roh penguasa matahari yang perkasa. Ia selalu berpesiar naik matahari dari ‘Azu (‘Aziah) ke Ereb. Suatu ketika ia memperhatikan kecantikan Qamrah penguasa bulan purnama, lalu segera ia pinang dan hampiri, sehingga dunia menjadi gelap gulita. Maka semua roh menyalahkan Zahrah yang membuat gara–gara karena telah membuka piala berahi sehingga berahi beterbangan keluar. Zahrah menjawab, “Jika aku tiada, kalianpun tidak mungkin ada, karena bibit kalian itu berahi!”.
Saat itu juga Syamas meninggalkan Qamrah, sehingga dunia terang kembali. Adakalanya Qamrah mendatangi Syamas, sehingga terjadilah gerhana bulan. Dewa–dewa atau roh–roh sekalian merasa khawatir, jika keduanya beranjak akan ada bulan atau matahari kembar. Karena itu, jika lahir anak keduanya dibunuh oleh Juhal dan Wad dengan panah api sehingga terbitlah panah api di langit. Karena syamas dan Qamrah ingin menyelamatkan anaknya, anaknya itu dititipkan pada pembesar bangsa manusia di bumi. Yang pernah dititipkan bernama Adzimun dan Hurmuz.
Jika roh–roh mengetahui ada anak Syamas dan Qamrah yang dititipkan pada seorang pembesar, mereka akan menarik kembali dan membunuh anak titipan itu. Syamas dan Qamrah berkabung dan berkumpul sehingga terjadi pula gerhana. Gerhana berarti ada anak pembesar mati ataupun lahir. Karena manusia pernah menyelamatkan Adzimun dan Hurmuz, Syamas dan Qamrah pun berterima kasih. Qamrah menggalang dirinya sehingga timbul bulan dikalang dan Syamas pun memberinya pula tanda–tanda. Tanda–tanda itu hanya dimaklumi ahli nujum (dukun, paranormal, pen), seperti tanda akan terjadi perang, kelaparan, dan sebagainya. (A.D.El. Marzdedeq, Parasit Akidah hal. 149-150).
Agama Kultur Mesir Purba (3500 SM).
Setiap negeri mempunyai Tuhan masing–masing. Jika negeri–negeri itu berperang berarti Tuhan–tuhan itulah yang berkelahi. Negeri yang menuhankan Horus mengalahkan negeri yang menuhankan Iftah, maka dianggap melawan negeri yang menuhankan Sit. Jika terpukul mata kirinya, gerhanalah bulan. Jika terpukul mata kanannya, gerhanalah matahari. Gerhana berarti Tuhan sedang menderita atau sedang sakit. (A.D.El. Marzdedeq, Parasit Akidah hal. 166).
Agama Shobiah Syi’riyah.
Bila terjadi gerhana, pada agama shobiah Syi’riyah suka memukul canang (gong kecil, pen). (A.D.El. Marzdedeq, Parasit Akidah hal. 330).
Agama Penyembah Malaikat
Pada kepercayaan agama penyembah Malaikat, bulan itu sebuah benda yang terbuat dari campuran perak, emas, dan kuningan sehingga memancarkan cahaya dingin ke bumi. Bulan itu ditarik malaikat berbaju hitam. Maka tersebutlah anak hantu yang menangis terus–menerus menginginkan bulan yang indah itu. Ibu hantu sangat iba hatinya melihat itu, maka terbanglah ia naik burur Qarqar untuk mengambil bulan. Demi melihat ibu hantu, malaikat penjaga pun menyembunyikan bulan pada bajunya, sehingga timbulah gerhana bulan.
Ketika ibu hantu telah pergi, bulan dilepaskannya kembali. Malaikat penjaga menghembuskan angin sepoi–sepoi. Anak hantu itu pun berhenti menangis karena telah lupa pada bulan yang diinginkan. Sedangkan matahari ditarik oleh malaikat berbaju putih yang berdiri di atas seekor anak sapi. Hantu jahat yang tidak menyukai sinar terang benderang itu mencoba merebutnya. Malaikat berbaju putih langsung menenggelamkan matahari di lautan abadi. Hantu jahat menjelma menjadi ikan bahut dan menelan matahari itu sehingga menjadi gelap. Malaikat berbaju putih mengejar  ikan itu dan matahari pun dilepaskannya. (A.D.El. Marzdedeq, Parasit Akidah hal. 339-340).

Kepercayaan dan Kebiasaan Seputar Gerhana Yang Beredar di Daerah-Daerah Indonesia.
Pada poin ini, penulis hanya ingin menanbahkan saja hal-hal yang dianggap perlu karena kepercayaan dan kebiasaan seputar terjadinya gerhana hampir semua bermuara pada agama-agama yang sudah disebutkan diatas.
Bali
Masyarakat Bali biasa menyebut kejadian gerhana dengan nama “Kepayang”, dimana seorang raksasa bernama “Kala Ratu” berusaha untuk menelan matahari dan bulan. Apabila terjadi “Kepahyang”, maka penduduk akan memukul antan pada lesungnya sehingga terjadilah bunyi-bunyian yang ramai. Bunyi-bunyian ini untuk mengusir raksasa yang berusaha menelan bulan atau matahari itu.
Jawa Barat.
Masyarakat Jawa Barat menyebut gerhana dengan nama “Samagaha”, dan apabila terjadi “Samagaha”, penduduk akan membunyikan bunyi-bunyian dengan jalan memukul benda apa saja yang ditemuinya. Maksudnya ialah agar bulan dan matahari yang akan kawin itu segera mengurungkan maksudnya, karena apabila hal itu terjadi maka bumi akan menjadi gelap gulita. Disamping itu, dengan adanya suara bunyi-bunyian tersebut akan menghilangkan pengaruh buruk, misalnya pengaruh buruk terhadap telur yang sedang dierami akan menjadi busuk (Kacingcalang). Selain itu, wanita yang sedang hamil dilarang melihat “Samagaha” atau keluar rumah, bahkan harus bersembunyi dibawah tempat tidur karena menurut kepercayaan apabila hal itu tidak dilakukan maka akan menyebabkan anak yang akan dilahirkan nanti mempunyai tubuh belang.
Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Masyarakat menyebut terjadinya gerhana dengan nama “Grahono”, dimana raksasa yang bernama “Buto Ijo” berusaha untuk menelan bulan atau matahari. Jika terjadi “Grahono”, maka penduduk akan membunyikan “tundan”, yaitu membunyikan kentongan secara bersahutan. Disamping itu penduduk membawa ember berisi air untuk melihat “Grahono” tersebut. Menurut kepercayaan, akan terlihat raksasa yang akan menelan bulan atau matahari tersebut.
Makasar.
Masyarakat menyebut gerhana bulan dengan nama “Bulan Abunting”, yang berarti bulan kawin. Pada saat terjadi “Bulan Abunting”, maka penduduk akan membunyikan kentongan sebagai tanda kebahagiaan akan datang. Dengan serta-merta para perjaka dengan gadisnya membuka pakaiannya, kemudian keluar rumah tanpa busana, dihalaman rumahnya masing-masing mereka berdoa. Menurut kepercayaan bahwa mereka akan cepat dapat jodoh dan akan menemui kebahagian. Akan tetapi, pada saat terjadi gerhana matahari mereka akan berlari masuk ke dalam rumah dan berlindung sambil memukul kentongan sebagai tanda bahwa khawatir karena “Sikanrei Mata Alloa” (Matahari sedang baku hantam). (K.H.E. Abdurrahman, Recik-Recik Dakwah hal. 35-39).

Kepercayaan dan kebiasaan seputar Gerhana menurut Ajaran Islam.
Pada zaman Rasulullah pernah terjadi gerhana matahari. Menurut Mahmud Basya al-Falaky dan KH. E. Abdurrahman, peristiwa itu terjadi pada hari senin, 29 Syawwaal tahun ke – 10 Hijriah atau bertepatan dengan tanggal 27 Januari tahun 632 Masehi, pukul 08.30 pada hari meninggalnya putra Rasulullah bernama Ibrahim. (Dewan Hisbah PP. Persatuan Islam, Risalah Shalat hal. 261 & A. Zakaria, al-Hidayah III:17).
Ibroohiim meninggal pada usia 17 bulan 7 hari, ada juga yang mengatakan 7 bulan atau 8 bulan setelah dilahirkan pada bulan Jumadil Ula tahun 9 Hijriah. (M. Alwi al-Maliki, Rahasia Kenabian hal. 18).
Peristiwa gerhana pada zaman Rasulullah hanya terjadi satu kali. Dalam hadits disebutkan:
إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللهِ لاَ يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ, وَلاَ لَحِيَاتِهِ, فَإِذَا رَأَيْتُمُو هُمَا فَادْ عُوا اللهَ وَصَلُّوا حَتَّى تَنْكَشِفَ

“Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua ayat (tanda) di antara ayat-ayat Allah. Tidaklah terjadi gerhana matahari dan bulan karena kematian seseorang atau karena hidup (lahirnya) seseorang. Apabila kalian melihat (gerhana) matahari dan bulan, maka berdoalah kepada Allah dan shalatlah hingga tersingkap kembali.” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Menurut Ust. Luthfi Abdullah Ismail bahwa ada yang membedakan akan penamaan Kusuf untuk gerhana bulan dan Khusuf untuk gerhana matahari, yang sebenarnya kedua istilah itu sama saja, misalnya untuk menyebut gerhana matahari terkadang dipakai kata Kusuf dan terkadang Khusuf sebagaimana riwayat Bukhari dan Muslim. Pada riwayat pertama digunakan kata “ankasafa” sedangkan pada riwayat kedua menggunakan kata “khasafa” – padahal keduanya menerangkan tentang terjadinya gerhana matahari karena gerhana pada zaman nabi hanya terjadi hanya satu kali. (Tuntunan Ringkas Ketika Terjadi Gerhana, hal. 1-2).

Hal-Hal Yang Harus Dilakukan Ketika Terjadi Gerhana Menurut Agama Islam.
Bersegera Ke Masjid, Berkhutbah Atau Mendengarkan Khutbah, Berdo’a, Berdzikir, Memohon Ampunan, Bertakbir, Shalat, Dan Bersedekah.
.....إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَا يَخْسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلَا لِحَيَاتِهِ فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَاذْكُرُوا اللَّهَ.....
“....Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda diantara tanda–tanda kekuasaan Allah. Keduanya tidak akan terjadi gerhana karena mati dan hidupnya seseorang. Apabila kamu melihat kejadian itu, segeralah ke masjid....” H.R. Ahmad.
“Dari  Abu Musa, ia berkata, ‘Terjadi gerhana pada masa Rasulullah, maka Rasulullah berdiri dengan teramat tergesa–gesa karena takut akan terjadi kiamat. Maka beliau mendatangi masjid, lalu beliau shalat……Jika kalian melihat gerhana bersegeralah kepada zikir, doa, dan mohon ampunan-Nya.” H.R. Bukhari dan Muslim.
“Dari Aisyah ia berkata, ‘Terjadi gerhana pada masa Rasulullah, Maka Rasulullah berdiri shalat. Maka beliau lama sekali berdiri, ruku lama sekali, bangkit berdiri dari ruku lama sekali, lalu berdiri lagi lama sekali di bawah lamanya berdiri pertama. Lalu, ruku lama kurang dari ruku pertama, lalu bangkit berdiri dari ruku lama kurang dari berdiri pertama, lalu sujud lama sekali…….Jika kalian melihat gerhana bertakbirlah, berdoalah kepada Allah, shalatlah, dan bersedekahlah…..Demi Allah, jika kalian mengetahui apa yang aku tahu, kalian akan banyak menangis dan sedikit tertawa. Sudahkah aku sampaikan ?......Amma ba’du, sesungguhnya Matahari dan Bulan di antara tanda kekuasaan Allah….., kemudian beliau mengangkat kedua tangannya seraya berdoa, ‘Wahai Allah, sudahkah aku sampaikan (amanat kepada umatku)?”. H.R. Muslim.
Mengapa Rasul memerintahkan kita untuk banyak beristighfar dan berdoa ketika terjadinya gerhana?. Zakir Naik menjelaskan akan hal ini, “Ketika gerhana total terjadi, langit menjadi gelap gulita dan bintang-bintang terlihat jelas di siang hari. Dalam beberapa menit, siang hari berubah seperti waktu malam, yang menyebabkan perasaan panik dan depresi. Bukan hanya bagi manusia, tetapi juga untuk semua makhluk. Burung-burung berlindung di sarang mereka. Hewan-hewan juga bersembunyi. Semua makhluk mengalami keadaan sunyi yang sangat mencekam......selam gerhana matahari, energi matahari yang mencapai bumi menurun dan karenanya suhu bumi menurun. Sedangkan ketika gerhana bulan, energi matahari yang mencapai bumi meningkat, menyebabkan suhu bumi relatif meningkat selema beberapa menit. Karena fenomena ini, bumi menghadapi bahaya ekstrim dan hanya Allah subhanahu wa ta’ala yang mengetahui seberapa besar kadar kedahsyatan bahaya tersebut”. (Miracles of al-Qur’an & as-Sunnah hal. 183-185).
Berdoa dan beristighfar ketika gerhana termasuk sa’atul ijabah (saat dikabulkannya doa), begitu pun dengan bersedekah ketika terjadi gerhana akan dilipat gandakan pahalanya dibanding dengan bersedekah di waktu–waktu lainya. Untuk bilangan takbir dalam takbiran ketika gerhana, lafad nya sama dengan lafad takbir ketika iedain.
‘Abdu Rozaq dari Salman dengan sanad yang shohih, ia berkata: “Bertakbirlah! ALLAHU AKBAR, ALLAHU AKBAR, ALLAHU AKBAR KABIRO”. Juga terdapat riwayat dari ‘Umar an Ibnu Mas’ud: ALLAHU AKBAR, ALLAHU AKBAR, LAA ILAAHA ILLALLAAHU WA ALLAAHU AKBAR, ALLAAHU AKBA WALILLAAHILHAMDU”. Fiqh Sunnah, I:326 & Fathu Baari, II:462. (A. Zakaria, al-Hidayah III:94).
Mengenai berdoa ketika gerhana dengan mengangkat tangan memang ada dalilnya tapi tidak setiap berdoa dan di setiap tempat berdoa harus dengan mengangkat tangan. Untuk lebih jelas perihal masalah ini, silahkan baca buku karya Wawan Shofwan sholehuddin, dkk yang berjudul Kontroversi Mengangkat Tangan Ketika Berdoa.

Tata Cara Shalat Gerhana (Khusuuf atau Khusuuf)
“Dari an-Nu’maan ibnu Basyir, sesungguhnya Nabi shalat Gerhana sebanyak dua rakaat setiap rakaat satu kali ruku”. H.R. Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah.
“Aisyah berkata, Telah terjadi gerhana matahari pada zaman Rasulullah beliau lalu mengutus seorang penyeru (Munaadi) mengumandangkan ASHSHOLAATU JAAMI’AH. Kemudian beliau shalat empat kali ruku pada dua rakaat dan empat kali sujud.” H.R. Bukhari, Muslim, Ibnu Hibban dan Nasa’i.
“Jabir berkata, telah terjadi gerhana matahari pada zaman Rasulullah. Lalu beliau shalat enam kali ruku dan empat kali sujud.” H.R. Muslim, Abu Dawud, Baihaqi dan Ahmad.
“Ibnu Abbas berkata, Nabi shalat gerhana. Beliau membaca lalu ruku, kemudian membaca, lalu ruku, kemudian membaca lalu ruku, kemudian membaca lalu ruku, kemudian membaca dan rakaat kedua juga seperti itu.” H.R. Muslim, Ibnu Khuzaimah, Abu Dawud, Nasa’I, dan Ahmad.
“Beliau shalat delapan kali ruku dan empat kali sujud.” H.R. Muslim, Darimi, Baihaqi, dan Ibnu Abi Syaibah.
Ubay Ibnu Ka’ab berkata, “Telah terjadi gerhana matahari di zaman Rasulullah, lalu beliau shalat mengimamai mereka. Beliau membaca surat yang panjang. Beliau ruku sebanyak lima kali ruku dan dua sujud. Kemudian beliau berdiri ke rakaat kedua lalu membaca surat yang panjang dan ruku sebanyak lima kali dan dua kali sujud.” H.R. Abu Dawud dan Ahmad.
Dari Urwah, ia berkata, “Aisyah telah berkata, ‘Telah terjadi gerhana matahari, lalu Nabi berdiri (shalat) kemudian membaca surat yang panjang, lalu ruku (sangat) lama, kemudian bangkit dari ruku, lalu mulai membaca surat yang lain, kemudian ruku sampai selesai, dan bersujud, kemudian Nabi lakukan yang demikian itu pada rakaat kedua.” H.R. Bukhari.
Berdasarkan riwayat–riwayat shohih di atas menunjukan bahwa ada beberapa riwayat tentang shalat gerhana:
Setiap rakaat satu kali ruku; jadi jumlahnya 2 kali ruku sebagaimana shalat biasa.
Setiap rakaat dua kali ruku; jadi jumlahnya 4 kali ruku.
Setiap rakaat tiga kali ruku; jadi jumlahnya 6 kali ruku.
Setiap rakaat empat kali ruku; jadi jumlahnya 8 kali ruku.
Setiap rakaat lima kali ruku; jadi jumlahnya 10 kali ruku.
Setelah mengkaji semua riwayat yang berkaitan dengan masalah gerhana (thoriqotul jam’i: Menggabungkan riwayat shohih yang maknanya saling bertentangan, pen), maka dapat diambil kesimpulan bahwa yang paling kuat adalah hadits yang menyatakan bahwa jumlah 4 kali ruku (setiap rakaat 2 kali ruku). Karena selain merupakan riwayat Bukhari dan Muslim jumlah sahabatnya pun lebih banyak. (Dewan Hisbah PP. Persatuan Islam, Risalah Shalat hal. 261-263).
Kesimpulan ini diambil dikarenakan Rasulullah semasa hidupnya hanya sekali melaksanakan shalat gerhana,  tidak mungkin Rasulullah melakukan shalat gerhana dengan berbagai macam cara.
Mengenai pendapat Abu Hanifah yang menyatakan bahwasanya shalat gerhana itu dua rakaat seperti shalat jum’at dan shubuh, dengan berdalil dengan riwayat darinya dari hadits Nu’man bin Basyir, Ibnu ‘Umar, Samurah, dan Qabishah.
“Sesungguhnya Nabi shalat khusuf fua rakaat, setiap rakaat dengan satu kali ruku”.
Syaikh M. Nashirudin Albani berkata, “hadits ini  dhaif tidak sah sama sekali, karena terdapat ‘illat (penyakit) atau syadz (keganjilan).” Sehingga pendapat dan dalil ini tidak dapat dijadikan hujjah.
Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah berkata “Sunnah yang shohih yang tegas yang menjadikan landasan hokum dalam shalat khusuf adalah mengulang ruku pada setiap rakaat, berdasarkan hadits ‘Aisyah, Ibnu Abbas, Jabir, Ubay bin Ka’ab, ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash, dan Abu Musa al-Asy’ari, semuanya meriwayatkan dari Nabi pengulangan ruku pada satu rakaat. Dan yang meriwayatkan pengulangan ruku lebih banyak jumlahnya, lebih mulia dan lebih khusus dengan Rasulullah dibandingkan dengan yang (pengulangan). Ini adalah madzhab Malik, Syafi’I, dan Ahmad”. (M. Shiddiq al-Muntsawi, Kesalahan Umum Dalam Pelaksanaan Ibadah Shalat hal. 203).

Bacaan Shalat Gerhana Dengan Dijaharkan
‘Aisyah berkata, “Nabi mengeraskan bacaannya dalam shalat Gerhana. Beliau shalat dua rakaat dengan empat kali ruku dan empat kali sujud.” H.R. Bukhari dan Muslim.
‘Aisyah berkata, “telah terjadi gerhana pada zaman Rasulullah. Beliau kemudian mendatangi tempat shalat, lalu bertakbir,. Kemudian beliau membaca dan beliau mengeraskan bacaan itu dan lama berdiri.” H.R. Ahmad.
Dari ‘Aisyah, “Nabi menjaharkan bacaan dalam shalat khusuf, dan jika selesai dari bacaan beliau bertakbir kemudian ruku.” H.R. Bukhari.
Ibnu hajar al-Asqolani berkata, “Hadiits ini dijadikan dalil untuk menjaharkan bacaan shalat khusuf di siang hari (gerhana matahari), dan kelompok yang tidak berpendapat demikian menerapkannya untuk gerhana bulan saja, dan itu tidak baik.”
Syaikh M. Nashirudin al–Bani berkata, “Yang benar adalah, bahwasanya Rasulullah menjaharkan bacaan shalat kusuf, sebagaimana dalam shohih Bukhari. Dan tidak ada keterangan yang menentangnya, kalaupun ada maka itu tidak kuat. Maka sebagaimana penyusun Fiqh Sunnah (Sayyid Sabiq) bisa menyamakan antara jahar yang shohih dari Nabi, dengan sir yang tidak shohih”. (M. Shiddiq al-Muntsawi, Kesalahan Umum Dalam Pelaksanaan Ibadah Shalat hal. 204).
Hadits dhaif yang dimaksud Syaikh M. Nashirudin al-Bani adalah berikut ini, “Samurah berkata, Rasulullah shalat mengimami kami pada waktu gerhana sebanyak dua rakaat. Kami tidak mendengar beliau pada shalat itu.” H.R. Ahmad.
Ibnu Hazm dan Ibnu Qaththan berkata, “Dalam sanad hadits ini ada rawi bernama Tsa’lanah bin ‘Ibad yang majhul (tidak dikenal)”.
Hadits yang semakna juga diriwayatkan oleh Syafi’i, Abu Ya’la, dan Baihaqi tapi pada sanad nya ada rawi bernama ‘Abdullah bin Lahi’ah yang dilemahkan oleh Ibnu Ma’in dan beliau pun bekata, “Haditsnya tidak bisa dijadikan hujjah.” Begitu pula dengan Imam Bukhari yang berkata, “Rumah dan kita –kitab Ibnu Lahi’ah terbakar pada tahun 170 Hijriah (mukhtalith)”. (Dewan Hisbah PP. Persatuan Islam, Risalah Shalat hal. 265).
Untuk itu Imam Bukhari telah membuat satu bab dalam kitab shohihnya yang berjudul “Bab Menjaharkan bacaan Shalat Kusuf”. Hadits riwayat Imam Ahmad ini pun bertentangan dengan hadits Imam Ahmad diatas yang shohih yang menerangkan bahwa shalat gerhana dengan dijaharkan.

Tidak Ada Adzan Dan Iqamat Pada Shalat Gerhana
‘Aisyah berkata, “Telah terjadi gerhana pada zaman Rasulullah, beliau lalu mengutus seorang penyeru mengumandangkan ASHSHALAATU JAAMI’AH. Beliau lalu berdiri dan shalat empat kali ruku dan empat kali sujud dalam dua rakaat.” H.R. Bukhari, Muslim, Ahmad, Tirmidzi, Abu Dawud, dan Nasa’i.
Adzan dan iqamat hanya di syariatkan untuk shalat fardhu saja, sedangkan untuk shalat sunnah tidak ada. Hadits ini memberi hujjah bahwa hanya shalat gerhana saja yang disyariatkan menyeru dengan ucapan ASHSHOLAATU JAAMI’AH, selain shalat gerhana tidak ada dalilnya menyeru orang banyak  untuk shalat dengan seruan tersebut. (Hasbi Ash-Shiddieqy, Pedoman Shalat hal. 422).

Shalat Gerhana Dengan Berjamaah
‘Aisyah berkata, “Telah terjadi gerhana matahari pada masa hidup Rasulullah. Lalu beliau pergi ke masjid, kemudian berdiri dan takbir. Dan orang–orang bershof di belakang beliau.” H.R. Muslim, Ibnu Khuzaimah, Baihaqi, Abu Dawud, Nasa’I, Ibnu Majah, Ahmad, dan Abi ‘Awanah.
Dari Abdullah bin Amr bhawasanya ia berkata, “Ketika terjadi gerhana matahari pada masa Rasulullah, diserukan, marilah hadir untuk shalat berjamaah!.......” H.R. Bukhari.

Shalat Gerhana Dimasjid
Sebagaimana disebutkan diatas mengenai hadits–hadits tentang shalat gerhana yang dilakukan Rasulullah di masjid. Bahkan, beliau pun menyuruh orang–orang agar bersegera di masjid. Akan tetapi tidak menunjukan tidak boleh dilaksanakan di tempat lainnya karena masjid bukan satu–satunya tempat untuk shalat gerhana. Oleh karena itu ada dalil umum tentang tempat shalat, yaitu bahwa Rasulullah telah menetapka semua tempat dibumi dapat dipergunakan untuk tempat shalat.
“Aku diberi lima hal yang tidak diberikan kepada nabi – nabi sebelumku, Aku ditolong dengan rasa gentar di hati musuh sebelum bertemu denganku sebulan perjalanan, Dijadikan untukku bumi ini tempat shalat dan alat bersuci, maka siapa pun dari umatku yang didatangi waktu shalat, shalatlah…..” H.R. Bukhari.
Dengan demikian, perintah Rasulullah ini tidak menjadi takhshis (pengkhususan), melainkan tanshis (prioritas utama) yang hukumnya sunat. (Wawan Shofwan Sholehuddin, Shalat Sunnat & Permasalahannya hal. 192.

Kesimpulan.
Keyakinan–keyakinan seputar gerhana yang berkembang di masyarakat seperti kepercayaan kepada Dewa dan lain sebagainya berasal dari agama–agama luar Islam. Keyakinan tersebut termasuk SYIRIK.  Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَغۡفِرُ أَن يُشۡرَكَ بِهِۦ وَيَغۡفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَآءُۚ وَمَن يُشۡرِكۡ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱفۡتَرَىٰٓ إِثۡمًا عَظِيمًا ٤٨
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” Q.S. an-Nisa’ (4) : 48.
Kebiasaan–kebiasaan seputar terjadinya gerhana seperti mandi atau bersembunyi (di kolong tempat tidur atau di kolong rumah) bagi yang hamil, dengan keyakinan bila yang hamil tidak mandi anaknya lahir dengan kondisi belang, menyajikan sesajen, memukul kentongan, canang (gong kecil), dan lain sejejnisnya berasal dari agama luar Islam dan hal ini sangat di larang oleh Islam sebagaimana keterangan di bawah ini:
۞يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَتَّخِذُواْ ٱلۡيَهُودَ وَٱلنَّصَٰرَىٰٓ أَوۡلِيَآءَۘ بَعۡضُهُمۡ أَوۡلِيَآءُ بَعۡضٖۚ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمۡ فَإِنَّهُۥ مِنۡهُمۡۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَهۡدِي ٱلۡقَوۡمَ ٱلظَّٰلِمِينَ ٥١
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dzalim.” Q.S. Al-Maidah (5): 51.
َوَعَنِ اِبْنِ عُمَرَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( مَن تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ )  أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّان
 “Barang siapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk dalam kaum tersebut.”  H.R. Abu Daud, Ahmad dan Ibnu Abi Syaibah.
“Bukan termasuk golongan kami, siapa saja yang menyerupai selain kami”. H.R. Tirmidzi.
“Sungguh kalian akan mengikuti tradisi-tradisi orang-orang sebelum kalian setapak demi setapak , sampai seandainya mereka memasuki sarang biawak pun tentu kalian akan memasukinya pula. Para sahabat bertanya: wahai Rasulullah apakah mereka itu Yahudi dan Nasrani? Beliau menjawab: Siapa lagi kalau bukan mereka?” H.R. Bukhari dan Muslim.
“Sungguh umatku akan mengambil apa yang diambil oleh umat-umat sebelumnya sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta. Para sahabat bertanya: Wahai Rasulullah apakah mereka itu kaum persia dan romawi? Beliau menjawab: Siapa lagi kalau bukan mereka? ” H.R. Bukhari.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Tidak diragukan lagi bahwa umat Islam ada yang kelak akan mengikuti jejak Yahudi dan Nasrani dalam sebagian perkara”. Majmu’ Fatawa, XXVII : 286.
Ketika menafsirkan Q.S. al-Baqoroh (2): 42.
وَلَا تَلۡبِسُواْ ٱلۡحَقَّ بِٱلۡبَٰطِلِ وَتَكۡتُمُواْ ٱلۡحَقَّ وَأَنتُمۡ تَعۡلَمُونَ ٤٢
“Dan janganlah kamu campur adukkan yang haq dengan yang batildan janganlah kamu sembunyikan yang haq itu, sedangkan kamu mengetahui”. Imam Ibnu Katsir mengutip pernyataan Qotadah dan berkata, “Kalian jangan mencampur adukan agama Yahudi dan Nasrani dengan Islam, sedang kalian mengetahui bahwa agama Allah ialah Islam, sedang Yahudi dan Nasrani itu buatan manusia bukan dari agama Allah”.
Seorang pendukung fanatik Real Madrid tidak akan bersedia memakai kostum Barcelona, kenapa kita seorang muslim mau-maunya melakukan acara agama-agama diluar Islam yang  notabene adalah musuh Islam. Mereka (non Islam) lebih baik mandi darah dari pada menerima islam sebagai agamanya, sekali lagi kenapa kita masih senang mengikuti agama mereka?
Selain syirik perbuatan tersebut termasuk bid’ah. KH. E. Abdurrahman dan Prof. DR. Ahmad Tafsir (dosen Filsafat UIN Sunan Gunung Djati Bandung)  menyebut kepercayaan yang berkembang seputar gerhana termasuk tahayul dan khurafat atau tidak masuk akal. (E. Abdurrahman, Recik-Recik Dakwah hal. 35 & Ahmad Tafsir, Filsafat Umum; Akal Dan Hati Dari Sejak Thales Sampai Capra hal. 17).
Bila kita melakukan hal–hal tersebut jelas akan mematikan sunnah dan menumbuhkan bid’ah sebagaimana sabda Rasulullah,“Tidak datang kepada manusia suatu tahun, kecuali mereka membuat bid’ah di dalamnya dan mematikan sunnah hingga bid’ah hidup dan sunnah mati.”  H.R. Thabrani.
Kalaupun yang hamil tidak dimandikan dan pas lahir anaknya belang, itu hanya kebetulan saja karena “Kabeuneran lain beubeuneuran”. Istri penulis pun ketika mengandung anak pertama penulis dulu tidak mandi tetapi Alhamdulillah lahir dengan kondisi fisik yang sempurna. Itu semua hanya ujian dari Allah apakah kita akan menjadi iman atau kufur ketika diberi anak belang, apakah kita akan membenarkan atau tidak. Itu semua ujian keimanan dan keyakinan kita terhadap hal–hal di luar Islam.
Tuntunan Islam ketika terjadi gerhana yaitu bersegera ke masjid untuk shalat berjamaah, menyeru orang untuk shalat berjamaah, khutbah, dan mendengarkan khutbah, bertakbir, dzikir, istighfar, berdoa, dan bersedekah. Wallahu a’lam bishshowab.



















TABEL TERJADINYA GERHANA DARI TAHUN 2013-2021
No
Tgl
Waktu-Puncak
Jam (WIB)
Lunar (Bulan)/ Solar (Matahari
Fase Gerhana
LSS/SES (%)
Keterangan (kawasan tampak)

1
26-04-13
03:08
Lunar
Partial
0,40
s.d.a Penumbral

2
10-05-13
05:51
Solar
Total
100
Irian bag Barat, Timor Timur

3
04-04-15
19:00
Lunar
Total
100
ATi & Tengah dan Amerika

4
09-03-16
07:22
Solar
Partial
88,0
Part, di ATi, Total di Palu, Kalsel, Sum-Timur (Lampung)

5
31-01-18
20:30
Lunar
Total
100
ATi, Indonesia, Asia barat, Amerika Utara

6
28-07-18
03:22
Lunar
Total
100
Australia, Indonesia, Asia Tengah, Afrika Barat & AmSel

7
17-07-19
04:31
Lunar
Partial
66,1
Indonesia, Asia Tengah, Afrika Barat, dan AmSel

8
26-12-19
12:39
Solar
Partial
69,4
Kalimantan Barat, Sumatra Barat

9
26-05-21
18:19
Lunar
Total
100
ATi, Indonesia, Australia, Pasifik, Amerika


CATATAN :
Lunar = Bulan, Solar = Matahari, Waktu WIB = GMT + 7 jam.
-Fase Gerhana = Eclipse Phase = Sifat gerhana, tertutup semua (total), tertutup sebagian (Partial)
-LSS = Lunar Surface Size = Bagian permukaan Bulan yang tertutup umbral (yang gelap)
-SES = Solar Eclipse Surface = Bagian permukaan Matahari yang tertutup bulan.
Sumber Tabel: Majalah Risalah No. 5 Th. XXXXV Agustus 2007 Hal. 62.





DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, E. Recik-Recik Dakwah. Sinar Baru Algensindo Bandung, 1998. Cet. II.
Al-Maliki, Muhammad Alwi. Tarikh al-Hawarits al-Ahwal an-Nabawiyyah, Edisi Indonesia: Rahasia Kenabian. Pen: Alwi A.M. Gema Risalah Press Bandung, 1988. Cet. I.
Al-Muntsawi, Muhammad Shiddiq. Akhta’u al-Mushollin. Edisi Indonesia: Kesalahan Umum Dalam Pelaksanaan Ibadah Shalat. Pen: A. Zakaria & Haris Muslim, Lc. Editor: A. Zakaria. Ibnu Azka Press Garut, 2006. Cet. III.
Ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi. Pedoman Shalat. Bulan Bintang Jakarta, 1984. Cet. XIII.
Bukhari, Abu Abdullah Muhammad bin Ismail. Shahih Bukhari. Darul Fikr Bairut, 2003.
Dedipnas. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka, Edisi Tiga Cet. III. 2005.
Hassan, A. Soal-Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama. Diponegoro Bandung (tt). Cet. II.
Majalah Risalah, No. 5 Th. XXXXV, Jumadil Awal 1428 / Agustus 2007.
Marzdedeq, A.D. El. Parasit Akidah. Syamil Cipta Media Bandung, 2005.
Muslim, Abu Husain bin Hijaj, Shahih Muslim. Darul Fikr Bairut, 2007.
Naik, Zakir. The Qur’an & Modern Science. Edisi Indonesia Miracles of Al-Qur’an & as-Sunnah. Pen. Dani Ristanto. Aqwam Solo, 2016. Cet. III.
PP. Persis, Dewan Hisbah. Risalah Shalat. Editor: A. Zakaria. Pustaka Umat Bandung, 2002. Cet. I.
RI, Departemen Agama. Terjemah dan Tafsir al-Qur’an. J-ART, 2005.
Rifa’i, Muhammad Nasib. Taisiru al-Aliyyli Qodir li Ikhtishori Tafsir Ibnu Katsir. Edisi Indonesia: Kemudahan Dari Allah Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir. Pen: Drs. Syuhabuddin. Gema Insani Press Depok, 2012. Cet. I.
Sholehuddin, Wawan Shofwan dkk. Kontroversi Mengangkat Tangan Ketika Berdoa. Tafakur Bandung, 2005. Cet. I.
.......... Shalat Sunnat & Permasalahnya. Tafakur Bandung, 2009. Cet. I.
Suhendar, Uu. Tafsir al-Razi; Kasaluyuan Surat, Ayat, Jeung Mufrodat. Pustaka al-Razi Tasikmalaya, 2011. Cet. II.
Tafsir, Ahmad. Filsafat Umum. Remaja Rosdakarya Bandung, 2008. Cet. XVI.
Zakaria, A. al-Hidayah. Ibn Azka Garut, 2006. Cet. II.
........ Tafsir Surat al-Fatihah. Ibn Azka Garut, 2008. Cet. II.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad

Responsive Ads Here